Ketika kabar wafatnya Mami Corry disampaikan, suara Syamsuri Abdul Majid bergetar. “Mami Corry meninggal dunia… Innalillahi wa inna ilaihi rajiun,” ucapnya menahan tangis. Di rumah duka, ia bergerak dengan sigap—mengatur pemakaman, memastikan setiap detail tertata, dan berbicara tentang Corry dengan kedalaman yang hanya dimiliki orang yang pernah berjalan lama di sisinya.
Penampilannya tetap khas: kaos hitam, celana loreng, baret
hitam, rambut dan janggut dicat merah. Matanya sesekali menyala sedih, namun ia tetap memimpin shalat jenazah, memanggul keranda, dan ikut menurunkan jenazah Corry ke liang lahat bersama anak-anak Kahar Muzakkar. Cara mereka memandang Syamsuri seolah menyiratkan kedekatan yang lebih dari sekadar hubungan pertemanan biasa.
Setelah pemakaman, Syamsuri berbicara serius dengan putra-putra Kahar, lalu pergi bersama para pengawalnya—semua berpenampilan serupa dengannya. Banyak yang pulang dari TPU Parung Bingung hari itu dengan satu pertanyaan yang tidak pernah benar-benar padam:
Mengapa Syamsuri berduka seperti seorang suami yang kehilangan?
Beberapa bulan kemudian, tahun 2004 juga, Syamsuri Abdul Majid wafat—meninggalkan kepergian yang sunyi dan misteri yang tetap bertahan hingga kini.
Dua kematian dalam tahun yang sama. Dua nama yang tak terpisahkan sejak masa hutan belantara Sulawesi.
Dan pertanyaan yang terus berbisik di antara mereka yang menyaksikan semuanya:
Apakah Syamsuri hanyalah Syamsuri?
Ataukah ia seseorang yang sejarahnya tak pernah benar-benar mati?

No comments:
Post a Comment