PRABHU AMANGKURAT AGUNG
Terlahir dengan nama Gusti Raden Mas Sayidin pada tanggal 24 Juni 1619 di Keraton Kotagedhe.
Beliau adalah putra Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Garwa Ratu Mas Batang, cucu Ki Ageng Juru Mertani.
Sejak kecil Raden Sayidin adalah pribadi yang ramah tamah, cerdas , pintar, terampil, welas asih, unggul, bijaksana
Ketika kecil beliau diasuh oleh Eyang putri Ratu Mas Hadi, Garwa Panembahan Hadi Hanyakrawati. Sultan Agung sangat perhatian dan peduli untuk pendidikan dan masa depan putranya. Raden Sayidin menghabiskan waktunya untuk sekolah / menimba ilmu diluar Kraton Karta.
Pada usia 4 tahun dimasukkan ke pesantren anak anak di Nglandoh Kayen Pati.Tahun 1625 Raden Sayidin melanjutkan belajar Agama di Pondok Pesantren Besuki Pasuruan. Di antar oleh Kanjeng Ratu Pandansari istri dari Pangeran Pekik bupati Surabaya. Tahun 1627 Belajar Ilmu kejawen Di padepokan Joyoboyo yang di kelola oleh Raden Panji di Kediri.Kemudian Tahun 1628 Raden Sayidin melanjutkan Belajar Agama dengan Syech Syamsuddin Berasal dari Baros atau sering di sebut Ki Lembah Manah di padepokan Pekuncen Tegal.Tahun 1629 Melanjutkan belajar Agama di Perguruan Sunan Kalijaga di Kadilangu Demak. Tahun 1630 melanjutkan belajar Sejarah Ki Ageng tarub dan Ki Ageng Selo di wilayah Grobogan. Tahun 1632 Raden Sayidin belajar Demografi di kota Tamasek Singapura. Tahun 1634 Hamangkurat Agung lanjut belajar ke Turki Dengan izin Sultan Murad IV beliau belajar ilmu sosiologi di Universitas Teknik Istanbul Turki.
Tahun 1636 Raden Sayidin melanjutkan belajar tentang ilmu Tata kota di negri Paris, atas beasiswa dari Raja Louis IV Perancis.
Tahun 1638 sepulang dari Prancis beliau menunaikan ibadah haji ke kota Mekkah. Bersama rombongan Alim Ulama dari Sumenep Madura.
Setelah Sultan Agung Hanyokrokusumo wafat, beliau menggantikan sebagai Raja Mataram. Tetapi penobatan dilaksanakan pada tahun 1646 dengan gelar :
Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping I
Pada tahun 1647 Sunan Amangkurat I memindahkan kedudukan ibukota Keraton Mataram dari Karta ke Plered.
" Segenap rakyatku, buatlah batu bata. Karena saya tidak mau tinggal di bekas kediaman Ayahanda. Saya akan membangun Kota Pleret "
Itulah sabda Raden Sayidin sesaat setelah dinobatkan menjadi Sultan Mataram yang bergelar Sunan Amangkurat I
Sunan Amangkurat I memindahkan pusat kerajaan Mataram dari Karta ke Pleret yang jaraknya hanya 2km pada tahun 1647 Karena pada intinya Sunan Amangkurat I menginginkan istana yang terlindung dari serangan musuh. Beliau ingin membangun kraton di Pleret karena disana kotanya diapit oleh dua sungai yaitu Kali Opak dan Kali Gajah yang membuat musuh tidak bisa langsung menyerbu Pleret. Dan lagi beliau meneruskan pembangunan Danau buatan yang membendung Kali Opak yang dulu telah dibangun oleh Sultan Agung dan dinamakan " Segara Yasa " sebagai tempat berlatih armada perang, juga untuk keperluan sehari hari kraton dan rakyat sekitar.Juga untuk pengamanan jika ada serangan dari luar.
Istana Pleret di bangun diatas tanah seluas 35 hektar didalam tembok beteng yang tingginya tiga depa. dengan dua lapis pintu gerbang,dan disekeliling luar beteng dibangun parit parit dalam.
Sunan Amangkurat I juga membangun Masjid yang lebih luas dan indah dan Krapyak untuk Beliau berburu. Beliau juga membangun Sumur Gumuling, yang menurut babad menghubungkan Kraton Pleret hingga ke Laut Selatan.
Lebih dari semua itu Kraton Pleret sangatlah indah dipandang, sebuah istana dipinggir danau dengan latar belakang gunung Seribu.
