Presiden Soekarno, ibu Tien dan Letjen Soeharto saat dilantik sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) pada 16 Oktober 1965 oleh Presiden Soekarno, menggantikan Jenderal A. Yani yang gugur dalam peristiwa G30S. Pelantikan ini dilakukan di Istana Negara Jakarta. Sebelumnya Soeharto ditunjuk sebagai Pangkopkamtib 2 Oktober 1965.
.... berani menjalani kehidupan, adalah sebuah konsekuensi untuk ikut membangun sebuah peradaban yang lebih bertanggung jawab ...
08 October 2025
Presiden Soekarno, ibu Tien dan Letjen Soeharto saat dilantik sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) pada 16 Oktober 1965 oleh Presiden Soekarno, menggantikan Jenderal A. Yani yang gugur dalam peristiwa G30S. Pelantikan ini dilakukan di Istana Negara Jakarta. Sebelumnya Soeharto ditunjuk sebagai Pangkopkamtib 2 Oktober 1965.
05 October 2025
Letnan dua Sintong Panjaitan dan G30S. Terjadinya Gerakan 30 September (G30S) membatalkan rencana penerjunan pasukan Sintong di perbatasan Kalimantan. Sintong sebagai bagian dari Kompi yang berada di bawah pimpinan Lettu Inf. Feisal Tanjung kemudian berperan aktif dalam menggagalkan G30S. Sintong memimpin 1 Peleton pasukan untuk merebut stasiun/kantor pusat Radio Republik Indonesia (RRI) pada 1 Oktober malam1965. Ada yang menarik saat pasukanya menguasai RRI dan mensweping ruangan demi ruangan. Dan setelah memastikan RRI dikuasi ia melaporkanya kepada kol Sarwo edhi. Tapi Kol Sarwo malah memerintahkan lagi untuk memeriksanya lagi karena pengumuman G30S masih terus berkumandang. Setelah masuk ruang siar ternyata itu merupakan suara rekaman. Sintong bingung cara untuk mem4tikanya. Hampir saja ia menghancurkan alat pemutar rekaman itu. Untung saja salah satu kru RRI segera mem4tikanya. "Dasar kau orang kampung" kata Kolonel Sarwo. Kapuspen AD Brigjen TNI Ibnu Subroto kemuduan menyiarkan amanat Mayjen TNI Soeharto. Sintong juga turut serta dalam mengamankan Lapangan Udara Halim Perdanakusuma, dan memimpin anak buahnya dalam penemuan sumur tua di Lubang Bu4ya. Setelah itu Sintong dikirim ke Jawa tengah untuk melancarkan operasi pemulihan keamanan dan ketertiban di Jawa Tengah. Pasukanya menyisir sekitar Semarang, Demak, Blora, Kudus, Cepu, Salatiga, Boyolali, dan Yogyakarta.
Letnan dua Sintong Panjaitan dan G30S.
Terjadinya Gerakan 30 September (G30S) membatalkan rencana penerjunan pasukan Sintong di perbatasan Kalimantan. Sintong sebagai bagian dari Kompi yang berada di bawah pimpinan Lettu Inf. Feisal Tanjung kemudian berperan aktif dalam menggagalkan G30S. Sintong memimpin 1 Peleton pasukan untuk merebut stasiun/kantor pusat Radio Republik Indonesia (RRI) pada 1 Oktober malam1965. Ada yang menarik saat pasukanya menguasai RRI dan mensweping ruangan demi ruangan. Dan setelah memastikan RRI dikuasi ia melaporkanya kepada kol Sarwo edhi. Tapi Kol Sarwo malah memerintahkan lagi untuk memeriksanya lagi karena pengumuman G30S masih terus berkumandang. Setelah masuk ruang siar ternyata itu merupakan suara rekaman. Sintong bingung cara untuk mem4tikanya. Hampir saja ia menghancurkan alat pemutar rekaman itu. Untung saja salah satu kru RRI segera mem4tikanya.
"Dasar kau orang kampung" kata Kolonel Sarwo. Kapuspen AD Brigjen TNI Ibnu Subroto kemuduan menyiarkan amanat Mayjen TNI Soeharto.
Sintong juga turut serta dalam mengamankan Lapangan Udara Halim Perdanakusuma, dan memimpin anak buahnya dalam penemuan sumur tua di Lubang Bu4ya. Setelah itu Sintong dikirim ke Jawa tengah untuk melancarkan operasi pemulihan keamanan dan ketertiban di Jawa Tengah.
Pasukanya menyisir sekitar Semarang, Demak, Blora, Kudus, Cepu, Salatiga, Boyolali, dan Yogyakarta.
Petunjuk Sukitman: Kunci Ditemukannya Jenazah Pahlawan Revolusi di Lubang Buaya Tanggal 1 Oktober 1965 menjadi malam penuh ketegangan dalam sejarah Indonesia. Saat itu, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo bersama pasukan RPKAD mendapat perintah dari Pangkostrad untuk menyerbu Pangkalan Halim Perdanakusuma. Operasi ini digelar menjelang dini hari agar dapat meminimalisasi korban jiwa. Pasukan dibagi menjadi dua poros: dari arah timur, 5 tim RPKAD dengan 1 kompi panser bergerak, sementara dari arah Cawang, Batalyon Raider yang diperkuat 22 tank ikut maju. Semuanya berada di bawah komando Sarwo Edhie. Namun, penyerbuan berlangsung dalam keadaan tergesa-gesa karena matahari mulai terbit, bahkan ada panser yang sempat nyasar masuk ke Halim lebih dulu. Misi utama penyerbuan ini bukan hanya untuk merebut Halim dari kendali G30S, melainkan juga mencari jenazah para jenderal yang telah diculik. Namun hingga esok harinya, hasilnya nihil. Titik terang muncul ketika seorang polisi bernama Sukitman yang ikut diculik dini hari 1 Oktober namun berhasil lolos dari maut memberikan kesaksian. Ia mengaku sempat melihat seseorang ditutup matanya dan digiring ke samping rumah, lalu terdengar rentetan tembakan serta sorak sorai. Menurutnya, peristiwa itu terjadi di Lubang Buaya. Berbekal informasi Sukitman, pasukan RPKAD menuju lokasi. Namun, jejak awal sulit ditemukan karena area perkebunan karet sudah ditutupi pasir. Hingga akhirnya seorang anggota RPKAD menggunakan bayonet untuk menusuk tanah layaknya mencari ranjau. Dari situ, tanah yang lebih gembur ditemukan, disertai tali kuning dan dedaunan hijau yang masih segar. Ketika penggalian dilakukan, seorang warga yang ikut membantu pingsan setelah menemukan bagian kaki manusia. Malam itu juga Sarwo Edhie segera melaporkan penemuan tersebut kepada Soeharto. Keesokan harinya, Soeharto sendiri yang memimpin langsung penggalian sumur maut di Lubang Buaya. Dan tepat pada 5 Oktober 1965, bertepatan dengan HUT ABRI, tujuh jenazah Pahlawan Revolusi diangkat dan dimakamkan secara khidmat di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Peran Sukitman menjadi kunci penting terbongkarnya kejahatan kejam G30S, sekaligus saksi bisu betapa gelapnya sejarah bangsa di masa itu. Sumber : Om Phol #SarwoEdhie #Sukitman #LubangBuaya #PahlawanRevolusi #SejarahIndonesia #G30SPKI #Tragedi1965
Petunjuk Sukitman: Kunci Ditemukannya Jenazah Pahlawan Revolusi di Lubang Buaya
Tanggal 1 Oktober 1965 menjadi malam penuh ketegangan dalam sejarah Indonesia. Saat itu, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo bersama pasukan RPKAD mendapat perintah dari Pangkostrad untuk menyerbu Pangkalan Halim Perdanakusuma. Operasi ini digelar menjelang dini hari agar dapat meminimalisasi korban jiwa.
Pasukan dibagi menjadi dua poros: dari arah timur, 5 tim RPKAD dengan 1 kompi panser bergerak, sementara dari arah Cawang, Batalyon Raider yang diperkuat 22 tank ikut maju. Semuanya berada di bawah komando Sarwo Edhie. Namun, penyerbuan berlangsung dalam keadaan tergesa-gesa karena matahari mulai terbit, bahkan ada panser yang sempat nyasar masuk ke Halim lebih dulu.
Misi utama penyerbuan ini bukan hanya untuk merebut Halim dari kendali G30S, melainkan juga mencari jenazah para jenderal yang telah diculik. Namun hingga esok harinya, hasilnya nihil.
