13 December 2025

Syamsul Beraksi Lagi, Kali Ini Membidik Paman Usman Dilaporkan ke MKMK Kalian pasti masih ingat, eks Satpam, Syamsul Jahidin. Itu yang sukses memulangkan ribuan polisi kembali ke Markas. Si rambut mirip Gogon Srimulat ini beraksi lagi. Lewat pedang hukumnya ia melaporkan Anwar Usman atau terkenal dengan Paman Usman ke MKMK. Simak lagi narasinya sambil seruput Koptagul, wak! Berhubung negeri ini sedang dilanda bencana tanda tangan, tiba-tiba ada lagi yang ribut soal Paman Usman. Entah kenapa, dari sekian banyak paman di Indonesia, cuma satu yang selalu dijadikan “spotlight”seolah hidupnya dikutuk untuk terus tampil sebagai cameo wajib di drama hukum nasional. Kini, Paman Usman, nama panggung dari Hakim Konstitusi Anwar Usman, kembali digeret ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Yang ngelapor? Syamsul Jahidin, advokat yang tampaknya sedang menjalani fase “ingin tahu semua hal yang berbau Usmanologi”. Seakan kalau tidak mengadu ke MKMK sehari sekali, hidupnya hampa. Menurut Syamsul (bukan Samsul yang itu ya), Paman Usman ini punya hobi unik, dissenting opinion. Hobi yang, kalau dilihat dari luar, mirip orang yang sengaja melawan arus, bukan karena salah jalan, tapi karena prinsip “yang penting beda”. Syamsul membaca dissenting itu, lalu menyambung-nyambungkan seperti tukang puzzle yang baru belajar nyusun gambar, dan hasilnya, “Ini enggak logis sekali penolakannya.” Padahal di negeri ini, ketidaklogisan justru adalah salah satu bahan baku hukum tak tertulis. Kalau logis semua, rakyat pasti curiga. Menurut Syamsul, UU IKN dipangkas HGU-nya, dari yang awalnya bisa tembus 190 tahun, umur yang bahkan dinosaurus pun iri, jadi tidak seliar itu lagi. Sedangkan UU Polri membatasi jabatan polisi di jabatan sipil. Dua hal ini menurutnya sudah cukup serius untuk diuji via dissenting. Lalu Syamsul membandingkannya dengan Putusan 90, putusan yang membuka jalan untuk sang keponakan, yang nama lengkapnya sebenarnya “Gibran Rakabuming Raka.” Putusan itu keluar tanpa sidang pleno, seperti mie instan, cepat, praktis, dan penuh MSG politik. Kata Syamsul (bukan Samsul ya), ia ingin tahu, “Apakah ini tendensius pribadi atau pendapat hukum?”Pertanyaan ini, kalau ditarik ke filsafat Paman, berbunyi begini, “Apakah paman membela keponakan karena ia paman? Atau apakah paman membela keponakan karena sudah jadi hukum alam semesta, paman akan selalu menjadi paman?” Suatu dilema eksistensial yang Plato pun mungkin akan menyerah memikirkannya. Syamsul juga bilang MK dulu “cacat” waktu dipimpin Paman Usman. Ini seperti komentar netizen yang bilang, “MK kok kayak sinetron? Pemerannya makin lama makin aneh.” Syamsul memasukkan laporan itu ke MKMK hari ini. Ia menunggu hasilnya. Kita tahu, menunggu respons lembaga negara kadang seperti menunggu balasan pesan gebetan, kadang lama, kadang tidak dibalas, kadang tiba-tiba diblokir. Berdasarkan penelusuran serius, bukan dari WA grup keluarga, memang benar, Paman Usman dissenting di putusan IKN. Ia dissenting bareng Daniel Yusmic dan Arsul Sani. Tiga sekawan dissenting yang mungkin kalau dijadikan trio musik bisa dinamai “The Constitutional Boys”. Tapi….Untuk UU Polri, ternyata nama Paman Usman bahkan tidak masuk daftar dissenting. Yang dissenting justru Daniel Yusmic dan Guntur Hamzah. So, Syamsul sebenarnya sedang marah pada impresi, bukan fakta. Tapi di negara ini, marah pada impresi adalah hak asasi. Bahkan sering jadi budaya. Drama ini sebenarnya menunjukkan, republik ini selalu punya satu tokoh utama yang disalahkan tiap musim. Tahun depan mungkin ganti orang. Tahun depannya lagi ganti lagi. Tapi Paman Usman punya “karisma walah-walah” yang membuatnya tidak pernah benar-benar keluar panggung. Di tengah bencana tanda tangan yang mengguncang Sumatera, persoalan Paman Usman muncul lagi. Seolah rakyat belum cukup pusing dengan tanda tangan palsu, tanda tangan tidak sah, tanda tangan menghilang, tanda tangan malaikat, dan tanda tangan yang tiba-tiba muncul kayak hantu di blanko APBD. Kalau kata Paman Usman, dalam imajinasi kita, begini, “Saya dissenting bukan karena ingin berbeda, tapi karena di dunia ini, kadang yang logis bukan yang benar, dan yang benar belum tentu logis.” Kalimat yang kalau dibacakan dengan suara berat bisa lolos jadi quote di Instagram motivasi. Akhirnya, kita hanya bisa berharap, semoga MKMK menemukan jawabannya. Semoga Syamsul tenang. Semoga negara ini tidak terus hidup dalam genre sarkasme politik. Semoga Paman Usman……bisa istirahat sebentar dari hiruk pikuk negeri yang terlalu mencintainya. Foto Ai hanya ilustrasi #camanewak Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

 Syamsul Beraksi Lagi, Kali Ini Membidik Paman Usman Dilaporkan ke MKMK



Kalian pasti masih ingat, eks Satpam, Syamsul Jahidin. Itu yang sukses memulangkan ribuan polisi kembali ke Markas. Si rambut mirip Gogon Srimulat ini beraksi lagi. Lewat pedang hukumnya ia melaporkan Anwar Usman atau terkenal dengan Paman Usman ke MKMK. Simak lagi narasinya sambil seruput Koptagul, wak!


