'Baboe' Layaknya Ibu Peri bagi Anak-anak Eropa di Hindia Belanda
Lagu Ngudang Bayi yang pernah dimunculkan dalam buku karya Susanto Budi berjudul Penghibur(an): Masa Lalu dan Budaya Hidup Masa Kini Indonesia (2005), menarik perhatian. Pasalnya, lagu tersebut diperkirakan menggambarkan situasi seorang pribumi yang sedang menimang bayi berkulit merah. Liriknya ditulis dalam bahasa Jawa:
Tak lelo lelo lelo legung....
Ojo nangis ndak nang ati bingung (Jangan menangis, nanti hati bingung)
Tak emban tak junjung tak srogake (Diembandandijunjung, dimuliakan)
Bayi abang nduk anake sopo (Bayi "berkulit" merah, putri siapa)
Siska Nurazizah Lestari dan Indra Fibiona menafsirkannya dalam jurnal Jantra berjudul Pengasuhan Anak Eropa Oleh Wanita Pribumi (Baboe) Di Hindia Belanda Abad XIX-Awal Abad XX terbitan 2016.
Liriknya memberi gambaran bahwa "anak-anak Eropa (noni dan sinyo) sangat dimuliakan. Para baboe menjunjung tinggi kehormatan bayi abang (berkulit merah) yang merupakan afiliasi keturunan dari keluarga Eropa," tulis Siska dan Indra.
Mereka adalah baboe atau Kindermeid, wanita-wanita pribumi yang meniti hidupnya sebagai pelayan bagi keluarga elite Eropa di zaman Hindia Belanda. Baboe hidup membersamai tumbuh kembangnya anak-anak Eropa.
Kehidupan rumah tangga Eropa yang penuh dengan paradoks, memberi perannya di tengah keluarga Eropa di Hindia Belanda. "Baboe (pengasuh) berperan untuk memenuhi kebutuhan psikologis anak (Eropa) tanpa menjadi ibunya," terusnya.
Seperti apa kehidupan para baboe di tengah keluarga Eropa di Hindia Belanda? Simak kisah selengkapnya di artikel "'Baboe' Layaknya Ibu Peri bagi Anak-anak Eropa di Hindia Belanda". Klik 👉 https://nationalgeographic.grid.id/read/133515315/baboe-layaknya-ibu-peri-bagi-anak-anak-eropa-di-hindia-belanda
Foto: Collectie Indisch Thee/Familie-Archief van der Hucht
No comments:
Post a Comment