11 February 2024

Bendoro Pangeran Aryo Panular ( Bendoro Raden Mas Hadiwijaya ) Lahir : Yogyakarta, 1771/ 1772 M Intelektual tumbal Perang Jawa. Orang Tua : Sri Sultan Hamengku Buwono I / Pangeran Haryo Mangkubumi (Raden Mas Sujono), ♀ Bendoro Mas Ayu Tandawati. Anak : ♀ Bendoro Raden Ayu Hadiningdiah / Bendoro Raden Ajeng Ratnadimurti. Wafat : Nglengkong, Sleman, Yogyakarta 30 Juli 1826 M Makam : 87CR+W6R, Area Sawah, Sumberejo, Kec. Tempel, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55552. Keterangan : Pangeran Panular merupakan putra dari Sultan Mangkubumi atau dikenal dengan Sultan Hamengku Buwono I. serupa yang tertulis dalam Serat Raja Putra Ngyogyakarta Hadiningrat (1988) mengatakan bahwa Pangeran Panular lahir dari seorang selir dari Bendara Mas Ayu Tondhowati. Bendara Mas Ayu Tondhowati merupakan putri yang berasal dari Kerajaan Blambangan Jawa Timur. Setelah Perjanjian Giyanti 1755, persahabatan antara Sultan Mangkubumi dengan Gubernur Pantai Timur Jawa Nicholas Hartingh sangat erat. Bagaimanapun juga, Sultan Mangkubumi sangat berhutang budi pada Hartingh, karena berkat kepiawaian Hartingh mengakhiri konflik Perang Giyanti, maka Sultan Mangkubumi mendapatkan separuh tanah Mataram yang kemudian mendirikan Kesultanan Yogyakarta. Untuk menunjukkan tanda persahabatan mereka, Hartingh memberikan seorang putri bernama Mas Ayu Tondhodari atau Tondhowati kepada Sultan Mangkubumi. Sebagai rasa terima kasih Sultan Mangkubumi kepada Hartingh, kemudian Sultan Mangkubumi juga memberikan salah satu selirnya yang bernama Mas Ayu Retna Sekar kepada Hartingh. Tukar pertukaran istri ini memang terasa tidak lazim tetapi ini benar-benar terjadi antara Sultan Mangkubumi dengan Hartingh. Dari rahim Bendara Mas Ayu Tondhowati ini, lahirlah Pangeran Arya Panular yang kelak setelah terjadinya Geger Sepehi tahun 1812, dia mengisahkan dalam babadnya yang kemudian diberi judul Babad Bedhah Ing Ngayogyakarta . Dalam babad itu, Arya Panular sebagai saksi sekaligus pelaku yang ikut merasakan pahitnya ketika Raffles dengan tentara Inggris dan Sepoynya menggempur dan menjarah habis-habissan kekayaan Keraton Yogyakarta. Pangeran Panular memang seorang intelektual di zamannya. Jika mendiang Sultan Hamengku Buwono III masih hidup ketika mendengar bahwa Pangeran Panular gugur di medan laga di tangan pasukan Pangeran Diponegoro, pasti Sang Raja itu sangat sedih dan meneteskan air mata. Betapa tidak, orang yang selama terjadinya penyerangan Inggris di Yogyakarta pada tanggal 18, 19, dan 20 Juni 1812 selalu mendampingi dirinya yang saat itu masih menjadi Putra Mahkota, harus meregang nyawa di tangan pasukan Diponegoro. Putranya sendiri. Terjadi saat terjadi pertempuran antara tentara Kesultanan Yogyakarta dengan tentara Inggris dan Sepoy di bawah komando Raffles, yang menjadi sasaran bombarder mesiu meriam pertama kali adalah kediaman Putra Mahkota yang ada di kompleks Kadipaten yang letaknya di timur laut keraton sehingga posisinya paling dekat dengan meriam Inggris yang ditembakkan dari Benteng Vredeburg. Karena Kadipaten rusak parah, maka Putra Mahkota mengirim pesan kepada Sultan Hamengku Buwono II (Sultan Sepuh) melalui pamannya yang bernama Pangeran Panular. Pesan itu mengabarkan bahwa Kadipaten membutuhkan bantuan tentara dan jangan sampai Kadipaten jatuh terlebih dahulu oleh tentara Inggris. Pangeran Panular dengan susah payah menuju kedaton menemui Sultan Sepuh, tetapi tidak mendapat jawaban yang memuaskan. Akhirnya, Pangeran Panular kembali menuju Kadipaten menemui Putra Mahkota dengan menghindari hujan mesiu. Karena Putra Mahkota tidak mendapat bantuan tentara, maka Pangeran Panular menyarankan agar Putra Mahkota keluar dari Kadipaten untuk menyelamatkan diri. Hal ini disampaikan oleh Pangeran Panular dengan memberi contoh sejarah penyerangan Trunajaya ke Plered pada zaman Amangkurat I berkuasa. Amangkurat I terpaksa menyingkir dari keraton untuk menyelamatkan diri. Mendapat penjelasan dari Pangeran Panular, akhirnya Putra Mahkota bersiap keluar dari Kadipaten dan menuju ke Tamansari yang lokasinya lebih aman. Putra Mahkota sangat berterima kasih kepada Pangeran Panular karena membimbingnya keluar dari Kadipeten yang sudah porak poranda. Menurut Putra Mahkota, sosok Pangeran Panular adalah seorang pangeran yang memerintah tidak seperti paman-paman Putra Mahkota yang lain seperti Pangeran Diposono, Pangeran Dipowiyono, dan pangeran lain yang lebih memilih untuk berpura-pura bersembunyi di sudut-sudut keraton. Sesaat Putra Mahkota menuju Tamansari di Ngasem, akhirnya Putra Mahkota dan Pangeran Panular ditangkap oleh tentara Inggris di Gapura Jagabaya atau disebut juga Plengkung Tamansari. Setelah tertangkap Putra Mahkota dan Pangeran Panular dibawa tentara Inggris menuju Benteng Vredeburg, tempat Raffles dan Residen John Crawurd berada. Ketika masuk ke dalam benteng itulah, Pangeran Panular terkejut melihat pangeran-pangeran Jawa bersama Raffles seperti Prangwedana II (Adipati Mangkunegaran) dan Pangeran Natakusuma (pendiri Kadipaten Pakualaman) berpakaian militer ala militer Eropa. Akhirnya, Putra Mahkota dan rombongan dipersilahkan masuk ke dalam Benteng Vredeburg dengan ramah untuk membicarakan langkah-langkah berikutnya setelah Keraton Yogyakarta bedah dan Sultan Sepuh ditangkap. Terjadi setelah Sultan Sepuh tertangkap oleh tentara Inggris, kemudian Putra Mahkota dinobatkan Raffles menjadi raja Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengku Buwono III. Karena kerja keras Pangeran Panular inilah Pangeran Surojo atau Putra Mahkota dapat naik takhta. Sayang, kematian Pangeran Panular harus di tangan pasukan Diponegoro, yang masih putra Sultan Hamengku Buwono III dan cucu Pangeran Panular sendiri.

