Banda Aceh Tempo Doeloe Dalam Siklus Perdagangan Internasional.
________________________________________________
Penulis Iskandar Norman.
Banda Aceh sudah menjadi pusat perdagangan interasional sejak abad ke-16. Berbagai literature sejarah Eropa menulis tentang itu.
Prof DR Isa Sulaiman dalam makalahnya Banda Aceh Dalam Siklus Perdagangan Internasional Suatu Tinjuan Historis (1988) menjelaskan, Jhon Davis, Kapten salah satu kapal rombongan Cornelis De Houtman dari Belanda yang berlabuh di ibu kota Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1599.
Memberikan kesaksian kepada kita bahwa tatkala ia memasuki pelabuhan Aceh, ia menemukan empat buah kapal asing sedang berada di pelabuhan; yaitu tiga buah berasal dari Arab dan satu buah dari Pegu. Kesaksian Jhon Davis itu dikutip Prof Isa Sulaiman dari buku The Voyages and works of Jhon Davis, edited by Albert Hasting The Hakluyit Society, London, MDCCCLXXX, halaman 140.
Tiga tahun kemudian, Sir James Lacaster yang tiba pada masa pemerintahan Sultan Saidil Mukamil, kakek Sultan Iskandar Muda, mengatakan bahwa ia menyaksikan 16 atau 18 buah kapal niaga dari berbagai bangsa yang berlabuh di situ. Keterangan tersebut bisa dibaca dalam The Voyages of Sir James Lancaster seperti kutipan di bawah ini.
“.... in the made of Achem, some two miles off the citie; where we found eighteen saile ofshippes of divers nations, some Goserats, some of Benggala some of Calicut (called Malabares), some Pegues, and some Patanyes, which came to trade there.”
Prof Isa Sulaiman membandingkan hal itu keterangan dalam Hikayat Malern Dagang edisi Cowan, 1937 halaman 15 yang mengisahkan tentang keramaian pelabuhan Kerajaan Aceh pada masa Pemerintahan Sultan Iskandar Muda, seperti kutipan di bawah ini:
“Bak masa nyan (Iskandar Muda rame pi that, peu nyang hajat dum halena. Nangroe pih luah, Banda pih rame han meunene keunan teuka. Padum-padum kapay di Kleng jime bakong beusoe meutila. Padum kapay Meulabari ngon Geujarati ngon Beunggala... Padumkapay nayang me tjawan, krikay, dulang, pingan raya. Padum-padum kapay di Keudah, idja mirah meuneukat jiba, tunong baroh, timu barat, dempeu alat pi najiba. di Atjeh kon troih u barat, meuceuhu that po meukuta.”
Namun Prof Isa Sulaiman menilai, dalam lalu lintas perniagaan internasional itu, posisi kota Banda Aceh kelihatannya lebih bersifat "entrepot" dari komoditi ekspor. Situasi demikian tentulah berkaitan erat dengan kondisi dan potensi "hinterland" ibu kota yang tidak begitu banyak memproduksikan bahan ekspor.
Laksamana Beaulieu yang pernah menetap di kota Banda Aceh pada tahun 1621 mencatat produksi lada, yang waktu itu merupakan primadona ekspor, di sekitar kota hanya 500 barel per tahun.
Pemukiman Beaulieu di Banda Aceh dan keterangannya bisa dibaca dalam buku Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda, terbitan Balai Pustaka, 1986.
Sementara Jhon Davis yang telah tiba di ibukota Kesultanan Aceh dua puluh tahun sebelumnya memperkirakan produksi lada di daerah itu hanya berkisar 20 kapal. Tentang Jhon Davis ini Prof Isa Sulaiman mengutip keterangan dari The Voyages and Works of Jhon Davis halaman 146.
Di samping mengambil posisi sebagai "enterpot" dari komoditi ekspor, Kota Banda Aceh memerlukan berbagai komoditi impor yang dibutuhkan bagi keperluan penduduk. Mata dagangan yang didatangkan ke Bandar Aceh Darussalam itu terdiri dari, beras, tembakau, kain, opium, mesiu dan bahan tembikar.
Nicolaus de Graaf orang Belanda yang datang ke Aceh pada tahun 1641 dan Dampier orang Inggris yang datang ke Aceh pada tahun 1688 mengatakan Kota Banda Aceh mempunyai keliling dua mil dengan jumlah rumah penduudk antara 7.000 hingga 8.000 unit.
Perkiraan jumlah rumah ini tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh Anderson pada permulaan tahyn 1800 yang menyatakan bahwa penduduk Kota Banda Aceh saat itu sekitar 36.00 jiwa
Pelaku-pelaku yang terlibat dalam perdagangan internasional itu terdiri atas pedagang keliling dan pedagang lokal, pedagang keliling umumnya berasal dari pendatang bangsa asing yang menyinggahi pelabuhan Aceh untuk memuat dan memunggah barang dagangan.
