Lebaran Terakhir Sang Pangeran di Jawa
Pada tahun 1830, ketika memasuki bulan Ramadhan. Sang Pangeran mengatakan kepada Sahabatnya dan juga lawannya yaitu Jenderal De kock bahwa beliau tidak akan membicarakan hal yang serius selama menjalani ibadah puasa yang akan berakhir pada tanggal 27 Maret 1830.
Sahabatnya pun menyetujui. Dan membiarkan musuhnya berpuasa dengan damai. Bahkan Sang Pangeran pernah dirawat di garnisun Belanda karena sakit Malarianya di sekitar pegunungan Menoreh.
Pada hari ke 12 ramadhan, Sang Pangeran bersama 800 pasukannya memasuki Magelang dan beramah tamah dengan jenderal de Kock bahkan saling bercanda.
Setelah pertemuan itu, Diponegoro dan pengikutnya berkemah di Matesih, sebuah daerah di tepi Kali Progo. Di mana perwira bernama Mayor Francois Victor Henri Antoine Ridder de Steur, yang tak lain mantu de Kock, melukis perkemahan tersebut.
Kenapa Belanda belum menangkap sang Pangeran? Belanda nyatanya tak semurah hati itu. Residen Yogyakarta Frans Gerhardus Valck menempatkan Tumenggung Mangunkusumo dalam rombongan Diponegoro sebagai mata-mata. Dialah pemasok laporan yang membuat Letnan Jenderal de Kock jadi makin menganggap Diponegoro bahaya besar. Berdasar laporan, Diponegoro tetap berkeras agar diakui sebagai Sultan di bagian selatan Jawa.
Pada 25 Maret 1830 atau dua hari jelang lebaran, Letnan Jenderal de Kock sudah memutuskan untuk berlaku “tidak terpuji, tidak ksatria dan curang” kepada Diponegoro. Letnan Kolonel du Perron dan Mayor A.V. Michels diperintahkannya mempersiapkan pasukan di sekitar kantor Residen Kedu. Untuk mengamankan penangkapan sang Pangeran jika datang nanti. Penjagaan pun meningkat dua kali lipat.
Idul Fitri tahun itu adalah idul Fitri terakhir yang dilalui oleh Sang Pangeran di Tanah Jawa sebelum akhirnya diasingkan di Makassar yang jauh dari tumpah darahnya
Sumber: TIRTO.ID
gambar: Litografi karya Wilhelmus van Groenewoud, berdasarkan sketsa opsir Belanda FVHA Ridder de Stuers, 1833
No comments:
Post a Comment