Raden Ngabehi Rangga Warsita
( Bagoes Boerhan/ Ranggawarsita III/ Rangga Pajanganom/ Mas Ngabehi Surataka )
Lahir : Kasunanan Surakarta Hadiningrat, 14 Maret 1802 M
Pujangga besar budaya Jawa yang hidup di Kasunanan Surakarta.
Abdi dalem carik kadipaten anom : 28 Oktober 1819 M.
Abdi dalem kliwon kadipaten Anom : 14 September 1845 M.
Orang Tua : ♂️Mas Pajangswara/ Ranggawarsita II, ♀️Nimas Ajeng Ronggowarsito.
Istri : ♀️Raden jeng Gombak, ♀️Putri R.M. Panji Jayengmarjaya, ♀️Mas Ajeng Pujadewata, ♀️Mas Ajeng Maradewata.
Anak : ♀️Raden Ajeng Sudinah, ♀️Raden Ajeng Sujinah, ♂️Raden Mas Ranakusuma, ♂️Raden Mas Sembada, ♂️Raden Mas Sutama, ♀️Rara Mumpuni.
Wafat : Kasunanan Surakarta Hadiningrat, 24 Desember 1873 M
Makam : Jl. Ronggowarsito No.11, Padangan, Palar, Kec. Trucuk, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah 57467.
Keterangan :
Konon, sekitar pukul 12 siang, Senin Legi 10 Dulkaidah tahun Be 1728, wuku Sungsang, Dewi Sri, Wurukung, Huwas, musim Jita, atau 16 Maret 1802 M., di Surakarta terlahir sosok bayi mungil yang kemudian diberi nama Bagus Burhan. Ia putra sulung pasangan R.M. Ranggawarsito II atau M. Ng. Pjangswara, abdi dalem panewu carik kadipaten anom, dan Mas Ajeng Ranggawarsita, putri R. Ng. Suradirja Gantang. Anak yang ketika melewati masa kecilnya berada di bawah asuhan Ki Tanujaya inilah yang kelak masyhur sebagai Pujangga Ronggowarsito.
Santri Nyeleneh
Dua belas tahun kemudian, atau tepatnya pada 1740 Jawa atau 1813 Masehi, Bagus Burhan diantar M. Ng. Ranggawarsita II, M. Ng. Adiwijaya dan Ki Tanujaya berguru kepada Kiai Imam Hasan (Kasan menurut lafal Jawa) Besari di Pesantren Tegalsari. Kiai Hasan Besari adalah menantu Sinuhun Paku Buwono IV dan saudara seperguruan R.T. Sastranegara atau R. Ng. Yasadipura II. (Baca: Mutaiara, “Legenda yang Melahirkan Legenda).
Di Pesantren Tegalsari, mula-mula Bagus Burhan terkenal sebagai santri “nyeleneh”. Selain tampak bodoh, kelakuannya juga kurang baik. Ia bukannya rajin mengaji melainkan berfoya-foya menghamburkan uang dengan mengadu ayam, berjudi, serta perbuatan buruk lainnya. Nasihat Kiai Kasan Besari selalu dia abaikan. Akhirnya Kiai Kasan marah, dan Bagus Burhan beserta Ki Tanujaya diusir dari pondok. Keduanya lalu menuju Desa Mara, tempat tinggal Ki Kasanngali, saudara sepupu Ki Tanujaya.
Kepada saudaranya itu Ki Tanujaya mengatakan bahwa ia akan membawa Bagus Burhan ke Kediri, karena di daerah itu juga banyak pesantren hebat. Untuk itu Ki Tanujaya akan menghadap Adipati Cakraningrat di Kediri yang masih termasuk putra angkat Panembahan Buminata. Ki Kasanngali menyarankan agar Tanujaya dan Bagus Burhan menunggu saja Adipati Cakraningrat di Madiun. Karena bulan depan adalah bulan Rejep (Rajab), dan di bulan itu Adipati Cakraningrat biasanya singgah di Madiun dalam perjalanannya ke Surakarta menghadap Raja. Bagus Burhan dan Ki Tanujaya lalu berangkat ke Madiun. Di sana mereka berjualan kelontong kecil-kecilan di pasar. Di sana pula ia berjumpa Raden Ajeng Gombak, putri Bupati Cakraningrat Kediri, yang kelak menjadi istrinya.
