06 August 2022

Prasasti Tarumanegara

 PRASASTI TARUMANAGARA DAN BERITA DARI CINA 




Kerajaan Tarumanagara adalah Kerajaan di Jawa Barat yang diperkirakan berdiri sekitar  tahun 358–669. Tarumanagara atau Kerajaan Taruma dalam bahasa Sunda ditulus : ᮊᮛᮏᮃᮔ᮪ ᮒᮛᮥᮙ dan dibaca : Karajaan Taruma, merupakan 

salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang meninggalkan beberapa catatan sejarah dan peninggalan artefak berupa prasasti di sekitar lokasi kerajaan.


Kerajaan Tarumanagara adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu. Kata Tarumanagara berasal dari kata Taruma dan Nagara. Taruma berasal dari kata Tarum yang merupakan nama sungai yang membelah Jawa Barat yaitu Citarum.

Nagara berarti Kerajaan atau Negara. Jadi arti dari Tarumanagara adalah Kerajaan atau Negara yang berada di aliran sungai Citarum.


Pada muara Citarum ditemukan percandian yang luas yaitu Percandian Batujaya dan Percandian Cibuaya yang diduga peninggalan dari Kerajaan Tarumanagara. 

Ada beberapa Prasasti dari Tarumanagara yang  sudah ditemukan dan dipelajari, diantaranya adalah Prasasti Ciaruteun, atau disebut juga Prasasti Ciampea, Prasasti Kebon Kopi I atau Prasasti Tapak Gajah dan Prasasti Tugu.


1. PRASASTI CIARUTEUN 


Prasasti Ciaruteun atau prasasti Ciampea ini  ditemukan di tepi Ci (Sungai) Aruteun, anak sungai dari Cisadane, Bogor, Jawa Barat 

Prasasti Ciaruteun  merupakan peninggalan masa Tarumanagara.


Prasasti Ciaruteun terdaftar dalam Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya dengan  

No. Regnas : CB.40 dan No. SK : 185/M/2015

Tanggal SK : 9 Oktober 2015. 

Dikelola oleh : Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang, Banten. 


Prasasti Ciaruteun terletak di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor; tepatnya pada koordinat 6°31’23,6” LS dan 106°41’28,2” BT. Lokasi ini terletak sekitar 19 kilometer sebelah barat laut dari pusat kota Bogor.


Tempat ditemukannya prasasti ini merupakan bukit, dalam bahasa Sunda disebut : pasir, yang diapit oleh tiga sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad ke-19, tempat ini masih dilaporkan sebagai Pasir Muara, yang termasuk dalam tanah swasta Tjampéa. Ciampea sekarang ini termasuk dalam wilayah Kecamatan Cibungbulang. Tidak jauh dari prasasti ini, masih dalam kawasan Ciaruteun, ditemukan pula Prasasti Kebonkopi I.


Menurut Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara parwa 2, sarga 3, halaman 161 disebutkan bahwa Tarumanagara mempunya rajamandala (wilayah bawahan) yang dinamai "Pasir Muhara".


* Penemuan Prasasti 

 

Pada tahun 1863 sebuah batu besar dengan ukiran aksara purba dilaporkan ditemukan di dekat Tjampea (Ciampea), tidak jauh dari Buitenzorg (kini Bogor). 

Batu berukir ini ditemukan di Kampung Muara, di aliran Ciaruteun, salah satu anak sungai Cisadane.


Pada tahun yang sama, prasasti Ciaruteun dilaporkan oleh pemimpin Bataviasche Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang sekarang menjadi Museum Nasional di Jakarta. Akibat banjir besar pada tahun 1893 batu prasasti ini hanyut beberapa meter ke hilir dan bagian batu yang bertulisan ini menjadi terbalik posisinya ke bawah. Kemudian pada tahun 1903 prasasti ini dipindahkan ke tempat semula.


Pada tahun 1981 Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengangkat dan memindahkan prasasti batu ini agar tidak terulang terseret banjir bandang. Selain itu prasasti ini kini dilindungi bangunan pendopo, untuk melindungi prasasti ini dari curah hujan dan cuaca, serta melindunginya dari tangan jahil. 


