KIDUNG ANJAMPIANI: FRAGMEN CIAMIK DAN MENCENGANGKAN DARI KOMUNITAS LIMA GUNUNG
Oleh : Muhammad Nafi
Malam.pergantian tahun, 1 Suro 1956 Tahun EHE dalam penanggalan Jawa dirayakan dengan sebuah pementasan fragmen di Studio Mendut. Pementasan yang sekaligus peluncuran buku di pusat aktivitas kebudayaan seniman petani Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang tersebut, berdasarkan novel Kidung Anjampiani karya Bre Redana yang diluncurkan.
Pementasan fragmen kisah pada zaman Majapahit, yakni perseteruan antara Patih Nambi dengan Ranggalawe yang dimainkan para seniman petani Komunitas Lima Gunung, Jais Darga, Wijaya Eka, dan penyair Haris Kertorahardjo mampu memukau seluruh penonton untuk merasakan getaran magis dari pesan-pesan yang disampaikan. Fragmen yang dipertunjukan tidak hanya sekedar mini drama tetapi merupakan semacam ritual performance art di mana suasana magis menguar sejak awal sampai pertunjukan berakhir.
Fragmen oleh Komunitas Lima Gunung kali ini meskipun sederhana tetapi sangat terasa menggunakan naskah yang ketat sebagai panduan cerita. Kekuatan akting para penampilnya tertata sesuai peran masing-masing meskipun ada satu dua aktor yang terlihat kedodoran terutama dalam olah vokalnya.
Secara teknik kemunculan semua pemain bisa mencuri perhatian penonton sesuai peran yang dilakoninya. Jais Darga sebagai Martaraga, ibu Kuda Anjampani benar-benar mampu menghidupkan sosok ibu yang tangguh, welas asih penuh cinta, pejuang yang sanggup menelan segala isi dunia sebagaimana gambaran dari ibu pertiwi. Walaupun ada gangguan pengeras suara tetapi karakter ibu nan agung sangat kuat terasa dari dialog dan tempo yang dimainkannya.
Dialog-dialog yang dimainkan memperlihatkan peran sutradara sangat menonjol dan mempengaruhi sepanjang pertunjukan. Bre Redana, sutradara dan juga sekaligus penulis novel Kidung Anjampiani tentu sangat piawai memberikan arahan detail laku atau akting pemain yang memerankannya. Pemain-pemain sepertinya dituntut untuk dapat menginterpretasi maksud adegan atau dialog-dialog tersebut walaupun sebagian besar pemain bukanlah pemain teater profesional yang sering kita lihat. Para pemain merupakan anggota Komunitas Lima Gunung yaitu para pelaku seni tradisi yang penuh spontanitas dan sering bermain tanpa arahan naskah ketat. Para penari juga mampu mengimbangi dalam menghidupkan pertunjukan yang tersaji menjadi tidak monoton, penuh gelombang makna. Daya kejut yang tidak membosankan bahkan mampu menyihir semua penonton untuk tercengang dalam diam, asyik menikmati sajian dengan interprestasi sendiri-sendiri di kepala masing-masing.
Puncak, ujung, dan tanjakan pengembangan cerita dalam memunculkan klimaks juga memberi pengaruh keasyikan tersendiri pada penonton, semacam getaran pukau. Ini semua menunjukkan teknik timing, tempo, dan pergerakan sangat terarahkan semenjak dalam latihan-latihan yang dilakukan. Para pemain berjalan natural dan bisa membawa imajinasi penonton pada bayangan situasi keseharian, situasi yang tidak jauh-jauh dari kehidupan nyata yang kita hadapi.
Bangunan kisah mulai terbangun utuh ketika narator membawakan untaian kalimat-kalimat dengan penuh daya dan menghentak. Laju cerita semakin menyengat saat sang ibu menceritakan bagaimana Patih Nambi mengundang ayahanda Kuda Anjampiani menghadap dan mengingatkan kenangan akan sikap Kuda Anjampiani kecil yang kepalanya dipenuhi tanda tanya apa dan mengapa.
Diceritakan, Ranggalawe menggendong Anjampiani yang ketika itu sedang menangis. Untuk menenangkan putra kinasihnya, Ranggalawe memberi janji yang sebenarnya untuk menghibur saja, yakni ayahnya itu hanya akan pergi sebentar saja menghadap raja ke Majapahit dan ketika pulang akan membawakan mainan kereta kencana, lengkap dengan Kuda Sambraninya.
Penonton bisa membayakan bagaimana gejolak perasaan dan sosok seorang ibu. Ibu dihadapan putranya yang dalam satu sisi terkenang memori akan proses kepergian suami tercintanya selama-lamanya. Dan, di sisi lain sedang berhadapan dengan putranya yang memohon restu untuk menikah dengan putri dari salah seorang penyebab kematian suaminya. Gejolak tarik-tarikan antara memori dan realita ini yang tentu saja membuat semua orang akan selalu salah tingkah dan emosional. Jais Darga mampu mengolah dan memunculkan emosi keibuan dalam mengungkapkan bahwa yang hitam adalah hitam, yang putih adalah putih, tanpa menyisakan sedikitpun ruang untuk abu-abu.
Itu semua sejalan dengan apa yang disampaikan Bre Redana dalam diskusi setelah pertunjukan. Bagi Bre, Komunitas Lima Gunung bukan hanya sekadar komunitas, tapi merupakan sedulur atau sanak kadang.
"Tidak ada yang lebih membahagiakan dari proses semacam ini. Seni adalah srawung. Dunia serat tak banyak bedanya dengan dunia silat. Seni, Silat, Srawung." ujar Bre yang juga mantan redaktur budaya Koran Harian Kompas ini.
"Untuk apa? Untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik." pungkasnya.
Magelang, 1 Suro yang ciamik dan mencengangkan.
MN
No comments:
Post a Comment