25 October 2025

TRAGEDI JENDERAL BINTANG SATU: Kisah Mustafa Sjarief Soepardjo, Pangkat Tertinggi dalam Pusaran G30S/PKI‼️ Sejarah kelam Gerakan 30 September (G30S) menutup lembaran terakhirnya bagi salah satu tokoh utama. Brigadir Jenderal (Brigjen) Mustafa Sjarief Soepardjo, perwira Angkatan Darat (AD) dengan pangkat tertinggi yang terlibat langsung dalam makar G30S, telah dieksekusi mati oleh regu tembak. Kisahnya adalah potret tragis seorang jenderal berpengalaman yang terjebak dalam pusaran konflik ideologi dan strategi militer yang kacau. Profil: Jenderal Ahli Taktik dari Gombong Mustafa Sjarief Soepardjo, lahir di Gombong, Kebumen, Jawa Tengah, pada 23 Maret 1923, memiliki rekam jejak militer yang cemerlang. Ia merupakan lulusan Sekolah Staf dan Komando di Quetta, Pakistan (Sumber: Tirto.id), dan dikenal sebagai ahli strategi militer. Puncak kariernya adalah ketika menjabat Panglima Komando Tempur II (Komput II) di Kalimantan Barat, memimpin 13 batalyon gabungan dalam kampanye Konfrontasi Ganyang Malaysia (Sumber: Merdeka.com). Pada September 1965, Soepardjo tiba di Jakarta atas panggilan mendadak dari Panglima Kolaga, Laksamana Madya Omar Dhani. Namun, alih-alih kembali ke posnya di Kalimantan, ia justru terjerumus dalam pertemuan-pertemuan rahasia yang merencanakan "Gerakan 30 September". Dalam struktur Dewan Revolusi yang dibentuk sepihak, nama Brigjen Soepardjo dicatut sebagai Wakil Ketua, sebuah posisi di bawah perwira yang dua tingkat lebih rendah, Letnan Kolonel Untung Sjamsuri. Peran Kunci di Malam Jahanam Keterlibatan Soepardjo memberikan bobot militer yang signifikan bagi G30S. Pada malam 30 September hingga dini hari 1 Oktober 1965, ia hadir di markas komando gerakan di Lubang Buaya/Halim Perdanakusuma. Perannya adalah sebagai perwira senior yang mengamati dan melaporkan perkembangan operasi penculikan kepada Presiden Soekarno yang berada di Halim. Namun, bukannya mendapat dukungan penuh, Presiden justru memerintahkan gerakan tersebut dihentikan (Sumber: Merdeka.com). Laporan dari berbagai sumber menyebutkan, kegagalan merespons perintah ini membuat Soepardjo tersadar akan kekalahan. "Kita Sudah Kalah," ucapnya, seperti dikutip dari kesaksiannya. Ia bahkan berupaya mengambil alih pimpinan dari Letkol Untung karena melihat gerakan itu tidak konsisten, tetapi usahanya ditolak oleh Sjam Kamaruzaman (Biro Khusus PKI) dan Untung (Sumber: Merdeka.com). 'Dokumen Soepardjo': Kritik Internal dari Seorang Loyalis Setelah gerakan itu dipatahkan oleh pasukan yang dipimpin oleh Mayjen Soeharto, Soepardjo menghilang dan menjadi buronan utama. Dalam pelariannya, sekitar tahun 1966, ia menulis sebuah analisis strategi militer yang kini dikenal sebagai "Dokumen Soepardjo" (ditemukan di Museum TNI Satria Mandala dan dikutip oleh Tempo.co dan Liputan6.com). Dokumen ini menjadi kritik pedas dan jujur dari seorang pelaku. Poin-poin utama kegagalan G30S menurutnya antara lain: Rencana Dangkal: "Rentjana operasinja ternjata tidak djelas. Terlalu dangkal," tulis Soepardjo. Fokus hanya pada penculikan tujuh jenderal tanpa rencana yang jelas bagaimana bertindak jika berhasil atau gagal (Sumber: Liputan6.com). Ketiadaan Komando Tunggal: Ia menyebut adanya tarik ulur antara kubu militer (Untung cs) dan Biro Khusus PKI (Sjam cs), yang menyebabkan tidak adanya garis komando yang ketat dan solid (Sumber: Tirto.id). Kekacauan Logistik: Soepardjo mencatat, pasukan mengalami kemacetan gerakan karena "tidak makan semenjak pagi, siang dan malam," menunjukkan buruknya persiapan operasional (Sumber: Tirto.id). Akhir Pelarian di Hari Raya Selama satu setengah tahun, Brigjen Soepardjo menjadi buronan yang paling sulit ditangkap oleh Operasi Kalong Kodam V/Jaya. Ia berpindah-pindah persembunyian, mulai dari Cilincing hingga ke kawasan Halim (Sumber: Historia.ID). Drama penangkapan Soepardjo berakhir pada dini hari 12 Januari 1967, bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri. Tim Operasi Kalong yang dipimpin Kapten CPM Suroso berhasil mengepung sebuah rumah di kompleks AURI Halim Perdanakusuma. Setelah penggeledahan, Soepardjo ditemukan bersembunyi di atas loteng dan menyerahkan diri setelah diancam tembak (Sumber: Historia.ID, - Operasi Kalong). Pada tahun yang sama, ia diadili di Mahmilub dan divonis hukuman mati. Grasi yang diajukan kepada Presiden Soeharto ditolak. Saksi mata di Rumah Tahanan Militer (RTM) Cimahi mengenang saat-saat terakhirnya. Sehari sebelum eksekusi, Soepardjo bertemu seluruh keluarganya. Pada pagi hari 16 Mei 1970 (meskipun ada sumber lain yang menyebut 18 Maret 1967, sumber Wikipedia dan Merdeka.com cenderung pada 16 Mei 1970), sebelum dibawa ke hadapan regu tembak, Soepardjo dikabarkan sempat mengumandangkan Adzan di dalam selnya, sebuah penutup kisah yang menyentuh hati para penghuni penjara (Sumber: Intisari Online, Wikipedia).

