Oleh : Chandra Gusta Wisnuwardana
DE GROOTE MOSKEE TE MAGELANG 1864
Sebuah foto tua bergambar bangunan yang konon adalah Masjid Agung Magelang pada 1864 belakangan ini mengusik rasa penasaran saya. Kesana – kemari saya mencoba menanyakan dan mencari data tentang masjid ini serta bentuk arsitektural masjid yang saya anggap agak ‘nyeleneh’ dibandingkan dengan arsitektur masjid kuno Nusantara lainnya. Di dalam foto yang konon di jepret oleh Camerik ini bangunan Masjid Agung Magelang berbentuk segi banyak (polygonomial) dengan atap dua susun serta berkonsep semi terbuka. Sebuah bentuk yang tentunya kurang lazim untuk ukuran masjid setingkat masjid pusat kabupaten di Jawa atau bahakan Nusantara.
Sejarah pendirian Masjid Agung Magelang sendiri bermula ketika Mas Ngabehi Danoekromo yang bergelar Raden Tomenggoeng Danoeningrat I diangkat sebagai Bupati Magelang pertama pasca Geger Sepoy pada 1812. Sebagai bupati baru yang harus memimpin sebuah wilayah yang luas, maka Danoeningrat I kemudian mendirikan beberapa bangunan utama sebagai syarat sebuah pusat pemerintahan pemimpin Jawa. Alun - alun, rumah bupati (regentswoning) dan masjid menjadi hal pertama yang ia bangun diawal kepemerintahannya. Lokasi masjid kemudian didirikan disebelah Barat alun – alun kabupaten sebagaimana umumnya konsep tata letak “Catur Gatra Tunggal” dalam keraton pewaris trah Mataram.
Berdasarkan tradisi lisan masyarakat sekitar, asal usul Masjid Agung Magelang konon dulunya didahului dengan berdirinya sebuah langar yang dibuat oleh Kyai Mudzakir dari Jawa Timur pada abad ke-17. Apakah kemudian Danoeningrat I merenovasi langgar kemudian menjadi sebuah masjid masih belum jelas benar. Namun yang pasti, kondisi Masjid Agung Magelang pada periode awal pemerintahan Danoenigrat I ini diperkirakan masih menggunakan bahan dasar bangunan berupa kayu. Bisa jadi bentuk bangunan Masjid Agung Magelang pada periode ini berbentuk layaknya Masjid Jami’ Baitul Muttaqiin (Masjid Wali / Masjid Tiban) di Trasan, Magelang.
Berdasarkan penuturan Bupati Magelang ke-5, Raden Adipati Ario Danoesoegondo dalam acara persmian renovasi Masjid Agung Magelang tahun 1935, Masjid tersebut pernah mengalami renovasi pada tahun 1832 ketika Raden Toemenggoeng Danoeningrat II memerintah Magelang. Danoeningrat II yang memerintah sejak 1826 – 1862 ini menggantikan ayahnya, Danoenigrat I yang tewas pada 1825 ketika Perang Jawa meletus. Bentuk masjid hasil renovasi pada 1832 tersebut mungkin masih bertahan hingga 1864 dan terabadikan oleh S.W. Camerik, seorang pegawai pemerintah kolonial, seperti yang ada didalam foto. Sudut pengambilan foto kemungkinan berada di sebelah Selatan alun – alun Magelang sekitar depan gedung Landraadgebow (Bank BPD Jateng).
Ketika mencoba melihat dengan seksama, saya sempat mengira bahwa bentuk masjid ini adalah bersegi enam (heksagonal). Namun, setelah bertanya dan berkonsultasi dengan praktisi arsitektur ternyata menurut pendapat beliau didapati bangunan masjid dalam foto 1864 tersebut merupakan bangunan bersegi delapan (oktagonal). Berdasarkan pengamatan, bangunan ini menggunakan konstruksi gabungan antara kayu pada bagian atap dan dinding tembok berbahan dasar bligon (tumbukan bata merah) yang dicampur dengan pasir dan gamping. Terdapat delapan buah tiang penyangga atap pada tepinya dengan jarak antar kolom kurang lebih 4 meter. Kemungkinan bangunan masjid tanpa menggunakan saka guru ditengah karena bentang bangunannya tidak begitu luas. Hal ini tentu saja cukup mengherankan mengingat kebanyakan masjid – masjid tua yang ada di Jawa saat itu mengadopsi denah bangunan segi empat atau bujur sangkar dengan empat tiang utama (saka guru) sebagai struktur utama penopang bangunan ditengah.
Keunikan lain pada Masjid Agung Magelang 1864 ini terdapat juga pada dinding bagian samping yang dibuat rendah dan semi terbuka. Hal ini menyebabkan bangunan masjid cenderung mirip seperti gazebo berdenah oktagonal, tidak seperti masjid – masjid lain pada umumnya di Jawa. Pada masjid – masjid Nusantara, denah bangunan berbentuk oktagonal umumnya berkembang pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 atau setelah Masjid Agung Magelang berdiri dengan bentuk segi delapan. Contohnya seperti Masjid Raya Al Ma’shun Medan yang berdenah segi delapan yang dibangun 1906 , dan Masjid Gantiang di Padang yang direnovasi awal abad ke-20 dengan atap segi delapan dan Masjid Agung Manonjaya Tasikmalaya yang memiliki menara masjid bersegi delapan.