Replika berupa cetakan resin dari prasasti ini kini disimpan di tiga museum, yaitu Museum Nasional Indonesia dan Museum Sejarah Jakarta di Jakarta dan Museum Sri Baduga di Bandung.


* Bahan Prasasti 


Prasasti Ciaruteun dibuat dari batu kali atau batu alam. Batu ini berbobot delapan ton dan berukuran 200 cm kali 150 cm.


* Isi  Prasasti 


Prasasti Ciaruteun bertuliskan aksara Pallawa yang disusun dalam bentuk seloka bahasa Sanskerta dengan metrum Anustubh yang terdiri dari empat baris dan pada bagian atas tulisan terdapat pahatan sepasang telapak kaki, gambar umbi dan sulur-suluran (pilin), dan laba-laba.


* Isi Teks :


vikkrantasyavanipat eh

srimatah purnnavarmmanah

tarumanagarendrasya

visnoriva padadvayam


Terjemahannya :

“Inilah (tanda) sepasang telapak kaki yang seperti kaki Dewa Wisnu (pemelihara) ialah telapak yang mulia sang Purnnawarmman, raja di negri Taruma, raja yang gagah berani di dunia”.


Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan raja atas daerah tempat ditemukannya prasasti tersebut. Hal ini berarti menegaskan kedudukan Purnawarman yang diibaratkan Dewa Wisnu maka dianggap sebagai penguasa sekaligus pelindung rakyat. 

Penggunaan cetakan telapak kaki pada masa itu mungkin dimaksudkan sebagai tanda keaslian, mirip dengan tanda tangan zaman sekarang. Hal ini kemungkinan dimaksudkan sebagai tanda kepemilikan atas tanah.


2. PRASASTI KEBON KOPI I


Prasasti Kebon Kopi I disebut juga Prasasti Tapak Gajah 

Prasasti ini dinamakan Prasasti Kebon Kopi I untuk membedakannya dari Prasasti yang lain yaitu : Prasasti  Kebon Kopi II dan disebut juga Prasasti Tapak Gajah, karena terdapat pahatan tapak kaki gajah.


Prasasti Kebon Kopi I merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Tarumanagara. 

Prasasti Kebon Kopi I ini menampilkan ukiran tapak kaki gajah, yang mungkin merupakan tunggangan Raja Purnawarman, kemungkinan disamakan dengan gajah Airawata, wahana Dewa Indra.


Prasasti Kebon kopi I (Prasasti Tapak Gajah) tercantum dalam Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya dengan No. Regnas : CB.42 dan 

No. SK : 185/M/2015, Tanggal SK : 9 Oktober 2015. Dikelola oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang, Banten. 


Prasasti Kebon Kopi I terletak di Kampung Muara, termasuk wilayah Desa Ciaruteun Ilir, Cibungbulang, Bogor. Prasasti ini ditemukan pada abad ke-19, ketika dilakukan penebangan hutan untuk lahan perkebunan kopi. 

Oleh karena itu prasasti ini disebut Prasasti Kebon Kopi I. Hingga kini prasasti tersebut masih berada di tempatnya ditemukan (in situ). 


Prasasti ini berada pada koordinat 106°41'25,2" Bujur Timur dan 06°31'39,9" Lintang Selatan dengan ketinggian 320 m di atas permukaan laut. Area dari situs ini merupakan kawasan pertemuan tiga sungai, yaitu Sungai Ciaruteun di selatan, Sungai Cisadane di timur, Sungai Cianten di barat, dan berada di muara dari Sungai Cianten yang bertemu dengan Sungai Cisadane di sebelah utara.


Lokasi ini berjarak sekitar 19 kilometer ke arah Barat Laut dari pusat kota Bogor menuju ke arah Ciampea. Kondisi jalan menuju lokasi cukup memadai, tetapi dari jalan raya belum dilengkapi dengan penunjuk jalan.


