PERANG NIAS (1840-1863), Raja Orahili Sang “DE VERDRIJVER DER HOLLANDERS"
________________________________________________
Sejak 2 abad lebih VOC Belanda sudah melirik dengan bernafsu ingin menguasai pulau Nias. Dalam tahun 1693 telah berhasil membuat perjanjian persahabatan dengan beberapa kepala-kepala suku di Nias, dan Belanda mendirikan pos dagang disana yang 2 tahun kemudian ditutup kembali. Didalam tahun 1756 kembali dicoba Belanda untuk mendirikan pos dagang yang baru yang ternyata lagi-lagi gagal. Dengan adanya TraktaatLondon 1824, Belanda mengambil alih semua aktivitas-aktivitas Inggris di Sumatera, termasuk pos Inggris di Gunung Sitoli. Atas dasar hukum yang sepihak itu tadi, didalam tahun 1840 Belanda mulai mendirikan benteng militer di Gunung Sitoli yang diperkuat dengan detasemen infanteri. Baik pimpinan militer maupun pimpinan pemerintahan sipil Belanda disitu dipegang oleh komandan benteng yang tunduk ke Gouvernement Belanda di Padang (Sumatera Barat).
Tentu saja hadirnya militer Belanda di Nias menimbulkan amarah rakyat, terutama ketika dikirim Letnan Donleben dengan pasukannya keluar benteng untuk membuat topograpische opname (peta) lalu segera dia dibunuh penduduk Nias dari Lagundi. Dalam tahun berikutnya (1847) Belanda mau tunjuk kuasa buat menghukum perbuatan itu. Dikirim pasukan dengan kapal-kapal perang Koerier, Banka dan Banda yang dipimpin oleh Let. Kolonel Van der Hart dan wakilnya Kapten Kroesen mendarat di teluk Lagundi di pantai selatan Nias dan membakar kampung Lagundi. Dalam pertempuran dengan pasukan-pasukan rakyat disana ekspedisi Belanda itu dapat dipukul mundur kembali kelaut dengan memperoleh korban antara lain Kapten Kroesen kena tembak. Sejak ini pasukan Belanda tidak berani menjejakkan kaki keluar benteng Gunung Sitoli.
Ketika dimana-mana di Sumatera, Belanda mulai aktif mengadakan gerakan-gerakan memperkuat penjajahannya, maka Jendral van Swieten, Kepala pemerintahan Belanda di Sumatera Barat, merasa malu tidak dapat menguasai pulau Nias. Alasan untuk bertindak lalu dicari yaitu : Membasmi perbudakan dimana katanya penduduk-penduduk Nias ditangkap untuk dibawa ke Aceh; Peperangan antara Raja-raja Botohosi dengan sekutunya Raja Orahilimelawan Raja Fadoro dan Raja Sindegeassi, dimana Tate Geko (Raja Fadoro) dan saudara-saudara dari Raja Sindegeassi tewas. Sebagaimana biasanya politik penjajah Belanda dia akan bertindak menyebelahi pihak-pihak yang lemah.
Jendral Van Swieten (Jendral ini kemudian nanti dihajar oleh orang Aceh dalam Perang Aceh) lalu membuat rencana dan memberi perintah pembentukan suatu task force, suatu Ekspedisi Militer yang pimpinannya dipercayakan kepada Kapten de Vos. Ekspedisi ini terdiri dari detasemen benteng Gunung Sitoli, sebagian dari detasemen yang ada di Sibolga ditambah peleton Angkatan Laut dari kapal perang. Banda yang dipimpin oleh Letnan Dua (L) Schuurman. Pada tanggal 29 Desember jam 3 tengah sore ekspedisi naik kapal-kapal Banda dan kapal-kapal lainnya. Kekuatan persenjataan selain daripada cadangan 24 granat, 4000 peluru tajam dan 6000 slaghoedjes, juga ditambah dengan 4 Coehoorn mortir. Pada malam harinya iringan-iringan kapal-kapal itu meninggalkan pelabuhan Sibolga menuju Teluk Lagundi. Pada tanggal 2 Januari 1856 Panglima Ekspedisi de Vos baru berani menjejakkan kakinya mendarat, setelah Raja Sindegeassi tunduk, lalu mendirikan kubu di pantai. Pada tanggal 4 Januari ekspedisi militer itu mulai bergerak setelah memaksa Raja Fadoro mengirimkan rakyatnya menjadi kuli pengangkat barang-barang. Jam 4 sore pasukan ekspedisi ini bergerak menuju Orahili dan dibagi sebagai berikut :
-- Peleton I didepan dipimpin oleh Letnan Satu Hammers terdiri dari pasukan garnizun Gunung Sitoli;
-- Barisan kedua diisi oleh marinir dari kapal Perang Banda pimpinan Letnan (L) Schuurman bertugas untuk kerja zeni pionir;
-- Barisan ketiga terdiri dari pasukan artileri dengan mortir-mortir;
-- Barisan keempat peleton dari garnizun Sibolga pimpinan Letda, de Ravallot.
