supersemar
Letjen Purn. Alamsyah Ratu Perwiranegara: Kisah Di Balik Supersemar
Memasuki tahun 1966 kegiatan kesatuan aksi makin meningkat karena Presiden Sukarno masih menganggap peristiwa terbunuhnya enam jenderal oleh G30S peristiwa kecil. Beliau tetap tidak mau membubarkan PKI. Pada tanggal 10 Januari 1966 puluhan ribu mahasiswa, pemuda, dan pelajar memenuhi jalan-jalan di pusat kota Jakarta. Mereka mencanangkan Tritura: Bubarkan PKI, turunkan harga, dan retool Kabinet 100 Menteri. Berbagai ormas yang tergabung dalam Front Pancasila juga makin keras mendesak Bung Karno untuk membubarkan PKI.
Sementara itu Brigjen Alamsyah juga mengetahui bahwa Jenderal Suharto sudah berulangkali menyampaikan kepada Bung Karno semua tuntutan mahasiswa, pemuda, pelajar, dan Front Pancasila yang didukung TNI-AD agar PKI dibubarkan. Tuntutan tersebut makin keras. Oleh sebab itu untuk menenangkan keadaan satu-satunya jalan adalah membubarkan PKI. Tapi Bung Karno tetap pada pendiriannya. Akhirnya pak Harto tidak mau bicara lagi masalah itu dengan Presiden Sukarno. Sudah patah arang.
Pada tanggal 24 Februari 1966 malam. Mayjen Basuki Rahmat, Ketua Tim Politik Pembantu Pak Harto, mengundang Brigjen Alamsyah dan Brigjen Sutjipto SH ke rumahnya. Mereka mendiskusikan situasi yang makin kritis karena di satu pihak tekanan untuk meminta Presiden Sukarno membubarkan PKI semakin kuat. Di pihak lain Bung Karno tetap menolaknya. Jika dua kondisi ini berbenturan lalu meledak, akibatnya akan sangat buruk bagi keamanan negara. Sebagai penanggung jawab keamanan tentu Jenderal Suharto yang paling bertanggungjawab. Oleh sebab itu perlu dicari solusi untuk mencegahnya. Sementara pak Suharto sudah tidak mau lagi membicarakan masalah pembubaran PKI dengan Bung Karno. Karena itu diperlukan orang ketiga yang bisa meyakinkan Bung Karno agar bersedia membubarkan PKI. Jika tidak mungkin bagi Bung Karno secara langsung membubarkan PKI, karena malu ternyata ide Nasakomnya tidak bisa dilaksanakan, Presiden Sukarno bisa memberi kuasa kepada pihak lain. Jenderal Suharto sebagai penanggungjawab keamanan tentu bersedia melaksanakan tugas tersebut.
Pak Alamsyah menangkap bahwa ia yang diharapkan untuk melaporkan kepada pak Harto hasil pembicaraan mereka tersebut. Pada tanggal 26 Februari 1966 pagi pak Alamsyah menghadap pak Harto di rumahnya. Alamsyah menyampaikan hasil pembicaraan mereka di rumah Mayjen Basuki Rahmat. Pak Harto spontan menjawab tidak mau lagi bicara pembubaran PKI dengan Bung Karno. Pak Alamsyah mengatakan kali ini dicoba menggunakan pihak ketiga yang merupakan sahabat dekat Bung Karno. Brigjen Alamsyah mengusulkan nama AM Dasaat. Mereka sudah berteman sejak tahun 1929 di Bandung, kata Alamsyah. Apa dia mau, kata pak Harto. Saya kira mau jawab Alamsyah.
Kemudian pak Alamsyah diminta menghubungi pak Dasaat. Dengan berbagai pertimbangan pak Dasaat menolak, karena tidak tega meminta sahabatnya Bung Karno menyerahkan kekuasaan kepada orang lain. Pak Alamsyah mengingatkan pak Dasaat bahwa semuanya untuk kebaikan Bung Karno pribadi dan bagi bangsa. Kemudian Alamsyah mengajak pak Dasaat menemui pak Harto di rumahnya agar pak Dasaat bisa mendengar langsung dari pak Harto. Setelah mendengar penjelasan pak Harto, pak Dasaat pun menerima tugas tersebut.
Beberapa hari kemudian pak Dasaat memberitahu Alamsyah bahwa ia tidak berani pergi sendiri. Beliau minta ditemani Hasyim Ning yang juga sahabat dekat Bung Karno, dan telah kenal Bung Karno sejak masih di Bengkulu. Pak Harto dan Alamsyah tidak keberatan.
Dengan dibekali surat pengantar dari pak Harto pergilah mereka menemui Bung Karno di Bogor. Tapi surat pengantar itu hanya digunakan agar bisa melewati banyak penjagaan dari Jakarta ke istana Bogor. Kepada Bung tidak diperlihatkan sama sekali, karena bisa menimbulkan kecurigaan Bung Karno.
Sesampainya di istana Bogor, Bung Karno menyambut mereka dengan ramah. Mereka bicara berbagai hal sebagai sahabat lama yang sudah lama tidak bertemu. Namun tidak mudah bagi Dasaat dan Hasyim Ning memulai menyampaikan maksudnya kepada Bung Karno. Mereka takut Bung Karno tersinggung lalu marah. Namun tetap saja Bung Karno tidak senang ketika mereka menyampaikan solusi mengatasi keadaan yang membahayakan keselamatan bangsa. Mereka tetap berusaha meyakinkan Bung Karno bahwa itu semua untuk kebaikan Bung Karno dan bangsa. Akhirnya Bung Karno mengatakan kepada mereka bahwa beliau akan memikirkan jalan terbaik, juga akan meminta pendapat kabinet.
Menurut Alamsyah, pak Dasaat dan Hasyim Ning mengatakan bahwa Bung Karno akan menjelaskan bagaimana mengatasi kemelut akibat peristiwa G30S pada sidang kabinet tanggal 11 Maret 1966. Termasuk tata cara memberikan kekuasaan kepada Menpangad/Pangkokamtib Jenderal Suharto untuk mengatasi situasi gawat tersebut. Sayang sidang kabinet tidak berlangsung sampai selesai. Karena ada ancaman keamanan terpaksa Bung Karno, Subandrio, dan Chairul Saleh meninggalkan rapat menuju Bogor dengan Helikopter.
Sumber: "H.ARPN; Perjalanan Hidup Seorang
Anak Yatim."

No comments:
Post a Comment