Titik terang muncul ketika seorang polisi bernama Sukitman yang ikut diculik dini hari 1 Oktober namun berhasil lolos dari maut memberikan kesaksian. Ia mengaku sempat melihat seseorang ditutup matanya dan digiring ke samping rumah, lalu terdengar rentetan tembakan serta sorak sorai. Menurutnya, peristiwa itu terjadi di Lubang Buaya.
Berbekal informasi Sukitman, pasukan RPKAD menuju lokasi. Namun, jejak awal sulit ditemukan karena area perkebunan karet sudah ditutupi pasir. Hingga akhirnya seorang anggota RPKAD menggunakan bayonet untuk menusuk tanah layaknya mencari ranjau. Dari situ, tanah yang lebih gembur ditemukan, disertai tali kuning dan dedaunan hijau yang masih segar.
Ketika penggalian dilakukan, seorang warga yang ikut membantu pingsan setelah menemukan bagian kaki manusia. Malam itu juga Sarwo Edhie segera melaporkan penemuan tersebut kepada Soeharto.
Keesokan harinya, Soeharto sendiri yang memimpin langsung penggalian sumur maut di Lubang Buaya. Dan tepat pada 5 Oktober 1965, bertepatan dengan HUT ABRI, tujuh jenazah Pahlawan Revolusi diangkat dan dimakamkan secara khidmat di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Peran Sukitman menjadi kunci penting terbongkarnya kejahatan kejam G30S, sekaligus saksi bisu betapa gelapnya sejarah bangsa di masa itu.
Sumber : Om Phol
#SarwoEdhie #Sukitman #LubangBuaya #PahlawanRevolusi #SejarahIndonesia #G30SPKI #Tragedi1965
TRAGEDI MANGUNYUDA SEDALOJI Tahun 1743 terjadi peristiwa besar di istana Mataram Kartasura. Geger Pacina atau pemberontakan orang Cina melawan Belanda. Raja Mataram, Paku Buwana II, memanfaatkan gerakan itu. Mendukung pemberontak Cina. Termasuk mengijinkan pasukan Cina menyerang benteng Belanda di Kartasura. Sang raja yang selama ini benci Belanda namun tidak bisa melawan, merasa mendapat tunggangan. Maka diperintahkanlah Ngabehi Mangunyuda, Kliwon Banyumas, untuk memimpin penyerangan ke benteng Belanda. Pesannya, "Seluruh prajurit Belanda yang berjaga di ruang bawah boleh dibunuh, tapi sepasang suami istri di ruang atas jangan dibunuh." Maka demikianlah. Malam harinya, Ngabehi Mangunyuda memimpin pasukannya menyerbu benteng Belanda. Terjadilah pertempuran sengit. Prajurit Belanda berhasil ditumpas dalam penyerangan malam ini. Namun, semua prajuritnya juga terbunuh. Melihat hal itu, Ngabehi Mangunyuda kalap. Marah luar biasa. Ingin membalas dengan membunuh seluruh orang Belanda. Maka diburulah orang Belanda yang masih ada di dalam benteng, di ruangan atas. Tanpa diketahui olehnya, di ruang atas benteng ada sepasang suami istri berpakaian Belanda. Keduanya adalah Raja Mataram, Paku Buwana II bersama istrinya yang sedang menyamar. Dalam gelap malam, dengan gelap mata, ingin dibunuh semua orang Belanda dalam benteng itu. Sementara, Paku Buwana II yang berpakaian Belanda panik. Perintahnya agar dua orang di ruang atas jangan dibunuh, ternyata diabaikan oleh Ngabehi Mangunyuda. Maka, ketika sang ngabehi sampai di tangga atas, dilemparlah gada-gada besi yang sangat berat ke arahnya Dari berat puluhan kilo hingga ratusan kilo. Gada-gada yang kemudian menghantam tubuh Ngabehi Mangunyuda. Robohlah badannya dengan luka parah, ambruk ke bawah. Ketika melihat gada-gada itu, ia mengenali senjata tersebut, milik Paku Buwana II. Hingga, teringatlah pesannya bahwa agar jangan membunuh dua orang di lantai atas benteng. Ngabehi Mangunyuda marah luar biasa. Ia merasa dikibuli. Diperintahkan menyerang benteng Belanda, tapi rajanya justru berlindung dengan menyamar di dalam benteng itu. Maka, dalam amarah penuh serapah ia bersumpah, tidak rela anak keturunannya menjadi bawahan Keraton Mataram lagi. Dengan luka sekujur badan, darah membasah ke seluruh pakaian, Ngabehi Mangunyuda pun gugur bersama seluruh pasukannya. Gugur membela kerajaan, namun dikhianati rajanya. Ketika itu, Ngabehi Mangunyuda mengenakan pakaian berupa ikat kepala berwarna wulung, baju dan celana keprajuritan berwarna putih. Jenazahnya dibawa pulang ke Banjar. Dimakamkan di Petambakan. Pakaian yang dikenakan, yang berlumur darah, disimpan oleh keturunannya. (Sumber: Babad Banyumas) #books #wrapped #jayz #hotgilrsummer #holidaycookies #presents
TRAGEDI MANGUNYUDA SEDALOJI
Tahun 1743 terjadi peristiwa besar di istana Mataram Kartasura. Geger Pacina atau pemberontakan orang Cina melawan Belanda.
Raja Mataram, Paku Buwana II, memanfaatkan gerakan itu. Mendukung pemberontak Cina. Termasuk mengijinkan pasukan Cina menyerang benteng Belanda di Kartasura.
Sang raja yang selama ini benci Belanda namun tidak bisa melawan, merasa mendapat tunggangan.
Maka diperintahkanlah Ngabehi Mangunyuda, Kliwon Banyumas, untuk memimpin penyerangan ke benteng Belanda.
Pesannya, "Seluruh prajurit Belanda yang berjaga di ruang bawah boleh dibunuh, tapi sepasang suami istri di ruang atas jangan dibunuh."
Maka demikianlah. Malam harinya, Ngabehi Mangunyuda memimpin pasukannya menyerbu benteng Belanda.
Terjadilah pertempuran sengit. Prajurit Belanda berhasil ditumpas dalam penyerangan malam ini. Namun, semua prajuritnya juga terbunuh.
Melihat hal itu, Ngabehi Mangunyuda kalap. Marah luar biasa. Ingin membalas dengan membunuh seluruh orang Belanda. Maka diburulah orang Belanda yang masih ada di dalam benteng, di ruangan atas.
Tanpa diketahui olehnya, di ruang atas benteng ada sepasang suami istri berpakaian Belanda. Keduanya adalah Raja Mataram, Paku Buwana II bersama istrinya yang sedang menyamar.
Dalam gelap malam, dengan gelap mata, ingin dibunuh semua orang Belanda dalam benteng itu.
Sementara, Paku Buwana II yang berpakaian Belanda panik. Perintahnya agar dua orang di ruang atas jangan dibunuh, ternyata diabaikan oleh Ngabehi Mangunyuda.
Maka, ketika sang ngabehi sampai di tangga atas, dilemparlah gada-gada besi yang sangat berat ke arahnya Dari berat puluhan kilo hingga ratusan kilo.
Gada-gada yang kemudian menghantam tubuh Ngabehi Mangunyuda. Robohlah badannya dengan luka parah, ambruk ke bawah.
Ketika melihat gada-gada itu, ia mengenali senjata tersebut, milik Paku Buwana II. Hingga, teringatlah pesannya bahwa agar jangan membunuh dua orang di lantai atas benteng.
Ngabehi Mangunyuda marah luar biasa. Ia merasa dikibuli. Diperintahkan menyerang benteng Belanda, tapi rajanya justru berlindung dengan menyamar di dalam benteng itu.
Maka, dalam amarah penuh serapah ia bersumpah, tidak rela anak keturunannya menjadi bawahan Keraton Mataram lagi.
Dengan luka sekujur badan, darah membasah ke seluruh pakaian, Ngabehi Mangunyuda pun gugur bersama seluruh pasukannya. Gugur membela kerajaan, namun dikhianati rajanya.
Ketika itu, Ngabehi Mangunyuda mengenakan pakaian berupa ikat kepala berwarna wulung, baju dan celana keprajuritan berwarna putih.
Jenazahnya dibawa pulang ke Banjar. Dimakamkan di Petambakan.
Pakaian yang dikenakan, yang berlumur darah, disimpan oleh keturunannya.