Bangunan Masjid Agung Magelang 1864 menggunakan atap dua susun dengan penutup genting tanah liat. Bentuk atap bersusun pada masjid seperti ini adalah salah satu ciri khas masjid di Nusantara sebagai bentuk akulturasi dengan kebudayaan pra-Islam (Hindu – Budha). Pada bagian kemuncak masjid (mustaka) diberi penutup berbentuk runcing. Kemungkinan kemuncak masjid ini terbuat dari terakota tanah liat yang lebih sederhana.
Masjid dibuat meninggi dengan tangga dibagian kanan dan kiri pintu masuk masjid. Pada ujung tangga naik terdapat pagar pembatas seperti Kelir / Grenteng berventilasi yang kemungkinan berfungsi sebagai pembatas area inti bangunan masjid dan halaman luar masjid. Bagian mihrab (pengimaman) kemungkinan dibatasi dinding sebagai batas sholat (sutrah) sang imam.
Pada tahun 1864 Magelang sudah dipimpin oleh cucu Bupati Danoeningrat I atau anak Danoenigrat II, yaitu Danoeningrat III. Pada masa awal pemerintahaanya, Danoeningrat III melakukan beberapa pembaharuan Masjid Agung Magelang seperty pembuatan maksurah (tempat sholat raja dalam hal ini Bupati), sawiyah ( bilik untuk mengaji di dalam masjid / muadzin adzan) dan mimbar. Pada tahun 1867 bangunan masjid berbentuk segi delapan sudah digantikan dengan bangunan yang lebih megah dan besar dengan bentuk segi empat. Masjid Agung Magelang dengan bentuk baru tersebut selesai pada 1869 dan menjadi model denah masjid yang dipakai hingga sekarang, meninggalkan bentuk masjid oktagonal yang pernah ada. Semoga bisa menjadi bahan diskusi.
Referensi :
Hasil baca buku “Menelisik Sejarah de Groote Moskee Magelang” nya mas Novo Indarto
Hasil ngobrol virtual dengan Pak Umar Iswadi, Pak Denmaz Didotte, dan Mas Jowo
Serta baca artikel lain yang relevan
- Chandra Gusta Wisnuwardana -
Sebuah foto tua bergambar bangunan yang konon adalah Masjid Agung Magelang pada 1864 belakangan ini mengusik rasa penasaran saya. Kesana – kemari saya mencoba menanyakan dan mencari data tentang masjid ini serta bentuk arsitektural masjid yang saya anggap agak ‘nyeleneh’ dibandingkan dengan arsitektur masjid kuno Nusantara lainnya. Di dalam foto yang konon di jepret oleh Camerik ini bangunan Masjid Agung Magelang berbentuk segi banyak (polygonomial) dengan atap dua susun serta berkonsep semi terbuka. Sebuah bentuk yang tentunya kurang lazim untuk ukuran masjid setingkat masjid pusat kabupaten di Jawa atau bahakan Nusantara.
Sejarah pendirian Masjid Agung Magelang sendiri bermula ketika Mas Ngabehi Danoekromo yang bergelar Raden Tomenggoeng Danoeningrat I diangkat sebagai Bupati Magelang pertama pasca Geger Sepoy pada 1812. Sebagai bupati baru yang harus memimpin sebuah wilayah yang luas, maka Danoeningrat I kemudian mendirikan beberapa bangunan utama sebagai syarat sebuah pusat pemerintahan pemimpin Jawa. Alun - alun, rumah bupati (regentswoning) dan masjid menjadi hal pertama yang ia bangun diawal kepemerintahannya. Lokasi masjid kemudian didirikan disebelah Barat alun – alun kabupaten sebagaimana umumnya konsep tata letak “Catur Gatra Tunggal” dalam keraton pewaris trah Mataram.
Berdasarkan tradisi lisan masyarakat sekitar, asal usul Masjid Agung Magelang konon dulunya didahului dengan berdirinya sebuah langar yang dibuat oleh Kyai Mudzakir dari Jawa Timur pada abad ke-17. Apakah kemudian Danoeningrat I merenovasi langgar kemudian menjadi sebuah masjid masih belum jelas benar. Namun yang pasti, kondisi Masjid Agung Magelang pada periode awal pemerintahan Danoenigrat I ini diperkirakan masih menggunakan bahan dasar bangunan berupa kayu. Bisa jadi bentuk bangunan Masjid Agung Magelang pada periode ini berbentuk layaknya Masjid Jami’ Baitul Muttaqiin (Masjid Wali / Masjid Tiban) di Trasan, Magelang.