 Bendoro Pangeran Aryo Panular

( Bendoro Raden Mas Hadiwijaya )


Lahir : Yogyakarta, 1771/ 1772 M

Intelektual tumbal Perang Jawa.

Orang Tua : Sri Sultan Hamengku Buwono I / Pangeran Haryo Mangkubumi (Raden Mas Sujono), ♀ Bendoro Mas Ayu Tandawati.

Anak : ♀ Bendoro Raden Ayu Hadiningdiah / Bendoro Raden Ajeng Ratnadimurti.

Wafat : Nglengkong, Sleman, Yogyakarta 30 Juli 1826 M

Makam : 87CR+W6R, Area Sawah, Sumberejo, Kec. Tempel, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55552.


Keterangan : 


Pangeran Panular merupakan putra dari Sultan Mangkubumi atau dikenal dengan Sultan Hamengku Buwono I. serupa yang tertulis dalam Serat Raja Putra Ngyogyakarta Hadiningrat (1988) mengatakan bahwa Pangeran Panular lahir dari seorang selir dari Bendara Mas Ayu Tondhowati.



Bendara Mas Ayu Tondhowati merupakan putri yang berasal dari Kerajaan Blambangan Jawa Timur. Setelah Perjanjian Giyanti 1755, persahabatan antara Sultan Mangkubumi dengan Gubernur Pantai Timur Jawa Nicholas Hartingh sangat erat.


Bagaimanapun juga, Sultan Mangkubumi sangat berhutang budi pada Hartingh, karena berkat kepiawaian Hartingh mengakhiri konflik Perang Giyanti, maka Sultan Mangkubumi mendapatkan separuh tanah Mataram yang kemudian mendirikan Kesultanan Yogyakarta.


Untuk menunjukkan tanda persahabatan mereka, Hartingh memberikan seorang putri bernama Mas Ayu Tondhodari atau Tondhowati kepada Sultan Mangkubumi.


Sebagai rasa terima kasih Sultan Mangkubumi kepada Hartingh, kemudian Sultan Mangkubumi juga memberikan salah satu selirnya yang bernama Mas Ayu Retna Sekar kepada Hartingh. Tukar pertukaran istri ini memang terasa tidak lazim tetapi ini benar-benar terjadi antara Sultan Mangkubumi dengan Hartingh.