(Sumber: Babad Banyumas)
#books #wrapped #jayz #hotgilrsummer #holidaycookies #presents
1677: Raden Kajoran Memimpin Ponorogo Melawan Amangkurat I Pada tahun 1677, jauh di lereng selatan Pegunungan Wilis, di wilayah Ponorogo yang saat itu menjadi bagian penting dari lintasan selatan Mataram, terjadi sebuah babak perlawanan rakyat yang terlupakan dalam narasi besar historiografi Jawa abad ke-17. Di tempat inilah Raden Kajoran, tokoh mistik-politik yang telah lama menjadi duri dalam daging Kesultanan Mataram, bertransformasi dari seorang bangsawan spiritual menjadi inspirator pemberontakan rakyat. Bersama cucu Pangeran Tepasana, Raden Gogok, dan jaringan perlawanan lokal yang menjangkau hingga Madura, Kajoran mengilhami bangkitnya "gelombang dari selatan" yang mengguncang kekuasaan Sunan Amangkurat I. Peristiwa di Ponorogo ini terjadi bersamaan dengan ofensif besar Trunajaya dari arah timur, menciptakan tekanan ganda yang nyaris melumpuhkan jantung Mataram. Perlawanan yang meletus bukan semata pemberontakan bersenjata, tetapi juga manifestasi dendam sejarah, spiritualitas Islam-Jawa, dan resistensi terhadap sistem kekuasaan absolut yang korup dan disfungsional. * Raden Kajoran: Dari Taji ke Pangaran Bertentangan dengan cerita tutur Jawa, Raden Kajoran tidak langsung melarikan diri ke Jawa Timur setelah kekalahannya di Taji pada akhir 1676. Berdasarkan catatan harian Kiai Mirmagati, syahbandar yang juga bertindak sebagai penerjemah VOC, pada 5 Februari 1677 disebutkan bahwa sekitar 1.000 orang dari kawasan pantai selatan sedang bergerak menuju Mataram dengan niat permusuhan. Mereka berada di Semangi, dekat Bengawan Solo, hanya sehari perjalanan dari ibu kota. Empat hari kemudian, informasi yang lebih rinci diperoleh dari Tanumenggala: musuh diperkirakan berjumlah antara 5.000 hingga 10.000 orang, dipimpin oleh Raden Gogok, cucu Pangeran Tepasana, salah satu anggota keluarga istana yang memiliki motif balas dendam atas pembunuhan anggota keluarganya pada 1661 oleh perintah Sunan sendiri. Catatan VOC pada 12 Februari mencatat keberadaan Kajoran di "Pangaran" (kemungkinan besar merujuk pada wilayah Ponorogo), sekitar tiga hari perjalanan ke timur Mataram. Ia memakai gelar Panembahan Amattagama atau Panatagama, dan hidup menyendiri layaknya pertapa. Namun di balik pengasingan itu, Kajoran aktif menggerakkan massa melalui karisma spiritual dan jaringan keluarga—ia bukan sekadar pelarian, tapi pusat medan magnet perlawanan ideologis. * Dendam Pangeran Tepasana dan Kebangkitan Jaringan Selatan Tidak mengherankan bila Pangeran Tepasana—dan keturunannya—memilih berpihak pada gerakan anti-Sunan Amangkurat I. Peristiwa eksekusi anggota keluarga mereka pada 1661 menjadi luka historis yang belum sembuh. Gerakan ini tidak hanya membangkitkan jaringan aristokrat marginal, tapi juga menyatukan kekuatan rakyat pesisir selatan, dari pantai selatan hingga tanah pedalaman. Kekuasaan Tanumenggala mulai terkikis akibat aksi-aksi ofensif dari pasukan Gogok. Menariknya, dalam operasi itu tidak ditemukan keterlibatan tentara bayaran Makassar maupun Sampang, melainkan hanya milisi lokal yang dengan terang-terangan menyatakan kesetiaan pada Trunajaya. Ini menandai transformasi penting: pemberontakan tidak lagi bergantung pada kekuatan eksternal, melainkan tumbuh sebagai gerakan lokal dengan legitimasi moral dan ideologis. Raden Trunajaya, dalam suratnya kepada utusan Belanda tertanggal 5 Februari 1677, menyebut bahwa semua penasihatnya telah dikirim ke Mataram dan sekitarnya untuk melancarkan perang. Ia bahkan menduga bahwa Sunan telah meninggalkan Mataram dan menyerahkan kekuasaan kepada keempat putranya. Ini bukan sekadar propaganda, karena pengamatan VOC menunjukkan gejala-gejala bahwa istana memang kehilangan sentralitas politik. Trunajaya secara terbuka menyebut dirinya sebagai keturunan raja Majapahit dan mengklaim hak atas takhta Mataram, sebagaimana termaktub dalam catatan Opkomst (jilid VII, hlm. 929–993). Dengan kata lain, konflik tahun 1677 adalah juga perebutan legitimasi warisan peradaban Jawa antara dua garis kekuasaan: Mataram Islam dan warisan Hindu-Buddha Majapahit yang bertransformasi dalam gerakan Trunajaya-Kajoran. Laporan pejabat istana Jagapati, yang berangkat dari 16 Februari hingga 14 Maret 1677, mencatat bahwa pada 6 Maret, pasukan Pangeran Kajoran telah berkemah di seberang Bengawan Solo dan siap mengepung Mataram. Dengan kekuatan sekitar 20.000 orang, mereka bermaksud menduduki pusat kekuasaan dan selanjutnya bergerak ke Jepara untuk mengusir VOC. Namun, sebelum niat itu terealisasi, laporan dari Jepara tertanggal 21 Maret mengindikasikan bahwa operasi gabungan Mataram dan VOC berhasil mengusir Kajoran. Ia dilaporkan melarikan diri ke Kediri. Ini menjadi penanda bahwa meskipun secara ideologis kuat, logistik dan koordinasi pasukan selatan belum mampu menandingi mesin kekuatan militer VOC-Mataram. Tidak tinggal diam, dari dalam Mataram dilancarkan serangan balasan ke arah utara, dipimpin oleh Pangeran Martasana. Serangan ini merupakan upaya simbolik mengembalikan kewibawaan istana dan menunjukkan bahwa kekuasaan pusat masih punya gigi. Namun, pertempuran yang berlangsung sporadis dan brutal ini menunjukkan bahwa Mataram tidak lagi menjadi satu entitas politik-militer yang stabil. * Historiografi dan Spiritualitas Perlawanan Historiografi resmi kolonial seringkali mengecilkan peran Kajoran dan jaringan selatan sebagai "pemberontak eksentrik." Namun pendekatan spiritual-politik yang dipakai Kajoran justru menjadi ruh perlawanan rakyat. Dengan menyepi dan menolak keduniawian, ia justru memperoleh legitimasi moral tinggi di mata masyarakat. Dalam gaya yang mengingatkan kita pada para wali, Kajoran memadukan dakwah, etika, dan strategi politik yang membentuk sinergi antara sufisme dan gerakan rakyat. Penulis pernah mencatat bahwa “dalam sejarah Jawa, gerakan rakyat tak pernah murni sekadar ekonomi atau politik; ia selalu memiliki akar spiritual dan dendam sejarah.” Apa yang terjadi di Ponorogo pada tahun 1677 merupakan cerminan nyata dari pernyataan tersebut. * Warisan Kajoran dan Denyut Ponorogo Baca Juga : Jejak Sunan Ampel: Dari Champa ke Majapahit, Menyebar Islam Lewat Pesantren dan Perkawinan Meski akhirnya gagal merebut Mataram, gerakan Kajoran-Ponorogo membuka babak baru dalam sejarah perlawanan Jawa. Ia bukan hanya pemberontakan, tetapi kritik total atas dekadensi kekuasaan. Dengan mengandalkan jaringan lokal, spiritualitas, dan memori luka sejarah, Raden Kajoran dan para sekutunya menunjukkan bahwa perlawanan bisa bertumbuh dari pinggiran, dari poncokan, dari lumbung desa, bukan hanya dari benteng atau istana. Sejarah mencatat nama-nama besar seperti Trunajaya, namun lupa mencatat akar dan percikan yang menghidupkan bara: Ponorogo dan Raden Kajoran. Kini, dengan menelaah ulang peristiwa Februari–Maret 1677, kita melihat perlawanan bukan sebagai sekadar pengkhianatan, tapi sebagai usaha terakhir untuk menegakkan kebenaran dalam carut-marut kekuasaan yang kehilangan ruh. * Raden