Kiai Ageng Muhammad Besari
( Kyai Ageng Kasan Besari I/ Kyai Ageng Tegalsari )
Lahir : Tegalsari, Ponorogo, Jawa Timur 1729 M
Bangsawan dan Kiai Pendiri Pondok Pesantren Tegalsari.
Guru Para Raja dan Ulama dari Ponorogo.
Orang Tua : ♂ Kyai Anom Besari Kuncen Caruban,
♀ Nyai Anom Besari.
Saudara : ♂ Kyai Nur Shodiq (Tegalsari), ♂ Kyai Khotib Anom (srigading, Kalangbret, Tulungagung).
Istri : ♀ Nyai Ageng Muhammad Besari (Tegalsari, Ponorogo).
Anak : ♂ Kyai Iskak - Coper Tegalsari, ♂ Kyai Cholifah, ♀ Nyai Ageng Ibnu Oemar Banjarsari, ♂ Kyai Zainal 'Abidin, ♀ Nyai Tubagus Buchari, ♂ Kyai Ismangil, ♂ Kyai Ilyas, ♀ Nyai Abdurrachman, ♂ Kyai Yakub.
Wafat : Ponorogo, Jawa Timur 1760/ 1773 M
Makam : 3F9M+H39, Jinontro, Tegalsari, Kec. Jetis, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur 63473.
Keterangan :
Pesantren Tegalsari Ponorogo didirikan oleh Kiai Ageng Muhammad Besari pada abad XVIII, tetapi masa kejayaan pesantren ini terjadi saat diasuh oleh Kiai Kasan Besari, Ribuan orang santri konon yang belajar di pesantren ini. Di antara mereka adalah Raden Ngabehi Ronggowarsito, seorang pujangga Jawa kenamaan abad XIX. Para pendiri Pesantren Modern Gontor Ponorogo juga masih merupakan keturunan pengasuh Pesantren Tegalsari.
Latar Belakang Keluarga
Kiai Ageng Muhammad Besari berasal dari Caruban, Madiun, Jawa Timur Tidak ada keterangan kapan beliau dilahirkan. Ayahnya bernama Kiai Anom Besari dari Kuncen, Caruban, Madiun. Kiai Ageng Muhammad Besari mempunyai sembilan orang anak.
Di antara mereka ada yang bernama Zainal Abidin yang kemudian menjadi menantu Raja Selarong Malaysia. Anak bungsunya menikah dengan Kiai Ibnu Umar yang selanjutnya menjadi tokoh agama di wilayah Banjar.
Pendidikan Kiai Ageng Muhammad Besari dimulai dengan belajar kepada sejumlah ulama di Ponorogo. Bersama adiknya yang bernama Nur Shadiq, Kiai Ageng Muhammad Besari belajar kepada Kiai Danapura yang tinggal di sebelah tenggara Ponorogo.
Kiai Danapura ini masih keturunan Sunan Tembayat atau Sunan Pandanarang, seorang wali yang makamnya ada di Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Makam Sunan Tembayat ini biasanya disebut Gunung Jabalkat. Kiai Ageng Muhammad Besari dan adiknya belajar kepada Kiai Danapura selama empat tahun.
Suatu ketika mereka singgah di kediaman Kiai Nur Salim di Mantub, Ngadisan. Kiai Nur Salim tertarik dengan kepribadian Kiai Ageng Muhammad Besari. Lalu, Kiai Ageng Muhammad Besari diambil menantu oleh Kiai Nur Salim dengan dinikahkan putri sulungnya.
Setelah menikah, Kiai Ageng Muhammad Besari dan istrinya belajar ke pesantren Kiai Danapura. Setahun lamanya Kiai Ageng Muhammad Besari belajar kepada Kiai Danapura untuk yang kedua kalinya. Kiai Danapura menyarankan Kiai Ageng Muhammad Besari untuk membuka lahan yang kemudian dikenal sebagai Tegalsari.
Mendirikan Pesantren
Di Tegalsari, Kiai Ageng Muhammad Besari membuka pengajian untuk masyarakat sekitar. Antusiasme masyarakat cukup besar sehingga Kiai Ageng Muhammad Besari mempunyai murid yang banyak. Selain dikenal memiliki ilmu agama yang mendalam, Kiai Ageng Muhammad Besari juga dikenal sakti dengan bukti dapat mengalahkan para warok, pemimpin Reog Ponorogo.
