30 October 2025

Tiga Jam Penuh Darah, Saat Keraton Yogyakarta Diserbu Inggris Lebih dari dua abad lalu, peristiwa akbar berdarah-darah berlangsung di jantung Kasultanan Yogyakarta. Tragedi ini memuncaki konflik internal, trik intrik, persekongkolan sekaligus pengkhianatan di antara para bangsawan kerajaan. Pasukan Gubernur Jenderal Inggris Sir Stamford Raffles yang dipimpin Kolonel RR Gillespie pada 20 Juni 1812 selama tiga jam penuh menggempur Keraton, meruntuhkan bentengnya, menaklukkan Sultan HB II, menjarah rayah harta karun seisi istana, termasuk keputren. Akhir dari episode muram masa HB II ini adalah dinaiktahtakannya secara paksa sang Putra Mahkota menjadi Sultan HB III. Keberhasilan invasi Inggris ke Keraton Yogyakarta inipun menandai kemerosotan kasultanan sejak didirikan Pangeran Mangkubumi pada 6 November 1755. Setelah 57 tahun berdiri megah sebagai kerajaan baru yang kokoh dan tidak tertundukkan, Keraton Yogyakarta remuk. Sebagian besar penyebab karena maraknya intrik internal. Ayah dan anak berebut tahta, yang secara maksimal ditunggangi para agresor dan kolonial. Perkubuan antarkeluarga kerajaan menambah pelik situasi. Sesudah serbuan Inggris dan naiknya Sultan HB III menjadi titik awal pergolakan nan panjang, sangat berdarah, menguras emosi dan segala sumber daya di pihak Jawa maupun Belanda nantinya. HB III adalah ayah kandung Pangeran Diponegoro. Tiga belas tahun berikutnya, pangeran yang saleh dan sederhana ini akan memimpin Perang Jawa, pertempuran dahsyat nan panjang yang tercatat dalam sejarah pendudukan Belanda. * Detik-detik Serbuan Inggris ke Kraton Yogyakarta Invasi Inggris ke Keraton Yogyakarta yang dimulai 18 Juni 1812. Plengkung Wijilan, salah satu titik serbuan paling dahsyat saat pasukan Raffles menggempur Keraton Yogyakarta pada 20 Juni 1812. Di dekat lokasi ini dulunya terdapat gerbang Poncosuro, pintu menuju Kadipaten, kediaman Putra Mahkota dan Pangeran Ontowiryo (Pangeran Diponegoro). Serbuan tentu tidak berlangsung mendadak. Ada banyak peristiwa yang mendahului kejadian ini, baik perundingan-perundingan dengan pihak Inggris maupun lobi-lobi melibatkan para petinggi kerajaan. Bahkan jauh sebelumnya, Sultan HB II membuat kesepakatan rahasia dengan Sunan Paku Buwono IV yang bertahta di Kasunanan Surakarta, terkait bagaimana mereka akan menghadapi kehadiran agresor asing (Inggris). Inti kesepakatan itu, jika Inggris menyerang Kasultanan Yogyakarta, pasukan Kasunanan Surakarta akan membantu dari belakang. Kelak, kesepakatan itu hanya jadi tulisan di atas kertas. Ketika prajurit Gillespie mengobrak-abrik istana Sultan, pasukan Surakarta hanya berdiam diri, menonton dari jauh berharap akan ada keuntungan politik bagi mereka. Sultan HB II atau Sultan Sepuh dan pengikut setianya bertarung sendirian hingga akhirnya takluk dan dihinakan. Pangeran Notokusumo yang terhitung adik Sultan Sepuh, semula dipercaya akan satu barisan. Jelang penyerbuan ia membelot ke pihak Inggris, memasuki benteng (Vrederburg) yang jadi basis pasukan penyerbu ketika itu. Dentuman meriam Inggris pertama kali pecah mengarah ke sisi timur laut benteng keraton, menandai awal serangan pada sore hari, 18 Juni 1812. Dua jam sebelum tembakan meriam, Raffles mengirimkan surat ultimatum ke Sultan HB II agar menyerah. Penerjemah Karesidenan Semarang CF Krijgsman diutus untuk menyampaikan surat ancaman. Sultan HB II, Putra Mahkota, ditemani Tumenggung Sumodinigrat dan Pangeran Mangkudiningrat menerima utusan Raffles di pendopo Srimanganti. Sultan menolak ultimatum Raffles, begitu juga Putra Mahkota. Penolakan itu memberi sinyal perlawanan dan perang besar akan segera berkobar. Sultan pada waktu itu menitip pesan ke utusan Raffles agar Notokusumo menjawab alasannya mengapa berkhianat. Hujan tembakan artileri Raffles dari arah benteng (Vredeburg) dan kubu-kubu mereka di tempat yang sekarang jadi Taman Pintar berlangsung hingga malam dan tembus ke hari berikutnya, Jumat, 19 Juni 1812. Serangan itu rupanya menggentarkan para kaum bangsawan. Banyak yang menyelinap pergi dari istana, mengungsi ke tempat-tempat di luar