Kajoran: Mertua dan Guru Trunajaya dalam Pemberontakan Mataram Dalam sejarah Jawa abad ke-17, kisah pemberontakan Trunajaya kerap diposisikan sebagai peristiwa besar yang mengguncang sendi kekuasaan Mataram dan membuka jalan masuknya pengaruh VOC secara lebih dalam. Namun di balik figur Trunajaya sebagai pemimpin laskar Madura dan Makassar, berdiri sosok tua karismatik dari pegunungan selatan: Raden Kajoran, dikenal pula sebagai Panembahan Rama. Ia bukan hanya mertua Trunajaya, tetapi juga pembimbing spiritual dan konseptor ideologis pemberontakan besar itu. Raden Kajoran bukan bangsawan keraton, tetapi ia berdarah biru dari jalur Sunan Tembayat dan Ki Ageng Giring. Sebagai ulama dan kiai yang dihormati di wilayah Kajoran, Klaten, pengaruhnya melampaui sekadar urusan agama. Ia dikenal sebagai guru para bangsawan, penasihat kerohanian, dan penengah bagi rakyat kecil yang tertindas oleh feodalisme dan korupsi birokrasi keraton. Pertemuan Kajoran dengan Trunajaya bukanlah sekadar kebetulan sejarah, melainkan hasil dari arus kekecewaan bersama terhadap rezim Amangkurat I yang represif. Trunajaya sendiri merupakan keturunan bangsawan Madura, cucu dari Sultan Cakraningrat I. Ayahnya, Raden Malayakusuma, wafat dalam pemberontakan 1656. Diasuh pamannya yang kelak menjadi Cakraningrat II, Trunajaya mengalami ketegangan di lingkungan istana Mataram, hingga akhirnya terusir dan terlunta di antara orang-orang Madura di pedalaman Jawa. Dalam kondisi terbuang, Trunajaya menemukan pelindung dan guru dalam diri Raden Kajoran. Bukan hanya perlindungan, Kajoran juga memberi visi. Ia tak melihat Trunajaya sebagai anak muda yang frustrasi, tapi sebagai "pahlawan besar" yang akan mengguncang kekuasaan yang zalim. Pandangan ini disampaikan melalui cerita tutur yang hidup hingga kini, bahwa Kajoran menempatkan Trunajaya sebagai alat Ilahi untuk membersihkan Mataram dari kekotoran batin dan penyimpangan moral. Ikatan mereka dipererat melalui pernikahan: Trunajaya menikahi putri Kajoran pada 15 Maret 1677, dalam perjodohan yang disahkan secara resmi oleh pejabat Japara. Tapi jauh sebelum itu, sejak 1670-an, telah terbentuk aliansi diam-diam antara Trunajaya, Raden Kajoran, dan Pangeran Adipati Anom, putra mahkota Mataram. Mereka bertiga bersepakat menjatuhkan Amangkurat I. Trunajaya bertindak sebagai pemimpin pasukan, Kajoran sebagai penopang moral dan spiritual, dan Adipati Anom menjaga posisi dari dalam keraton. Pemberontakan meletus tahun 1674 dan mencapai puncaknya pada 1676, ketika Trunajaya—dengan dukungan laskar Makassar di bawah Karaeng Galesong—merebut Surabaya. Laskar Madura dan pasukan Kajoran ikut serta. Dalam pertempuran Gegodog, pasukan Mataram yang dipimpin Adipati Anom sendiri kalah telak. Kemenangan ini memudahkan Trunajaya merebut Kudus, Demak, dan kota-kota pesisir lainnya. Juni 1677, Plered diserbu dan jatuh. Amangkurat I lari ke barat, lalu wafat dalam pelarian. Trunajaya, yang tahu Adipati Anom kini bersekutu dengan VOC, menolak menyerahkan kekuasaan. Ia memproklamirkan diri sebagai raja bergelar Panembahan Maduretno di Kediri. Kajoran memilih mundur ke daerah asalnya, tetapi tetap menjaga jaringan perlawanan dan api ideologis pemberontakan. Bagi rakyat di pedalaman, Kajoran adalah wali, bukan pemberontak. Ia dihormati, bukan karena kekuatan militer, melainkan karena keteguhan spiritual dan keberpihakan kepada kaum lemah. Namun takdir sejarah menempatkannya dalam posisi terjepit. VOC yang kini menjadi sekutu Mataram mengirim pasukan. Tahun 1679, Kajoran ditangkap dan dihukum mati. Eksekusinya dilakukan bukan karena ia bersenjata, tetapi karena ia berbahaya secara ideologis. Sebab ia adalah simbol moral pemberontakan. Trunajaya sendiri ditangkap di Gunung Kelud beberapa bulan kemudian dan dieksekusi pada Januari 1680. Meski pemberontakan mereka gagal secara militer, namun secara moral dan historis, ia mengguncang legitimasi dinasti Mataram. Dalam narasi babad dan cerita rakyat, Trunajaya dan Kajoran tidak dikenang sebagai pemberontak biasa. Mereka adalah simbol pembangkangan terhadap ketidakadilan. Trunajaya sebagai pemimpin rakyat tertindas, Kajoran sebagai wali yang menjaga kesucian niat perjuangan. Dalam pandangan penulis, sejarah Jawa tak pernah sekadar cerita kekuasaan. Ia adalah sejarah rasa, sejarah luka, dan sejarah keyakinan. Raden Kajoran mewakili warisan spiritual yang memilih berhadapan dengan kekuasaan yang korup, meski harus dihukum mati. Ia bukan sekadar mertua Trunajaya—ia adalah sang guru perlawanan. Dan dalam ingatan sejarah Jawa, nama Kajoran tak akan pernah lekang sebagai wali yang mengguncang tahta. * Abror Subhi Dari berbagai sumber
1677: Raden Kajoran Memimpin Ponorogo Melawan Amangkurat I
Pada tahun 1677, jauh di lereng selatan Pegunungan Wilis, di wilayah Ponorogo yang saat itu menjadi bagian penting dari lintasan selatan Mataram, terjadi sebuah babak perlawanan rakyat yang terlupakan dalam narasi besar historiografi Jawa abad ke-17.
Di tempat inilah Raden Kajoran, tokoh mistik-politik yang telah lama menjadi duri dalam daging Kesultanan Mataram, bertransformasi dari seorang bangsawan spiritual menjadi inspirator pemberontakan rakyat. Bersama cucu Pangeran Tepasana, Raden Gogok, dan jaringan perlawanan lokal yang menjangkau hingga Madura, Kajoran mengilhami bangkitnya "gelombang dari selatan" yang mengguncang kekuasaan Sunan Amangkurat I.
Peristiwa di Ponorogo ini terjadi bersamaan dengan ofensif besar Trunajaya dari arah timur, menciptakan tekanan ganda yang nyaris melumpuhkan jantung Mataram. Perlawanan yang meletus bukan semata pemberontakan bersenjata, tetapi juga manifestasi dendam sejarah, spiritualitas Islam-Jawa, dan resistensi terhadap sistem kekuasaan absolut yang korup dan disfungsional.
* Raden Kajoran: Dari Taji ke Pangaran
Bertentangan dengan cerita tutur Jawa, Raden Kajoran tidak langsung melarikan diri ke Jawa Timur setelah kekalahannya di Taji pada akhir 1676. Berdasarkan catatan harian Kiai Mirmagati, syahbandar yang juga bertindak sebagai penerjemah VOC, pada 5 Februari 1677 disebutkan bahwa sekitar 1.000 orang dari kawasan pantai selatan sedang bergerak menuju Mataram dengan niat permusuhan. Mereka berada di Semangi, dekat Bengawan Solo, hanya sehari perjalanan dari ibu kota.
Empat hari kemudian, informasi yang lebih rinci diperoleh dari Tanumenggala: musuh diperkirakan berjumlah antara 5.000 hingga 10.000 orang, dipimpin oleh Raden Gogok, cucu Pangeran Tepasana, salah satu anggota keluarga istana yang memiliki motif balas dendam atas pembunuhan anggota keluarganya pada 1661 oleh perintah Sunan sendiri.
Catatan VOC pada 12 Februari mencatat keberadaan Kajoran di "Pangaran" (kemungkinan besar merujuk pada wilayah Ponorogo), sekitar tiga hari perjalanan ke timur Mataram. Ia memakai gelar Panembahan Amattagama atau Panatagama, dan hidup menyendiri layaknya pertapa. Namun di balik pengasingan itu, Kajoran aktif menggerakkan massa melalui karisma spiritual dan jaringan keluarga—ia bukan sekadar pelarian, tapi pusat medan magnet perlawanan ideologis.
