06 February 2024

Paman Klungsu

 Paman Klungsu, nama yang khas Jawa. Orang Jawa menyebut kata 'klungsu' untuk biji buah asam. Persahabatan Paman Klungsu dan Yu Binah, bisa kita jumpai di pasar-pasar tradisional; persahabatan dan solidaritas sesama orang kecil. 


PAMAN KLUNGSU DAN KUASA PELUITNYA

Cerita olehL Ahmad Tohari

(Kompas, 5 Februari 2017)



Di sekitar jalan simpang tiga dekat pasar, nama Paman Klungsu sudah lama mapan. Dia adalah sosok yang punya kuasa di tempat itu. Dengan andalan lengking peluitnya, Paman Klungsu bisa mengatasi kemacetan lalu lintas, terutama di pagi hari. Pada saat itu, para pedagang laki-laki dan perempuan seperti beradu cepat mencapai pasar. Mereka naik sepeda atau motor dengan dua keranjang di bagian belakang. Puluhan anak SMP dan SMA dengan motor yang knalpotnya dibobok juga berebut keluar dari jalan kampung ke jalan raya. Tanpa helm, tanpa SIM. Tetapi mereka kelihatan tak peduli dan amat percaya diri. Guru-guru SD, beberapa di antaranya sudah bermobil ikut menambah kepadatan lalu lintas di simpang tiga itu. Maka, orang bilang, untung ada Paman Klungsu yang dengan lengking peluitnya bisa memuat semua menjadi lancar.


Polisi lalu lintas belum pernah datang di sana. Tetapi, Paman Klungsu biasa memakai rompi lusuh bercap “Poltas Swakarsa” dengan tulisan spidol. Entah siapa penulisnya. Selain rompi lusuh warna pupus pisang yang berpendar, Paman Klungsu juga melengkapi diri dengan peluit plastik warna merah. Meskipun kecil, suara peluit itu amat nyaring dan terbukti wibawanya ditaati oleh para pengendara. Orang-orang sering bertanya mana yang paling berwibawa di simpang tiga itu; sosok Paman Klungsu atau peluitnya.


Empat-lima tahun yang lalu Paman Klungsu hanya orang lontang-lantung di pasar. Jalannya pincang. Kaki kirinya kecil dan lebih pendek. Sebatang kara, di malam hari jadi peronda pasar. Di siang hari jadi kuli angkut yang membawakan barang milik pedagang dari dalam pasar ke pinggir jalan atau sebaliknya. Para pedagang memberinya seratus atau dua ratus rupiah. Itu bekal Paman Klungsu untuk pergi ke warung nasi rames milik Yu Binah di belakang pasar.


Sekarang Paman Klungsu tidak lagi mengangkut-angkut barang milik pedagang. Dia merasa telah naik pangkat menjadi—dia menyebutnya sendiri--poltas swakarsa, yang amat dia banggakan. Apalagi Paman Klungsu juga sering mendapat uang receh. Itu pemberian sopir-sopir yang merasa bersimpati. Mereka menghargai jasa Paman Klungsu yang punya prakarsa mengatur lalu lintas di simpang tiga.


Pada awalnya Paman Klungsu sering dicibir orang. “Ah, kamu cuma polisi non-batu, polisi-polisian. Kamu hanya berani mengatur pedagang dan anak sekolah, tapi tidak berkutik bila yang lewat pejabat atau moge. Kamu juga selalu mengistimewakan Yu Binah. Kalau perempuan itu lewat selalu kamu bukakan jalan.”


Ketika menerima cibiran itu, Paman Klungsu hanya diam. Namun sebenarnya dia sungguh tersinggung. Jadi suatu kali dia bergerak cepat ketika ada sebuah mobil bersipongah mau melanggar aturannya. Dengan langkah terpincang-pincang, Paman Klungsu menghadang mobil bagus berpelat merah itu. Paman Klungsu berdiri tepat di depan mobil, tangan kanannya tegak lurus. Tetapi, kaki kirinya bersijingkat karena lebih pendek. Peluitnya melengking-lengking sekerasnya. Pengendara mobil itu mendengus dan berhenti dengan mata membulat. Kemarahan muncul penuh di wajahnya. Tetapi, Paman Klungsu bergeming. Dan di luar dugaan Paman Klungsu semua orang di simpang tiga bertepuk tangan mendukungnya. Peluit Paman Klungsu melengking makin nyaring dan bertubi-tubi. Tangan kanannya tetap menjulang ke atas. Orang- orang bersorak makin riuh.