Dari rahim Bendara Mas Ayu Tondhowati ini, lahirlah Pangeran Arya Panular yang kelak setelah terjadinya Geger Sepehi tahun 1812, dia mengisahkan dalam babadnya yang kemudian diberi judul Babad Bedhah Ing Ngayogyakarta .


Dalam babad itu, Arya Panular sebagai saksi sekaligus pelaku yang ikut merasakan pahitnya ketika Raffles dengan tentara Inggris dan Sepoynya menggempur dan menjarah habis-habissan kekayaan Keraton Yogyakarta. Pangeran Panular memang seorang intelektual di zamannya.


Jika mendiang Sultan Hamengku Buwono III masih hidup ketika mendengar bahwa Pangeran Panular gugur di medan laga di tangan pasukan Pangeran Diponegoro, pasti Sang Raja itu sangat sedih dan meneteskan air mata.


Betapa tidak, orang yang selama terjadinya penyerangan Inggris di Yogyakarta pada tanggal 18, 19, dan 20 Juni 1812 selalu mendampingi dirinya yang saat itu masih menjadi Putra Mahkota, harus meregang nyawa di tangan pasukan Diponegoro. Putranya sendiri.


Terjadi saat terjadi pertempuran antara tentara Kesultanan Yogyakarta dengan tentara Inggris dan Sepoy di bawah komando Raffles, yang menjadi sasaran bombarder mesiu meriam pertama kali adalah kediaman Putra Mahkota yang ada di kompleks Kadipaten yang letaknya di timur laut keraton sehingga posisinya paling dekat dengan meriam Inggris yang ditembakkan dari Benteng Vredeburg.


Karena Kadipaten rusak parah, maka Putra Mahkota mengirim pesan kepada Sultan Hamengku Buwono II (Sultan Sepuh) melalui pamannya yang bernama Pangeran Panular. Pesan itu mengabarkan bahwa Kadipaten membutuhkan bantuan tentara dan jangan sampai Kadipaten jatuh terlebih dahulu oleh tentara Inggris.


Pangeran Panular dengan susah payah menuju kedaton menemui Sultan Sepuh, tetapi tidak mendapat jawaban yang memuaskan. Akhirnya, Pangeran Panular kembali menuju Kadipaten menemui Putra Mahkota dengan menghindari hujan mesiu.


Karena Putra Mahkota tidak mendapat bantuan tentara, maka Pangeran Panular menyarankan agar Putra Mahkota keluar dari Kadipaten untuk menyelamatkan diri.


Hal ini disampaikan oleh Pangeran Panular dengan memberi contoh sejarah penyerangan Trunajaya ke Plered pada zaman Amangkurat I berkuasa. Amangkurat I terpaksa menyingkir dari keraton untuk menyelamatkan diri.


Mendapat penjelasan dari Pangeran Panular, akhirnya Putra Mahkota bersiap keluar dari Kadipaten dan menuju ke Tamansari yang lokasinya lebih aman.


Putra Mahkota sangat berterima kasih kepada Pangeran Panular karena membimbingnya keluar dari Kadipeten yang sudah porak poranda.


Menurut Putra Mahkota, sosok Pangeran Panular adalah seorang pangeran yang memerintah tidak seperti paman-paman Putra Mahkota yang lain seperti Pangeran Diposono, Pangeran Dipowiyono, dan pangeran lain yang lebih memilih untuk berpura-pura bersembunyi di sudut-sudut keraton.


Sesaat Putra Mahkota menuju Tamansari di Ngasem, akhirnya Putra Mahkota dan Pangeran Panular ditangkap oleh tentara Inggris di Gapura Jagabaya atau disebut juga Plengkung Tamansari.


Setelah tertangkap Putra Mahkota dan Pangeran Panular dibawa tentara Inggris menuju Benteng Vredeburg, tempat Raffles dan Residen John Crawurd berada.


Ketika masuk ke dalam benteng itulah, Pangeran Panular terkejut melihat pangeran-pangeran Jawa bersama Raffles seperti Prangwedana II (Adipati Mangkunegaran) dan Pangeran Natakusuma (pendiri Kadipaten Pakualaman) berpakaian militer ala militer Eropa.


Akhirnya, Putra Mahkota dan rombongan dipersilahkan masuk ke dalam Benteng Vredeburg dengan ramah untuk membicarakan langkah-langkah berikutnya setelah Keraton Yogyakarta bedah dan Sultan Sepuh ditangkap.


Terjadi setelah Sultan Sepuh tertangkap oleh tentara Inggris, kemudian Putra Mahkota dinobatkan Raffles menjadi raja Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengku Buwono III.


Karena kerja keras Pangeran Panular inilah Pangeran Surojo atau Putra Mahkota dapat naik takhta. Sayang, kematian Pangeran Panular harus di tangan pasukan Diponegoro, yang masih putra Sultan Hamengku Buwono III dan cucu Pangeran Panular sendiri.

No comments:

Post a Comment