* Dendam Pangeran Tepasana dan Kebangkitan Jaringan Selatan
Tidak mengherankan bila Pangeran Tepasana—dan keturunannya—memilih berpihak pada gerakan anti-Sunan Amangkurat I. Peristiwa eksekusi anggota keluarga mereka pada 1661 menjadi luka historis yang belum sembuh. Gerakan ini tidak hanya membangkitkan jaringan aristokrat marginal, tapi juga menyatukan kekuatan rakyat pesisir selatan, dari pantai selatan hingga tanah pedalaman.
Kekuasaan Tanumenggala mulai terkikis akibat aksi-aksi ofensif dari pasukan Gogok. Menariknya, dalam operasi itu tidak ditemukan keterlibatan tentara bayaran Makassar maupun Sampang, melainkan hanya milisi lokal yang dengan terang-terangan menyatakan kesetiaan pada Trunajaya. Ini menandai transformasi penting: pemberontakan tidak lagi bergantung pada kekuatan eksternal, melainkan tumbuh sebagai gerakan lokal dengan legitimasi moral dan ideologis.
Raden Trunajaya, dalam suratnya kepada utusan Belanda tertanggal 5 Februari 1677, menyebut bahwa semua penasihatnya telah dikirim ke Mataram dan sekitarnya untuk melancarkan perang. Ia bahkan menduga bahwa Sunan telah meninggalkan Mataram dan menyerahkan kekuasaan kepada keempat putranya. Ini bukan sekadar propaganda, karena pengamatan VOC menunjukkan gejala-gejala bahwa istana memang kehilangan sentralitas politik.
Trunajaya secara terbuka menyebut dirinya sebagai keturunan raja Majapahit dan mengklaim hak atas takhta Mataram, sebagaimana termaktub dalam catatan Opkomst (jilid VII, hlm. 929–993). Dengan kata lain, konflik tahun 1677 adalah juga perebutan legitimasi warisan peradaban Jawa antara dua garis kekuasaan: Mataram Islam dan warisan Hindu-Buddha Majapahit yang bertransformasi dalam gerakan Trunajaya-Kajoran.
Laporan pejabat istana Jagapati, yang berangkat dari 16 Februari hingga 14 Maret 1677, mencatat bahwa pada 6 Maret, pasukan Pangeran Kajoran telah berkemah di seberang Bengawan Solo dan siap mengepung Mataram. Dengan kekuatan sekitar 20.000 orang, mereka bermaksud menduduki pusat kekuasaan dan selanjutnya bergerak ke Jepara untuk mengusir VOC.
Namun, sebelum niat itu terealisasi, laporan dari Jepara tertanggal 21 Maret mengindikasikan bahwa operasi gabungan Mataram dan VOC berhasil mengusir Kajoran. Ia dilaporkan melarikan diri ke Kediri. Ini menjadi penanda bahwa meskipun secara ideologis kuat, logistik dan koordinasi pasukan selatan belum mampu menandingi mesin kekuatan militer VOC-Mataram.
Tidak tinggal diam, dari dalam Mataram dilancarkan serangan balasan ke arah utara, dipimpin oleh Pangeran Martasana. Serangan ini merupakan upaya simbolik mengembalikan kewibawaan istana dan menunjukkan bahwa kekuasaan pusat masih punya gigi. Namun, pertempuran yang berlangsung sporadis dan brutal ini menunjukkan bahwa Mataram tidak lagi menjadi satu entitas politik-militer yang stabil.
* Historiografi dan Spiritualitas Perlawanan
Historiografi resmi kolonial seringkali mengecilkan peran Kajoran dan jaringan selatan sebagai "pemberontak eksentrik." Namun pendekatan spiritual-politik yang dipakai Kajoran justru menjadi ruh perlawanan rakyat. Dengan menyepi dan menolak keduniawian, ia justru memperoleh legitimasi moral tinggi di mata masyarakat. Dalam gaya yang mengingatkan kita pada para wali, Kajoran memadukan dakwah, etika, dan strategi politik yang membentuk sinergi antara sufisme dan gerakan rakyat.
Penulis pernah mencatat bahwa “dalam sejarah Jawa, gerakan rakyat tak pernah murni sekadar ekonomi atau politik; ia selalu memiliki akar spiritual dan dendam sejarah.” Apa yang terjadi di Ponorogo pada tahun 1677 merupakan cerminan nyata dari pernyataan tersebut.
* Warisan Kajoran dan Denyut Ponorogo
Baca Juga : Jejak Sunan Ampel: Dari Champa ke Majapahit, Menyebar Islam Lewat Pesantren dan Perkawinan
Meski akhirnya gagal merebut Mataram, gerakan Kajoran-Ponorogo membuka babak baru dalam sejarah perlawanan Jawa. Ia bukan hanya pemberontakan, tetapi kritik total atas dekadensi kekuasaan. Dengan mengandalkan jaringan lokal, spiritualitas, dan memori luka sejarah, Raden Kajoran dan para sekutunya menunjukkan bahwa perlawanan bisa bertumbuh dari pinggiran, dari poncokan, dari lumbung desa, bukan hanya dari benteng atau istana.
Sejarah mencatat nama-nama besar seperti Trunajaya, namun lupa mencatat akar dan percikan yang menghidupkan bara: Ponorogo dan Raden Kajoran. Kini, dengan menelaah ulang peristiwa Februari–Maret 1677, kita melihat perlawanan bukan sebagai sekadar pengkhianatan, tapi sebagai usaha terakhir untuk menegakkan kebenaran dalam carut-marut kekuasaan yang kehilangan ruh.
* Raden Kajoran: Mertua dan Guru Trunajaya dalam Pemberontakan Mataram
Dalam sejarah Jawa abad ke-17, kisah pemberontakan Trunajaya kerap diposisikan sebagai peristiwa besar yang mengguncang sendi kekuasaan Mataram dan membuka jalan masuknya pengaruh VOC secara lebih dalam. Namun di balik figur Trunajaya sebagai pemimpin laskar Madura dan Makassar, berdiri sosok tua karismatik dari pegunungan selatan: Raden Kajoran, dikenal pula sebagai Panembahan Rama. Ia bukan hanya mertua Trunajaya, tetapi juga pembimbing spiritual dan konseptor ideologis pemberontakan besar itu.
Raden Kajoran bukan bangsawan keraton, tetapi ia berdarah biru dari jalur Sunan Tembayat dan Ki Ageng Giring. Sebagai ulama dan kiai yang dihormati di wilayah Kajoran, Klaten, pengaruhnya melampaui sekadar urusan agama. Ia dikenal sebagai guru para bangsawan, penasihat kerohanian, dan penengah bagi rakyat kecil yang tertindas oleh feodalisme dan korupsi birokrasi keraton.
Pertemuan Kajoran dengan Trunajaya bukanlah sekadar kebetulan sejarah, melainkan hasil dari arus kekecewaan bersama terhadap rezim Amangkurat I yang represif. Trunajaya sendiri merupakan keturunan bangsawan Madura, cucu dari Sultan Cakraningrat I. Ayahnya, Raden Malayakusuma, wafat dalam pemberontakan 1656. Diasuh pamannya yang kelak menjadi Cakraningrat II, Trunajaya mengalami ketegangan di lingkungan istana Mataram, hingga akhirnya terusir dan terlunta di antara orang-orang Madura di pedalaman Jawa.
Dalam kondisi terbuang, Trunajaya menemukan pelindung dan guru dalam diri Raden Kajoran. Bukan hanya perlindungan, Kajoran juga memberi visi. Ia tak melihat Trunajaya sebagai anak muda yang frustrasi, tapi sebagai "pahlawan besar" yang akan mengguncang kekuasaan yang zalim. Pandangan ini disampaikan melalui cerita tutur yang hidup hingga kini, bahwa Kajoran menempatkan Trunajaya sebagai alat Ilahi untuk membersihkan Mataram dari kekotoran batin dan penyimpangan moral.
Ikatan mereka dipererat melalui pernikahan: Trunajaya menikahi putri Kajoran pada 15 Maret 1677, dalam perjodohan yang disahkan secara resmi oleh pejabat Japara. Tapi jauh sebelum itu, sejak 1670-an, telah terbentuk aliansi diam-diam antara Trunajaya, Raden Kajoran, dan Pangeran Adipati Anom, putra mahkota Mataram. Mereka bertiga bersepakat menjatuhkan Amangkurat I. Trunajaya bertindak sebagai pemimpin pasukan, Kajoran sebagai penopang moral dan spiritual, dan Adipati Anom menjaga posisi dari dalam keraton.