-- Barisan kelima terdiri dari kuli-kuli orang-orang Nias dengan perbekalan;
-- Barisan keenam ditutup oleh peleton pimpinan Sersan Mayor Stolte dan Sersan strey, dari garnizun Sibolga.
Ditengah jalan ekspedisi mendapat kabar dari 2 orang spion yang terlebih dahulu dikirim untuk mengintip bahwa semua jalan masuk kampung Orahili sudah dijaga dan ditaburi ranjau dan hanya 1 jalan yaitu dari Fadoro ke teluk Lagundi yang masih terbuka, tetapi jalan inipun tengah malam nanti akan tertutup. Di berbagai tempat ditemukan ranjau-ranjau yang berupa panah (seperti yang kemudian juga dipakai oleh orang-orang Vietkong melawan pasukan/Amerika diperang Vietnam) yang biasanya menjadi perangkap untuk membunuh binatang liar. Keadaan ini rupanya membuat kecut hati Kapten de Vos, sehingga expolisi disuruh mengaso dan baru besok siang bergerak lagi. Pagi-pagi keesokan harinya tanggal 6 Januari ex
Ekspedisi militer Belanda ini mulai bergerak dan ketika rumah-rumah kampung Orahili mulai kelihatan bermunculanlah para perjuang Nias.
Menurut laporan Belanda perajurit-perajurit Nias itu ada yang berpakaian “baru rabau”, “baru Sinali" atau “baru uli giu”. Yang lain adalah pasukan perajurit “Boha Limat” (pasukan pengawal raja) yang memakai topi “rongo” atau “tagule” berwarna merah dan kuning dan ada pula opsir-opsirnya memakai topi besi (tapuja tapau), dan “baru sigolu”. Senjata-senjata prajurit-prajurit Nias ini adalah tombak 6 kaki, klewang dan 2 buah pisau, hanya ada 70 buah senapan kuno model locok itupun cara menembakkannya dari paha sehingga sulit untuk membidik tepat. Jadi dapatlah kini kita perbandingkan perbedaan kekuatan dan jenis persenjataan kedua belah pihak itu.
Pasukan Belanda yang terdepan tiada berapa lama kemudian dihujani dengan tembakan-tembakan senapan oleh pejuang-pejuang Nias dan terjadilah kacau balau. Peleton Marinir pimpinan Letnan (L) Schuurman mencoba maju tetapi hanya bisa 50 langkah saja, karena tertumbuk tanaman-tanaman pohon yang penuh duri-duri rapat dan ditengah-tengah ada ranjau-ranjau dan lobang-lobang perangkap. Hempangan-hempangan seperti ini lebarnya 18-20 el sampai ke benteng yang dibuat daripada batu dengan lobang-lobang penembak yang tingginya 2-2½ el. Ketika pasukan Belanda mau maju tembakan pertama telah menghancurkan paha Sersan Sopla. Mayor Schwenk dengan bersenjatakan dubbelloop mencoba menembaki pejuang-pejuang Nias itu serta merta memperoleh sebutir peluru di dada kirinya sehingga ia tewas. Pleton artileri yang menembakkan mortirnya tidak ada mengenai satu orangpun pejuang.
