Kisah heroik di balik nama Jalan Mastrip
Di balik nama jalan itu tersimpan memori sejarah perlawanan kaum muda terhadap penjajahan..
Bagi orang Jember, khususnya yang tinggal di area perkotaan, atau bagi yang sering lalu lalang di area tersebut, tentu tidak akan asing dengan keberadaan Jalan Mastrip. Di jalan tersebut bahkan terdapat dua kampus ternama di Jember, yakni Kampus Poli Teknik Negeri (Poltek) Jember di sebelah utara jalan, dan Kampus Kedokteran Gigi Universitas Jember (Unej) di sebelah selatan jalan.
Siapa sangka bahwa nama Jalan Mastrip tidak hanya ada di Jember, tetapi ada juga di kota-kota lain seperti Blitar, Surabaya, Bojonegoro, Madiun, Nganjuk, Tuban, Probolinggo, Lamongan, dan lain sebagainya. Di balik nama jalan tersebut ternyata tersimpan sisa-sisa memoir sejarah heroik Bangsa Indonesia, yang barangkali di era milenial saat ini, telah terhapus dari ingatan kebanyakan orang.
Selepas Indonesia memploklamirkan kemerdekaannya dari Jepang pada 17 Agustus 1945, ternyata Belanda tidak serta merta mengakui deklarasi kemerdekaan tersebut. Bersama dengan tentara sekutu, mereka datang kembali ke Indonesia untuk mengambil alih kembali wilayah yang dulu pernah ia jajah. Tentu niat Belanda tersebut disambut dengan penentangan dan perlawanan mati-matian oleh segenap elemen Bangsa Indonesia.
Pertempuran heroik melawan Belanda terjadi meluas di banyak tempat. Pada tanggal 19 September 1945 di Surabaya terjadi sebuah insiden perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato. Puluhan tahun setelah peristiwa heroik itu, hotel yang terletak di Jl. Tunjungan tersebut masih terlihat orisinil layaknya kondisinya di tahun 1945, hanya namanya yang kini telah berubah menjadi Hotel Majapahit. Kemudian bulan berikutnya, pada tanggal 10 November 1945 terjadi perlawanan arek-arek Surabaya melawan Belanda yang dilatarbelakangi tewasnya Brigjen AWS. Mallaby, momen itu kini diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.
Dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang merupakan cikal bakal TNI, kala itu mendapat dukungan dari berbagai kalangan sipil yang membentuk laskar atau barisan paramiliter seperti Hizbullah, Sabilillah, dan lain sebagainya. Ada pula laskar-laskar paramiliter yang anggotanya terdiri dari kalangan pemuda dan pelajar dengan rentang usia antara 12 hingga 20 tahun, yang nantinya terkenal bernama Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP).
Para pelajar pada awal kemerdekaan tergabung dalam organisasi pelajar yaitu Ikatan Pelajar Indonesia (IPI). Kondisi negara yang tengah gawat akibat serangan Belanda bersama sekutu, memanggil gelora semangat mereka untuk ikut berjuang. Mereka kemudian membentuk sayap militer di dalam IPI yang bernama “IPI Bagian Pertahanan”. Nama tersebut kemudian berubah nama menjadi “Markas Pertahanan Pelajar” (MPP). Sayap militer tersebut menjadi wadah bagi para pelajar setingkat SMP dan SMA kala itu untuk berjuang mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. MPP terdiri dari 3 resimen, yaitu:
Resimen A di Jawa Timur dipimpin oleh Isman,
Resimen B di Jawa Tengah dipimpin oleh Soebroto,
Resimen C di Jawa Barat dipimpin oleh Mahatma.
Setiap daerah memiliki penyebutan tersendiri terhadap kesatuan tentara pelajar yang ada di wilayahnya. Secara umum, di Jawa Barat mereka dikenal dengan Corps Pelajar Siliwangi (CPS), di Jawa Tengah dikenal dengan Tentara Pelajar (TP), dan di Jawa Timur dikenal dengan Tentara Republik Indonesi Pelajar (TRIP). Namun pada skop kesatuan yang lebih kecil di daerah-daerah, mereka memiliki sebutan yang lebih banyak lagi. Misalkan di Jogja dan beberapa wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah, terdapat Tentara Genie Pelajar (TGP), di Boyolali ada Sturm Abteilung (SA), di Banyumas ada Pasukan Pelajar IMAM (Indonesia Merdeka Atoe Mati), di Solo dan Surakarta ada Mastepe, di Pati ada Pasukan T (Pasukan Tjadangan Ronggolawe), dan lain sebagainya.