Prasasti dipahatkan di atas sebuah batu datar dari bahan andesit berwarna kecokelatan berukuran tinggi 69 cm, lebar 104cm dan 164 cm. Di permukaan batu dipahatkan sepasang telapak kaki gajah dan mengapit sebaris tulisan berhuruf Palawa dalam Bahasa Sanskerta.


* Sejarah Penemuan 


Pada tahun 1863, Jonathan Rigg, seorang tuan tanah pemilik perkebunan kopi di dekat Buitenzorg (kini Bogor), melaporkan penemuan prasasti di tanahnya. Penemuan prasasti ini dilaporkan kepada Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang sekarang menjadi Museum Nasional Indonesia,Jakarta. 


Di kawasan situs Ciaruteun ini ditemukan beberapa prasasti dan Prasasti Kebonkopi I adalah salah satu dari tiga buah prasasti yang sudah berhasil ditemukan dan sangat penting nilainya untuk mengetahui dan mempelajari  sejarah dari Kerajaan Tarumanagara pada abad ke-5 hingga 7 M. Dua prasasti lainnya adalah Prasasti Ciaruteun dan Prasasti Muara Cianten, keduanya ditemukan tidak jauh dari Prasasti Kebon Kopi I ini. 


Prasasti Kebon Kopi I dan Prasasti Ciaruteun telah ditata dan diberi cungkup atau atap pendopo peneduh. Sebenarnya ada pula Prasasti Kebonkopi II yang pernah ditemukan di lokasi yang berjarak sekitar 1 kilometer dari lokasi ini, namun kini prasasti Kebonkopi II kemudian hilang.


* Bahan Prasasti 


Prasasti Kebon Kopi I dipahatkan pada salah satu bidang permukaan batu yang berukuran cukup besar.


* Teks Prasasti 


Prasasti ini ditulis dengan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta yang disusun ke dalam bentuk seloka metrum Anustubh yang diapit sepasang pahatan gambar telapak kaki gajah.


Teks Prasasti :


~ ~ jayavisalasya Tarumendrasya hastinah ~ ~

Airwavatabhasya vibhatidam ~ padadvayam


Terjemahannya : 


“Di sini tampak tergambar sepasang telapak kaki …yang seperti Airawata, gajah penguasa Taruma yang agung dalam….dan (?) kejayaan”


3. PRASASTI TUGU 


Prasasti Tugu adalah salah satu prasasti yang berasal dari Kerajaan Tarumanagara. 

Prasasti Tugu ini isinya adalah : penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya. Penggalian sungai Gomati merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.


Prasasti Tugu bertuliskan aksara Pallawa yang disusun dalam bentuk seloka bahasa Sanskerta dengan metrum Anustubh yang terdiri dari lima baris melingkar mengikuti bentuk permukaan batu. Sebagaimana semua prasasti-prasasti dari masa Tarumanagara umumnya, Prasasti Tugu juga tidak mencantumkan pertanggalan. Kronologinya didasarkan pada analisis gaya dan bentuk aksara (analisis palaeografis). Berdasarkan analisis tersebut diketahui bahwa prasasti ini berasal dari pertengahan abad ke-5 Masehi. Khusus prasasti Tugu dan prasasti Cidanghiyang memiliki kemiripan aksara, sangat mungkin sang pemahat tulisan (citralaikha > citralekha) kedua prasasti ini adalah orang yang sama.


Dibandingkan prasasti-prasasti dari masa Tarumanagara lainnya, Prasasti Tugu merupakan prasasti yang terpanjang yang dikeluarkan Sri Maharaja Purnawarman. Prasasti ini dikeluarkan pada masa pemerintahan Purnnawarmman pada tahun ke-22 sehubungan dengan peristiwa peresmian (selesai dibangunnya) saluran sungai Gomati dan Candrabhaga.


Prasasti Tugu memiliki keunikan tersendiri,  yaitu : terdapat pahatan hiasan tongkat yang pada ujungnya dilengkapi semacam trisula. Gambar tongkat tersebut dipahatkan tegak memanjang ke bawah seakan berfungsi sebagai batas pemisah antara awal dan akhir kalimat-kalimat pada prasastinya.