 TRAGEDI JENDERAL BINTANG SATU: Kisah Mustafa Sjarief Soepardjo, Pangkat Tertinggi dalam Pusaran G30S/PKI‼️



Sejarah kelam Gerakan 30 September (G30S) menutup lembaran terakhirnya bagi salah satu tokoh utama. Brigadir Jenderal (Brigjen) Mustafa Sjarief Soepardjo, perwira Angkatan Darat (AD) dengan pangkat tertinggi yang terlibat langsung dalam makar G30S, telah dieksekusi mati oleh regu tembak. Kisahnya adalah potret tragis seorang jenderal berpengalaman yang terjebak dalam pusaran konflik ideologi dan strategi militer yang kacau.


Profil: Jenderal Ahli Taktik dari Gombong

Mustafa Sjarief Soepardjo, lahir di Gombong, Kebumen, Jawa Tengah, pada 23 Maret 1923, memiliki rekam jejak militer yang cemerlang. Ia merupakan lulusan Sekolah Staf dan Komando di Quetta, Pakistan (Sumber: Tirto.id), dan dikenal sebagai ahli strategi militer. Puncak kariernya adalah ketika menjabat Panglima Komando Tempur II (Komput II) di Kalimantan Barat, memimpin 13 batalyon gabungan dalam kampanye Konfrontasi Ganyang Malaysia (Sumber: Merdeka.com).


Pada September 1965, Soepardjo tiba di Jakarta atas panggilan mendadak dari Panglima Kolaga, Laksamana Madya Omar Dhani. Namun, alih-alih kembali ke posnya di Kalimantan, ia justru terjerumus dalam pertemuan-pertemuan rahasia yang merencanakan "Gerakan 30 September". Dalam struktur Dewan Revolusi yang dibentuk sepihak, nama Brigjen Soepardjo dicatut sebagai Wakil Ketua, sebuah posisi di bawah perwira yang dua tingkat lebih rendah, Letnan Kolonel Untung Sjamsuri.


