06 June 2024

TARI BEDHAYA KETAWANG EKSPRESI RASA CINTA NYAI RORO KIDUL KEPADA SULTAN MATARAM Tari Bedaya Ketawang adalah sebuah tarian kebesaran yang hanya dipertunjukkan ketika penobatan serta Tingalandalem Jumenengan Sunan Surakarta (upacara peringatan kenaikan tahta raja). Nama Bedhaya Ketawang sendiri berasal dari kata bedhaya yang berarti penari wanita di istana. Sedangkan ketawang berarti langit, identik dengan sesuatu yang tinggi, keluhuran, dan kemuliaan.Tari Bedhaya Ketawang menjadi tarian sakral yang suci karena menyangkut KeTuhanan, di mana segala sesuatu tidak akan terjadi tanpa kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Tari Bedhaya Ketawang dianggap sebagai bedhaya yang tertua dan dijadikan sebagai kiblat dari tari bedhaya lainnya yang lebih muda. LEGENDA TARI BEDHAYA KETAWANG Ada beberapa legenda yang menceritakan asal usul tarian ini. Untuk versi pertama pada suatu ketika, Sultan Agung Hanyakrakusuma yang memerintah Kesultanan Mataram dari tahun 1613-1645, sedang melakukan laku ritual semadi. Konon, dalam keheningan sang raja mendengar suara tembang (senandung) dari arah tawang atau langit. Sultan Agung merasa terkesima dengan senandung tersebut. Begitu selesai bertapa, Sultan Agung memanggil empat orang pengiringnya yaitu Panembahan Purbaya, Kyai Panjang Mas, Pangeran Karang Gayam II, dan Tumenggung Alap-Alap. Sultan Agung mengutarakan kesaksian batinnya pada mereka. Karena terilhami oleh pengalaman gaib yang ia alami, Sultan Agung akhirnya menciptakan sendiri sebuah tarian yang kemudian diberi nama tari Bedhaya Ketawang. Versi kedua, dikisahkan bahwa dalam pertapaannya Panembahan Senopati secara kebetulan bertemu dengan Nyi Roro Kidul di pantai perbatasan antara Kerajaan Mataram Yogyakarta dengan Kerajaan Nyi Roro Kidul. Panembahan Senopati dan Nyo Roro Kidul saling tertarik satu sama lain. Panembahan Senopati kemudian mengikuti Sang Ratu Kidul menuju istananya yang berada di dasar laut. Mereka kemudian menikah dan tinggal selama beberapa waktu disana, hingga datanglah roh Sunan Kalijaga yang menasihati sultan bahwa pengantinnya itu (Ratu Kidul) sebenarnya bukanlah seorang manusia, sebab kecantikannya yang abadi sangatlah sempurna seperti gadis muda. Pada saat itu, Ratu Kidul bertemu dengan sultan bertepatan dengan malam bulan purnama, sehingga sultan begitu terpesona dengan paras kecantikan sang ratu. Sunan Kalijaga lantas menyadarkan sultan dengan memberi nasihat untuk tetap melaksanakan amanah, yaitu mengemban tugas mengayomi rakyat dan kerajaannya yang telah diabaikan karena terpikat dengan Ratu Kidul. Pada akhirnya, Sang Sultan kemudian meninggalkan Ratu Kidul. Namun, sang ratu berjanji akan selalu melindungi Sultan Mataram dan keturunannya, kapan pun Kerajaan Mataram berada dalam bahaya. SEPUTAR TARIAN BEDHAYA KETAWANG Meskipun Tari Bedhaya Ketawang merupakan hasil warisan dari kesultanan Mataram, namun tari ini sekarang hanya dipentaskan di Kasunanan Surakarta. Hal ini sesuai dengan Perjanjian Giyanti tahun 1755, yang mana perjanjanjian ini membagi Kerajaan Mataram menjadi dua yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Pembagian wilayah ini juga dibarengi dengan pembagian kebudayaan serta kesenian yang ditinggalkan oleh Kerajaan Mataram, salah satunya adalah Tari Bedhaya Ketawang. Tari ini dibawakan oleh sembilan orang penari. Dalam pementasannya, konon Nyai Roro Kidul akan ikut menari dan menggenapi jumlah penari menjadi sepuluh orang. Penari tarian Bedhaya Ketawang tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang. Terdapat beberapa syarat yang harus dipatuhi oleh seorang penari Bedhaya Ketawang. Beberapa syarat tersebut di antaranya: 1. Para penari harus dalam keadaan suci dan tidak sedang mengalami menstruasi. 2. Para penari harus masih dalam keadaan perawan. 3. Para penari berusia antara 17-25 tahun. Umur tersebut dipilih karena masih mempunyai kekuatan untuk menari selama 1,5 jam dan masih memiliki kulit yang kencang, cantik, dengan wajah yang berseri-seri. 4. Seorang penari harus memiliki postur tubuh yang proporsional dan memiliki daya tahan tubuh yang baik. 5. Dan yang terakhir, seorang penari harus melakukan puasa mutih. Yaitu puasa dengan tidak makan selain makanan yang berwarna putih selama beberapa hari. Kemudian busana yang dikenakan pada penari Bedhaya Ketawang yaitu menggunakan dodot ageng atau basahan yang dipadukan dengan kain cindhe kembang warna ungu. Rambu penari dihias dengan gelung bokor mengkurep. Kemudian penari Bedhaya Ketawang menggunakan aksesoris seperti kentrung, garuda mungkur, sisir jeram saajar, cundhuk mentul, dan tiba dhadha. Kostum yang digunakan tersebut merupakan kostum pengantin perempuan Jawa Tengah. Lalu pengiring yang digunakan untuk mengiringi tarian Bedhaya Ketawang adalah gamelan, yang terdiri atas lima macam yang berlaras pelog pathet lima. Gamelan tersebut yaitu gendhing (kemanak), kala (kendhang), sangka (gong), pamucuk (kethuk), dan sauran (kenong). Terdapat beberapa aturan yang harus ditaati oleh penonton pada saat pertunjukan Tari Bedhaya Ketawang berlangsung. Pertama, tidak boleh makan. Kedua, tidak boleh merokok. Lalu yang terakhir, para penonton harus diam dan tidak boleh mengobrol atau berbicara. Sudah sebaiknya kita menghargai dan menjalankan pakem dalam penyelenggaraan Tari Bedhaya Ketawang tersebut. Agar, keasliannya dan keberadaannya tetap terus terjaga. Sekian cerita mengenai asal usul tari Bedhaya Ketawang semoga bermanfaat. Sumber : surakarta.go.id, wikipedia, www.merdeka.com