* Penemuan Prasasti 


Prasasti Tugu tercatat pertama kali dalam laporan Notulen Bataviaasch Genootschap tahun 1879. Kemudian pada tahun 1911 atas prakarsa P.de Roo de la Faille prasasti ini dipindahkan ke Museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (sekarang Museum Nasional) serta didaftar dengan nomor inventaris D.124.


* Bahan Prasasti

 

Prasasti Tugu dipahatkan pada batu berbentuk bulat telur berukuran ± 1m.


* Teks Prasasti : 


pura rajadhirajena guruna pinabahuna khata khyatam purim prapya candrabhagarnnavam yayau//

pravarddhamane dvavingsad vatsare sri gunau jasa narendradhvajabhutena srimata purnavarmmana//

prarabhya phalguna mase khata krsnastami tithau caitra sukla trayodasyam dinais siddhaikavingsakaih

ayata satsahasrena dhanusamsasatena ca dvavingsena nadi ramya gomati nirmalodaka//

pitamahasya rajarser vvidaryya sibiravanim brahmanair ggo sahasrena prayati krtadaksina//


Terjemahannya : 


“Dahulu sungai yang bernama Candrabhaga telah digali oleh maharaja yang mulia dan yang memiliki lengan kencang serta kuat yakni Purnnawarmman, untuk mengalirkannya ke laut, setelah kali (saluran sungai) ini sampai di istana kerajaan yang termasyur. 


Pada tahun ke-22 dari tahta Yang Mulia Raja Purnnawarmman yang berkilau-kilauan karena kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji-panji segala raja-raja, (maka sekarang) dia pun menitahkan pula menggali kali (saluran sungai) yang permai dan berair jernih Gomati namanya, setelah kali (saluran sungai) tersebut mengalir melintas di tengah-tegah tanah kediaman Yang Mulia Sang Pendeta Nenekda (Raja Purnnawarmman). Pekerjaan ini dimulai pada hari baik, tanggal 

8 paro-gelap bulan dan disudahi pada hari tanggal ke 13 paro terang bulan Caitra, jadi hanya berlangsung 21 hari lamanya, sedangkan saluran galian tersebut panjangnya 6122 busur. Selamatan baginya dilakukan oleh para Brahmana disertai 1000 ekor sapi yang dihadiahkan”


BERITA DARI CHINA 


Berdasarkan berita dari China pada masa Dinasti Liang, disebutkan sebuah negara atau kerajaan bernama Lang-ga-su atau Lang-ga yang kemungkinan besar adalah sebutan untuk Kerajaan Tarumanagara.


Negara Lang-ga-su atau Lang-ga terletak di samudra selatan. Tembok kotanya dibuat dari susunan bata disertai menara-menara pengawas. Memiliki gerbang masuk ganda.

Raja Lang-ga-su selalu bepergian dengan mengendarai seekor gajah. Wajahnya ditutupi kanopi putih, dikelilingi bendera-bendera bulu, umbul-umbul, dan diiringi genderang. Kekuatan militernya sungguh lengkap.


Begitulah Sejarah Dinasti Liang (502–557 M) menyebutkan adanya kerajaan di pantai selatan bernama Lang-ga-su atau Lang-ga. Letaknya membingungkan para ahli geografi China. Apalagi nama itu tidak ada dalam catatan lain.


Menurut W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa, para ahli geografi Cina yang mempelajarinya secara mendalam menempatkan negara Lang-ga-su di pantai utara Jawa, di Jawa bagian barat. “Terdapat sejumlah alasan untuk menyetujui pendapat ini,” tulisnya.


Sementara itu, Agus Aris Munandar, arkeolog Universitas Indonesia, dalam Kaladesa: Awal Sejarah Nusantara, berpendapat bahwa uraian Sejarah Dinasti Liang itu cocok dengan gambaran Kerajaan Tarumanagara, salah satu kerajaan bernuansa Hindu dan Buddha pertama di Nusantara. 


Robert Wessing, seorang sejarawan dari  Universitas Nasional Singapura, menyebutkan  “Tarumanagara : What’s in a name?”

 Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 42, No. 2 (Juni 2011), berpendapat  bahwa Kerajaan Tarumanagara diperkirakan sudah berdiri antara abad ke-4 dan ke-7 M. “Tampaknya memiliki zaman keemasannya pada abad ke-5,” tulis Robert Wessing.


Berdasarkan sejumlah prasasti berbahasa  Sanskerta dalam aksara Pallawa India Selatan yang dikeluarkan pada sekira abad ke-5. Penguasanya adalah Purnawarman, seperti yang juga disebutkan dalam catatan perjalanan biarawan Cina, Faxian yang pergi ke Jawa pada abad ke-5.


Sejauh ini sudah ditemukan tujuh prasasti yang membuktikan keberadaan dan sejarah Kerajaan Tarumanagara, yaitu :  Prasasti Ciaruteun, Prasasti Kebon Kopi I, Prasasti Pasir Kolcangkak, Prasasti Muara Cianten, Prasasti Pasir Muara yang ditemukan di daerah Bogor, Prasasti Tugu yang ditemukan di Jakarta Utara, dan Prasasti Lebak yang ditemukan di daerah  Pandeglang.


Dari lokasi temuan prasasti diketahui bahwa wilayah Tarumanagara meliputi sebagian besar Jawa bagian barat. Diperkirakan pengaruh kekuasaan Kerajaan Tarumanagara, khususnya pada masa pemerintahan Purnawarmman, mencakup wilayah Kabupaten Pandeglang, Tangerang di bagian barat, Kabupaten Bogor di selatan, Jakarta di utara, dan wilayah Bekasi dan Karawang di timur.


“Wilayah Tarumanagara agaknya meliputi daerah Ujung Kulon hingga, sangat mungkin, Sungai Citarum, sebagai batas paling timur,” jelas Agus. “Karena nama sungai itu berasal dari Ci+Taruma atau Sungai Taruma.”


Agus menjelaskan, pada sekira abad ke-5-7 M wilayah pantai utara Jawa bagian barat telah ramai dengan aktivitas keagamaan baik Hindu maupun Buddha Mahayana. 


Agama India yang semula berkembang di daerah pantai itu berikutnya menyebar ke wilayah pedalaman Jawa bagian barat. 

“Ini seiring dengan meluasnya kekuasaan Kerajaan Tarumanagara,” jelas Agus.


Kendati begitu, menurut Endang Widyastuti, arkeolog Balai Arkeolog Bandung dalam “Penguasaan Kerajaan Tarumanagara”, Purbawidya Vol. 2/No. 2/November 2013, pusat Kerajaan Tarumanagara hingga kini masih menjadi bahan perdebatan ahli. 


Sungai Citarum menjadi salah satu wilayah Kerajaan Tarumanagara atau mungkin salah satu kawasan dari Kerajaan  Tarumanagara yang penting. Menurut Agus, ada kesesuaian antara Berita China dan beberapa keterangan dari prasasti-prasasti Tarumanagara. 

Sama seperti yang tercatat dalam Sejarah Dinasti Liang dari abad ke-6, Prasasti Kebon Kopi I juga menyebut Raja Tarumanagara bernama Purnawarman, selalu menaiki gajah jika bepergian dan selalu dihias dengan umbul-umbul dan panji-panji, sebagaimana diuraikan dalam Prasasti Tugu dan Prasasti  Cidanghyang.


“Kedua prasasti itu menyatakan Purnawarman adalah panji-panji segala raja,” tulis Agus.


Kerajaan Tarumanagara mempunyai  kekuatan militer yang mumpuni. Ini sesuai uraian dari  Prasasti Jambu (Prasasti Koleangkak) bahwa Raja Purnawarman berhasil menggempur kota musuh-musuhnya.


