09 December 2023

Ziarah Perang Jawa - Sang Penyergap dari Sonder

 Ziarah Perang Jawa: Sang Penyergap dari Sonder

Oleh : Mahandis Yoanata Thamrin

Tempo hari saya termangu di depan pelana merah pudar Kiai Gentayu, pelana kuda Pangeran Dipanagara. Di sebelah pelana, tampak Tombak Kiai Rondan menjulang ke langit-langit lemari kaca pamer.


Kedua benda warisan Sang Pengeran itu dipamerkan bersama tongkat Kiai Cakra dan Keris Kiai Naga Siluman dalam pameran "Repatriasi: Kembalinya Saksi Bisu Peradaban Nusantara" di Galeri Nasional.


Pada 1978 Kerajaan Belanda mengembalikan tombak, pelana kuda, dan payung—yang dalam kesempatan ini tak turut dipamerkan. 


Tombak dan pelana itu terpaksa ditinggalkan Dipanagara karena ia nyaris tertangkap pasukan gerak cepat Mayor Andreas Victor Michiels. Sang Pangeran loncat dalam jurang, lalu bersembunyi di rerimbunan gelagah.


Peristiwa penyergapan Pegunungan Gowong di Kedu Selatan itu terjadi tepat di hari ulang tahunnya yang ke-44. Ulang tahun yang sial.


Michiels merupakan veteran Pertempuran Waterloo di pihak Napoleon. Dalam Perang Jawa, bersama laskar tulungan dari Minahasa, ia memburu dalam misi penyergapan Dipanagara. Sekilas riwayat yang pernah dituturkan Peter Carey kepada saya.


Namun, saya sejatinya termangu bukan karena peristiwa penyergapan yang luput itu. Kebetulan, seminggu sebelum menyaksikan pameran repatriasi, saya berkesempatan menziarahi makam Tololiu Hermanus Willem Dotulong di Sonder, kampung kecil barat Danau Tondano di Minahasa.


Bagian akhir tulisan berbahasa Belanda di nisannya menyebutkan, "Dalam Perang Jawa dari tahun 1825 hingga 1830, ia bertempur bersama para pemimpin rakyatnya di pihak Belanda dalam kapasitas sebagai Mayor Besar Tituler di infanteri Angkatan Darat Hindia Timur Belanda." 


Kemudian pada kalimat pemungkasnya tertulis, "Diberkahi dengan medali emas untuk aksi militer penting dan pedang kehormatan emas."


Tololiu Dotulong (1795-1888) menjabat sebagai kepala distrik di Sonder pada 1824-1861. Dalam nisan disebutkan bahwa ia menerima jabatan mayor pada 1 Februari 1827. 


Dotulong membawa pasukan lebih dari seribu laskar tulungan atau hulptroepen asal Minahasa untuk menyergap Dipanagara pada pertengahan Perang Jawa.


Seorang pendeta Belanda Nicolaas Graafland (1827-1898) pernah bertamu di loji Dotulong di Sonder. "Ada lampu gantung, ada lampu duduk, dan ada pula lampu tertutup kaca. Semuanya tampak rapi. Rumah ini ada langit-langitnya. Satu-satunya rumah di Minahasa yang memiliki langit-langit. Loji ini pun merupakan loji terindah di daerah ini." Kabarnya Mayor Dotulong sendiri yang mengawasi pembangunan lojinya.


"Mayor itu mengetahui kunjungan kami," tulisnya. "Ia berdiri di serambi, berpakaian hitam dan bintang penghargaan dari Perang Diponegoro tergantung di dadanya. Busana Eropa ini cocok sekali untuknya, lagi pula ia pandai memilih busana."


Kendati mendapat penghargaan dari Kerajaan Belanda, tidak semua orang Belanda memujanya. Graafland mencoba menerka apa di benak Mayor Dotulong itu. 


"Wajahnya agak kasar, kerut-kerut pada wajahnya itu bukan akibat usianya, melainkan karena banyak berpikir dan mengumbar hawa nafsu," tulisnya. Menurutnya, cara Dotulong menilai orang Eropa sama seperti cara dia menilai rakyatnya. 


Graafland berpendapat bahwa Dotulong banyak disanjung orang sehingga ia menjadi takabur. Namun, pendeta itu  mengakui bahwa "dia tokoh yang harum namanya."


"Anda telah mencapai prestasi besar, Mayor," kata Graafland.


"Terima kasih," balas Dotulong.



No comments:

Post a Comment