Oleh : Chandra Gusta Wisnuwardana
WABAH PES MAGELANG : Dari Pagebluk Satu ke Pagebluk Lainnya (Bagian I)
Jawa pasca diberlakukannya Etische Politiek (Politik Etis) pada awal abad ke-20 telah berubah menjadi pulau yang kian terhubung dengan dunia internasional. Dermaga - dermaga di pesisir Utara Jawa tidak hanya menjadi pintu gerbang arus keluar - masuk barang dan orang saja, akan tetapi juga wabah penyakit yang belum pernah ada sebelumnya. Dipicu dengan gagal panen padi di Jawa pada 1910 membuat pemerintah kolonial mambuka keran impor beras besar - besaran per Agustus tahun itu.
Beras - beras tersebut diimpor dari beberapa produsen besar milik koloni Inggris seperti India, Burma serta negeri tirai bambu Tiongkok. Namun, ada hal yang terlewat diperhitungkan oleh pemerintah kolonial, yaitu ikut terangkutnya tikus - tikus pembawa wabah sampar (pes) ke dalam kapal - kapal pengangkut. Gudang - gudang beras adalah lokasi paling mematikan karena dari sana lah kutu - kutu pembawa pes hinggap pada tubuh tikus dan terus berkembang biak. Jawa Timur adalah daerah pertama di Jawa yang menanggung parahnya epidemi pes pada 1910 hingga 1911 dengan puncaknya pada tahun 1914. Lebih dari 15.000 orang tewas di Malang dan sekitarnya. Wabah Pes kemudian menjalar dan mengamuk di banyak daerah di Jawa Tengah, tak terkecuali Gemeente Magelang.
Kabar tentang merebaknya wabah pes paling awal di Magelang yang berhasil penulis temukan terdapat dalam surat kabar De Sumatra Post yang terbit pada 1 April 1911 dimana penderita mengalami gejala seperi benjolan - benjolan ditubuhnya yang diduga akibat penyakit pes. Dalam isi berita tersebut dikatakan bahwa gejala seperti itu tidak berbahaya. Tidak ada kejelasan tentang apa yang terjadi selanjutnya terhadap penyakit yang diduga pes tersebut pada 1911 di Magelang. Namun yang jelas wabah pes dari Jawa Timur sudah meluas dan mulai dilaporkan muncul di Gemeente Magelang pada 1918, berbarengan dengan mulai merebaknya wabah Spaansche Greip (Influenza Spanyol). Magelang pada 1918 sedang berada diambang ancaman dua pagebluk besar yang kengeriaanya belum pernah dilihat sebelumnya.
Sebelum merebaknya dua wabah ini, wilayah Karesidenan Kedu sudah acap dihantam oleh wabah - wabah endemik seperti cacar, kolera, penyakit kuning dan lain sebagainya. Berdasarkan laporan surat kabar Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch - Indie terbitan bulan Februari 1920, korban meninggal akibat berbagai macam penyakit tersebut di Karesidenan Kedu sudah mencapai total 20.000 orang. Dr. L. Otten selaku dokter karesidenan menyatakan jumlah tersebut bisa saja lebih besar mengingat kawasan Kedu Utara dikenal memiliki medan yang cukup sulit untuk dijangkau mantri - mantri kesehatan. Hal tersebut diperparah lagi dengan terbatasnya SDM tenaga kesehatan, masyarakat yang tidak kooperatif, pegawai pangreh praja yang tidak bisa dijadikan panutan, iklim pegunungan yang cocok untuk berkembang biaknya penyakit, banyaknya rumah yang buruk dan tidak layak serta belum ditemukannya vaksin membuat korban berbagai macam pagebluk bisa lebih besar dari itu.
Bersambung...
- Chandra Gusta Wisnuwardana -
Jawa pasca diberlakukannya Etische Politiek (Politik Etis) pada awal abad ke-20 telah berubah menjadi pulau yang kian terhubung dengan dunia internasional. Dermaga - dermaga di pesisir Utara Jawa tidak hanya menjadi pintu gerbang arus keluar - masuk barang dan orang saja, akan tetapi juga wabah penyakit yang belum pernah ada sebelumnya. Dipicu dengan gagal panen padi di Jawa pada 1910 membuat pemerintah kolonial mambuka keran impor beras besar - besaran per Agustus tahun itu.
Beras - beras tersebut diimpor dari beberapa produsen besar milik koloni Inggris seperti India, Burma serta negeri tirai bambu Tiongkok. Namun, ada hal yang terlewat diperhitungkan oleh pemerintah kolonial, yaitu ikut terangkutnya tikus - tikus pembawa wabah sampar (pes) ke dalam kapal - kapal pengangkut. Gudang - gudang beras adalah lokasi paling mematikan karena dari sana lah kutu - kutu pembawa pes hinggap pada tubuh tikus dan terus berkembang biak. Jawa Timur adalah daerah pertama di Jawa yang menanggung parahnya epidemi pes pada 1910 hingga 1911 dengan puncaknya pada tahun 1914. Lebih dari 15.000 orang tewas di Malang dan sekitarnya. Wabah Pes kemudian menjalar dan mengamuk di banyak daerah di Jawa Tengah, tak terkecuali Gemeente Magelang.
Kabar tentang merebaknya wabah pes paling awal di Magelang yang berhasil penulis temukan terdapat dalam surat kabar De Sumatra Post yang terbit pada 1 April 1911 dimana penderita mengalami gejala seperi benjolan - benjolan ditubuhnya yang diduga akibat penyakit pes. Dalam isi berita tersebut dikatakan bahwa gejala seperti itu tidak berbahaya. Tidak ada kejelasan tentang apa yang terjadi selanjutnya terhadap penyakit yang diduga pes tersebut pada 1911 di Magelang. Namun yang jelas wabah pes dari Jawa Timur sudah meluas dan mulai dilaporkan muncul di Gemeente Magelang pada 1918, berbarengan dengan mulai merebaknya wabah Spaansche Greip (Influenza Spanyol). Magelang pada 1918 sedang berada diambang ancaman dua pagebluk besar yang kengeriaanya belum pernah dilihat sebelumnya.
Sebelum merebaknya dua wabah ini, wilayah Karesidenan Kedu sudah acap dihantam oleh wabah - wabah endemik seperti cacar, kolera, penyakit kuning dan lain sebagainya. Berdasarkan laporan surat kabar Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch - Indie terbitan bulan Februari 1920, korban meninggal akibat berbagai macam penyakit tersebut di Karesidenan Kedu sudah mencapai total 20.000 orang. Dr. L. Otten selaku dokter karesidenan menyatakan jumlah tersebut bisa saja lebih besar mengingat kawasan Kedu Utara dikenal memiliki medan yang cukup sulit untuk dijangkau mantri - mantri kesehatan. Hal tersebut diperparah lagi dengan terbatasnya SDM tenaga kesehatan, masyarakat yang tidak kooperatif, pegawai pangreh praja yang tidak bisa dijadikan panutan, iklim pegunungan yang cocok untuk berkembang biaknya penyakit, banyaknya rumah yang buruk dan tidak layak serta belum ditemukannya vaksin membuat korban berbagai macam pagebluk bisa lebih besar dari itu.
Bersambung...
- Chandra Gusta Wisnuwardana -
No comments:
Post a Comment