“Mungkinkah Lang-ga-su atau Lang-ga berasal dari kata Lingga ? Lingga, batu lonjong simbol dari Dewa Siwa berbentuk seperti halu/alu penumbuk padi ? ” 


Alu dalam bahasa Melayu adalah antan atau anten. Sementara di Kampung Muara, Bogor, terdapat Prasasti Muara Cianten. Kata cai berarti air, sedangkan anten/antan berarti alu atau lingga. “... dan arti Cianten adalah air pembasuh lingga,” 


Menurut Agus, daerah Lang-ga atau Lingga dalam Berita China adalah bagian dari wilayah Jawa bagian barat, yakni Bogor yang terletak di pedalaman. “Karena itu negara Langga atau Lingga yang disebutkan dalam Berita China tidak diragukan lagi adalah salah satu wilayah dari Tarumanagara, dan kemungkinan adalah  daerah Kampung Muara, Bogor. 

Pernyataan ini didukung oleh kenyataan kalau permukiman di Bogor sudah ada sejak abad ke-5 sebagaimana dijelaskan oleh arkeolog Endang Widyastuti.


Kampung Muara letaknya memang cukup istimewa. Wilayahnya dikelilingi tiga aliran sungai, Cisadane di utara, Cianten di barat, dan Ciaruteun di timur. Temuan arkeologis di situs ini juga banyak, di antaranya batu dakon, Prasasti Ciaruteun, Prasasti Kebon Kopi I, Prasasti Muara Cianten, dan batu datar.


Potensi arkeologis di Kampung Muara itu pun menandai pentingnya kawasan Cisadane bagi Kerajaan Tarumanagara. Ditambah lagi lima dari tujuh prasasti yang menandai eksistensi Tarumanagara ditemukan berkerumun di kawasan hulu Cisadane.


Endang menjelaskan, tiga di antara lima peasasti itu bahkan menunjukkan penguasaaan wilayah oleh Kerajaan Tarumanagara. Raja Purnawarman digambarkan sebagai pemimpin yang gagah berani, penuh kejayaan, dan berkuasa.


Bekas dua kaki, yang seperti kaki Dewa Wisnu, ialah kaki Yang Mulia Sang Purnavarman, raja di negeri Taruma, raja yang gagah berani seperti yang dicatat dalam  Prasasti Ciaruteun.


Selain Kampung Muara, di kawasan hulu Sungai Cisadane juga terdapat Situs Pasir Angin dan Pasir Jambu. “Ini mengindikasikan bahwa kawasan hulu Cisadane merupakan kawasan yang cukup penting,” tulis Endang.


Menurut Endang, penguasaan wilayah hulu Cisadane bertujuan untuk mendapatkan sumber emas. Indikasinya, di Situs Pasir Angin ditemukan artefak berbahan emas. Pun Sejarah Dinasti Liang mencatat bahwa raja dan kaum bangsawan di Langga, atau Kampung Muara menurut Agus, suka menggunakan ikat pinggang emas dan anting-anting emas sebagai pakaian dan aksesoris mereka. Artinya pada masa lalu di kawasan hulu Cisadane telah dikenal pemanfaatan emas. 


“Pertanyaan selanjutnya di mana di kawasan hulu Cisadane ini yang menghasilkan emas?” tulis Endang. Salah satu tambang emas di daerah ini adalah Gunung Pongkor yang terletak di daerah Kecamatan Nanggung.


Endang menjelaskan, emas di sana bisa dihasilkan oleh endapan aluvium maupun endapan sungai yang mengandungnya. 

“Emas ini bersifat sekunder dan disebut plaser, berasal dari suatu batuan yang elevasinya tinggi, misalnya pegunungan,” 


Batuan itu kemudian terkena proses pelapukan serta kikisan. Hasilnya hanyut terbawa oleh air hujan ke tempat lebih rendah yang biasanya terkumpul di suatu daratan. 

Dari sinilah di tempat yang lebih datar bisa ditemukan konsentrasi emas yang tinggi. 

Emas ini kemudian bisa ditambang dengan cara yang sederhana. 


“Penguasaan kawasan hulu Cisadane oleh Tarumanagara bertujuan untuk menguasai sumber kekayaan di antaranya yaitu dengan menguasai sumber bahan emas yang merupakan komoditas yang cukup penting,”




No comments:

Post a Comment