Peran Kunci di Malam Jahanam

Keterlibatan Soepardjo memberikan bobot militer yang signifikan bagi G30S. Pada malam 30 September hingga dini hari 1 Oktober 1965, ia hadir di markas komando gerakan di Lubang Buaya/Halim Perdanakusuma.


Perannya adalah sebagai perwira senior yang mengamati dan melaporkan perkembangan operasi penculikan kepada Presiden Soekarno yang berada di Halim. Namun, bukannya mendapat dukungan penuh, Presiden justru memerintahkan gerakan tersebut dihentikan (Sumber: Merdeka.com).


Laporan dari berbagai sumber menyebutkan, kegagalan merespons perintah ini membuat Soepardjo tersadar akan kekalahan. "Kita Sudah Kalah," ucapnya, seperti dikutip dari kesaksiannya. Ia bahkan berupaya mengambil alih pimpinan dari Letkol Untung karena melihat gerakan itu tidak konsisten, tetapi usahanya ditolak oleh Sjam Kamaruzaman (Biro Khusus PKI) dan Untung (Sumber: Merdeka.com).


'Dokumen Soepardjo': Kritik Internal dari Seorang Loyalis

Setelah gerakan itu dipatahkan oleh pasukan yang dipimpin oleh Mayjen Soeharto, Soepardjo menghilang dan menjadi buronan utama. Dalam pelariannya, sekitar tahun 1966, ia menulis sebuah analisis strategi militer yang kini dikenal sebagai "Dokumen Soepardjo" (ditemukan di Museum TNI Satria Mandala dan dikutip oleh Tempo.co dan Liputan6.com).


Dokumen ini menjadi kritik pedas dan jujur dari seorang pelaku. Poin-poin utama kegagalan G30S menurutnya antara lain:


Rencana Dangkal: "Rentjana operasinja ternjata tidak djelas. Terlalu dangkal," tulis Soepardjo. Fokus hanya pada penculikan tujuh jenderal tanpa rencana yang jelas bagaimana bertindak jika berhasil atau gagal (Sumber: Liputan6.com).


Ketiadaan Komando Tunggal: Ia menyebut adanya tarik ulur antara kubu militer (Untung cs) dan Biro Khusus PKI (Sjam cs), yang menyebabkan tidak adanya garis komando yang ketat dan solid (Sumber: Tirto.id).


Kekacauan Logistik: Soepardjo mencatat, pasukan mengalami kemacetan gerakan karena "tidak makan semenjak pagi, siang dan malam," menunjukkan buruknya persiapan operasional (Sumber: Tirto.id).


Akhir Pelarian di Hari Raya

Selama satu setengah tahun, Brigjen Soepardjo menjadi buronan yang paling sulit ditangkap oleh Operasi Kalong Kodam V/Jaya. Ia berpindah-pindah persembunyian, mulai dari Cilincing hingga ke kawasan Halim (Sumber: Historia.ID).


Drama penangkapan Soepardjo berakhir pada dini hari 12 Januari 1967, bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri. Tim Operasi Kalong yang dipimpin Kapten CPM Suroso berhasil mengepung sebuah rumah di kompleks AURI Halim Perdanakusuma. Setelah penggeledahan, Soepardjo ditemukan bersembunyi di atas loteng dan menyerahkan diri setelah diancam tembak (Sumber: Historia.ID, - Operasi Kalong).


Pada tahun yang sama, ia diadili di Mahmilub dan divonis hukuman mati. Grasi yang diajukan kepada Presiden Soeharto ditolak.


Saksi mata di Rumah Tahanan Militer (RTM) Cimahi mengenang saat-saat terakhirnya. Sehari sebelum eksekusi, Soepardjo bertemu seluruh keluarganya. Pada pagi hari 16 Mei 1970 (meskipun ada sumber lain yang menyebut 18 Maret 1967, sumber Wikipedia dan Merdeka.com cenderung pada 16 Mei 1970), sebelum dibawa ke hadapan regu tembak, Soepardjo dikabarkan sempat mengumandangkan Adzan di dalam selnya, sebuah penutup kisah yang menyentuh hati para penghuni penjara (Sumber: Intisari Online, Wikipedia).

No comments:

Post a Comment