Nyantri Kembali ke Tegalsari
Sepeninggal bagus burhan dan Ki Tanujaya, konon Kiai Kasan Besari mendapat wangsit bahwa di daerahnya akan tertimpa paceklik dan pageblug. Akan dilanda kekeringan, susah sandang susah pangan, banyak hama tanaman dan rusaklah kehidupan orang banyak. Paceklik dan pageblug itu akan cepat berakhir bila Bagus Burhan kembali ke Tegalsari. Itulah sebabnya Kiai Kasan Besari memerintahkan abdinya, Kramaleya, mencari Bagus Burhan agar kembali ke Tegalsari.
Dalam pada itu, R.T. Sastranegara, yang juga diberitahu utusan Kia Kasan Besari bahwa Bagus Burhan telah meninggalkan pesantren, segera menugaskan Ki Jasana, seorang abdi panongsong, untuk mncari pula Bagus Burhan ke Madiun. Di Madiun Kramaleya dan Ki Jasana bertemu, dan bersepakat mencari Bagus Burhan bersama-sama – yang berhasil mereka temukan dan mereka bawa kembali ke Tegalsari.
Namun demikian, sekembalinya di Pesantren Tegalsari, Bagus Burhan belum bisa mengubah perilaku buruknya, sehingga Ki Tanujaya mendapat marah dari Kiai Kasan Besari. Sang pengasuh itu kemudia menasihati Bagus Burhan: sebagai keturunan kesatria hendaknya ia menjalankan laku prihatin alias tirakat. Karena itu setiap malam, ditemani Ki Tanujaya, Bagus Burhan pergi ke kedung sungai. Di sana ia melintangkan bambu di atas permukaan kedung itu dan duduk di situ. Bila mengantuk, tentu saja ia jatuh ke air, dan segera berenang untuk kembali ke tempat semula. Sampai akhirnya Bagus Burhan dapat tertidur sambil duduk di ata bambu. Ini dia jalankan selama 40malam, sambil setiap hari ia hanya menyantap sebiji pisang.
Konon, pada hari yang terakhir, Bagus Burhan merasa didatangi eyang buyutnya, yaitu R. Ng. Yasadipura I (Tus Pajang) yang kemudian masuk ke dalam telinganya. Sedangan Ki Tanujaya mengalami, antara sadar dan tidak, mendengar suara gemuruh membelah bumi, kemudian muncul cahaya seperti bulan (dan itulah yang dikenal orang Jawa sebagai wahyu) yang masuk ke dalam kendil tempat menanak nasi. Cahaya tersebut berubah menjadi ikan yang besar dan dalam keadan sudah dimasak. Ki Tanujaya menyarakan Bagus Burhan menyantap habis ikan yang datang tersaji secara ajaib itu.
Sejak saat itu, begitulah kisah selanjutnya, perangai Bagus Burhan berubah total. Ia menjadi santri yang rajin, dan pandai tentu. Dalam membaca Alquran suaranya terdengar merdu dengan cengkok gaya Buminatan. Kiai Kasan Besari pun bukan main heran atas perbahan yang drastis itu. Ia pun berkenan menurunkan seluruh ilmunya kepada Bagus Burhan, yang menjadi murid terpandai dan terpercaya di Pesantren Tegalsari. Sebab itu Kiai Kasan Besari memberinya gelar Mas Ilham. Dan menjadikannya badal alias cadangan atawa pengganti dirinya.
Bagus Burhan menjadi terkenal seantero Ponorogo karena khutbah-khutbahnya yang bernas, dan memiliki suara emas. Banyak orang menyatakan ia titisan Syekh Amongraga (tokoh utama dalam Serat Centini) yang sangat terkenal. Baiklah. Setelah tamat berguru kepada Kiai Kasan Besari, Bagus Burhan dan Ki Tanujaya kembali ke Surakarta.
Pada tanggal 13 Jumadilakir 1742 J., atau 21 Mei 1815 M., Bagus Burhan dikhtankan dalam usia 13 atau 14 tahun. Setelah itu dia dididik kakeknya, R.T. Sastranegara, Gusti Panembahan Buminata, serta Sinuhun Paku Buwono IV tentang jaya kawijayan (kesaktian), kadigdayan (keunggulan), kagunan (kepandaian), serta kanuragan (keutamaan).
Pada Senin Pahing 8 Sura tahun Alip 1747 J., atau28 Oktober 1819., Bagus Burhan diangkat menjadi abdi dalem carik kadipaten anom dengan gelar Rangga Pajanganom. Pada 1749 J. Atau 9 November 1822, Bagus Burhan dikawinkan dengan Raden jeng Gombak, putri Bupati Kediri Cakraningrat. Pada tahun itu pula ia bersama Ki Tanujaya mengembara untuk menambah ilmu. Mereka pergi ke Ngadiluwih, berguru kepada Kiai Tunggulwulung. Dari Ngadiluwih mereka melanjutkan perjalanan ke Ragajampi dan berguru kepada Kiai Ajar Wirakantha. Akhirnya Bagus Burhan pergi keTabanan, Bali, berguru kepada pendeta sakti, Kiai Ajar Sidalaku.
