Oleh : Chandra Gusta Wisnuwardana
LUCHTBESCHERMINGSDIENST (LBD) MAGELANG : Sukarelawan Penjaga Perlindungan Udara Magelang di Masa Perang (Bagian I)
Memasuki akhir tahun 1930an, kondisi politik dunia perlahan - lahan menuju perubahan dan tatanan baru. Dunia kala itu sedang bergerak menuju titik keseimbangan baru. Krisis ekonomi global yang dulu melanda banyak negara disepanjang paruh pertama dasawarsa 1930 mulai kian mereda. Hal ini memunculkan tumbuhnya ideologi - ideologi baru baik di Eropa dengan Fasisme dan Nazisme nya serta ultra-nasionalis di Asia yang perlahan - lahan mulai mengancam stabilitas keamanan para penguasa tua Eropa. Ketakutan itu juga turut menghantui koloni paling berharga negeri Belanda yang jauh di seberang samudra, koloni Hindia Timur.
Sesungguhnya Hindia Belanda sudah memiliki kekuatan keamanan yang cukup mumpuni untuk menjaga rust en order dalam negeri yaitu dengan adanya pasukan KNIL. Seiring dengan potensi ancaman keamanan dari luar yang kian nyata di penghujung 1930, Departement van Oorlog (DvO) pun pada akhirnya melakukan berbagai macam reformasi di tubuhnya.
Sesungguhnya konsep pertahanan pasukan KNIL dari invasi eksternal sudah mulai diterapkan sejak 1927 ketika analisa para petinggi militer mengatakan bahwa ancaman bagi eksistensi Belanda di Asia adalah kebangkitan paham ultra nasionalis yang dibarengi dengan militerisme di Jepang. Sejak 1936, anggaran militer untuk pertahanan KNIL pun mulai ditingkatkan secara bertahap. Langkah - langkah modernisasi seperti pembentukan angkatan udara yang maju, memperkenalkan kendaraan lapis baja (tank), menambah jumlah senjata api dan peningkatan pasukan infantri pun mulai dilakukan.
Namun, ditengah reformasi dan modernisasi ditubuh militer ini, ketakutan para petinggi militer di dalam Departement van Oorlog pun mulai menjadi kenyataan. Setelah Jepang perlahan - lahan mencaplok beberapa wilayah di Asia seperti Manchuria pada 1932, negara itu pada 1939 turut menginvasi Hainan di Selatan Tiongkok dan Indochina (Vietnam) antara tahun 1939 hingga awal 1941. Mau tak mau, pemerintah pun lekas membentuk unit - unit pertahanan dalam rangka mengantisipasi skenario buruk di tengah ketidakpastian keamanan ini. Maka dari itu, Luchtbeschermingsdienst (Dinas Penanggulangan Bahaya Udara) atau LBD mulai dibentuk di kota - kota penting di Hindia.
Lucht Bescherming Dienst (LBD) bertugas untuk memberikan sinyal bahaya serangan udara, melakukan penerangan dan pelatihan pada masyarakat, memberikan perlindungan, penyamaran, ikut menjaga dan menanggulangi bahaya kebakaran, mengontrol sinar-sinar lampu dan menara sirine serta mengarahkan masyarakat ke selter perlindungan (bunker). LBD pada umumnya dipimpin oleh komandan militer setempat yang anggotanya terdiri dari warga orang-orang non-militer (sipil). Para instruktur LBD pun biasanya adalah para pensiunan militer. Bahkan terkadang terdapat juga LBD di beberapa daerah dipimpin oleh orang sipil non-militer.
Magelang sebagai salah satu kota garnisun besar dengan jumlah penduduk Eropa ke-14 terbanyak di Hindia Belanda pada 1930 sudah barang tentu sangat membutuhkan LBD demi melindungi kotanya dari ancaman udara. Rencana pembentukan LBD di Magelang sendiri sejatinya sudah mulai muncul sejak pertengahan tahun 1937 bersama dengan 18 kota lain di Hindia. Ke delapan belas kota yang diusulkan kepada Departement van Binennlandsbestuur (Departement Dalam Negeri) tersebut diantaranya seperti Batavia, Bandoeng, Samarang, Djokjakarta, Soerakarta, Cilacap, Medan, Surabaya, Malang, Manado, Medan, Cheribon, Makasar.
LBD Magelang diperkirakan sudah mulai ada pada tahun 1938. Wilayah pusat pemerintahan Magelang setelah dianalisa diklasifikasikan sebagai zona Bahaya Kelas III bersama dengan Kroja, Poerworedjo dan Gombong. Sejak akhir bulan November tahun itu, LBD sudah mulai mengadakan latihan - latihan serangan udara dengan membunyikan alarm dan simulasi perlindungan.
Seperti yang dilaporkan de Locomotief edisi 11 November 1938, latihan serangan udara dengan sekenario pesawat Glen Martin yang diibaratkan pesawat pembom musuh melintas di atas langit Wonosobo, Magelang, Muntilan dan Kaliurang. Namun sayangnya latihan serangan udara ini tidak bisa berjalan dengan lancar. Hal itu disebabkan Pesawat yang seharusnya dijadwalkan melintas tak kunjung datang. Akhirnya masyarakat yang sudah diminta berlindung ditempat - tempat yang aman kembali ke situasi normal. Dan, ketika mereka sudah kembali berkegiatan, pesawat Glen Martin melintas diatas kepala mereka. Latihan serangan itu, dinyatakan gagal.