Laporan Belanda kemudian menulis : “……………De vijand week geen duim breedte, werd overmoediger bij het ontdekking dat ons vuur onschadelijk was, schoot bedaard zijne nuurwapens af die, door de schietgaten gerigt, het doel zelden mistenen terwijl een gedeelte de geweeren herlaadde, overdekte de anderen de voorste manschappen met een steenegen waardoor er verscheidene buiten gevecht kwamen. Gedurig nam het aantal gekwetsten toe, al meer en meer begon de vijand met juistheid te vuren ; …………..”. (Musuh tidak beranjak sedikitpun, malah makin bersemangat setelah mengetahui tembakan kami tidak mengena, lalu mereka dengan tenang menembakkan senjata mereka, melalui lobang-lobang pembidik, dan sasaran mereka jarang yang tak mengena; sementara sebagian mengisi peluru, yang lain melempari penyerang depan dengan batu-batu. Makin lama makin banyak jatuh korban makin lama makin jitu tembakan-tembakan musuh).
Tembakan-tembakan dari para pejuang Nias kini dipusatkan kearah tempat mortir-mortir Belanda. Salah satu onggokan mesiu peluru mortir kena tembakan sehingga meletup dari seorang artillerist korban. Karena banyaknya korban jatuh serdadu-serdadu Belanda yang dibelakang tidak mau menggantikan tempat kawan-kawannya yang jadi korban. Panglima Ekspedisi meminta agar ada yang bersedia jadi sukarelawan dan cuma hanya 2 orang yang mau. Sersan Dungeman dan Sersan Strey. Dengan 2 orang saja yang maju kedepan adalah sia-sia tetapi tetap tinggal ditempatpun sia-sia belaka karena akan jadi sasaran peluru para pejuang. Dua kali telah dilaporkan bahwa para pejuang Nias sudah menghadang jalan mundur. Jalan ke arah pantai ada kira-kira sejauh 3 jam perjalanan. Barisan depan sudah mundur teratur dan para pekerja paksa orang-orang Nias sudah lama lari meninggalkan serdadu-serdadu Belanda itu. Tidak ada jalan lain daripada mundur buat Belanda. Mana kawan-kawannya yang korban dan amunisi yang dapat dibawa lalu dibawa tergesa-gesa bahkan 2 orang kawannya yang mati ditinggal begitu saja oleh Belanda-Belanda itu.
Mula-mula mereka mau mundur dan bertahan di kampung Raja Fadoro, tetapi lalu diterima kabar bahwa rakyat kampung itu sudah bekerjasama dengan pejuang dari Botohosi. Setiap langkah mundur menambah korban dipihak serdadu-serdadu Belanda. Ketika seluruh sisa-sisa angkatan perang Belanda dari Ekspedisi Militer II ini naik kapal kembali ke Sibolga mereka telah menderita korban 22 orang. Dengan ini gagallah penyerangan Belanda untuk kesekian kalinya menguasai seluruh Nias. Penduduk yang di gembar-gemborkannya masih primitif nyatanya telah memberikan kekalahan yang memalukan kepadanya. Sejak itu Raja Orahili yang menjadi pemimpin utama para Pejuang Nias ketika itu lalu dijuluki oleh Belanda “De Verdrijver der Hollanders” (Pengusir orang-orang Belanda).
Bukan main marahnya Jendral Van Swieten mendengar kekalahan Belanda yang memalukan itu. Macam-macamlah yang dicari untuk menjadi kambing hitam. Lalu ditugaskan kepada Mayor Van Staveren, onder Directeur Zeni Sumatera Barat, untuk membuat rencana operasi serta rencana daerah pendudukan nanti. Panglima Task Force Ekspedisi Militer-III ini dipercayakan kepada Mayor Crena, sebagai panglima pasukan-pasukan Belanda di wilayah utara. Segera ia berangkat ke Sibolga untuk persiapan peralatan yang diperlukan. Mengingat kerjasama dengan penduduk Nias tidak berapa diharapkan, maka ranjau-ranjau dan kayu-kayu untuk bentengpun dibuat sendiri oleh Belanda di Sibolga untuk diangkut nanti bersama-sama ke Nias.
Disamping pasukan infantri ini ditambah lagi : 108 orang pasukan Marinir dari Angkatan Laut; 35 orang pasukan matroos kapal-kapal perang yang turut serta 20 orang hukuman kerja paksa sebagai kuli angkatan barang-barang untuk mengangkut semua ini 6 buah kapal dan 2 perahu-perahu besar dipergunakan.
