Pa Van Der Steur, Pahlawan Kemanusiaan Dari Magelang
10 November. Hari dimana pahlawan
diagungkan di Indonesia. Tanggal istimewa yang dipilih karena simbol
perlawanan semesta bangsa Indonesia melawan penjajah. Konon Pertempuran
10 November adalah salah satu pertempuran semesta di kurun waktu Perang
Dunia yang terbesar di Asia Tenggara. Dimana seluruh penduduk kota tanpa
pandang bulu memberikan perlawanan sampai titik darah penghabisan.
Tapi pahlawan bukan hanya mereka yang
berjuang di garis depan, yang angkat senjata. Ada juga pahlawan yang
bekerja dalam sunyi, bukan dengan senjata, tapi dengan kasih sayang
tanpa batas. Pahlawan adalah juga mereka yang bekerja tulus tanpa gelar
dan mungkin dilupakan begitu saja. Hanya segelintir yang mengingat
jasanya, dan mungkin tahu namanya.
Johannes Van Der Steur namanya, lahir di
Harleem, negeri Belanda pada 10 Juli 1865. Johannes atau kadangkala
dipanggil Jan, tumbuh dengan jiwa berbagi yang besar sejak muda. Rasa
berbaginya yang tinggi itulah yang kemudian membuat dirinya memilih
jalan hidup sebagai misionaris dan kemudian berangkat bertugas di Hindia
Belanda.
Awalnya Johannes tidak ada niatan ke
Hindia Belanda, pertemuannya dengan eks serdadu Belanda di Hardewijk
yang menceritakan kisah-kisah sengsara di Hindia Belanda membuatnya
terpanggil. Johannes berangkat dari Belanda pada tanggal 10 September
1892 dan kemudian memilih Magelang sebagai tempat tugasnya yang pertama,
kelak sampai akhir hidupnya nanti.
Johannes pertama bertugas sebagai
pelayan serdadu kolonial. Tugasnya setiap harinya antara lain adalah
membagikan kertas berisi pesan-pesan motivasi yang dikutip dari injil.
Suatu ketika ada serdadu yang menunjukkan padanya bahwa ada empat
anak-anak di sebuah kampung di Magelang yang didera kesusahan. Johannes
kemudian datang dan trenyuh melihat kondisi anak-anak itu, tanpa pikir
panjang Johannes langsung mengambil anak-anak itu untuk kemudian
diasuhnya dengan harapan bisa mendapat kehidupan yang lebih baik.
Langkah Johannes tadi terbilang nekat,
gajinya belum besar, tapi karena memang Johannes adalah orang yang
sangat welas asih, jadilah dia membangunkan rumah sederhana bagi empat
anak-anak tadi dan mencoba berbagai cara untuk menghidupi mereka. Oleh
keempat anak asuhnya tadi, Johannes dipanggil “Pa” yang merupakan
kependekan dari “Papa”. Akhirnya nama “Pa” inilah yang kemudian lebih
dikenal untuk menyebut Johannes.
Anak asuh Pa kemudian makin bertambah
banyak. Selain mereka yang kesusahan, anak asuh Pa juga adalah mereka
anak-anak serdadu yang gugur di medan perang. Tanpa memilih suku bangsa,
Pa mengasuh mereka, membangun sebuah panti asuhan yang kala itu jadi
panti asuhan terbesar di Jawa. Mulai dari anak-anak Belanda, Indo,
Ambon, Jawa, Manado. Pada 1942, ada 1100 anak asuh Pa Van Der Steur.
Pa tidak hanya mendirikan panti asuhan,
Pa menginisiasi sekolah, anak-anak asuhnya dididik dengan pendidikan
yang baik dengan harapan mereka bisa menjadi anak-anak yang terdidik dan
cerdas. Panti asuhan Pa sangat luas, berhektar-hektar, lokasinya
sekarang kira-kira di sekitar Mateseh, Kota Magelang. Untuk ukuran era
kolonial, Panti Asuhan Pa tergolong sangat lengkap, tempat ibadah,
kamar, gereja, lapangan, bahkan sampai arena hiburan. Namanya kemudian
harum sebagai sebagai filantropis di Hindia Belanda dan Belanda.
Kisah Pa, berakhir dengan cukup sedih.
Kedatangan Jepang membuat Pa dipenjara di Cimahi. Di usianya yang mulai
sepuh, Pa merasakan kehidupan di penjara yang tidak manusiawi,.
Beruntung ada Lutters, seorang anak asuh Pa yang juga dirawat di Cimahi,
Lutters merawat Pa selama di penjara.
Begitu Jepang hengkang dari Indonesia,
Pa dibebaskan dalam kondisi sakit-sakitan karena derita yang dialaminya
di penjara. Kondisi ini makin memburuk dan pada akhirnya karena usia
tuanya dan sakit yang mendera, Pa mangkat pada 10 September 1945, tak
sampai sebulan setelah Indonesia merdeka. Pa dimakamkan di Kherkof
Magelang, konon pada saat pemakamannya ribuan orang memenuhi jalanan
Magelang untuk memberikan penghormatan pada Pa Van Der Steur. Mereka
menganggap Pa adalah pahlawan, pahlawan kaum Papa.
Pa tidak diingat dalam sejarah, tapi Pa
akan selalu diingat di hati para anak asuhnya dan warga Magelang. Pa
tidak diakui sebagai pahlawan, mungkin karena dia Belanda atau bisa jadi
karena Pa tidak turut berjuang dalam perang kemerdekaan. Tapi lebih
dari itu Pa adalah pahlawan yang memerdekakan banyak anak-anak dengan
kasih sayang dan pendidikan yang layak.
Tempat pemakaman Pa sekarang adalah
satu-satunya di kompleks Kherkof yang tersisa. Geliat pembangunan di
tahun 1970-1980-an membuat Kherkof tergusur dan digantikan ruko-ruko,
hanya menyisakan gapura dan secuil kompleks makam Pa Van Der Steur. Pa
Van Der Steur jasanya dihargai tak lebih dari secuil ruang untuk
makamnya.
Sementara itu bekas panti asuhannya pun
seolah hilang. Berganti menjadi kantor Dinas Pendidikan. Kantor
Penanaman Modal. Kantor Golkar, Perumahan, SD Magelang III dan kantor
Badan Pertanahan. Sementara mungkin bekas bangunan Pa yang masih
bertahan sejak era Panti Asuan adalah Gereja Bethel dan Bangunan Panti
Asuhan Mayu Dharma Putra. Nyaris tidak ada kenangan dari jasa-jasa Pa
kecuali di hati para anak asuh dan keturunannya.
Itulah sekilas tentang Pa Van Der Steur,
seorang dari Harleem yang atas nama kemanusiaan mengabdi di Magelang
sampai akhir hidupnya. Pa berjuang dengan kemanusiaan, senjatanya adalah
kasih sayang dan pendidikan. Mungkin Pa akan terlupa, tapi tidak bagi
mereka yang mengenangnya seperti kata – kata yang tertulispada
pusaranya.
“Niet mijn naam, maar mijn werk zij gedacht”
Jangan kenang nama saya tetapi kenanglah pikiran dan kerja saya
Tabik.
Referensi :
https://www.efenerr.com/2013/11/10/pa-van-der-steur-pahlawan-kemanusiaan-dari-magelang/?fbclid=IwAR1_4yNhULCoi7qhfPze8alXwDaHQi3uGSz1JMkHTFOT66a6gnChc6z5988
A History of Christianity in Indonesia, Jan S Aritonang. 2008
No comments:
Post a Comment