 TARI BEDHAYA KETAWANG

EKSPRESI RASA CINTA NYAI RORO KIDUL

KEPADA SULTAN MATARAM


Tari Bedaya Ketawang adalah sebuah tarian kebesaran yang hanya dipertunjukkan ketika penobatan serta Tingalandalem Jumenengan Sunan Surakarta (upacara peringatan kenaikan tahta raja). 



Nama Bedhaya Ketawang sendiri berasal dari kata bedhaya yang berarti penari wanita di istana. Sedangkan ketawang berarti langit, identik dengan sesuatu yang tinggi, keluhuran, dan kemuliaan.Tari Bedhaya Ketawang menjadi tarian sakral yang suci karena menyangkut KeTuhanan, di mana segala sesuatu tidak akan terjadi tanpa kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Tari Bedhaya Ketawang dianggap sebagai bedhaya yang tertua dan dijadikan sebagai kiblat dari tari bedhaya lainnya yang lebih muda. 


LEGENDA TARI BEDHAYA KETAWANG

Ada beberapa legenda yang menceritakan asal usul tarian ini. Untuk versi pertama pada suatu ketika, Sultan Agung Hanyakrakusuma yang memerintah Kesultanan Mataram dari tahun 1613-1645, sedang melakukan laku ritual semadi. Konon, dalam keheningan sang raja mendengar suara tembang (senandung) dari arah tawang atau langit. Sultan Agung merasa terkesima dengan senandung tersebut. Begitu selesai bertapa, Sultan Agung memanggil empat orang pengiringnya yaitu Panembahan Purbaya, Kyai Panjang Mas, Pangeran Karang Gayam II, dan Tumenggung Alap-Alap. Sultan Agung mengutarakan kesaksian batinnya pada mereka. Karena terilhami oleh pengalaman gaib yang ia alami, Sultan Agung akhirnya menciptakan sendiri sebuah tarian yang kemudian diberi nama tari Bedhaya Ketawang.

 

Versi kedua, dikisahkan bahwa dalam pertapaannya Panembahan Senopati secara kebetulan bertemu dengan Nyi Roro Kidul di pantai perbatasan antara Kerajaan Mataram Yogyakarta dengan Kerajaan Nyi Roro Kidul. Panembahan Senopati dan Nyo Roro Kidul saling tertarik satu sama lain.