Pemberontakan meletus tahun 1674 dan mencapai puncaknya pada 1676, ketika Trunajaya—dengan dukungan laskar Makassar di bawah Karaeng Galesong—merebut Surabaya. Laskar Madura dan pasukan Kajoran ikut serta. Dalam pertempuran Gegodog, pasukan Mataram yang dipimpin Adipati Anom sendiri kalah telak. Kemenangan ini memudahkan Trunajaya merebut Kudus, Demak, dan kota-kota pesisir lainnya.
Juni 1677, Plered diserbu dan jatuh. Amangkurat I lari ke barat, lalu wafat dalam pelarian. Trunajaya, yang tahu Adipati Anom kini bersekutu dengan VOC, menolak menyerahkan kekuasaan. Ia memproklamirkan diri sebagai raja bergelar Panembahan Maduretno di Kediri.
Kajoran memilih mundur ke daerah asalnya, tetapi tetap menjaga jaringan perlawanan dan api ideologis pemberontakan. Bagi rakyat di pedalaman, Kajoran adalah wali, bukan pemberontak. Ia dihormati, bukan karena kekuatan militer, melainkan karena keteguhan spiritual dan keberpihakan kepada kaum lemah.
Namun takdir sejarah menempatkannya dalam posisi terjepit. VOC yang kini menjadi sekutu Mataram mengirim pasukan. Tahun 1679, Kajoran ditangkap dan dihukum mati. Eksekusinya dilakukan bukan karena ia bersenjata, tetapi karena ia berbahaya secara ideologis. Sebab ia adalah simbol moral pemberontakan.
Trunajaya sendiri ditangkap di Gunung Kelud beberapa bulan kemudian dan dieksekusi pada Januari 1680.
Meski pemberontakan mereka gagal secara militer, namun secara moral dan historis, ia mengguncang legitimasi dinasti Mataram. Dalam narasi babad dan cerita rakyat, Trunajaya dan Kajoran tidak dikenang sebagai pemberontak biasa. Mereka adalah simbol pembangkangan terhadap ketidakadilan. Trunajaya sebagai pemimpin rakyat tertindas, Kajoran sebagai wali yang menjaga kesucian niat perjuangan.
Dalam pandangan penulis, sejarah Jawa tak pernah sekadar cerita kekuasaan. Ia adalah sejarah rasa, sejarah luka, dan sejarah keyakinan. Raden Kajoran mewakili warisan spiritual yang memilih berhadapan dengan kekuasaan yang korup, meski harus dihukum mati. Ia bukan sekadar mertua Trunajaya—ia adalah sang guru perlawanan. Dan dalam ingatan sejarah Jawa, nama Kajoran tak akan pernah lekang sebagai wali yang mengguncang tahta.
* Abror Subhi
Dari berbagai sumber
03 October 2025
Brigadir Jenderal TNI (Anumerta) Ignatius Slamet Riyadi (26 Juli 1927–4 November 1950) adalah seorang tentara Indonesia. Rijadi lahir di Surakarta, Jawa Tengah, putra dari seorang tentara dan penjual buah Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, Rijadi memimpin tentara Indonesia di Surakarta pada masa per4ng kemerdekaan melawan Belanda yang ingin kembali menj4jah Indonesia. Dimulai dengan kampanye gerilya, pada 1947 ia berper4ng dengan sengit melawan Belanda di Ambarawa dan Semarang, bertanggung jawab atas Resimen 26. Selama Agresi Militer I, Belanda mengambil alih kota tetapi berhasil direbut kembali oleh Rijadi, dan kemudian mulai melancarkan serangan ke Jawa Barat. Pada tahun 1950, setelah berakhirnya revolusi, Rijadi dikirim ke Maluku untuk memerangi Republik Maluku Selatan. Setelah operasi perlawanan selama beberapa bulan dan berkelana melintasi Pulau Ambon, Rijadi gvgur tertemb4k menjelang operasi berakhir. Sejak kematiannya, Rijadi telah menerima banyak penghormatan. Sebuah jalan utama di Surakarta dinamakan menurut namanya, begitu juga dengan fregat TNI AL, KRI Slamet Riyadi. Selain itu, Rijadi juga dianugerahi beberapa tanda kehormatan secara anumerta pada tahun 1961, dan ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 9 November 2007. #brigjenslametryadi #selametryadi #pahlawannasionalindonesia
Brigadir Jenderal TNI (Anumerta) Ignatius Slamet Riyadi (26 Juli 1927–4 November 1950) adalah seorang tentara Indonesia. Rijadi lahir di Surakarta, Jawa Tengah, putra dari seorang tentara dan penjual buah.
Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, Rijadi memimpin tentara Indonesia di Surakarta pada masa per4ng kemerdekaan melawan Belanda yang ingin kembali menj4jah Indonesia. Dimulai dengan kampanye gerilya, pada 1947 ia berper4ng dengan sengit melawan Belanda di Ambarawa dan Semarang, bertanggung jawab atas Resimen 26. Selama Agresi Militer I, Belanda mengambil alih kota tetapi berhasil direbut kembali oleh Rijadi, dan kemudian mulai melancarkan serangan ke Jawa Barat. Pada tahun 1950, setelah berakhirnya revolusi, Rijadi dikirim ke Maluku untuk memerangi Republik Maluku Selatan. Setelah operasi perlawanan selama beberapa bulan dan berkelana melintasi Pulau Ambon, Rijadi gvgur tertemb4k menjelang operasi berakhir.
Sejak kematiannya, Rijadi telah menerima banyak penghormatan. Sebuah jalan utama di Surakarta dinamakan menurut namanya, begitu juga dengan fregat TNI AL, KRI Slamet Riyadi. Selain itu, Rijadi juga dianugerahi beberapa tanda kehormatan secara anumerta pada tahun 1961, dan ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 9 November 2007.
Sumber : Abdi Negara
#brigjenslametryadi #selametryadi #pahlawannasionalindonesia
02 October 2025
Keterangan seorang polisi memudahkan kerja Sarwo Edhie menemukan 7 jenazah Pahlawan Revolusi Tanggal 1 Oktober 1965 tengah malam, Sarwo Edhie mendapat perintah dari Pangkostrad menyerbu Halim Perdana Kusuma untuk memadamkan Gerakan 30 September 1965. Dipilih waktu malam atau tepatnya menjelang dini hari menuju Halim adalah untuk menghindari jatuhnya korban. Pasukan ke Halim ini dipecahkan menjadi dua poros. Dari arah timur bergerak 5 tim RPKAD dengan 1 kompi panser. Sedangkan satu lagi dari arah Cawang bergerak batalyon Raider yang diperkuat 22 buah tank. Kesemuanya ini di bawah Komando Sarwo Edhie. Sampai di daerah Halim, matahari hampir muncul, sehingga pelaksanaan penyerangan menjadi tergesa-gesa. Ada panser yang nyasar masuk ke Halim lebih dulu dan sebagainya. Selain itu, tujuan penyerangan ke Halim adalah untuk mencari jenazah para jenderal yang diculik oleh Gerakan 30 September. Tapi hingga keesokan ahrinya, jenazah-jenazah itu tak kunjung ditemukan. Hingga kemudian datanglah informasi dari Sukitkan, seorang anggota polisi yang turut diculik pada 1 Oktober dini hari itu ketika berpatroli di dekat rumah DI Panjaitan yang akhirnya lolos dari maut. Sukitman bercerita bahwa dia sempat melihat seorang pria ditutup matanya, digiring ke samping rumah. Dia juga mendengar rentetan tembakan diiringi sorak sorai. Tempat terjadinya peristiwa ini di Lubang Buaya. Melalui keterangan dan petunjuk Sukitkan, pasukan RPKAD menuju Lubang Buaya. Sampai di tujuan, ternyata jejak yang dicari mengabur. Areal pohon karet itu tanahnya sudah dipasirkan, sehingga sukar dilacak lubang yang diduga sebagai tempat penanaman mayat. Pencarian akhirnya berhasil setelah seorang anggota RPKAD melakukan pencarian dengan menggunakan bayonet seperti mencari ranjau. Pada bagian tanah dirasakan keempukan, lalu pencarian dilakukan dengan tangan. Keadaan mencurigakan pada bagian tanah itu semakin dalam, manakala pada lapisan-lapisan penggalian ditemukan tali-tali berwarna kuning dan dedaunan yang masih berwarna hijau. Pekerjaan yang dimulai dari sore hari itu dihentikan pada malam hari, manakala seorang penduduk yang ikut menggali jatuh pingsan melihat kaki manusia pada galiannya. Tempat sekitar pun menjadi ramai, segera Sarwo Edhie melaporkan kejadian itu kepada Soeharto. Keesokan harinya Harto langsung yang memimpin penggalian sumur di Lubang Buaya. Tanggal 5 Oktober, bertepatan dengan HUT ABRI, pahlawan revolusi dibawa dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Baca artikel selengkapnya di sini https://intisari.grid.id/read/034302771/detik-detik-1-oktober-1996-untung-sarwo-edhie-dapat-petunjuk-dari-prajurit-polisi-yang-lolos-dari-maut #SarwoEdhie #sukitman #lubangbuaya #G30S
Keterangan seorang polisi memudahkan kerja Sarwo Edhie menemukan 7 jenazah Pahlawan Revolusi
Tanggal 1 Oktober 1965 tengah malam, Sarwo Edhie mendapat perintah dari Pangkostrad menyerbu Halim Perdana Kusuma untuk memadamkan Gerakan 30 September 1965. Dipilih waktu malam atau tepatnya menjelang dini hari menuju Halim adalah untuk menghindari jatuhnya korban.