Bersambung...
- Chandra Gusta Wisnuwardana -
Memasuki akhir tahun 1930an, kondisi politik dunia perlahan - lahan menuju perubahan dan tatanan baru. Dunia kala itu sedang bergerak menuju titik keseimbangan baru. Krisis ekonomi global yang dulu melanda banyak negara disepanjang paruh pertama dasawarsa 1930 mulai kian mereda. Hal ini memunculkan tumbuhnya ideologi - ideologi baru baik di Eropa dengan Fasisme dan Nazisme nya serta ultra-nasionalis di Asia yang perlahan - lahan mulai mengancam stabilitas keamanan para penguasa tua Eropa. Ketakutan itu juga turut menghantui koloni paling berharga negeri Belanda yang jauh di seberang samudra, koloni Hindia Timur.
Sesungguhnya Hindia Belanda sudah memiliki kekuatan keamanan yang cukup mumpuni untuk menjaga rust en order dalam negeri yaitu dengan adanya pasukan KNIL. Seiring dengan potensi ancaman keamanan dari luar yang kian nyata di penghujung 1930, Departement van Oorlog (DvO) pun pada akhirnya melakukan berbagai macam reformasi di tubuhnya.
Sesungguhnya konsep pertahanan pasukan KNIL dari invasi eksternal sudah mulai diterapkan sejak 1927 ketika analisa para petinggi militer mengatakan bahwa ancaman bagi eksistensi Belanda di Asia adalah kebangkitan paham ultra nasionalis yang dibarengi dengan militerisme di Jepang. Sejak 1936, anggaran militer untuk pertahanan KNIL pun mulai ditingkatkan secara bertahap. Langkah - langkah modernisasi seperti pembentukan angkatan udara yang maju, memperkenalkan kendaraan lapis baja (tank), menambah jumlah senjata api dan peningkatan pasukan infantri pun mulai dilakukan.
Namun, ditengah reformasi dan modernisasi ditubuh militer ini, ketakutan para petinggi militer di dalam Departement van Oorlog pun mulai menjadi kenyataan. Setelah Jepang perlahan - lahan mencaplok beberapa wilayah di Asia seperti Manchuria pada 1932, negara itu pada 1939 turut menginvasi Hainan di Selatan Tiongkok dan Indochina (Vietnam) antara tahun 1939 hingga awal 1941. Mau tak mau, pemerintah pun lekas membentuk unit - unit pertahanan dalam rangka mengantisipasi skenario buruk di tengah ketidakpastian keamanan ini. Maka dari itu, Luchtbeschermingsdienst (Dinas Penanggulangan Bahaya Udara) atau LBD mulai dibentuk di kota - kota penting di Hindia.
Lucht Bescherming Dienst (LBD) bertugas untuk memberikan sinyal bahaya serangan udara, melakukan penerangan dan pelatihan pada masyarakat, memberikan perlindungan, penyamaran, ikut menjaga dan menanggulangi bahaya kebakaran, mengontrol sinar-sinar lampu dan menara sirine serta mengarahkan masyarakat ke selter perlindungan (bunker). LBD pada umumnya dipimpin oleh komandan militer setempat yang anggotanya terdiri dari warga orang-orang non-militer (sipil). Para instruktur LBD pun biasanya adalah para pensiunan militer. Bahkan terkadang terdapat juga LBD di beberapa daerah dipimpin oleh orang sipil non-militer.
Magelang sebagai salah satu kota garnisun besar dengan jumlah penduduk Eropa ke-14 terbanyak di Hindia Belanda pada 1930 sudah barang tentu sangat membutuhkan LBD demi melindungi kotanya dari ancaman udara. Rencana pembentukan LBD di Magelang sendiri sejatinya sudah mulai muncul sejak pertengahan tahun 1937 bersama dengan 18 kota lain di Hindia. Ke delapan belas kota yang diusulkan kepada Departement van Binennlandsbestuur (Departement Dalam Negeri) tersebut diantaranya seperti Batavia, Bandoeng, Samarang, Djokjakarta, Soerakarta, Cilacap, Medan, Surabaya, Malang, Manado, Medan, Cheribon, Makasar.
LBD Magelang diperkirakan sudah mulai ada pada tahun 1938. Wilayah pusat pemerintahan Magelang setelah dianalisa diklasifikasikan sebagai zona Bahaya Kelas III bersama dengan Kroja, Poerworedjo dan Gombong. Sejak akhir bulan November tahun itu, LBD sudah mulai mengadakan latihan - latihan serangan udara dengan membunyikan alarm dan simulasi perlindungan.
Seperti yang dilaporkan de Locomotief edisi 11 November 1938, latihan serangan udara dengan sekenario pesawat Glen Martin yang diibaratkan pesawat pembom musuh melintas di atas langit Wonosobo, Magelang, Muntilan dan Kaliurang. Namun sayangnya latihan serangan udara ini tidak bisa berjalan dengan lancar. Hal itu disebabkan Pesawat yang seharusnya dijadwalkan melintas tak kunjung datang. Akhirnya masyarakat yang sudah diminta berlindung ditempat - tempat yang aman kembali ke situasi normal. Dan, ketika mereka sudah kembali berkegiatan, pesawat Glen Martin melintas diatas kepala mereka. Latihan serangan itu, dinyatakan gagal.
Bersambung...
- Chandra Gusta Wisnuwardana -
No comments:
Post a Comment