kota, hingga ke Imogiri. Segelintir saja yang bersiap sepenuh hati berjuang melawan. Sikap cari selamat para bangsawan istana ini menurunkan moral para prajurit dan pengikutnya yang berjuang di garis depan. Kawasan Kauman dan sekitarnya yang terletak di barat alun-alun, rusak terkena sambaran api dan tembakan meriam. Kadipaten, yang berlokasi di sebelah timur keraton, tempat tinggal Putra Mahkota dan Pangeran Diponegoro, mengalami kerusakan hebat. Gerbangnya tinggal menunggu waktu dijebol pasukan penyerbu. Bantuan kekuatan untuk mencegah jatuhnya Kadipaten tak kunjung datang. Bombardir berlangsung terus hingga terhenti pada Jumat pukul 9 malam. Penghuni istana menyangka serangan Inggris berakhir. Masa-masa kritis juga terjadi di kediaman Sultan yang dikawal prajurit Srikandi. Sabtu, 20 Juni 1812 sekitar pukul 2 dini hari, dua tembakan meriam menggelegar. Dua jam kemudian, pasukan infantri Inggris, Sepoy (India), Legiun Prangwedono, dan pengikut Notokusumo, bergerak maju mendekati benteng keraton. Tangga-tangga bambu digotong dan dipakai untuk memanjat dinding benteng. Kapiten Cina Tan Jing Sing (Secodiningrat) andil banyak pada bagian ini, dan membuktikan persekongkolannya dengan pihak penyerbu. Kadipaten, tempat tinggal Putra Mahkota, jadi sasaran utama. Gerbangnya diledakkan oleh pasukan artileri berkuda Madras, tingkap-tingkapnya direbut serdadu Sepoy. Meriam keraton dibalikkan mengarah ke dalam benteng dan pasukan yang mempertahankannya. Pagi itu gerbang Poncosuro di sisi timur laut keraton jebol. Serangan ke Kadipaten ini dipimpin Letkol Alexander McLeod. Dilihat dari sketsa peta saat penyerbuan sekarang lokasinya di Plengkung Wijilan ke arah timur (Jalan Ibu Ruswo). Serangan serentak itu juga menyebabkan gudang mesiu keraton di pojok timur laut benteng meledak, menimbulkan kerugian besar dan korban jiwa di pihak penyerang maupun yang bertahan. Mayor William Thorn melukiskan kesulitan menembus pertahanan keraton. Sekeliling benteng saat itu ada paritnya, dan bentengnya pun tebal. Tidak mudah dihancurkan. Pertempuran jarak dekat berlangsung sengit, menggunakan tombak, panah, senapan musket, granat, dan mortar. Serangan memutar juga dilakukan ke sisi selatan memutari benteng dengan target menjebol gerbang utama di selatan alun-alun. Pasukan yang menggempur area ini dipimpin Letnan Dewar. Mereka menghadapi perlawanan gigih pasukan Tumenggung Sumodiningrat. Menantu Sultan itu akhirnya tewas hingga perlawanan terakhir. Tubuhnya dicincang. Alun-alun Selatan dikuasai penyerbu yang terus melakukan pembersihan ke segala arah. Sisi timur, utara, barat dan selatan sudah dibanjiri pasukan Inggris dan penyokongnya. Jatuhnya Kadipaten di tangan pasukan Letkol McLeod membuat Putra Mahkota menyelamatkan diri ke sisi barat keraton. Semula ia berusaha berlindung ke kediaman Sultan, namun tempatnya sudah terkunci dan dijaga ketat pengawalnya. Putra Mahkota dan Diponegoro bergerak ke gerbang barat keraton, tempat mereka akhirnya bertemu pasukan penakluk, menyerah, dan diperlakukan terhina. Diponegoro terluka ketika keris pusakanya disita. Lokasi pertemuan itu diperkirakan di sekitar Pasar Ngasem atau Tamansari. Pasukan yang menemukan Putra Mahkota dan Diponegoro dipimpin Mayor Dennis H Dalton, didampingi Sekretaris Residen Yogyakarta John Deans dan Kapiten Cina Tan Jing Sing. Mereka kemudian dibawa ke Wisma Residen (sekarang Gedung Agung). Kedatangan Putra Mahkota di Wisma Residen disambut dingin. Pangeran Notokusumo, atau pamannya yang membelot, hanya memandangi kemenakannya itu tanpa bertegur sapa. Saat itu jarum jam menunjuk angka tujuh pagi. Berita tertangkapnya Putra Mahkota membuat raja syok. Sultan akhirnya memerintahkan bendera putih dikibarkan, dan prajuritnya meletakkan senjata. Penyerahan damai ini diharapkan meredam kemarahan penyerbu. Kolonel Gillespie memasuki kedaton, dan masih menghadapi sejumlah kecil perlawanan yang berpusat di komplek Masjid Suronatan di sebelah barat pendopo Srimanganti. Di tempat inilah Sultan dan pengikutnya bersiap menyerahkan diri ke Gillespie. * Abror Subhi Dari berbagai sumber