Pasukan ke Halim ini dipecahkan menjadi dua poros. Dari arah timur bergerak 5 tim RPKAD dengan 1 kompi panser. Sedangkan satu lagi dari arah Cawang bergerak batalyon Raider yang diperkuat 22 buah tank. Kesemuanya ini di bawah Komando Sarwo Edhie.
Sampai di daerah Halim, matahari hampir muncul, sehingga pelaksanaan penyerangan menjadi tergesa-gesa. Ada panser yang nyasar masuk ke Halim lebih dulu dan sebagainya.
Selain itu, tujuan penyerangan ke Halim adalah untuk mencari jenazah para jenderal yang diculik oleh Gerakan 30 September. Tapi hingga keesokan ahrinya, jenazah-jenazah itu tak kunjung ditemukan.
Hingga kemudian datanglah informasi dari Sukitkan, seorang anggota polisi yang turut diculik pada 1 Oktober dini hari itu ketika berpatroli di dekat rumah DI Panjaitan yang akhirnya lolos dari maut.
Sukitman bercerita bahwa dia sempat melihat seorang pria ditutup matanya, digiring ke samping rumah. Dia juga mendengar rentetan tembakan diiringi sorak sorai. Tempat terjadinya peristiwa ini di Lubang Buaya.
Melalui keterangan dan petunjuk Sukitkan, pasukan RPKAD menuju Lubang Buaya. Sampai di tujuan, ternyata jejak yang dicari mengabur. Areal pohon karet itu tanahnya sudah dipasirkan, sehingga sukar dilacak lubang yang diduga sebagai tempat penanaman mayat.
Pencarian akhirnya berhasil setelah seorang anggota RPKAD melakukan pencarian dengan menggunakan bayonet seperti mencari ranjau. Pada bagian tanah dirasakan keempukan, lalu pencarian dilakukan dengan tangan.
Keadaan mencurigakan pada bagian tanah itu semakin dalam, manakala pada lapisan-lapisan penggalian ditemukan tali-tali berwarna kuning dan dedaunan yang masih berwarna hijau.
Pekerjaan yang dimulai dari sore hari itu dihentikan pada malam hari, manakala seorang penduduk yang ikut menggali jatuh pingsan melihat kaki manusia pada galiannya. Tempat sekitar pun menjadi ramai, segera Sarwo Edhie melaporkan kejadian itu kepada Soeharto.
Keesokan harinya Harto langsung yang memimpin penggalian sumur di Lubang Buaya. Tanggal 5 Oktober, bertepatan dengan HUT ABRI, pahlawan revolusi dibawa dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Baca artikel selengkapnya di sini https://intisari.grid.id/read/034302771/detik-detik-1-oktober-1996-untung-sarwo-edhie-dapat-petunjuk-dari-prajurit-polisi-yang-lolos-dari-maut
#SarwoEdhie #sukitman #lubangbuaya #G30S
Seperti ini Ilustrasi May*t para Jenderal Korban G30S/PKI di Sumur Lubang Buaya! #ilustrasisejarah #sejarahindonesia
Seperti ini Ilustrasi May*t para Jenderal Korban G30S/PKI di Sumur Lubang Buaya!
Sumber : Nusan Taraa
#ilustrasisejarah #sejarahindonesia
01 October 2025
Ir. Sakirman, elite PKI yang ditembak mati di Solo pada 1966, ternyata kakak kandung Jenderal S. Parman korban Gerakan 30 September 1965 Letnan Jenderal Siswondo Parman menjadi salah satu perwira tinggi Angkatan Darat yang menjadi korban kekejaman Gerakan 30 September 1965. Yang banyak orang tidak tahu, kakak kandung Jenderal Parman, Sakirman, adalah Politbiro Central Committe Partai Komunis Indonesia (PKI). Sakirman atau Insinyur Sakirman adalah salah seorang petinggi PKI senior ketika G30S meletus. Dia juga dikenal sebagai anggota PKI dari kalangan intelektual. Sakirman berasal dari keluarga berada. Ayahnya, Kromodihardjo, adalah seprang pengusaha sukses di Wonosobo yang disebut berasal dari keluarga Mangkunegaran. Tak heran jika Sakirman -- juga Parman -- bisa sekolah di sekolah terbaik pada masanya. Dia sempat mengenyam pendidikan di AMS B (sekarang SMA Negeri 3 Yogyakarta sebelum kemudian melanjutkan di Technische Hoge School (THS) yang sekarang menjadi Institut Teknolo Bandung (ITB). Begitulah Ir. Sakirman memperoleh intelektualitasnya. Pada 1950-awal, Aidit, Lukman, dan Sudisman menghidupkan lagi PKI yang babak belur pada 1948. Sakirman bergabung di dalamnya dan pada Pemilu 1955 dia lolos ke parlemen -- di sisi lain, sang adik, Siswondo Parman, kariernya semakin moncer di Angkatan Darat, bahkan pada 1960an, dia sudah menjadi jenderal intel kepercaya Ahmad Yani. Gerakan 30 September 1965 pun meletus dan Siswondo Parman menjadi salah satu korbannya. Di sisi lain, sang kakak, Sakirman, yang adalah orang penting di PKi, masuk daftar orang yang harus ditangkap. Setelah lari ke sana kemari, Sakirman akhirnya ditangkap di Solo pada Oktober 1966. Karena mencoba melarikan diri, Sakirman pun langsung ditembak mati. Baca artikel selengkapnya di sini https://intisari.grid.id/read/034302530/sakirman-politbiro-pki-yang-ternyata-kakak-kandung-jenderal-siswondo-parman-korban-gerakan-30-september #sakirman #siswondoparman #G30S
Ir. Sakirman, elite PKI yang ditembak mati di Solo pada 1966, ternyata kakak kandung Jenderal S. Parman korban Gerakan 30 September 1965
Letnan Jenderal Siswondo Parman menjadi salah satu perwira tinggi Angkatan Darat yang menjadi korban kekejaman Gerakan 30 September 1965. Yang banyak orang tidak tahu, kakak kandung Jenderal Parman, Sakirman, adalah Politbiro Central Committe Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sakirman atau Insinyur Sakirman adalah salah seorang petinggi PKI senior ketika G30S meletus. Dia juga dikenal sebagai anggota PKI dari kalangan intelektual.
Sakirman berasal dari keluarga berada. Ayahnya, Kromodihardjo, adalah seprang pengusaha sukses di Wonosobo yang disebut berasal dari keluarga Mangkunegaran. Tak heran jika Sakirman -- juga Parman -- bisa sekolah di sekolah terbaik pada masanya.
Dia sempat mengenyam pendidikan di AMS B (sekarang SMA Negeri 3 Yogyakarta sebelum kemudian melanjutkan di Technische Hoge School (THS) yang sekarang menjadi Institut Teknolo Bandung (ITB). Begitulah Ir. Sakirman memperoleh intelektualitasnya.
Pada 1950-awal, Aidit, Lukman, dan Sudisman menghidupkan lagi PKI yang babak belur pada 1948. Sakirman bergabung di dalamnya dan pada Pemilu 1955 dia lolos ke parlemen -- di sisi lain, sang adik, Siswondo Parman, kariernya semakin moncer di Angkatan Darat, bahkan pada 1960an, dia sudah menjadi jenderal intel kepercaya Ahmad Yani.
Gerakan 30 September 1965 pun meletus dan Siswondo Parman menjadi salah satu korbannya. Di sisi lain, sang kakak, Sakirman, yang adalah orang penting di PKi, masuk daftar orang yang harus ditangkap.
Setelah lari ke sana kemari, Sakirman akhirnya ditangkap di Solo pada Oktober 1966. Karena mencoba melarikan diri, Sakirman pun langsung ditembak mati.