Nama Resimen A di Jawa Timur, hampir tidak pernah digunakan, justru sebutan TRIP yang tenar. Sebelum bernama TRIP, kesatuan tentara pelajar di Jawa timur sempat mengalami perubahan nama berulang kali. Pada awalnya kesatuan ini bernama BKR Pelajar, mengikuti nama cikal bakal tentara nasional yang kala itu yang bernama BKR (Badan Keamanan Rakyat). Tanggal 5 Oktober 1945 BKR berubah menjadi TKR (tentara Keamanan Rakyat), maka dengan sendirinya, pada tanggal 19 Oktober 1945 BKR Pelajar pun berubah nama menjadi TKR Pelajar yang diresmikan oleh komandan TKR Kota Surabaya, Mayjen Soengkono. Tahun 1946 TKR berubah lagi menjadi TRI (tentara Republik Indonesia), maka pada tanggal 26 Januari 1946 TKR pelajarpun berubah nama menjadi TRI Pelajar yang kemudian dikenal dengan sebutan TRIP. Selain sebutan tersebut, korps ini juga dikenal dengan nama EX BRIGADE XVII Tentara Pelajar, sementara pihak Belanda menyebut mereka dengan Die Kleintjes TRIP.
Pasukan TRIP Jawa Timur, markas pusatnya yang ada di Malang, sementara pemusatan pasukannya ditempatkan di Desa Jetis, sebelah timur Mojokerto. Tempat tersebut merupakan basis perjuangan pelajar-pelajar yang akan menuju garis depan. Mereka yang datang dari daerah-daerah seperti Kediri, Blitar, Malang, Jember, Madiun, Bojonegoro, dan tempat-tempat lain. Pasukan TRIP Jawa Timur memiliki 5 Batalion, yakni:
Batalion 1000 meliputi Karesidenan Surabaya, markasnya berkedudukan di Mojokerto, pimpinannya adalah pelajar Gatot Kusumo.
Batalion 2000 meliputi Karesidenan Madiun dan Bojonegoro, markasnya berkedudukan di Madiun, pimpinannya adalah pelajar Surachman.
Batalion 3000 berkedudukan di Karesidenan Kediri, markasnya berkedudukan di Kediri, pimpinannya adalah pelajar Sudarno.
Batalion 4000 meliputi Karesidenan Besuki dan lumajang, pimpinannya adalah pelajar Mukarto. Markasnya berkedudukan di Jember, tepatnya terletak di Jl. Yos Sudarso no. 4, di Pavilyun rumah keluarga Soeparman (Boediman).
Batalion 5000 meliputi Karesidenan Malang, markasnya berkedudukan di Malang pimpinannya adalah pelajar Susanto.
Pada tahun 1948, saat menghadapi Agresi Belanda II, Presiden Soekarno memasukkan kesatuan pelajar pejuang ini ke dalam kesatuan otonom di jajaran TNI (Tentara Nasional Indonesia), yakni Brigade XVII TNI, yang berada di bawah kendali Markas Besar Komando Djawa (MBKD). Kesatuan Tentara Pelajar ini dibagi menjadi 4 detasemen dan 1 detasemen khusus, yakni:
Detasemen I untuk Jawa Timur yang lebih dikenal dengan nama Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) di bawah komando Isman;
Detasemen II di Solo, Semarang dan sekitarnya di bawah komando Achmadi;
Detasemen III di Yogyakarta, Kedu, Banyumas, Pekalongan dan sekitarnya di bawah komando Martono
Detasemen IV di Cirebon dan Jawa Barat umumnya dengan julukan Tentara Pelajar Siliwangi (TPS) di bawah komando Solichin.
