KIDUNG ALAS MENTAOK
Tarung Pamungkas Sutawijaya dengan Arya Penangsang
Oleh : Djuni Prasetya
Tiada yang menyangka nasip seseorang semua “ kersaning Gusti Pangeran, tugas kita hanya ngelakoni takdir “ Sangkan Paraning Dumadi” dengan tetap ‘ Memayu Hayuning Bawana” itulah cumplikan wejangan , yang tertangkap syahdu dan menyesap ke kalbu , Danang Sutawijaya bocah yang sedang haus hausnya menyecap luasnya samudera Ngelmu. Dari seorang Pengembara yang telah renta dan sangat dihormati di pesisir tanah Jawi bagian Selatan , Sang Sunan Kalijaga yang “mampir” di paseban sederhana milik sang Jaka Tingkir .
Ki Pemanahan, Ki Penjawi , Ki Juru Martani, dan Hadiwijaya sedang urung rembug , mengatur siasat untuk menghadapi persoalan dengan Harya Penangsang Raja Jipang Panolan. Beliau adalah lanang ing Jagad, seorang yang telah putus segala ilmu dan ngelmu, Jaya Kajiwan, Digdaya dan Mumpuni sondol langit murid kinasih Sunan Kudus. Yang terkenal tegas , karismatik seolah tanpa lawan tanding untuk urusan adu tulang kering …
Ki Juru Martani tersenyum mendapat “wisik” untuk mengatasi persoalan siapa yang harus menghadapi sang Harya. Menghadapi Sang Penangsang jika hanya mengandalkan Otot dan ilmu Kadigjayaan hanyalah membuang waktu dan membunuh diri sendiri, gunakan Rasa , menuturkan pertarungan epic antara Bocah Danang Sutawijaya yang bersenjatakan Kyi Plered tombak pusaka yang ngendap endapi kelinuwihanya, melawan Harya Penangsang dengan Pusakanya Kyai Brongot Setan Kober yang tak kalah mumpuni dan dikramati. Dan Kuda sang Adipati Gagak Rimang Keseekor kuda yang konon “autopilot” atas perintah tuannya.
Begawan Sore jadi saksi , bahwa kedigdayaan yang terhunus dengan kemarahan selalu dapat di kalahkan oleh Akal budhi pekerti yang penuh kesabaran dan pemahaman dalam memahami persoalan secara hakiki. Dalam Bahasa Latin disebut “ Ngunduhi Wong Pakerti”
Dan Sang Lanang ing Jagad tersadar dan terlambat, bahwa semua yang ada di mayapada alam donya punya . Punya kronologi , history , yang diatur dalam irama takdir yang luwes dalam simpony kesemestawian. Seditik kemudian teringat lah , beliau yang terlihat seperti ronce Melati dipinggangnya adalah ususnya yang terburai akibat sentuhan tombak Bocah Sutawijaya , teryata ilmu Tameng Waja tak mampu membendung tajamnya ujung Tombak yang menjadi Sipat Kandel Keraton Demak Kyai Plered. Dan dengan keris yang digadang gadang mampu melindungi dirinya menghadapi setiap persoalan yang dihadapi Kyai Brongot setan Kober miliknya yang telah memutus ususnya sendiri.
Gagak Rimang meringkik dan mengakat kakinya tinggi, seolah mengutarakan penyesalan kepada Junjungannya. Karena ngedan lupa diri menuruti Hasrat birahi , melihat kemolekan kuda binal milik musuh junjunganya hingga lupa diri kehilangan kewaspadaan. Yang berakibat junjunganya sibuk mengendalikan kuda yang sedang kegandrungan daripada mengatur strategi saat pertarungan yang sangat menentukan di tepian Begawan Sore.
Dikejauhan Sang Pengembara renta yang tampak welas asih lagi bijaksana. Meninggalkan tepian Begawan Sore sambil menembang kidung
LIR ILER... LAR ILEEER, TANDURE WONG SUMILER….
Kelak apa yang menjadi Pameling beliau Sang Penjaga Kali, bahwa liwat anak cucu Sang Danang Sutawijaya terlahir pejuang yang melawan musuh baru para wong sebrang yang bersenjata tongkat api dan berkulit bule dan berjuang mengusir dari bhumi pertiwi….
JatiMekar2024
Pekik Hening
No comments:
Post a Comment