Bahkan, setelah Kiai Danapura wafat, perhatian masyarakat tertuju kepada sosok Kiai Ageng Muhammad Besari. Tidak ada keterangan yang pasti kapan Kiai Ageng Muhammad Besari mendirikan Pesantren Tegalsari ini. Hanya saja, diperkirakan pesantren ini berdiri pada abad XVIII.
Nama Kiai Ageng Muhammad Besari semakin dikenal masyarakat dan pesantrennya juga semakin terkenal sejak kehadiran Pakubuwono II, raja Kerajaan Mataram (sebelum terpisah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta).
Ceritanya, saat itu istana Kartasura berhasil dikuasi oleh Mas Garendi dan pengikutnya dari kekuasaan Pakubuwono II yang bekerjasama denganm Belanda. Pakubuwono II ditemani Tumenggung Wiratirta melarikan diri ke arah timur menuju Madiun.
Sesampai Desa Taman Arum, Setono, Karanggebang dan Sawo, mereka mendengar keberadaan seorang kiai dari Tegalsari yang bernama Kiai Ageng Muhammad Besari. Konon, saat tengah malam, Pakubuwono II mendengar suara gemuruh seperti gerombolan lebah yang keluar dari sarangnya. Pakubuwono II segera menemui Tumenggung Wiratirta dan bertanya, “Tumenggung, dari mana asal suara lebah itu?"
“Maaf Baginda, itu bukan suara lebah, tapi itu suara Kiai Ageng Muhammad Besari dan para muridnya yang sedang berdzikir," jawab Tumenggung Wiratirta.
Kemudian Pakubuwono II mengajak Tumenggung Wiratirta untuk sowan kepada pendiri Pesantren Tegalsari ini, Kiai Ageng Muhammad Besari menyambut kedatangan Raſa Mataram ini dengan penuh hormat. Pakubuwono l meminta bantuan Kiai Ageng Muhammad Besari untuk merebut kerajaanriya kembali. Kelak jika kerajaannya telah berhasil dikuasai, Pakubuwono II berjanji akan menjadikan Desa Tegalsari sebagai tanah perdikan, yakni wilayah yang dibebaskan dari pembayaran pajak.
Singkat cerita, setelah kerajaan dapat direbut kembali, Pakubuwono Il menempati janjinya untuk menjadikan Tegalsari sebagai tanah perdikan.
Kiai Ageng Muhammad Besari juga ditawari Pakubuwono Il untuk menjadi Bupati Ponorogo, namun pendiri Pesantren Tegalsari ini menolaknya. Kiai Ageng Muhammad Besari hanya menerima tawaran menjadikan Tegalsari sebagai tanah perdikan.
Sebuah sumber menyebutkan bahwa Kiai Ageng Muhammad Besari pernah menerima tawaran Pakubuwono II untuk menjadi penghulu. Sebagai perbandingan, selain menjadikan Tegalsari sebagai tanah perdikan, Pakubuwono II juga melakukan hal yang sama terhadap wilayah Pamijahan Tasikmalaya, Jawa Barat yang didiami Syaikh Abdul Muhyi (w. 1730), seorang ulama yang makamnya selalu ramai oleh para peziarah. Jadi, wilayah Pamijahan juga menjadi tanah perdikan seperti Tegalsari.
Setelah Tegalsari menjadi tanah perdikan, semakin banyak orang yang belajar kepada Kiai Ageng Muhammad Besari. Bangunan pesantren semakin bertambah. Nama Pesantren Tegalsari semakin terkenal. Pengajaran kitab-kitab berbahasa Arab sebagaimana pesantren saat ini sudah dilakukan saat itu.
Pendek kata, Pesantren Tegalsari sudah cukup maju pada zamannya. Kiai Ageng Muhammad Besari wafat pada tahun 1773. Yang kemudian diteruskan oleh kiai Ilyas (1773-1800), lalu Kiai Kasan Yahya/Hasan Yahya (1773-1800), kemudian Kiai Kasan Besari/Hasan Besari (1800-1862), yang mana pada saat kepemimpinan Kiai Kasan Besari pesantren mengalami perkembangan yang begitu pesat. Kiai Kasan Besari wafat pada tanggal 9 januari 1862 pada usia 100 tahun.
No comments:
Post a Comment