Masa pemerintahan Sunan Amangkurat I banyak dibangun usaha industri dan mengembangkan pertanian sebagai Nagari Agraris
Tahun 1639 mendirikan Pabrik trasi di lasem rembang dan pabrik brem di madiun.
Tahun 1661 Membangun Industri logam di Kudus
Tahun 1666 Mengembangkan Tanaman agrobis di lereng Semeru Malang.
Tahun 1659 Mengembangkan Tanaman kopi di kembang Ungaran.
Tahun 1669 membangun pasar lelang ikan di Sampang Madura.
Tahun 1670 membangun Industri kopi di Bangkalan Madura.
Tahun 1668 mengembangkan garam yodium di Pamekasan Madura.
Tahun 1673 membangun Industri logam di Sidoarjo.
Tahun 1656 membangun Bendungan serayu di Purbalingga
Tahun 1672 membangun Industri gula merah di Kebumen
Sunan Amangkurat I juga ingin mewujudkan Kraton Mataram sebagai Negeri Bahari atau Nagari Maritim
Tahun 1640 Pangeran Sayidin Mendirikan Sekolah Pelayaran di Kabupaten Tegal.
Tahun 1648 Hamangkurat Agung Membangun Pelabuhan Tanjung Perak surabaya.
Tahun 1654 Hamangkurat Agung membangun Pelabuhan Tanjung Kodok Lamongan.
Tahun 1658 Hamangkurat Agung membangun Pelabuhan Tanjung Emas Kendal Semarang
Sunan Amangkurat I sangat peduli kepada rakyatnya terbukti beliau mendirikan yayasan untuk menolong rakyatnya
Tahun 1643 mendirikan Yayasan Pendidikan Untuk Anak tidak mampu di Brosot Kulonprogo
Tahun 1643 mendirikan Yayasan Yatim piatu di Lesmana Ajibarang Banyumas.
Tahun 1674 membangun rumah sakit umum di salatiga.
Tahun 1676 membangun rumah sosial di Gumelem Susukan Banjarnegara.
Tahun 1676 membuat kantor pertolongan buat orang miskin di Karanggayam Kebumen.
Namun demikian masa pemerintahan Sunan Amangkurat ,Kraton Pleret banyak menyimpan kisah intrik, tragedi, tragis dan miris para penghuninya. Ada cerita pembunuhan, perselingkuhan, perebutan tahta.Ada kisah Pangeran Alit adik Sunan Amangkurat I yang dibunuh berikut para pendukungnya karena melawan kakaknya, Ada kisah cinta segitiga Rara Hoyi , Sunan Amangkurat I dan Raden Rahmat putranya yang akhirnya Rara Hoyi dibunuh oleh Raden Rahmat karena perintah ayahnya. Ada kisah Pangeran Pekik sang mertua Sunan Amangkurat I yang dibunuh oleh menantunya. Ada pula kisah Ratu Malang, istri Sunan Amangkurat I yang wafat dan dianggap pembunuhnya para selirnya
Hingga Pleret mencapai titik akhir ketika Sunan Amangkurat I membatalkan Raden Rahmat sebagai putra mahkota digantikan putranya yang lain. Dan Raden Rahmat meminta Panembahan Rama seorang cucu Sunan Tembayat juga keturunan Pangeran Kajoran seorang Guru spritual yang dikenal sakti dan dihormati untuk mencari orang untuk menundukkan ayahnya. Dan tersebutlah Trunajaya keponakan Panembahan Rama yang kemudian menyerang Pleret dan menguasai Kraton Pleret pada tanggal 28 Juni 1677 hingga membuat Sunan Amangkurat I keluar dari istana pada malam hari dengan didampingi keluarganya juga Raden Rahmat yang berbalik arah memusuhi Trunajaya.
Tujuannya adalah ke Batavia. Sebelum menuju ke barat, Sunan Amangkurat I terlebih dahulu nyekar ke makam Sultan Agung, Ayahandanya di Astana Imogiri. Di sana beliau bermalam satu hari. Keesokan harinya beliau dan rombongan melanjutkan perjalanan ke arah barat. Pada tanggal 30 Juni 1677 rombongan Amangkurat Agung memasuki wilayah Panjer Roma yaitu di Rowo Ambal yang disambut langsung oleh Adipati Panjer Roma yaitu Ki Kertowongso (Ki Gedhe Panjer lll) putra Ki Curigo putra Ki Kertasuta putra Ki Bodronolo putra Ki Madusena putra Ki Ageng Wanabaya.
