FASILITAS APA SAJAKAH YANG DIDAPATKAN SEORANG PEJABAT PUBLIK BUMIPUTRA DI MAGELANG PADA MASA KOLONIAL?
Oleh : Chandra Gusta Wisnuwardhana
Menjadi seorang yang diberikan kedudukan sejak dulu hingga sekarang memang tidak pernah lepas dari yang namanya previlisme khas yang tidak bisa didapatkan oleh banyak orang. Terlebih lagi jika kita tengok para pegawai dan pejabat pemerintah pada masa kolonial dulu. Selain kharisma dan wibawa sebagai kalangan priyayi, berbagai macam bentuk fasilitas penunjang lainnya pun juga diterima oleh para pejabat tersebut. Dalam konteks ini, mari kita lihat bagaimana gambaran jajaran pegawai bumiputra di Magelang mendapatkan fasilitas - fasilitas tersebut pada masa Inggris hingga penghujung era Tanam Paksa.
Semenjak Kedu, dimana Magelang ada di dalamnya, lepas dari negaragung dan menjadi wilayah konsesi baru bagi Inggris, para pejabat dan jajaran pegawai bumiputranya termasuk kalangan paling awal yang mencicipi struktur birokrasi dan tata kelola modern berbasis liberal dan bercorak defeodalisasi pertama di Jawa. Berbeda dengan konsep pemberian gaji pada masa Mataram yang berupa imbalan berbentuk tanah lungguh beserta dengan seluruh sumber daya yang ada di dalamnya (hasil pertanian dan tenaga dari penduduk yang tinggal diatas lungguh), Bupati Magelang yang pertama, Raden Tumenggung Danoeningrat I, mendapatkan upah berupa gaji yang didapatkanya dalam bentuk uang oleh pemerintahan Raffles.
Pasca berakhirnya Perang Jawa, Residen Valck mengusulkan kepada Gubernur Jendral bahwa semua pejabat bumiputra kembali digaji dengan tanah layaknya pada masa Mataram, kecuali yang mendapatkan gaji kurang dari f 300,- /tahun akan dibayar dalam bentuk duit. Alasan kenapa pembayaran gaji kembali dalam bentuk lungguh dikarenakan wibawa para birokrat bumiputra ini telah merosot karena penguasaan mereka atas tanah dan segala sumber daya yang ada sudah digantikan dengan uang. Maka dari itu, untuk mengembalikan wibawa para pejabat pemerintah ini agar sekam Perang Jawa tidak kembali berkobar, sistem penggajian dikembalikan kepada sistem lungguh meskipun dengan risiko bahwa para petani akan kembali diperas tenaganya untuk kepentingan pribadi.
Memasuki era Tanam Paksa, sistem penggajian ini kemudian di modifikasi sedekian rupa oleh van den Bosch sehingga tersedia dua pilihan bagi para birokrat bumiputra yaitu, menerima gaji berupa sebagian tanah dan uang atau uanh secara keseluruhan. Alasan dibarlakukan sistem semacam ini adalah sebagai respons dari tidak tersedianya uang sebagai dampak dari Perang Jawa dan mengendalikan tenaga kerja rakyat untuk bisa dikerahkan dalam sistem Cultuurstelsel yang akan diterapkan.
Selain fasilitas berupa tanah lungguh dan gaji, para pejabat bumiputra di Magelang juga mendapatkan pervilisme lain yaitu "pancen" atau "kemit" dalam istilah di Karesidenan Kedu. Pancen atau Kemit adalah masyarakat yang diwajibkan untuk menjadi pelayan para birokrat untuk kepentingan pribadi dan urusan rumah tangga mereka. Sejak era Mataram, tradisi pancen ini sudah mulai berkembang dengan pesat. Wibawa seorang bangsawan atau priyayi Jawa pada masa itu selain dilihat dari posisi dalam struktur sosial dan susur galur darah, jumlah pembantu dan pengiring yang dimiliki juga menjadi penanda status sosial. Meskipun sempat dibatasi dalam upayanya membangun birokrasi kolonial yang efektif dan efisien pada masa Daendles, aturan mengenai berapa banyak jumlah pancen yang dimiliki seorang pejabat bumiputra kembali dilonggarkan pada masa van den Bosch agar sistem Tanam Paksa bisa optimal.
Tugas para pancen / kemit ini diantaranya seperti tugas berjaga malam dirumah para pejabat, menjadi pesuruh untuk berbagai keperluan, membantu pekerjaan rumah tangga, mengurus kuda, mencari kayu dan lain sebagainya. Mereka harus datang pada pagi hari dan pulang pada malam hari atau sebaliknya bagi yang bertugas menjaga kediaman pejabat di malam hari.
Jumlah pancen / kemit ini berbeda - beda sesuai dengan kedudukan para pejabat yang dilayani. Pada masa bupati Magelang ke-2, Raden Adipati Aryo Danoeningrat II di tahun 1848, beliau memiliki 58 orang pancen, 28 pancen lebih banyak dibanding bupati Temanggung saat itu. Selain jumlah pancen, jumlah pengiring bupati Magelang ke-2 juga tidak kalah banyak yaitu 30 orang. Untuk seorang wedana, jumlah pancen yang dimiliki sebesar 10 orang dengan 8 orang pengiring. Memasuki tahun 1856, jumlah pancen untuk masing - masing bupati baik Magelang dan Temanggung berjumlah sama yaitu 38 orang sedangkan pancen yang dimiliki pata wedana dan asisten wedana justru naik dari yang tadinya 10 menjadi 15 dan 10 menjadi 12. Peningkatan jumlah pancen para wedana dan assisten wedana ini berkaitan dengan tugas mereka yang bersentuhan langsung dengan rakyat sehingga wibawa mereka sebagai pejabat publik tetap terjaga, berbeda dengan para bupati yang tidak bersinggungan langsung dengan rakyat.
Meskipun demikian, menurut Inspektur Pertanian, jumlah pancen yang bekerja di Magelang masih kurang dibandingkan dengan tugas dan tanggung jawab serta jumlah gaji yang diterima para pejabat tersebut. Menurutnya, seorang bupati selayaknya mendapatkan pancen sebanyak 60 orang alih-alih hanya 38. Jabatan seorang patih kabupaten dari 12 pancen menjadi 20 dan seorang wedana dari 15 pancen menjadi 20 orang.
Pengurangan dan penghapusan kerja wajib pancen / kemit mulai diberlakukan oleh pemerintah kolonial pada tahun 1867 dan 1874 di akhir masa Tanam Paksa. Hal ini didasari pada beratnya beban kerja yang harus ditanggung rakyat ketika mereka harus bekerja untuk lahan mereka sendiri, lahan untuk Tanam Paksa, dan kerja wajib lainnya selain pancen.
Foto: Pendopo Kabupaten Magelang pada masa Tanam Paksa dengan Bupati Magelang beserta para pengiringnya.
Referensi : A.M Djuliati Suroyo. Eksploitasi Kolonial Abad XIX, Kerja Wajib di Karesidenan Kedu 1800-1900.
- Chandra Gusta Wisnuwardana -
No comments:
Post a Comment