Dia memang bukan ujung tombak atau penyerang tim. Posisinya sebagai gelandang serang. Penguasaan bolanya prima dan umpan-umpannya akurat.
Pria kelahiran 21 Februari 1948 di Mataram, NTB, memiliki bakat luar biasa dalam mengolah bola. Pelatih asal Belanda, Wiel Coerver, menilai gaya permainan pria bernama Junaedi Abdillah ini mirip pemain Eropa.
Setelah sempat ikut Diklat Salatiga bersama Oyong Liza, Waskito, Suharsoyo, dan lain-lain, Junaedi sempat memperkuat timnas junior di kejuaraan Asia pada 1967 dan menjadi runner up karena kalah dari Israel. Setelah itu, Junaedi menjadi langganan timnas senior. Dia juga sempat memperkuat Persebaya, Persija, dan Indonesia Muda (Galatama).
Ia pernah ikut mengantarkan timnas menjuarai Kings Cup di Thailand pada 1968. Junaedi dua kali masuk timnas untuk praolimpiade Munich (1972) dan Montreal (1976).
Coerver pun merekomendasikan Junaedi untuk bergabung ke klub Go Ahead Belanda. Ketika ada permintaan dari klub itu, Junaedi langsung terbang ke Belanda. Sampai di Belanda, Junaedi justru terkatung-katung lantaran ada surat dari Ketua Umum PSSI, Bardosono, yang meminta agar klub di Belanda tidak menampung Junaedi.
Menurut Bardosono, Junaedi berangkat ke Belanda tanpa mengantongi izin PSSI. Junaedi berdalih, saat itu Bardosono tengah berada di Yogyakarta karena putranya meninggal. Lantaran suasana duka itu, tidak memungkinkan Junaedi untuk meminta izin padahal dia harus segera ke Belanda.
Kondisi ini membuat Junaedi tak jadi bergabung dengan klub profesional Belanda. Ia pun kembali ke tanah air dengan tangan hampa dan cukup berkutat di persepakbolaan nasional saja.
Foto: Junaedi Abdillah
No comments:
Post a Comment