Sesampainya di rumah kediaman Ki Gedhe Panjer lll, didapatinya badan Sunan Amangkurat I terlihat lemas dengan wajah pucat. Ki Gedhe Panjer lll memastikan bahwa penyakit beliau bukan penyakit biasa melainkan akibat keracunan. Ki Gedhe Panjer lll berinsiatif untuk memberinya air kelapa muda, tetapi karena suasananya malam hari dan sedang hujan lebat Ki Gedhe Panjer lll yang didapatinya adalah kelapa yang sudah tua dan memberikan air kelapa tua (kelapa aking) tersebut kepada Amangkurat Agung. Ajaibnya badan beliau kembali sehat dan merasa segar, kekuatannya pun pulih kembali.
Maka atas jasanya dalam memberi minum kelapa aking kepada Sunan Amangkurat Agung itulah Ki Gedhe Panjer III kemudian diangkat sebagai seorang Tumenggung dengan gelar Tumenggung Kalapa Aking I (Kolopaking I) Selain itu, ia juga dinikahkan dengan putri Sunan Amangkurat I yang bernama Dewi Mulat (Klenting Abang). Dan kelak menurunkan Kolopaking.
Selanjutnya pada tanggal 3 Juli 1677 rombongan Amangkurat Agung kembali melanjutkan perjalanan ke arah barat dengan diantar oleh Ki Gedhe Panjer lll melalui daerah Bocor sampai ke Nampudadi dimana Adipati Anom, sang putra mahkota menyusul ayahnya dari arah timur dan bergabung bersama rombongan sampai ke Karanganyar.
Tiba di Banyumas rombongan Amangkurat Agung menginap tiga malam. Ketika kesehatannya sudah agak membaik, rombongan Raja itu melanjutkan perjalanannya ke Ajibarang. Di Ajibarang kembali jatuh sakit. Raja pun menyerahkan benda pusaka berupa gong Kiai Bijak dan keris Kiai Baladar kepada Raden Rahmat dan terpaksa menunjuk Raden Rahmat sebagai Penggantinya sebagai raja Mataram dengan gelar Sunan Amangkurat II. Tetapi Sunan Amangkurat I juga bersumpah kelak Raden Rahmat hanya akan menurunkan satu keturunan raja saja.
Perjalanan masih dilanjutkan, tapi tiba di Wanayasa atau Winduaji, Raja Mataram Amangkurat I itu pun wafat, di Desa Pasiraman. Dari kata siram, yang artinya dimandikan, berubah menjadi nama desa, yaitu Pasiraman.
Tanggal 13 Juli 1677 Sunan Amangkurat I meninggal di Wanayasa (suatu desa di Banyumas utara) ketika dalam pelarian, dan beliau berwasiat agar dimakamkan di dekat gurunya. Lokasinya kini ada di Desa Pesarean, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal. Karena tanahnya berbau harum, daerah tempat Amangkurat I dimakamkan dijuluki "Tegalarum" atau "Tegalwangi". Akhirnya Sunan Amangkurat I dijuluki dengan nama Sunan Tegalarum atau Sunan Tegalwangi.
Jenasah Susuhunan Amangkurat Agung yang berkuasa selama 33 tahun itu akhirnya dimakamkan / diletakkan / disarekan di Tegalwangi, di bangun di suatu ketinggian puncak bukit buatan tanpa dikuburkan. Hingga akhirnya tahun 1960 an peti jenasah beliau ditutup dengan tanah. Dan disempurnakan dengan batu nisan / kijing diatasnya
Amangkurat I dimakamkan disamping makam gurunya Tumenggung Danupaya alias Ki Ageng Lembah Manah, agak jauh dari makam guru spiritualnya Syekh Syamsuddin. Di atas makamnya dibangun cungkup yang sederhana.
Setelah beliau wafat, pada tahun 1678 sebagai penghormatan untuk Sunan Amangkurat I atas jasa jasa beliau untuk Kraton Mataram dan kepedulian beliau kepada rakyat miskin akhirnya Sunan Amangkurat II menganugrahkan gelar untuk Sunan Amangkurat I yaitu :
" Susuhunan Prabhu Amangkurat Agung "
Tahun 1644 menikah dengan Kanjeng Ratu Pembayun putri Pangeran Pekik. Kanjeng Ratu Pembayun wafat setelah melahirkan Raden Rahmat ( kelak Sunan Amangkurat II )
Tahun 1646 Sunan Amangkurat I menikah dengan Ratu Wiratsari Atau Kanjeng Ratu kencono, putri pangeran major dari pajang melahirkan Raden Drajat ( kelak Pakubuwana I)
Garwa Sunan Amangkurat I:
I.Kangjêng Ratu Pembayun, putri P.Pekik Surabaya
II. Kangjêng Ratu Wetan, banjur nama Ratu Kulon, Kangdjeng Ratu Kencono Trah Kajoran
III. Kangjêng Ratu Mas Malang,
IV. Kangjêng Ratu Kêncana, saka Kranon,
V. Kangjêng Ratu Pasuruhan, kemudian nama Ratu Ayu Mangkurat,
Para Putra :
1. Radèn Mas Rahmat, apêparab Radèn Mas Kuning (saka garwa padmi I) nama Kangjêng Gusti Pangeran Adipati Anom Mataram, barêng jumênêng nata ajêjuluk Ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan Mangkurat, ing Kartasura. .