Berhubung negeri ini sedang dilanda bencana tanda tangan, tiba-tiba ada lagi yang ribut soal Paman Usman. Entah kenapa, dari sekian banyak paman di Indonesia, cuma satu yang selalu dijadikan “spotlight”seolah hidupnya dikutuk untuk terus tampil sebagai cameo wajib di drama hukum nasional.


Kini, Paman Usman, nama panggung dari Hakim Konstitusi Anwar Usman, kembali digeret ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Yang ngelapor? Syamsul Jahidin, advokat yang tampaknya sedang menjalani fase “ingin tahu semua hal yang berbau Usmanologi”. Seakan kalau tidak mengadu ke MKMK sehari sekali, hidupnya hampa.


Menurut Syamsul (bukan Samsul yang itu ya), Paman Usman ini punya hobi unik, dissenting opinion. Hobi yang, kalau dilihat dari luar, mirip orang yang sengaja melawan arus, bukan karena salah jalan, tapi karena prinsip “yang penting beda”.


Syamsul membaca dissenting itu, lalu menyambung-nyambungkan seperti tukang puzzle yang baru belajar nyusun gambar, dan hasilnya, “Ini enggak logis sekali penolakannya.” Padahal di negeri ini, ketidaklogisan justru adalah salah satu bahan baku hukum tak tertulis. Kalau logis semua, rakyat pasti curiga.


Menurut Syamsul, UU IKN dipangkas HGU-nya, dari yang awalnya bisa tembus 190 tahun, umur yang bahkan dinosaurus pun iri, jadi tidak seliar itu lagi. Sedangkan UU Polri membatasi jabatan polisi di jabatan sipil. Dua hal ini menurutnya sudah cukup serius untuk diuji via dissenting.


Lalu Syamsul membandingkannya dengan Putusan 90, putusan yang membuka jalan untuk sang keponakan, yang nama lengkapnya sebenarnya “Gibran Rakabuming Raka.” Putusan itu keluar tanpa sidang pleno, seperti mie instan, cepat, praktis, dan penuh MSG politik.


Kata Syamsul (bukan Samsul ya), ia ingin tahu, “Apakah ini tendensius pribadi atau pendapat hukum?”Pertanyaan ini, kalau ditarik ke filsafat Paman, berbunyi begini, “Apakah paman membela keponakan karena ia paman? Atau apakah paman membela keponakan karena sudah jadi hukum alam semesta, paman akan selalu menjadi paman?”


Suatu dilema eksistensial yang Plato pun mungkin akan menyerah memikirkannya. Syamsul juga bilang MK dulu “cacat” waktu dipimpin Paman Usman. Ini seperti komentar netizen yang bilang, “MK kok kayak sinetron? Pemerannya makin lama makin aneh.”


Syamsul memasukkan laporan itu ke MKMK hari ini. Ia menunggu hasilnya. Kita tahu, menunggu respons lembaga negara kadang seperti menunggu balasan pesan gebetan, kadang lama, kadang tidak dibalas, kadang tiba-tiba diblokir.


Berdasarkan penelusuran serius, bukan dari WA grup keluarga, memang benar, Paman Usman dissenting di putusan IKN. Ia dissenting bareng Daniel Yusmic dan Arsul Sani. Tiga sekawan dissenting yang mungkin kalau dijadikan trio musik bisa dinamai “The Constitutional Boys”.


Tapi….Untuk UU Polri, ternyata nama Paman Usman bahkan tidak masuk daftar dissenting. Yang dissenting justru Daniel Yusmic dan Guntur Hamzah. So, Syamsul sebenarnya sedang marah pada impresi, bukan fakta. Tapi di negara ini, marah pada impresi adalah hak asasi. Bahkan sering jadi budaya.


Drama ini sebenarnya menunjukkan, republik ini selalu punya satu tokoh utama yang disalahkan tiap musim. Tahun depan mungkin ganti orang. Tahun depannya lagi ganti lagi. Tapi Paman Usman punya “karisma walah-walah” yang membuatnya tidak pernah benar-benar keluar panggung.


Di tengah bencana tanda tangan yang mengguncang Sumatera, persoalan Paman Usman muncul lagi. Seolah rakyat belum cukup pusing dengan tanda tangan palsu, tanda tangan tidak sah, tanda tangan menghilang, tanda tangan malaikat, dan tanda tangan yang tiba-tiba muncul kayak hantu di blanko APBD.


Kalau kata Paman Usman, dalam imajinasi kita, begini, “Saya dissenting bukan karena ingin berbeda, tapi karena di dunia ini, kadang yang logis bukan yang benar, dan yang benar belum tentu logis.” Kalimat yang kalau dibacakan dengan suara berat bisa lolos jadi quote di Instagram motivasi.


Akhirnya, kita hanya bisa berharap, semoga MKMK menemukan jawabannya. Semoga Syamsul tenang. Semoga negara ini tidak terus hidup dalam genre sarkasme politik. Semoga Paman Usman……bisa istirahat sebentar dari hiruk pikuk negeri yang terlalu mencintainya.


Foto Ai hanya ilustrasi


#camanewak

Rosadi Jamani

Sumber : 

Ketua Satupena Kalbar

No comments:

Post a Comment