Papa Johan Van Der Steur
JOHAN VAN DER STEUR
sebuah tulisan yang menempel pada gerbang makam Kerkof di Jl Ikhlas,
Kota Magelang. Walaupun ribuan makam di kerkof telah dibongkar, dan
dijadikan pasar penampungan Pasar Rejowinangun. Namun makam Papa Van Der
Steur panggilan masih utuh bersama dengan puluhan makan yang sebagian
adalah makan anak asuhnya. Warga Belanda yang lahir di di Haarlem, 10
Juli 1865 dan wafat di Magelang 16 September 1945 ini datang ke Magelang
bersamaan dengan pendudukan Belanda. Pada saat itu Kota Magelang
sebagai Kota Garnisun yaitu sebagai pusat pemerintahan dan pendidikan
dan sebagai maskas tentara Belanda. “Bapa datang bersama saat kolonial
Belanda datang ke Indonesia,” cerita salah satu anak asuhnya Tante Ald
(85).
Perang Belanda melawan pribumi banyak
memakan korban, bukan hanya tentara Belanda tapi juga pribumi. Ribuan
anak-anak kehilangan bapaknya, tulang punggung ekonomi keluarga telah
tewas di medan pertempuran. Melihat anak-anak yang menjadi korban
perang, hati Papa Van Der Steur tergerak, diapun berinsisiatif untuk
mendirikan yayasan sosial dan panti asuhan untuk menampung korban perang
tersebut. Akhirnya pada 28 Desember 1896, berdirilah panti yang diberi
nama ”Vereeniging tot bevordering van Christelijk leven en Onderling
Hulpbetoon”.
“Letaknya di Kampung Meteseh, Sebelah utara Kantor Eks-Karesidenan Kedu, Kota Magelang,” kata Pemerhati Kota Tua, Bagus Priyana.
Seiring berjalannya waktu, panti tersebut
berganti nama, tepatnya pada tahun, 1920, yayasan tersebut namanya
diganti menjadi ”Vereeniging Christeljik opveodingsgestichten oranje
nassau”. Setelah berganti nama, anak yang ditampung di panti tersebut
semakin banyak. Mereka berasal dari Ambon, Manado, Ternate dan beberapa
wilayah jajahan Belanda.
Bukan hanya ditampung, disana mereka pun
diberi bekal pendidikan. Untuk menunjang itu, dia mendirikan sekolahan
Mulo setingkat SMP. Selain itu, dia juga mendirikan technische school
(sekarang SMP 13 Kota Magelang), dan sekolah Ambachtsschool di Sleman.
Sebuah kepedulian sosial yang tinggi dari Papa, untuk memperjuangkan
hak-hak anak atas pendidikan dan perlindungan. Ribuan anak tersebut
semua disekolahkan tanpa ada dibeda-bedakan.
“Semua siswa mulai dari anak umur dibawah
sepuluh tahun hingga di atas sepuluh tahun disekolahkan,” terang Bagus
yang juga penggemar sepeda klasik ini.
Gerakan itu merupakan sebuah hasil
pemikiran yang matang darinya. Disekolah tersebut mereka diajarkan
beberapa ketrampilan disekolah kejuruan seperti mesin dan pertukangan.
Ilmu tersebut diharapkan bisa menjadi sebuah bekal untuk mencari
kehidupan masing-masing siswa setelah lepas dari sekolah itu. Selain itu
disana juga didirikan beberapa unit usaha seperti pembuat pakaian dan
sepatu (Kleermakerij), perbaikan sepatu (schoen makerij), memproduksi
plat besi untuk membuat ranjang, rak, kursi dan tralis (werk plaats).
Sebagian pekerjanya adalah anak asuhnya yang sudah dewasa atau lulus
sekolah.
Walaupun sudah tidak utuh lagi, namun
masih ada dua panti asuhan di kompleks tersebut. Antara lain Panti
asuhan Pemuda Putra-Putri dan Panti asuhan Mayu Darma Putra. Bangunan
lainnya sudah beralih fungsi diantaranya menjadi Kantor Dinas Pendidikan
Kota Magelang, Kantor Golkar, Perumahan Mantiasih, SD Magelang III,
Kantor Badan Pertanahan Nasional, Dinas Penanaman Modal. Bangunan yang
masih agak utuh, Gereja Bethel, Kantor Penanaman Modal dan Panti Asuhan
Mayu Dharma Putra.Walaupun sudah meninggal namun jasanya selalu
dikenang, warga Belanda dan ribuan anak asuhnya yang tersebar hampir di
seluruh dunia selalu menyempatkan berziarah ke makam Papa di Jl Ikhlas
Kota Magelang, terlebih pada bulan September bulan meninggalnya Papa.
