30
Kampung Kwarasan
Nama Kwarasan berasal dari bahasa jawa, kewarasan (kesehatan). Pembangunan kampung ini memang bertujuan untuk memberikan kesehatan kepada penghuninya. Pada awal tahun 1932, saat itu terjadi Mala Ise (Krisis Ekonomi). Saat itu Kota Magelang diserang wabah penyakit Pes, penyakit disebarkan oleh tikus.Untuk itu pemerintah pada masa itu berinisiatif untuk membuat perumahan sehat untuk para pejabat dan masyarakat. Thomas Karsten yang juga arsitek yang membangun menara air ini didaulat untuk merancang komplek perumahan tersebut. Akhirnya dipilihnya daerah yang sekarang bernama kampung Kwarasan, kampung tersebut dibangun disebuah tanah kosong dengan luasan sekitar 2 hektar. Selain udara disana sejuk, dari perumahan tersebut juga bisa menyaksikan secara langsung keindah
an Gunung Sumbing.
“Perumahan tersebut dulunya dibangun untuk mengisolasi masyarakat dan pejabat Kolonial dari penyebaran penyakit Pes,” terang Kepala Bidang Kebudayaan Disporabudpar Kota Magelang, Titi Haryani Muktiningrum.
Pada tahun 1937 komplek perumahan tersebut berdiri. Komplek tersebut dibangun dengan tiga tipe rumah. Dibagian barat Jalan Sumbing dibangun komplek besar, sedangkan disebelah utara Jalan Sindoro, dibangun rumah dengan ukuran sedang. Untuk rumah dengan ukuran paling kecil dibangun disebelah timur Gang Kunc
i.
Walaupun dibangun arsitek Belanda, rumah di komplek ini dibangun dengan pola rumah jawa, yaitu berbentuk limasan, lantainya menggunakan traso, dan menggunakan kayu jati. Namun sayang tidak ada sumber pasti yang mengatakan luasan tanah dan jumlah rumah dalam komplek tersebut.
Jarak dari satu rumah dengan rumah yang lain dibatasi dengan tanah kosong yang berfungsi sebagai sirkulasi udara. Selain itu, sebagai fasilitas umum juga dibangun dua tanah lapang. Lapangan tersebut dahulunya sering digunakan sebagai tempat interaksi pejabat dan masyarakat yang tinggal di komplek tersebut. Dua lapangan
tersebut dipisahkan oleh Jalan Sindoro, namun lapangan yang terletak disebelah utara sekarang berubah menjadi kantor Kecamatan Magelang Tengah. Sedangkan yang berada di sebelah selatan hingga saat ini dikenal menjadi lapangan Kwarasan.
“Dulu lapangan tersebut digunakan berjemur sambil minum kopi (On De
Zon) pejabat Kolonial yang tinggal di komplek tersebut,” terang Pemerhati dari Komunitas Kota Tua Bagus Priyana.
Berdasarkan keterangan salah seorang saksi sejarah yang juga tinggal di komplek tersebut, Ny Panji (67). Pada masa pendudukan Jepang (1942) kampung terse
but dikosongkan. Pejabat Kolonial yang menempati komplek tersebut diasingkan oleh Jepang. Ketika pemerintahan kembali dipegang oleh pemerintah Indonesia kampung tersebut kembali dikelola oleh pemerintah Indonesia.
Pemerintah Indonesia membentuk sebuah lembaga yang diberi nama Versuis. Lembaga tersebut bertugas untuk mengurusi bangunan tersebut dan beberapa bangunan peninggalan Belanda lainnya. Komplek Kwarasan tersebut pernah digunakan sebagai tempat tinggal pejabat, diantaranya Bupati Magelang, Purwosubijono.
“Rumahnya paling pojok di Jalan Sumbing,” terang Ny Panji yang tinggal di Gang Kunci sambil duduk di ruang tamu dengan ukuran 3×3 meter.
Rumah yang ditempati Ny Panji memang belum berubah, sama seperti pertama kali dibangun. Rumah tersebut lebih tinggi dari akses jalan, posisi ini dimaksudkan agar penghuninya bisa tetap menikmati pemadangan Gunung Sumbing dan tidak terhalang rumah yang dibangun di depannya. Untuk akses masuknya dibangun sebuah tangga dengan besi pegangan di pinggirnya.
Namun saat ini bangunan di komplek tersebut kepemilikannya berpindah tangan menjadi milik pribadi. Tidak ada sumber yang menyebutkan kapan perpindahan kepemilikan dan proses perpindahannya tersebut. Walaupun termasuk dalam benda cagar budaya, bangunan tersebut sekarang banyak mengalami perubahan. Bentuk rumahnya banyak yang sudah berubah. Bangunan dengan arsitektur modern mengganti bentuk rumah asli hasil karya Thomas Karsten
No comments:
Post a Comment