Setelah kembali ke Surakarta pada tahun 1749 J atau 1822 M ia diangkat menjadi mantri carik kadipaten anom dengan gelar Mas Ngabehi Sarataka. Lalu pada 22 Besar tahun 1757 J atau 13Juni 1830, Mas Ngabehi Surataka ini diangkat menjadi abdi dalem carik kadipaten anom dengan gelar Raden Ngabehi Ranggawarsita dan bertempat tinggal di Kedungkol Pasar Kliwon.
Raden Ngabehi Ranggawarsita mempunyai beberapa siswa asing. Antara lain Carel Frederik Winter, Jonas Portier, Dowing, dan Jansen. Raden Ngabehi membantu menyusun kitab Paramasastra, Kawi Jawa, Sidin Saridin, SalokaAkaliyan Paribasan. Bersama Jonas Portier membantu mengauh penerbitan majalah Bramartani.
Pada Kamis Pon 12 Ruwah tahun Jimawal 1773 J., atau 14 September 145, R. Ng. Ranggawarsito diangkat menjadi abdi dalem kliwon kadipaten anom dan sebagai pujangga Kraton Surakarta Adiningrat dengan gelar tetap: R. Ng Ranggawarsita. Sebagai pujangka kraton, Ronggowarsito menghasilkan banyak karya yang mengungkapkan kehidupan kerajaan dan para bangsawan. Tetapi sebagai pujangga rakyat, ia pun banyak mengungkapkan kehidupan jelata yang penuh penderitaan. Dalam banyak karyanya, ia menciptakan hubungan harmonis antara penguasa dan rakyatnya.
Pada 5 Dulkaidah 1808 J atau 24 Desember 1873 sang abdi dalem kliwon wafat dan dimakamkan di Paler, Trucuk, Klaten, Surakarta. Ia meninggalkan tiga orang istri: Putri R.M. Panji Jayengmarjaya, Mas Ajeng Pujadewata, dan Mas Ajeng Maradewata. Putra-putri Ronggowarsito antara lain Raden Ajeng Sudinah, Raden Ajeng Sujinah, Raden Mas Ranakusuma, Raden Mas Sembada, Raden Mas Sutama, dan Rara Mumpuni.
Pujangga Penutup
Pujangga Ronggowarsito hidup pada zaman Surakarta akhir, semasa Paku Buwono IV sampai Paku Buwono IX. Ia dikatakan Hazeu dan Drewes pujangga penutup (edesluitsteen der pujangga’s) model feodal.
Istilah “pujangga penutup” sering memunculkan beberapa keberatan dari para ahli, pengamat, maupun sstrawan Jawa. Sekan-akan kehadiran, proses kreatif, dan keunggulan kepenulisan para pengarang Jawa sesudah Ronggowarsito dipandang sebelah mata. Padahal karrya-karya pengarang seperti Ki Padmasastra, Ki Mangunwijaya, Ki Yasawidagda banyak yang bermutu tinggi. Tetapi, bagaimana pengakuan Ki Padmasastra, yang sering dipuji Goerge Quinn, dalam menilai kemampuan gurunya itu? “Cekakipun gurukulapuniko(R. Ng. Ranggawarsita) baud banget, kepengin kulo niru iketanipun (ukara), nanging setengah pejah mekso mboten saged angiribi.(Pendek kata guru saya itu sangat mahir, ingin saya menirupenyusunan kata/kalimatnya, tetapi setengah mati tetap tidak berhasil menyamai).
Dalam hal inipengertian pujangga penutup haruslah diartikan sebagai ‘yang tertinggi, terbaik’atau”yang paling sempurna’, seperti diungkapkan Hazeu, memang dalam kenyataanya, hingga masa kini, lebih dari satuabad sepeninggal sang pujangga belum ada tanda-tanda lahirnya pujangga yg setingkat dirinya, baik dalam hal pengetahuannya tentang bahasa dan sastra maupun falsafah dan kejiwaan Jawa.
Selain peranan dan kedudukannya sebagai pegawai atau abdi dalem kadipaten, punggawa istana yang bertugas sebagai penerjemah, pengarang, penasehat, pengasuh, baik terhadap raja maupun calon raja, Ranggawarsita pun berperan sebagai pengemban tradisi Jawa yang diwarisinya senagaimana dikatakan Pigeaud (1967).
Oleh : Naila Syafira
No comments:
Post a Comment