Mereka terdiri atas bangsa-bangsa Eropa (Portugis, Inggris, Perancis dan Belanda), bangsa Amerika Serikat, bangsa-bangsa India (keling, Malabar Gujarat) bangsa Turkye, bangsa Arab, bangsa Persia, bangsa Birma (Pegu), bangsa Cina, dan pedagang dari Nusantara (Malaka dan Jawa). Kadangkala pedagang-pedagang keliling itu menetap dan membentuk kampung-kampung di dalam kota, seperti kampung Keudah, kampung Jawa, kampung Peulanggahan, atau kampung Pande.
Pedagang lokal umumnya terdiri atas kaum bangsawan atau orang kaya. Pasar yang terdapat di dalam kota Bandar Aceh Darussalam hendaknya jangan diartikan sebagai pasar moderen yang bersifat abstrak, melainkan lebih bersifat konkrit, artinya produsen dan konsumen melakukan transaksi ditempat-tempat itu, lokasi pasar kelihatannya kerapkali berubah sesuai dengan situasi politik dalam ibu kota.
Prof Isa Sulaiman mencontohkan, pada masa permulaan pemerintahan Sultan Alaiddin Jauhansyah (1735-1760), saingannya Sultan Jamal alam Badr al Munir, menjadikan kampung Jawa sebagai pusat kegiatan perniagaan.
Keuntungan pertama yang dipetik oleh para Sultan dalam pemusatan perniagaan di ibu kota adalah penarikan bea cukai terhadap barang niaga yang keluar masuk pelabuhan di ibu kota. Para pedagang asing yang berlabuh di ibu kota diharuskan pula untuk mempersembahkan upeti kepada Sultan. Demikian pula kapal-kapal yang berlabuh di pelabuhan dikenakan pula bea jangkar atau bea kawal.
Namun dalam perjalanannya Banda Aceh sebagai kota perdagangan iinternasional mengalami kemerosotan, hal itu juga disebabkan oleh kemerosotan kekuasaan Sultan untuk mengontrol jalur dagang tersebut.
Kemerosotan itu bersumber bukan hanya pada pergulatannya dengan imperlialis barat yang telah menghunjamkan kaki di kawasan barat Indonesia, akan tetapi juga pada pergulatan internal di dalam istana antara para pewaris tahta sebagaimana disaksikan pada serangkaian perang suksesi sejak akhir abad ke 17.
Dalam situasi demikian, bukan mustahil seorang Sultan yang memenangkan tahta akan
memberikan konsesi atau imbalan kepada bawahan yang telah mengantarkannya ke singgasana. Karena itu, pada awal abad ke 19 ada sejumlah pejabat lokal yang berhak memungut bea barang niaga di ibukota Bandar Aceh Darussalam dan sekitarnya.
Kecuali Teuku Kali Malikul Adil yang berhak mengambil cukai terhadap barang yang keluar masuk Kuala Aceh dan orang yang naik haji, beberapa pejabat lokal lainnya mempunyai porsi yang telah ditentukan oleh Sultan, T. Nek Raja Muda Setia boleh memungut bea dari perahu yang keluar masuk Kuala Cangkul, sementara T. Lam Gugob bisa memperoleh separuh dari bea perahu yang keluar masuk Kuala Gigieng. Demikian pula T. Nanta Setia boleh mengambil bea dari Pulau Breuh/Nasi, sementara T. Imeum Silang dan T. Imeum Cadek dan Lamnga berhak atas Pulau Weh.
Surplus produksi ekspor Aceh itu tampaknya dipetik oleh kota- kota baru yang sengaja dibangun oleh Pemerintah Kolonial, di pantai barat Sumatera, Belanda membangun kota Padang pada tahun 1660 yang dibarengi oleh kota Bengkulu (Fort Marlborough) oleh Pemerintah Inggris.
Di selat Malaka Pemerintah Inggris membangun pula kota Penang tahun 1786 dan kota Singapura pada tahun 1819, diantara empat kota itu, kelihatannya kota Penanglah yang memetik manfaat paling besar sebagaimana angka yang dipertunjukkan oleh Pejabat Kolonial Inggris disana pada permulaan abad ke-19, sejalan dengan tumbuhnya kota-kota baru tersebut, Bandar Aceh Darussalam juga mengalami kemerosotan, hal itu kemudian diperparah dengan invansi Belanda ke Aceh pada 1873 yang menyebabkan perang panjang selama 69 tahun.
No comments:
Post a Comment