 Tiga Jam Penuh Darah, Saat Keraton Yogyakarta Diserbu Inggris

Lebih dari dua abad lalu, peristiwa akbar berdarah-darah berlangsung di jantung Kasultanan Yogyakarta. Tragedi ini memuncaki konflik internal, trik intrik, persekongkolan sekaligus pengkhianatan di antara para bangsawan kerajaan.



Pasukan Gubernur Jenderal Inggris Sir Stamford Raffles yang dipimpin Kolonel RR Gillespie pada 20 Juni 1812 selama tiga jam penuh menggempur Keraton, meruntuhkan bentengnya, menaklukkan Sultan HB II, menjarah rayah harta karun seisi istana, termasuk keputren.


Akhir dari episode muram masa HB II ini adalah dinaiktahtakannya secara paksa sang Putra Mahkota menjadi Sultan HB III.


Keberhasilan invasi Inggris ke Keraton Yogyakarta inipun menandai kemerosotan kasultanan sejak didirikan Pangeran Mangkubumi pada 6 November 1755.


Setelah 57 tahun berdiri megah sebagai kerajaan baru yang kokoh dan tidak tertundukkan, Keraton Yogyakarta remuk. Sebagian besar penyebab karena maraknya intrik internal.


Ayah dan anak berebut tahta, yang secara maksimal ditunggangi para agresor dan kolonial. Perkubuan antarkeluarga kerajaan menambah pelik situasi.


Sesudah serbuan Inggris dan naiknya Sultan HB III menjadi titik awal pergolakan nan panjang, sangat berdarah, menguras emosi dan segala sumber daya di pihak Jawa maupun Belanda nantinya. HB III adalah ayah kandung Pangeran Diponegoro.


Tiga belas tahun berikutnya, pangeran yang saleh dan sederhana ini akan memimpin Perang Jawa, pertempuran dahsyat nan panjang yang tercatat dalam sejarah pendudukan Belanda.


