25 February 2025

Jaka Umbaran, Anak "Yang Terlantar" Menjadi Penasehat Kerajaan Mataram Jaka Umbaran merupakan putra dari Sutawijaya (Panembahan Senopati). Kisah berawal saat Ki Ageng Pemanahan, ayah dari Sutawijaya, menjodohkan Sutawijaya dengan Niken Purwasari atau Rara Lembayung, putri dari Ki Ageng Giring III. Namun, Sutawijaya tidak memiliki ketertarikan pada Niken Purwasari. Meski demikian, pernikahan tetap dilangsungkan di kediaman Ki Ageng Giring III, Beberapa minggu setelah pernikahan tersebut, Danang Sutawijaya memutuskan untuk kembali ke Pajang dan meninggalkan Niken Purwasari dengan sebuah keris tanpa sarung. Sebuah benda yang kelak akan menjadi simbol bukti dirinya sebagai ayah dari anak yang akan lahir dari Niken Purwasari. Tak lama setelah itu, Niken Purwasari melahirkan seorang putra yang diberi nama "Jaka Umbaran" yang artinya "anak laki laki yang ditelantarkan", yang kemudian diasuh dan dibesarkan oleh sang ibu dan kakeknya, Ki Ageng Giring III. Dalam asuhan keluarga besar Giring, Jaka Umbaran tumbuh menjadi sosok yang ingin tahu akan identitas ayahnya. Ketika Jaka Umbaran beranjak dewasa, ia mulai mempertanyakan asal-usulnya dan menanyakan sosok ayahnya kepada sang ibu. Meski enggan menceritakan, Niken Purwasari akhirnya mengakui bahwa ayah Jaka Umbaran adalah seorang bangsawan besar di Kotagede. Berbekal keris tanpa sarung yang dulu ditinggalkan oleh ayahnya, Jaka Umbaran berangkat ke Kotagede untuk mencari sosok ayahnya. Setibanya di Kotagede, Jaka Umbaran berhasil bertemu dengan Sutawijaya, yang saat itu telah menjadi Raja Mataram bergelar Panembahan Senopati. Jaka Umbaran meminta kepada Panembahan senopati supaya diakui sebagai anaknha. Namun, Panembahan Senopati sebagai ayah enggan menerima Jaka Umbaran begitu saja sebagai putranya. Setelah melalui perjuangan yang berat, Jaka Umbaran akhirnya berhasil mendapat pengakuan sebagai putra Mataram dengan gelar "Pangeran Purbaya". Di Keraton Mataram, Pangeran Purbaya menerima pendidikan keras dalam seni bela diri, ilmu agama, dan berbagai ilmu kehidupan lainnya. Ia dikenal sebagai sosok pemberani dan terampil di medan perang, bahkan beberapa kali terlibat dalam berbagai pertempuran. Salah satu pertempuran besar yang ia ikuti adalah melawan penguasa Madiun, Pangeran Timur, yang dikenal dengan sebutan “Bedhah Madiun.” Perang tersebut menandai ketangguhan Pangeran Purbaya sebagai ksatria yang mewarisi semangat perjuangan ayahnya. Pangeran Purbaya bukanlah putra mahkota, Posisi putra mahkota jatuh kepada Raden Mas Jolang yang bergelar Panembahan Hanyakrawati. Naskah babad mengisahkan putra Panembahan Senopati yang paling sakti ada dua. Yang pertama adalah Raden Rangga yang mati muda, sedangkan yang kedua adalah Purbaya. Ia merupakan pelindung takhta Mataram saat dipimpin keponakannya, yaitu Sultan Agung (1613-1645). Pangeran Purbaya sangat berjasa dalam membantu Sultan Agung, raja Mataram Islam terbesar, membangun kerajaan yang besar dan kuat. Sultan Agung sendiri merupakan keponakan Pangeran Purbaya Pangeran Purbaya hidup sampai zaman pemerintahan Amangkurat I putra Sultan Agung. Ia hampir saja menjadi korban ketika Amangkurat I menumpas tokoh-tokoh senior yang tidak sesuai dengan kebijakan politiknya. Untungnya, Purbaya saat itu mendapat perlindungan dari ibu suri (janda Sultan Agung). Pangeran Purbaya meninggal dunia bulan Oktober 1676 saat ikut serta menghadapi pemberontakan Trunajaya. Amangkurat I mengirim pasukan besar yang dipimpin Adipati Anom, putranya, untuk menghancurkan desa Demung (dekat Besuki) yang merupakan markas orang-orang Makasar sekutu Trunajaya. Perang besar terjadi di desa Gogodog. Pangeran Purbaya yang sudah lanjut usia gugur dalam pertempuran tersebut sebagai seorang yang telah mengabdi kepada tiga generasi Mataram. * Abror Subhi, Dikutip Dan Disusun Kembali Dari Berbagai Sumber

 Jaka Umbaran, Anak "Yang Terlantar" Menjadi Penasehat Kerajaan Mataram

Jaka Umbaran merupakan putra dari Sutawijaya (Panembahan Senopati). Kisah berawal saat Ki Ageng Pemanahan, ayah dari Sutawijaya, menjodohkan Sutawijaya dengan Niken Purwasari atau Rara Lembayung, putri dari Ki Ageng Giring III. Namun, Sutawijaya tidak memiliki ketertarikan pada Niken Purwasari. 