Panembahan Senopati kemudian mengikuti Sang Ratu Kidul menuju istananya yang berada di dasar laut. Mereka kemudian menikah dan tinggal selama beberapa waktu disana, hingga datanglah roh Sunan Kalijaga yang menasihati sultan bahwa pengantinnya itu (Ratu Kidul) sebenarnya bukanlah seorang manusia, sebab kecantikannya yang abadi sangatlah sempurna seperti gadis muda.


Pada saat itu, Ratu Kidul bertemu dengan sultan bertepatan dengan malam bulan purnama, sehingga sultan begitu terpesona dengan paras kecantikan sang ratu. Sunan Kalijaga lantas menyadarkan sultan dengan memberi nasihat untuk tetap melaksanakan amanah, yaitu mengemban tugas mengayomi rakyat dan kerajaannya yang telah diabaikan karena terpikat dengan Ratu Kidul. Pada akhirnya, Sang Sultan kemudian meninggalkan Ratu Kidul. Namun, sang ratu berjanji akan selalu melindungi Sultan Mataram dan keturunannya, kapan pun Kerajaan Mataram berada dalam bahaya.


SEPUTAR TARIAN BEDHAYA KETAWANG

Meskipun Tari Bedhaya Ketawang merupakan hasil warisan dari kesultanan Mataram, namun tari ini sekarang hanya dipentaskan di Kasunanan Surakarta. Hal ini sesuai dengan Perjanjian Giyanti tahun 1755, yang mana perjanjanjian ini membagi Kerajaan Mataram menjadi dua yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Pembagian wilayah ini juga dibarengi dengan pembagian kebudayaan serta kesenian yang ditinggalkan oleh Kerajaan Mataram, salah satunya adalah Tari Bedhaya Ketawang. 


Tari ini dibawakan oleh sembilan orang penari. Dalam pementasannya, konon Nyai Roro Kidul akan ikut menari dan menggenapi jumlah penari menjadi sepuluh orang. 


Penari tarian Bedhaya Ketawang tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang. Terdapat beberapa syarat yang harus dipatuhi oleh seorang penari Bedhaya Ketawang. Beberapa syarat tersebut di antaranya: 

1. Para penari harus dalam keadaan suci dan tidak sedang mengalami menstruasi. 

2. Para penari harus masih dalam keadaan perawan. 

3. Para penari berusia antara 17-25 tahun. Umur tersebut dipilih karena masih mempunyai kekuatan untuk menari selama 1,5 jam dan masih memiliki kulit yang kencang, cantik, dengan wajah yang berseri-seri. 

4. Seorang penari harus memiliki postur tubuh yang proporsional dan memiliki daya tahan tubuh yang baik.

5. Dan yang terakhir, seorang penari harus melakukan puasa mutih. Yaitu puasa dengan tidak makan selain makanan yang berwarna putih selama beberapa hari.


Kemudian busana yang dikenakan pada penari Bedhaya Ketawang yaitu menggunakan dodot ageng atau basahan yang dipadukan dengan kain cindhe kembang warna ungu. Rambu penari dihias dengan gelung bokor mengkurep. Kemudian penari Bedhaya Ketawang menggunakan aksesoris seperti kentrung, garuda mungkur, sisir jeram saajar, cundhuk mentul, dan tiba dhadha. Kostum yang digunakan tersebut merupakan kostum pengantin perempuan Jawa Tengah. 


Lalu pengiring yang digunakan untuk mengiringi tarian Bedhaya Ketawang adalah gamelan, yang terdiri atas lima macam yang berlaras pelog pathet lima. Gamelan tersebut yaitu gendhing (kemanak), kala (kendhang), sangka (gong), pamucuk (kethuk), dan sauran (kenong). 


Terdapat beberapa aturan yang harus ditaati oleh penonton pada saat pertunjukan Tari Bedhaya Ketawang berlangsung. Pertama, tidak boleh makan. Kedua, tidak boleh merokok. Lalu yang terakhir, para penonton harus diam dan tidak boleh mengobrol atau berbicara. Sudah sebaiknya kita menghargai dan menjalankan pakem dalam penyelenggaraan Tari Bedhaya Ketawang tersebut. Agar, keasliannya dan keberadaannya tetap terus terjaga. Sekian cerita mengenai asal usul tari Bedhaya Ketawang semoga bermanfaat.


Sumber : surakarta.go.id, wikipedia, www.merdeka.com

No comments:

Post a Comment