Sejak peristiwa itu, Paman Klungsu makin percaya diri dan merasa lebih gagah. Dia senang karena ternyata orang-orang berada di pihaknya. Maka, dia mengulangi sikap itu; tidak mengutamakan siapa saja yang lewat. Juga barisan puluhan moge yang menderu menggila dari barat pada Jumat dan menggelegar pongah balik dari timur pada Ahad. Maka, Paman Klungsu dengan peluitnya adalah sosok kekuasaan yang nyata di simpang tiga itu. Sayangnya, orang-orang juga masih jadi saksi peluit Paman Klungsu tak pernah melengking nyaring terhadap Yu Binah. Bila dia lewat, Paman Klungsu selalu mendahulukannya, dengan keramahan yang nyata pula. Terhadap Yu Binah, peluit Paman Klungsu seakan bisu.


Ketika sedang istirahat pada suatu tengah hari di emper toko, ada orang bertanya, “Ah, kamu ternyata tetap mengutamakan Yu Binah. Ada apa ya? Awas, Yu Binah punya suami; kamu jangan macam-macam.”


Pertanyaan itu membuat Paman Klungsu ketakutan. Wajahnya mendadak beku. Bibirnya gemetar. Dia tergagap, dan kata-kata yang kemudian diucapkan terdengar patah-patah.


“Yu Binah? Iya. Dia memang punya suami. Dan saya tidak mengapa-apakan dia.” Paman Klungsu gugup. Namun, lama-kelamaan bicaranya lebih tertata. Katanya, dia banyak berutang budi kepada Yu Binah. Penjual nasi itu suka memberinya rames lengkap berapa pun Paman Klungsu membayarnya. Menyadari uangnya sering tidak cukup, tambahnya, dia biasa hanya minta nasi dan air putih. Lauknya cukup kecap dan sambal yang memang disediakan cuma-cuma. Tetapi, Yu Binah tetap memberinya nasi rames lengkap dengan taburan bawang goreng, tahu atau tempe, bahkan kadang ikan juga.


“Taburan bawang goreng di atas nasi hangat, ditambah sambal dan kecap, wah!”

“Jadi hanya karena bawang goreng, kamu merasa harus mengutamakan Yu Binah?”


Paman Klungsu tersipu, kemudian meneruskan penjelasannya. Katanya, ada sesuatu yang sangat mengesankan pada Yu Binah, yaitu gerak tubuh, terutama kedua tangannya ketika Yu Binah menyiduk nasi dari bakul lalu menampungnya dengan piring.


“Itu seperti tangan orang menari, atau apa. Itu pantes banget, perempuan banget. Tidak semua perempuan bisa seperti itu,” tambah Paman Klungsu.


Orang yang mendengar ucapan Paman Klungsu tertawa.


“Ah, kamu mengada-ada saja. Cuma bawang goreng dan gerak tangan perempuan menyiduk nasi mengapa kamu begitu terkesan?”


Jawaban Paman Klungsu keluar lagi setelah dia berdiam diri. Dia mengaku dirinya orang perasa sehingga mudah tersentuh oleh keanggunan yang tampak olehnya. Apalagi, tambahnya, keanggunan gerak Yu Binah ketika menyiduk nasi selalu disertai ketulusan yang nyata terlihat di wajahnya.


                                                     ***

Ini jam 9 pagi, lalu lalang di simpang tiga sudah mereda. Anak-anak sekolah, para guru, dan pegawai sudah lama sampai ke tempat kerja masing-masing. Yang masih berkendara lewat simpang tiga hanya orang-orang yang mau pergi atau pulang dari pasar. Udara mulai panas dan suara lengking peluit buat sementara tak terdengar. Karena tidak padat, arus kendaraan bisa mengalir lancar meskipun tanpa lengking peluit Paman Klungsu. Ke mana dia?