Detasemen V (detasemen khusus teknik) bernama Tentara Genie Pelajar (TGP) di bawah komando Hartawan.
Uniknya, karena statusnya sebagai pelajar, kesatuan tentara pelajar ini ketika menghadapi musim ujian sekolah, mereka meninggalkan markas, pulang kembali ke sekolah masing-masing untuk mengejar ketertinggalan pelajaran. Hal tersebut berlaku kecuali dalam kondisi darurat. Setelah masa kenaikan kelas atau ujian akhir selesai mereka akan dikirim kembali ke front secara bergilir. Bila Belanda melakukan agresi militer, maka seluruh anggota TRIP harus terjun langsung.
Panggilan atau sapaan “Mas” merupakan sapaan yang umum digunakan untuk lelaki dalam kultur Jawa Timur. Sebutan ini pun popular untuk memanggil para pelajar dan pemuda yang tergabung dalam kesatuan ini TRIP. karena sering kali tidak tahu atau tidak hafal nama masing-masing anggota korps TRIP, maka masyarakat akhirnya terbiasa memanggil mereka dengan “Mas TRIP”.
Pada awal 1951, kesatuan Tentara Pelajar secara resmi dibubarkan dalam sebuah upacara demobilisasi. Masing-masing anggota diberi penghargaan dari Pemerintah RI mewakili negara berupa "uang jasa", semacam beasiswa, yang disebut KUDP. Selain itu diberikan pula pilihan, apakah hendak melanjutkan studi yang terbengkalai selama menjadi tentara pejuang, atau tetap melanjutkan karier militer di TNI maupun Polri. Meskipun secara resmi telah dibubarkan, namun saat ini masih ada kesatuan-kesatuan yang secara kesejarahan menginduk kepada Tentara Pelajar. Salah satunya adalah Resimen Mahasiswa (Menwa) yang terdapat hampir di setiap kampus di Indonesia. Salah satu bukti yang bisa terlihat dengan jelas adalah kesamaan lambang Menwa dan TRIP. Lambang tersebut berupa senjata senapan kokang yang disilangkan dengan pena tinta bulu. Helm dan senjata melambangkan kiprah sebagai pejuang, sedangkan pena tinta bulu melambangkan statusnya yang masih sebagai pelajar.
Saat ini, untuk mengenang jasa para pahlawan Tentara Pelajar, nama Tentara Pelajar, Mastrip, dan sebutan lain yang sejenis diabadikan menjadi nama-nama jalan di kota besar di Indonesia, khususnya di Jawa. Ada pula nama-nama jalan yang diambilkan dari nama pahlawan-pahlawan Mastrip, misalnya Slamet Riyadi. Di Jember, Jl. Slamet Riyadi terletak di pertigaan lampu merah Jl. Mastrip ke arah utara. Selain diabadikan sebagai nama-nama jalan, dibangun pula monumen atau tugu Mastrip di berbagai tempat. Di Jember, Monumen/Tugu Mastrip dibangun tahun 1965 oleh AMD Marinir. Monumen ini berdiri di Desa Sukojember, kecamatan Jelbuk, tepat di pinggir jalan antar kota (Jember - Bondowoso), dan berada di ketinggian tanah. Di tempat inilah pernah terjadi peristiwa penghadangan konvoi tentara penjajah yang akan memasuki kota Jember saat Agresi Miiter I tahun 1947 yang dilakukan oleh TRIP Batalion 4000. Aksi penghadangan ini dilakukan setiap malam dengan bersembunyi di atas dataran tinggi tersebut. Hal ini membuat kesatuan TRIP Batalion 4000 ini juga dikenal dengan nama “Pasukan Kukuk Beluk”. Namun disayangkan, Tugu Mastrip di Desa Panduman tersebut nampaknya kurang terawat dan berada dalam kondisi yang cukup mengenaskan.
Sumber:merdeka.com
Reposted:@jasmerah
Catatan Sejarah: Bukti Otentik yang tidak akan bisa dirubah oleh siapapun,dan untuk sejarah bangsa harus tetap diingat dan dikenali oleh seluruh generasi bangsa✍️📖
No comments:
Post a Comment