Baca artikel selengkapnya di sini https://intisari.grid.id/read/034302530/sakirman-politbiro-pki-yang-ternyata-kakak-kandung-jenderal-siswondo-parman-korban-gerakan-30-september
#sakirman #siswondoparman #G30S
POHON pisang mungkin terlihat sebagai tumbuhan biasa yang sering dijumpai di berbagai daerah di Indonesia. Di balik kesederhanaannya, pohon pisang menyimpan kisah tragis dalam sejarah bangsa, terutama terkait dengan peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI). Keberadaan pohon pisang dalam tragedi ini sering dikaitkan dengan berbagai peristiwa kekerasan yang terjadi di berbagai daerah, termasuk di Yogyakarta dan Jakarta. Pohon Pisang dan Peristiwa G30S/PKI Sejarah mencatat pada malam kelam 30 September hingga 1 Oktober 1965, terjadi serangkaian penculikan dan pembunuhan terhadap para jenderal TNI AD yang kemudian dikenal sebagai Pahlawan Revolusi. Beberapa laporan menyebutkan jenazah para korban sempat disembunyikan di sekitar pohon pisang sebelum akhirnya dibuang ke sumur Lubang Buaya. Selain di Jakarta, cerita serupa juga muncul di Yogyakarta. Beberapa saksi mata menyebutkan bahwa ada korban yang dieksekusi di bawah pohon pisang sebelum akhirnya dikuburkan secara massal. Kisah ini semakin menambah kengerian akan peristiwa tersebut, menjadikan pohon pisang sebagai saksi bisu kekejaman yang terjadi pada saat itu. Makna Simbolis Pohon Pisang dalam Peristiwa 1965 Pohon pisang tidak hanya menjadi saksi dari tragedi berdarah ini, tetapi juga memiliki makna simbolis dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam budaya Jawa, misalnya, pohon pisang sering dikaitkan dengan perlambang kesuburan dan kehidupan. Namun, dalam konteks tragedi 1965, pohon pisang justru menjadi simbol kematian dan kekejaman yang sulit dilupakan. Keberadaan pohon pisang yang tumbuh liar di berbagai tempat menjadi alasan mengapa ia kerap dijadikan sebagai lokasi eksekusi pada masa itu. Pohon pisang memiliki daun yang lebar, batang yang lunak, dan tumbuh bergerombol, sehingga dapat dengan mudah menyembunyikan sesuatu di sekitarnya. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa pohon ini sering dikaitkan dengan berbagai peristiwa tragis di masa lalu. Pohon Pisang dalam Ingatan Kolektif Masyarakat Bagi masyarakat yang hidup pada masa itu, pohon pisang bukan sekadar tanaman biasa. la menjadi bagian dari ingatan kolektif yang mengingatkan mereka pada malam mencekam yang mengubah sejarah Indonesia. Banyak cerita turun-temurun yang menyebutkan bahwa di beberapa tempat, pohon pisang menjadi penanda lokasi pembantaian massal, terutama di daerah-daerah yang menjadi basis peristiwa pembersihan pasca-G30S/PKI. Beberapa literatur dan saksi sejarah juga mengisahkan di desa-desa tertentu, ada area yang ditumbuhi pohon pisang secara tidak biasa, diyakini sebagai bekas tempat eksekusi massal tahun 1965-1966. Hal ini membuat sebagian masyarakat memiliki kepercayaan dan mitos tersendiri terhadap pohon pisang yang tumbuh di lokasi-lokasi tertentu. Pelajaran dari Sejarah Sebagai bangsa yang besar, Indonesia memiliki sejarah panjang yang penuh dengan peristiwa kelam dan pembelajaran. Peristiwa G30S/PKI merupakan salah satu tragedi yang menyisakan luka mendalam bagi banyak keluarga dan generasi setelahnya. Pohon pisang yang menjadi saksi bisu dari berbagai kekejaman masa itu mengingatkan kita akan pentingnya memahami sejarah dengan objektif dan menjadikannya sebagai bahan refleksi untuk masa depan yang lebih baik. Meskipun pohon pisang hanyalah tumbuhan biasa, kisah-kisah yang menyertainya dalam konteks tragedi 1965 menjadikannya lebih dari sekadar tanaman. la adalah bagian dari narasi sejarah yang tidak boleh dilupakan, sebagai pengingat bahwa tragedi serupa tidak boleh terulang kembali di masa depan. #gerakan30september #sejarahindonesia
POHON pisang mungkin terlihat sebagai tumbuhan biasa yang sering dijumpai di berbagai daerah di Indonesia. Di balik kesederhanaannya, pohon pisang menyimpan kisah tragis dalam sejarah bangsa, terutama terkait dengan peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI).
Keberadaan pohon pisang dalam tragedi ini sering dikaitkan dengan berbagai peristiwa kekerasan yang terjadi di berbagai daerah, termasuk di Yogyakarta dan Jakarta.
Pohon Pisang dan Peristiwa G30S/PKI Sejarah mencatat pada malam kelam 30 September hingga 1 Oktober 1965, terjadi serangkaian penculikan dan pembunuhan terhadap para jenderal TNI AD yang kemudian dikenal sebagai Pahlawan Revolusi.
Beberapa laporan menyebutkan jenazah para korban sempat disembunyikan di sekitar pohon pisang sebelum akhirnya dibuang ke sumur Lubang Buaya.
Selain di Jakarta, cerita serupa juga muncul di Yogyakarta. Beberapa saksi mata menyebutkan bahwa ada korban yang dieksekusi di bawah pohon pisang sebelum
akhirnya dikuburkan secara massal. Kisah ini semakin menambah kengerian akan peristiwa tersebut, menjadikan pohon pisang sebagai saksi bisu kekejaman yang terjadi pada saat itu.
Makna Simbolis Pohon Pisang dalam Peristiwa 1965
Pohon pisang tidak hanya menjadi saksi dari tragedi berdarah ini, tetapi juga memiliki makna simbolis dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam budaya Jawa, misalnya, pohon pisang sering dikaitkan dengan perlambang kesuburan dan kehidupan. Namun, dalam konteks tragedi 1965, pohon pisang justru menjadi simbol kematian dan kekejaman yang sulit dilupakan.
Keberadaan pohon pisang yang tumbuh liar di berbagai tempat menjadi alasan mengapa ia kerap dijadikan sebagai lokasi eksekusi pada masa itu. Pohon pisang memiliki daun yang lebar, batang yang lunak, dan tumbuh bergerombol, sehingga dapat dengan mudah menyembunyikan sesuatu di sekitarnya.
Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa pohon ini sering dikaitkan dengan berbagai
peristiwa tragis di masa lalu.
Pohon Pisang dalam Ingatan Kolektif Masyarakat
Bagi masyarakat yang hidup pada masa itu, pohon pisang bukan sekadar tanaman biasa. la menjadi bagian dari ingatan kolektif yang mengingatkan mereka pada malam mencekam yang mengubah sejarah Indonesia. Banyak cerita turun-temurun yang menyebutkan bahwa di beberapa tempat, pohon pisang menjadi penanda lokasi pembantaian massal, terutama di daerah-daerah yang menjadi basis peristiwa pembersihan pasca-G30S/PKI.
Beberapa literatur dan saksi sejarah juga mengisahkan di desa-desa tertentu, ada area yang ditumbuhi pohon pisang secara tidak biasa, diyakini sebagai bekas tempat eksekusi massal tahun 1965-1966. Hal ini membuat sebagian masyarakat memiliki kepercayaan dan mitos tersendiri terhadap pohon pisang yang tumbuh di lokasi-lokasi tertentu.
Pelajaran dari Sejarah
Sebagai bangsa yang besar, Indonesia
memiliki sejarah panjang yang penuh dengan peristiwa kelam dan pembelajaran. Peristiwa G30S/PKI merupakan salah satu tragedi yang menyisakan luka mendalam bagi banyak keluarga dan generasi setelahnya.
Pohon pisang yang menjadi saksi bisu dari berbagai kekejaman masa itu mengingatkan kita akan pentingnya memahami sejarah dengan objektif dan menjadikannya sebagai bahan refleksi untuk masa depan yang lebih baik.
Meskipun pohon pisang hanyalah tumbuhan biasa, kisah-kisah yang menyertainya dalam konteks tragedi 1965 menjadikannya lebih dari sekadar tanaman. la adalah bagian dari narasi sejarah yang tidak boleh dilupakan, sebagai pengingat bahwa tragedi serupa tidak boleh terulang kembali di masa depan. #gerakan30september
#sejarahindonesia