Pada tanggal 10 Maret 1856 angkatan Belanda itu berlabuh di Teluk Lagundi. Kedatangan begitu banyak kapal-kapal itu nyatanya tidak membuat panik rakyat. Panglima Crena meneropong rakyat tenang-tenang saja mengerjakan ladang mereka seakan-akan suasana dalam aman damai layaknya. Suasana kesunyian itu dipecahkan oleh tembakan meriam kapal atas perintah Panglima Belanda itu. Tiada berapa lama kemudian saudara bungsu dari Raja Sindegeassi datang. Dari padanya diperoleh laporan oleh Belanda bahwa : Raja-raja Orahili, Botohosi, Hilibobo, Lahusa, Hilijekomo dan Hilijomboi telah bersepakat membuat perjanjian pakta pertahanan untuk mengusir sebarang penjajahan Belanda asing dari wilayah Lagundi; Bahwa Raja-Raja tersebut dapat mengerahkan 6000 orang perajurit; Bahwa Raja Sindegeassi juga diajak turut serta tetapi menolak dan menyatakan akan berdiri “netral”. Atas dasar ini Sindegeassi tidak dapat memberikan bantuan kuli-kuli untuk membantu Ekspedisi Belanda itu. Hal ini untuk menjaga juga hubungan pertalian darah dan persaudaraan antara rakyat Sindegeassi dengan Orahili.
Mendengar semua itu Panglima-panglima Belanda itu sebenarnya tidak percaya tetapi agar jangan dahulu menambah musuh baru Sindegeassi tidak diusik-usik. Sejak tanggal 12 Maret itu anggota-anggota Ekspedisi Militer Belanda ini sibuk mendirikan kubu-kubu dan perbentengan didekat pantai Teluk Lagundi. Taktik Ekspedisi Belanda untuk bersikap pasif dan bertahan serta tidak menyerang ke pedalaman, mendatangkan efek negatif, membuat timbulnya keraguan-keraguan dikalangan anggota-anggota Persatuan Perjuangan Nias. Satu persatu anggota-anggota melepaskan diri dan bersikap apatis. Selain dari Raja Sindegeassi juga Raja Fadoro kemudian bahkan diikuti oleh Raja Hilibobo. Situasi yang menguntungkan ini dikabarkan kepada Jendral Van Swieten yang dengan gembiranya mengeluarkan maklumat bahwa Nias Selatan sudah berhasil ditaklukkan.
Situasi bertahan dalam benteng Lagundi seperti itu, akhirnya juga mendatangkan banyak kesusahan pada pihak Belanda. Hampir setengah daripada pasukan terkena penyakit. Mayor Crona telah kembali ke Sibolga dan menyerahkan pimpinan benteng kepada Letnan Satu Hijligers. Situasi “Tidak Perang Tidak Damai” seperti ini berlangsung hingga 4 tahun sampailah pada tanggal 16 Februari 1861 terjadilah suatu gempa bumi yang hebat yang menghancurkan rata benteng Belanda di Lagundi itu. Dengan susah payah sisa-sisa pasukan Belanda yang dapat mengungsi berlindung ke kampung Hilibobo.
Mendengar diterimanya orang-orang Belanda di Hilibobo membuat amarah Raja Orahili. Serta merta ia mengirim ultimatum kepada Raja Hilibobo bahwa jika orang-orang Belanda berdiam lebih lama disana Hilibobo dianggap musuh. Raja Hilibobo sadar sehingga segera mengusir orang-orang Belanda itu kembali naik perahu-perahu mereka pulang ke Sibolga. Semua alat-alat perlengkapan tentara Belanda sisa-sisa Ekspedisi Militer III yang tertinggal, termasuk 2 pucuk meriam 8 pounder, telah disita oleh Raja Orahili. Sejak Maret 1861 wilayah Nias Selatan kembali bersih dari kekuasaan Belanda. Sekali lagi Raja Orahili membuktikan dirinya sebagai “De Verdijver der Hollanders” (Pengusir orang-orang Belanda).**
No comments:
Post a Comment