Gereja St Ignatius
Bangunan ini terlihat kokoh,
lingkungannya terlihat sangat asri dengan udara sejuk yang berasal
rerindangan pohon Mahoni. Bangunan ini berdiri di tanah 13.000 meter
persegi dan berada tepat di jantung Kota Magelang. Orang mengenal
bangunan ini dengan Gereja Santo Ignatius, gereja yang dijadikan tempat
peribadatan umat Katholik.
Sosok pastor yang digambarkan sedang
memegang kitab Gereja Katholik St Ignatius merupakan salah ciri khas
dari gereja ini. Kitab yang dipegang sosok pastor yang dibuat dari
batangan besi tersebut tertuliskan sebuah pesan yang mengagungkan tuhan.
Pesan tersebut tertuliskan dalam bahasa belanda yaitu AMDG yang
merupakan kependekan dari Ad Maiorem Dei Gloriam yang kurang lebih
memiliki arti demi kemuliaan Tuhan yang semakin besar.
Jika berbicara mengenai bangunan tua yang
ada di Kota Gethuk ini, bangunan ini merupakan salah satunya. Pada awal
berdirinya, bangunan tersebut belum seperti sekarang yang terdiri dari 3
lokal gedung yaitu Gereja St Ignatius, Pasturan, dan Panti Mandala.
Gereja tersebut berdiri tak lepasa dari
jasa Romo F.Voogel SJ. Seorang pastor Katholik yang membeli tanah ini
pada tahun 1890. Pada masa itu hanya ada sebuah bangunan (sekarang
pastoran) yang dijadikan tempat tinggal sekaligus tempat peribadatan.
Baru pada 31 Juli 1899 romo membangun gereja sederhana di samping
pasturan (sekarang gereja). Setahun kemudian tepatnya pada 22 Agustus
1890 diadakan misa kudus.
“Setiap hari diadakan misa, bahkan kalau
sabtu minggu hingga dua kali,” ujar Kepala Gereja Paroki Santo Ignatius,
Romo Krisno Handoyo.
Lamban laun agama Katholik ini terus
berkembang, banyak penduduk Jawa yang memeluk agama ini. Berekembangnya
agama ini dengan banyaknya masyarakat Jawa yang memeluk agama ini tak
lepas dari perjuangan para Romo. Diantaranya Romo Van Litih SJ dan Romo
JJ Howenaars ma SJ.
“Romo sangat berjasa dalam menyebarkan
damai, sehingga banyak warga yang simpati dan kemudian memeluk agama
ini,” terang Romo yang baru memimpin Gereja ini pada tahun 2008 lalu.
Seiring berkembangnya pemeluk agama ini,
bangunan gereja pun diperluas. Tepatnya pada tanggal 15 Agustus 1926
bangunan gereja lama ditambah dengan bangunan selebar 3,5 meter pada
sisi kanan dan kirinya. Karena banyak penganutnya merupakan masyarakat
Jawa mulai 1933, pada misa siang yang dilaksanakan pada hari minggu
diisi pelajaran agama yang dibawakan dalam bahasa Jawa.
“Sebagian besar para Katekis yang mengisi
khutbah tersebut itu adalah siswa-siswa Perguruan Muntilan, hasil
didikan Romo Van Litih SJ,” ujar romo yang juga menjadi Kepala Gereja
Kevikepan Kedu yang merupakan wilayah E Gereja Katolik di Kota,
Kabupaten Magelang dan Temanggung.
Peribadatan dan kegiatan Gereja lainnya
mengalami pergeseran pada zaman revolusi fisik yang ditandati dengan
Perang Asia Timur Raya yang disulut oleh Jepang. Pada saat Jepang masuk
ke Indonesia khususnya Magelang. Revolusi tersebut berakibat pada
pelarangan hal-hal yang berbau Kolonial Belanda. Mulai dari penggunaan
bahasa Belanda dilarang, pastur berkebangsaan Belanda banyak yang
ditangkap dan dijebloskan penjara.
Demikian pula dengan aktivitas gereja di
Magelang. Satu hari setelah pada 30 Oktober 1945, tentara Gurkha
(Jepang) datang dan menduduki gedung Susteran Fransiskan, yang digunakan
sebagai maskas tentara Jepang. Keesokkan harinya, 1 Nopember 1945,
sebuah drama berdarah menimpa seluruh keluarga Pasturan Magelang.
Lima orang Romo, dua Frater, dua Bruder,
dan seorang koster diculik oleh segerombolan orang. Mereka dibawa dan
dibunuh di komplek kuburan Giriloyo, Magelang. Tiga tahun kemudian
peristiwa memilukan tersebut kembali terjadi. Saat itu Romo Sandjaja ,
yang saat itu dipercaya menggembala umat di Magelang, bersama Romo H
Bouwens juga diculik dan dibunuh di desa Patosan, Sedan, Muntilan.
Selepas peristiwa memilukan yang terjadi
masa revolusi fisik tersebut, sedikit demi sedikit kehidupan peribadatan
di gereja mulai pulih dan mulai berbenah. Pada tanggal 1 Agustus 1962,
pembenahan dimuali dengan merenovasi gereja. Pada masa itu yang
melakukan perencanaan dan sebagai pelaksanaan merupakan persatuan gereja
Katholik dari Semarang. Demikian pula dengan Gereja St Ignatius ini
bangunannya pun dirombak total.
“Namun ada beberapa ornamen yang masih
dipertahankan seperti jendela-jendela mozaik, tangga melingkar untuk
naik ke balkon, dan lonceng gereja,” ujar pemerhati Kota Toea Magelang,
Bagus Priyana.
Setelah itu upaya untuk memperlebar
pelayanan dan pemekaran wilayah gereja semakin luas. Pada masa Paroki
Gereja St Ignatius dipegang Santa Maria Fatima dan Romo A. Martadihardja
SJ wilayah pelayanan umat gereja ini semakin luas. Pada tahun 1983
gereja ini mempunyai tujuh wilayah penggembalaan yaitu Magelang,
Panjang, Rejowinangun, Tidar, Jurangombo, Kemirirejo, dan Cacaban.
Upaya pemekaran ini semakin menyeruak
seiring pemekaran wilayah pemerintahan dengan munculnya
kelurahan-kelurahan baru. Kini Paroki St. Ignatius Magelang terbagi
menjadi 13 wilayah penggembalaan. Penggembalaan semakin diefektifkan
dengan membagi 13 Wilayah dalam 36 Lingkungan hingga sampai lereng
Gunung Sumbing yaitu daerah Kajoran, Kaliangkrik.(Bhekti Wira Utama)
Sumber :
https://kotatoeamagelang.wordpress.com/2011/03/04/gereja-st-ignatius/#more-11
No comments:
Post a Comment