* Detik-detik Serbuan Inggris ke Kraton Yogyakarta

Invasi Inggris ke Keraton Yogyakarta yang dimulai 18 Juni 1812. Plengkung Wijilan, salah satu titik serbuan paling dahsyat saat pasukan Raffles menggempur Keraton Yogyakarta pada 20 Juni 1812. Di dekat lokasi ini dulunya terdapat gerbang Poncosuro, pintu menuju Kadipaten, kediaman Putra Mahkota dan Pangeran Ontowiryo (Pangeran Diponegoro).


Serbuan tentu tidak berlangsung mendadak. Ada banyak peristiwa yang mendahului kejadian ini, baik perundingan-perundingan dengan pihak Inggris maupun lobi-lobi melibatkan para petinggi kerajaan.


Bahkan jauh sebelumnya, Sultan HB II membuat kesepakatan rahasia dengan Sunan Paku Buwono IV yang bertahta di Kasunanan Surakarta, terkait bagaimana mereka akan menghadapi kehadiran agresor asing (Inggris).


Inti kesepakatan itu, jika Inggris menyerang Kasultanan Yogyakarta, pasukan Kasunanan Surakarta akan membantu dari belakang. Kelak, kesepakatan itu hanya jadi tulisan di atas kertas.


Ketika prajurit Gillespie mengobrak-abrik istana Sultan, pasukan Surakarta hanya berdiam diri, menonton dari jauh berharap akan ada keuntungan politik bagi mereka. Sultan HB II atau Sultan Sepuh dan pengikut setianya bertarung sendirian hingga akhirnya takluk dan dihinakan.


Pangeran Notokusumo yang terhitung adik Sultan Sepuh, semula dipercaya akan satu barisan. Jelang penyerbuan ia membelot ke pihak Inggris, memasuki benteng (Vrederburg) yang jadi basis pasukan penyerbu ketika itu.


Dentuman meriam Inggris pertama kali pecah mengarah ke sisi timur laut benteng keraton, menandai awal serangan pada sore hari, 18 Juni 1812. Dua jam sebelum tembakan meriam, Raffles mengirimkan surat ultimatum ke Sultan HB II agar menyerah.


Penerjemah Karesidenan Semarang CF Krijgsman diutus untuk menyampaikan surat ancaman. Sultan HB II, Putra Mahkota, ditemani Tumenggung Sumodinigrat dan Pangeran Mangkudiningrat menerima utusan Raffles di pendopo Srimanganti.


Sultan menolak ultimatum Raffles, begitu juga Putra Mahkota. Penolakan itu memberi sinyal perlawanan dan perang besar akan segera berkobar. Sultan pada waktu itu menitip pesan ke utusan Raffles agar Notokusumo menjawab alasannya mengapa berkhianat.


Hujan tembakan artileri Raffles dari arah benteng (Vredeburg) dan kubu-kubu mereka di tempat yang sekarang jadi Taman Pintar berlangsung hingga malam dan tembus ke hari berikutnya, Jumat, 19 Juni 1812.


Serangan itu rupanya menggentarkan para kaum bangsawan. Banyak yang menyelinap pergi dari istana, mengungsi ke tempat-tempat di luar kota, hingga ke Imogiri. Segelintir saja yang bersiap sepenuh hati berjuang melawan.


Sikap cari selamat para bangsawan istana ini menurunkan moral para prajurit dan pengikutnya yang berjuang di garis depan. Kawasan Kauman dan sekitarnya yang terletak di barat alun-alun, rusak terkena sambaran api dan tembakan meriam.


Kadipaten, yang berlokasi di sebelah timur keraton, tempat tinggal Putra Mahkota dan Pangeran Diponegoro, mengalami kerusakan hebat. Gerbangnya tinggal menunggu waktu dijebol pasukan penyerbu. Bantuan kekuatan untuk mencegah jatuhnya Kadipaten tak kunjung datang.


Bombardir berlangsung terus hingga terhenti pada Jumat pukul 9 malam. Penghuni istana menyangka serangan Inggris berakhir. Masa-masa kritis juga terjadi di kediaman Sultan yang dikawal prajurit Srikandi.