Meski demikian, pernikahan tetap dilangsungkan di kediaman Ki Ageng Giring III, Beberapa minggu setelah pernikahan tersebut, Danang Sutawijaya memutuskan untuk kembali ke Pajang dan meninggalkan Niken Purwasari dengan sebuah keris tanpa sarung. 

Sebuah benda yang kelak akan menjadi simbol bukti dirinya sebagai ayah dari anak yang akan lahir dari Niken Purwasari. Tak lama setelah itu, Niken Purwasari melahirkan seorang putra yang diberi nama "Jaka Umbaran" yang artinya "anak laki laki yang ditelantarkan", yang kemudian diasuh dan dibesarkan oleh sang ibu dan kakeknya, Ki Ageng Giring III. 

Dalam asuhan keluarga besar Giring, Jaka Umbaran tumbuh menjadi sosok yang ingin tahu akan identitas ayahnya. Ketika Jaka Umbaran beranjak dewasa, ia mulai mempertanyakan asal-usulnya dan menanyakan sosok ayahnya kepada sang ibu. Meski enggan menceritakan, Niken Purwasari akhirnya mengakui bahwa ayah Jaka Umbaran adalah seorang bangsawan besar di Kotagede. 

Berbekal keris tanpa sarung yang dulu ditinggalkan oleh ayahnya, Jaka Umbaran berangkat ke Kotagede untuk mencari sosok ayahnya. 

Setibanya di Kotagede, Jaka Umbaran berhasil bertemu dengan Sutawijaya, yang saat itu telah menjadi Raja Mataram bergelar Panembahan Senopati. Jaka Umbaran meminta kepada Panembahan senopati supaya diakui sebagai anaknha. Namun, Panembahan Senopati sebagai ayah enggan menerima Jaka Umbaran begitu saja sebagai putranya.

Setelah melalui perjuangan yang berat, Jaka Umbaran akhirnya berhasil mendapat pengakuan sebagai putra Mataram dengan gelar "Pangeran Purbaya".

Di Keraton Mataram, Pangeran Purbaya menerima pendidikan keras dalam seni bela diri, ilmu agama, dan berbagai ilmu kehidupan lainnya. Ia dikenal sebagai sosok pemberani dan terampil di medan perang, bahkan beberapa kali terlibat dalam berbagai pertempuran. 

Salah satu pertempuran besar yang ia ikuti adalah melawan penguasa Madiun, Pangeran Timur, yang dikenal dengan sebutan “Bedhah Madiun.” Perang tersebut menandai ketangguhan Pangeran Purbaya sebagai ksatria yang mewarisi semangat perjuangan ayahnya.

Pangeran Purbaya bukanlah putra mahkota, Posisi putra mahkota jatuh kepada Raden Mas Jolang yang bergelar Panembahan Hanyakrawati.

Naskah babad mengisahkan putra Panembahan Senopati yang paling sakti ada dua. Yang pertama adalah Raden Rangga yang mati muda, sedangkan yang kedua adalah Purbaya. Ia merupakan pelindung takhta Mataram saat dipimpin keponakannya, yaitu Sultan Agung (1613-1645).

Pangeran Purbaya sangat berjasa dalam membantu Sultan Agung, raja Mataram Islam terbesar, membangun kerajaan yang besar dan kuat. Sultan Agung sendiri merupakan keponakan Pangeran Purbaya

Pangeran Purbaya hidup sampai zaman pemerintahan Amangkurat I putra Sultan Agung. Ia hampir saja menjadi korban ketika Amangkurat I menumpas tokoh-tokoh senior yang tidak sesuai dengan kebijakan politiknya. Untungnya, Purbaya saat itu mendapat perlindungan dari ibu suri (janda Sultan Agung).

Pangeran Purbaya meninggal dunia bulan Oktober 1676  saat ikut serta menghadapi pemberontakan Trunajaya. Amangkurat I mengirim pasukan besar yang dipimpin Adipati Anom, putranya, untuk menghancurkan desa Demung (dekat Besuki) yang merupakan markas orang-orang Makasar sekutu Trunajaya. Perang besar terjadi di desa Gogodog. Pangeran Purbaya yang sudah lanjut usia gugur dalam pertempuran tersebut sebagai seorang yang telah mengabdi kepada tiga generasi Mataram.

* Abror Subhi, Dikutip Dan Disusun Kembali Dari Berbagai Sumber

No comments:

Post a Comment