2. Putri (saka garwa padmi I.) seda timur, ora antara lawas kang ibu nututi seda, Radèn Mas Rahmat, kaparingake marang ingkang garwa II.
3. Pangeran Adipati Pugêr (saka garwa padmi II) jumênêng nata ana ing Mataram, ajêjuluk Kangjêng Susuhunan ing Ngalaga, ,Ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan Pakubuwana I Senapati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama.
4. Radèn Ajêng Putih (saka garwa pangrêmbe Radèn Langênkusuma, saka ing Banyumas) nama Radèn Ayu Pamot.
5. Radèn Mas Kabula (saka garwa pangrêmbe Radèn Mangkukusuma, putri Mangkubumèn, Mataram, nama Pangeran Martasana.
6. Radèn Mas Pandonga (saka garwa padmi II) nama Pangeran Singasari.
7. Kakung (saka garwa pangrêmbe Mas Ayu Galuh saka Majagaluh) seda timur.
8. Radèn Mas Subêkti (saka garwa padmi III) nama Pangeran Silarong.
9. Putri (saka garwa pangrêmbe Mas Ayu Wulan, saka ing Kajoran) seda timur.
10. Radèn Mas Rêsika (saka garwa padmi III) nama Pangeran Natapraja.
11. Radèn Mas Dadi (saka garwa padmi V) nama Pangeran Rănggasatata.
12. Radèn Mas Sujanma (saka garwa pangrêmbe Mas Ayu Wulan, nama Pangeran Arya Panular.
13. Radèn Ajêng Brungut (saka garwa pangrêmbe Mas Ayu Mayangsari) nama Radèn Ayu Klêting Kuning, salin nama Radèn Ayu Pucang, krama olèh Radèn Arya Sindurêja pêpatih ing Kartasura, pêputra Radèn Sukra, iya Natadirja.
14. Putri (saka garwa padmi IV) nama nunggaksêmi kangbok ayu (13) Radèn Ayu Klêting Kuning, kaboyong marang Trunajaya.
15. Putri (saka garwa pangrêmbe Mas Kênya ing Priyêmbadan) nama Radèn Ayu Klêting Biru, ditrimakake dening kang raka (1) olèh Bagus Buwang, banjur jinunjung linggihe aran Tumênggung Mangkuyuda.
16. Putri (id.) nama Radèn Ayu Klêting Wungu, banjur nama Radèn Ayu Răngga ing Kaliwungu, pêgat seda, krama manèh olèh adipati Mangkupraja.
17. Radèn Mas Tapa (id.) jinunjung dening kang raka (1) nama Pangeran Arya Mataram.
18. Radèn Ajêng Mulat (saka kalangênan manggung Rara Wilas) nama Radèn Ayu Klêting Abang seda.
19. Radèn Ajêng Siram (saka Bok Pantês ing Pajagalan) nama Radèn Ayu Klêting Irêng seda.
20. Kakung (saka garwa pangrêmbe Mas Ayu Danariyêm, saka Gadhing) seda timur.
21. Radèn Ajêng Tungle (saka garwa pangrêmbe Mas Tasik) nama Radèn Ayu Klêting Dadu, katrimakake dening kang raka (1) olèh Radèn Danurêja, banjur nama Radèn Ayu Danurêja.
22. Radèn Ajêng Pusuh (saka garwa pangrêmbe Mas Ayu Danariyêm) nama Radèn Ayu Klêting Ijo, dhaup olèh Pangeran Adipati Wiramênggala
23. Pangeran Harya Natabrata ( saka garwa Ratu Mas Malang )
Al-Fatihah kagem Sunan Amangkurat I.
Dikisahkan ulang oleh K.R.T Koes Sajid Djayaningrat
No comments:
Post a Comment