Sabtu, 20 Juni 1812 sekitar pukul 2 dini hari, dua tembakan meriam menggelegar. Dua jam kemudian, pasukan infantri Inggris, Sepoy (India), Legiun Prangwedono, dan pengikut Notokusumo, bergerak maju mendekati benteng keraton.


Tangga-tangga bambu digotong dan dipakai untuk memanjat dinding benteng. Kapiten Cina Tan Jing Sing (Secodiningrat) andil banyak pada bagian ini, dan membuktikan persekongkolannya dengan pihak penyerbu.


Kadipaten, tempat tinggal Putra Mahkota, jadi sasaran utama. Gerbangnya diledakkan oleh pasukan artileri berkuda Madras, tingkap-tingkapnya direbut serdadu Sepoy. Meriam keraton dibalikkan mengarah ke dalam benteng dan pasukan yang mempertahankannya.


Pagi itu gerbang Poncosuro di sisi timur laut keraton jebol. Serangan ke Kadipaten ini dipimpin Letkol Alexander McLeod. Dilihat dari sketsa peta saat penyerbuan sekarang lokasinya di Plengkung Wijilan ke arah timur (Jalan Ibu Ruswo).


Serangan serentak itu juga menyebabkan gudang mesiu keraton di pojok timur laut benteng meledak, menimbulkan kerugian besar dan korban jiwa di pihak penyerang maupun yang bertahan. Mayor William Thorn melukiskan kesulitan menembus pertahanan keraton.


Sekeliling benteng saat itu ada paritnya, dan bentengnya pun tebal. Tidak mudah dihancurkan. Pertempuran jarak dekat berlangsung sengit, menggunakan tombak, panah, senapan musket, granat, dan mortar.


Serangan memutar juga dilakukan ke sisi selatan memutari benteng dengan target menjebol gerbang utama di selatan alun-alun. Pasukan yang menggempur area ini dipimpin Letnan Dewar. Mereka menghadapi perlawanan gigih pasukan Tumenggung Sumodiningrat.


Menantu Sultan itu akhirnya tewas hingga perlawanan terakhir. Tubuhnya dicincang. Alun-alun Selatan dikuasai penyerbu yang terus melakukan pembersihan ke segala arah. Sisi timur, utara, barat dan selatan sudah dibanjiri pasukan Inggris dan penyokongnya.


Jatuhnya Kadipaten di tangan pasukan Letkol McLeod membuat Putra Mahkota menyelamatkan diri ke sisi barat keraton. Semula ia berusaha berlindung ke kediaman Sultan, namun tempatnya sudah terkunci dan dijaga ketat pengawalnya.


Putra Mahkota dan Diponegoro bergerak ke gerbang barat keraton, tempat mereka akhirnya bertemu pasukan penakluk, menyerah, dan diperlakukan terhina. Diponegoro terluka ketika keris pusakanya disita. Lokasi pertemuan itu diperkirakan di sekitar Pasar Ngasem atau Tamansari.


Pasukan yang menemukan Putra Mahkota dan Diponegoro dipimpin Mayor Dennis H Dalton, didampingi Sekretaris Residen Yogyakarta John Deans dan Kapiten Cina Tan Jing Sing. Mereka kemudian dibawa ke Wisma Residen (sekarang Gedung Agung).


Kedatangan Putra Mahkota di Wisma Residen disambut dingin. Pangeran Notokusumo, atau pamannya yang membelot, hanya memandangi kemenakannya itu tanpa bertegur sapa. Saat itu jarum jam menunjuk angka tujuh pagi.


Berita tertangkapnya Putra Mahkota membuat raja syok. Sultan akhirnya memerintahkan bendera putih dikibarkan, dan prajuritnya meletakkan senjata. Penyerahan damai ini diharapkan meredam kemarahan penyerbu.


Kolonel Gillespie memasuki kedaton, dan masih menghadapi sejumlah kecil perlawanan yang berpusat di komplek Masjid Suronatan di sebelah barat pendopo Srimanganti. Di tempat inilah Sultan dan pengikutnya bersiap menyerahkan diri ke Gillespie.


* Abror Subhi

Dari berbagai sumber

No comments:

Post a Comment