Sosok Papa dikenal bersahaja, setidaknya
itu yang terlihat dari koleksi peninggalan bajunya yang disimpan rapi
salah satu anak asuhnya. Dia hanya memiliki empat jas putih, empat
celana panjang dan enam kaos oblong. Papa selalu mengajarkan kepada
semua anak asuhnya untuk hidup sederhan. Semua anak asuhnya mempunyai
seragam yang sama, mulai dari sepatu, kaos, kemeja bahkan hingga celana
dalam. Setiap anak diberikan empat stel pakaian dan enam celana dalam.
Tidak ada yang dibeda-bedakan baik itu keturunan pribumi maupun Eropa.
”Sepanjang hidupnya Papa mengabdikan diri untuk memberikan kasih sayang pada anak asuhnya,” cerita Tante Ald.
Papa yang oleh anak asuhnya akrab
dipanggil Moe ini tidak mempunyai anak. Dari hasil perkawinannya dengan
gadis kelahiran Belanda, Anna Maria Zuwager, namun pasangan tersebut
memperlakukan anak asuhnya seperti anak mereka sendiri. Kedua pasangan
tersebut meninggal di Magelang. Papa selalu berpesan kepada anak
asuhnya, selama hidup di dunia haruslah berbuat untuk sesama.
”Itu yang dipesankan papa sebelum meninggal,” kenang Tante Ald.
Mengasuh anak asuhnya dijalani Papa
dengan senang hati dan tanpa beban, tiada hari dilaluinya tanpa nasehat
untuk anak-anaknya. Fasilitas di panti yang didirikan papa ini tergolong
lengkap mulai dari gymnastiekzaal untuk tempat bermain ibadah, gereja
(gestichts kerk), yang kini menjadi Gereja Bhetel Indonesia, sedangkan
untuk sarana hiburan papa juga sering mempertontonkan musik lokal.
Selain itu papa juga orang yang disiplin, dan itu diajarkan kepada
setiap anaknya. Disiplin itu bisa terlihat dari tersedianya kamar
isolasi (isoleer kamer). Ruangan tersebut memang khusus untuk menghukum
anak asuhnya yang nakal, namun tidak seperti layaknya penjara, ruangan
tersebut hanya untuk mengajarkan anak asuhnya berdisiplin.
”Bapa orangnya disiplin mendidik anaknya
juga seperti itu bahkan seperti pendidikan militer, seperti apel, jam
makan, jam belajar, semuanya harus dilakukan tepat waktu,” jelasnya.
Untuk membiayai anak-anaknya, Papa
mengandalkan dari hasil usaha yang didirikannya. Baru 1912 datang
beberapa truk bantuan dari pemerintah Hindia Belanda, yang berisi bahan
makanan dan uang subsidi sebesar 32.00 golden pertahun. Itu untuk
menghidupi 400 anak saat itu. Jumlah tersebut bertambah dengan masuknya
60 anak dari Ambon. Anak tersebut adalah hadiah ulang tahun Papa ke 60
dari tokoh yang juga pengasuh anak-anak kecil HC A Otto.
”Dia (HC A Otto) meninggal 13 Mei 1936, dan sekarang makamnya di sebelah Papa,” terangnya lagi
Pada saat Jepang masuk ke Magelang 8
Maret 1942-1945, Pa Van Der Steur dimasukan penjara Cimahi, disana dia
diurus oleh Lutters, salah seorang anak asuh yang kebetulan dipenjara
juga. Merasa makanan dipenjara tidak layak, Lutters memohon kepada
kepala penjara, disana Lutter menukar makanan penjara dengan warga untuk
diberikan kepada Papa. Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, semua
tawanan di kembali ke daerah masing-masing. Namun karena Papa sakit,
akhirnya dia dirawat di rumah sakit CBZ (sekarang rumah sakit Karyadi
Semarang).
Mendengar informasi itu, anak asuhnya
berencana membawa pulang, namun karena tidak diizinkan mereka dengan
paksa membawa pulang Papa dini hari melalui pintu belakang. Dengan
menggunakan mobil terbuka, Papa dibawa pulang dan dirawat dua minggu di
panti. Selama papa sakit, pengasuh panti diambil alih oleh anak asuh
paling senior JDJ Salmon. Seakan ingin membalas budi papa, semua anak
asuhnya bergantian merawatnya. Namun Minggu 16 September 1945 jam 9
sebelum kebaktian papa tidur dan tidak bangun lagi. Ribuan orang
mengantarkan kepergian papa hingga kepemakaman. Lalu lintas sepanjang Jl
Diponegoro, Jl Veteran, Jl A Yani, Jl Pemuda, masuk Jl Ikhlas, dan
menuju ke pemakaman (berg plats) kerkhof dipadati lautan manusia yang
ingin memberikan penghormatan terakhir padanya. Sebuah tulisan dengan
bahasa belanda yang berbunyi niet mijn naam, maar mijn werk zij gedacht
(jangan kenang nama saya tetapi kenanglah pikiran dan kerja saya)
terukir di batu nisannya.(Bhekti Wira Utama)
Sumber :
https://kotatoeamagelang.wordpress.com/2011/03/04/papa-johan-van-der-steur/#more-16
No comments:
Post a Comment