Berdasarkan penuturan Bupati Magelang ke-5, Raden Adipati Ario Danoesoegondo dalam acara persmian renovasi Masjid Agung Magelang tahun 1935, Masjid tersebut pernah mengalami renovasi pada tahun 1832 ketika Raden Toemenggoeng Danoeningrat II memerintah Magelang. Danoeningrat II yang memerintah sejak 1826 – 1862 ini menggantikan ayahnya, Danoenigrat I yang tewas pada 1825 ketika Perang Jawa meletus. Bentuk masjid hasil renovasi pada 1832 tersebut mungkin masih bertahan hingga 1864 dan terabadikan oleh S.W. Camerik, seorang pegawai pemerintah kolonial, seperti yang ada didalam foto. Sudut pengambilan foto kemungkinan berada di sebelah Selatan alun – alun Magelang sekitar depan gedung Landraadgebow (Bank BPD Jateng).
Ketika mencoba melihat dengan seksama, saya sempat mengira bahwa bentuk masjid ini adalah bersegi enam (heksagonal). Namun, setelah bertanya dan berkonsultasi dengan praktisi arsitektur ternyata menurut pendapat beliau didapati bangunan masjid dalam foto 1864 tersebut merupakan bangunan bersegi delapan (oktagonal). Berdasarkan pengamatan, bangunan ini menggunakan konstruksi gabungan antara kayu pada bagian atap dan dinding tembok berbahan dasar bligon (tumbukan bata merah) yang dicampur dengan pasir dan gamping. Terdapat delapan buah tiang penyangga atap pada tepinya dengan jarak antar kolom kurang lebih 4 meter. Kemungkinan bangunan masjid tanpa menggunakan saka guru ditengah karena bentang bangunannya tidak begitu luas. Hal ini tentu saja cukup mengherankan mengingat kebanyakan masjid – masjid tua yang ada di Jawa saat itu mengadopsi denah bangunan segi empat atau bujur sangkar dengan empat tiang utama (saka guru) sebagai struktur utama penopang bangunan ditengah.
Keunikan lain pada Masjid Agung Magelang 1864 ini terdapat juga pada dinding bagian samping yang dibuat rendah dan semi terbuka. Hal ini menyebabkan bangunan masjid cenderung mirip seperti gazebo berdenah oktagonal, tidak seperti masjid – masjid lain pada umumnya di Jawa. Pada masjid – masjid Nusantara, denah bangunan berbentuk oktagonal umumnya berkembang pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 atau setelah Masjid Agung Magelang berdiri dengan bentuk segi delapan. Contohnya seperti Masjid Raya Al Ma’shun Medan yang berdenah segi delapan yang dibangun 1906 , dan Masjid Gantiang di Padang yang direnovasi awal abad ke-20 dengan atap segi delapan dan Masjid Agung Manonjaya Tasikmalaya yang memiliki menara masjid bersegi delapan.
Bangunan Masjid Agung Magelang 1864 menggunakan atap dua susun dengan penutup genting tanah liat. Bentuk atap bersusun pada masjid seperti ini adalah salah satu ciri khas masjid di Nusantara sebagai bentuk akulturasi dengan kebudayaan pra-Islam (Hindu – Budha). Pada bagian kemuncak masjid (mustaka) diberi penutup berbentuk runcing. Kemungkinan kemuncak masjid ini terbuat dari terakota tanah liat yang lebih sederhana.
Masjid dibuat meninggi dengan tangga dibagian kanan dan kiri pintu masuk masjid. Pada ujung tangga naik terdapat pagar pembatas seperti Kelir / Grenteng berventilasi yang kemungkinan berfungsi sebagai pembatas area inti bangunan masjid dan halaman luar masjid. Bagian mihrab (pengimaman) kemungkinan dibatasi dinding sebagai batas sholat (sutrah) sang imam.
Pada tahun 1864 Magelang sudah dipimpin oleh cucu Bupati Danoeningrat I atau anak Danoenigrat II, yaitu Danoeningrat III. Pada masa awal pemerintahaanya, Danoeningrat III melakukan beberapa pembaharuan Masjid Agung Magelang seperty pembuatan maksurah (tempat sholat raja dalam hal ini Bupati), sawiyah ( bilik untuk mengaji di dalam masjid / muadzin adzan) dan mimbar. Pada tahun 1867 bangunan masjid berbentuk segi delapan sudah digantikan dengan bangunan yang lebih megah dan besar dengan bentuk segi empat. Masjid Agung Magelang dengan bentuk baru tersebut selesai pada 1869 dan menjadi model denah masjid yang dipakai hingga sekarang, meninggalkan bentuk masjid oktagonal yang pernah ada. Semoga bisa menjadi bahan diskusi.
Referensi :
Hasil baca buku “Menelisik Sejarah de Groote Moskee Magelang” nya mas Novo Indarto
Hasil ngobrol virtual dengan Pak Umar Iswadi, Pak Denmaz Didotte, dan Mas Jowo
Serta baca artikel lain yang relevan
- Chandra Gusta Wisnuwardana -
No comments:
Post a Comment