Dengan bekal uang seribu lima ratus pemberian tiga sopir yang menyadari perut siapa pun harus diisi nasi, Paman Klungsu masuk ke warung Yu Binah. Di depan pintu warung lelaki pincang itu berpapasan dengan dua pedagang yang baru selesai makan nasi rames. Paman Klungsu duduk sendiri, meletakkan peluitnya di atas meja, lalu menyulut rokok. Yu Binah menyambutnya dengan senyum. Ah, Paman Klungsu tidak akan melepaskan peluang menikmati keanggunan gerak Yu Binah ketika perempuan itu sedang menyiapkan nasi rames. Atau, barangkali Paman Klungsu sulit menjawab bila ditanya, mana yang lebih dia sukai, keanggunan gerak Yu Binah atau nasi ramesnya.


“Yu, uangku cuma seribu lima ratus.”

“Ya, tidak apa. Ah, sejak pagi kamu kerja keras tiup-tiup peluit di simpang tiga. Jadi perutmu tentu lapar. Sekarang makanlah sampai kenyang.”

“Dengan uang seribu lima ratus ya, Yu?”

“Ya, itu kan biasa. Kamu jangan terlalu perasa. Kamu sudah lama mengenal aku, kan?”


Yu Binah memutar badan, mengambil satu piring lalu bergeser ke dekat wadah nasi, mengangkat ciduk. Paman Klungsu menatapnya dari samping dengan mata tanpa kedip. Rokoknya dibiarkan tak tersentuh di atas asbak dengan asap terus mengepul. “Itu betul sebuah lenggang yang pantes banget, dan aku tidak akan bosan melihatnya,” ujar Paman Klungsu dalam hati. Dan kemudian hatinya merasa sejuk seperti diguyur air ketika Yu Binah menyorongkan piring itu. Isinya penuh; nasi putih dengan taburan bawang goreng dan sayur buncis. Wadah sambal, botol kecap, dan segelas air putih disorongkan juga.


“Ayo makan. Kamu tentu sudah lapar.”


Suara itu terasa seperti dendang alam di telinga Paman Klungsu. Ketika sekejap menengadah, Paman Klungsu juga melihat wajah tulus itu. Mata yang jernih, senyuman yang polos, sederhana. Paman Klungsu menunduk, memperhatikan rokok di asbak yang hampir habis tanpa diisap. Menarik napas panjang, lalu menarik piring lebih dekat. Aroma bawang goreng membangkitkan seleranya. Dan Paman Klungsu sadar, harga nasi rames yang sedang dimakan pasti di atas seribu lima ratus.


Selesai makan, Paman Klungsu minta diri dengan cara orang yang amat mengerti berterima kasih. Meskipun tahu dari jam sembilan sampai jam satu lalu lintas di simpang tiga tidak ramai, Paman Klungsu tidak mau terlalu lama meninggalkan tempat itu. Namun, sampai di depan pasar Paman Klungsu harus berhenti. Yu Binah memanggil-manggilnya dari belakang. Yu Binah berjalan tergesa-gesa, tangan kirinya menjimpit sesuatu dengan ibu jari dan telunjuk. Menahan rasa jijik. Tangan kanannya menutup hidung dan mulut.


“He, ini, peluitmu tertinggal. Idih, ampun! Baunya busuk sekali,” kata Yu Binah dengan suara teredam oleh bungkaman tangan sendiri. “Peluitmu selalu kena ludah tapi tidak pernah kamu cuci ya? Idih, minta ampun busuknya!”


“Begitu ya, Yu? Tetapi, peluitku amat penting. Bunyinya berkuasa mengatur simpang tiga,” jawab Paman Klungsu sambil berusaha menangkap peluit yang dilemparkan Yu Binah ke arahnya.


“Iya, lah, aku tahu. Namun, mengapa peluitmu yang punya kuasa itu harus bau busuk? Ah, cucilah barang busuk itu. He, dengar. Kamu jangan ke warungku sebelum peluit itu kamu cuci. Benar ya?”


Paman Klungsu mengangguk dan tersenyum. Setelah Yu Binah berbalik, Paman Klungsu termangu sejenak. Mendadak dia tergoda untuk mencoba merasakan sendiri bau peluitnya. Maka lubang pada barang kecil itu didekatkan ke hidungnya. O, Paman Klungsu mendadak tersentak dan berkali-kali bergidik, lalu cuh! Kemudian Paman Klungsu berjalan terpincang-pincang sambil menunduk, pulang ke simpang tiga. Panas matahari menyengat kepalanya. Dan peluit sakti yang bau busuk itu tetap dalam genggaman.


Sumber: Kompas, 5 Februari 2017

No comments:

Post a Comment