08 February 2024

KYAI MOJO

 Kampung Tondano, Kiai Madja

( Muslim Mochammad Khalifah/ Pangeran Dipasana )


Lahir : tahun 1764/ 1792 M

Penasihat, Guru Spiritual dan Jendral Perang Diponegoro.

Perjuangan : 29 Agustus 1827 - 12 November 1828 M

Gelar Pahlawan Nasional : Pahlawan Perjuangan Nasional.

Orang Tua : ♂️Kyai Khotib Imam Arif , ♀️RA Mursilah.

Saudara : ♂️Kyai Khasan Besari, ♂️Kyai Baderan, ♂️Kyai Khasan Mochammad, ♂️Wirapatih / Kiai Sepoh / Kiai Baderan II, ♀️RA Marwiyah, ♂️Kyai Hasan Besari, ♂️Kyai Hasan Mochammad.

Istri : ♀️Mbah Wedok/ RA. Mangkoeboemi Janda Pangeran Mangkubumi.

Wafat : Kampung Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara 20 Desember 1849 M

Makam : 8W7H+MJJ, Wulauan, Tondano Utara, Kembuan, Kec. Tondano Utara, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.




Keterangan : 


Biografi Kyai Mojo

Dikutip dari buku Konflik dan Taktik Perang Jawa 1823-2839 karya Muhammad Muhibbuddin, Muslim Mochammad Khalifah atau yang biasa dikenal Kyai Mojo lahir di Surakarta, Jawa Tengah, pada tahun 1792.


Sosok yang kerap disebut sebagai Kyai Mojo ini merupakan seorang ulama yang dikenal sebagai orang kepercayaan Pangeran Diponegoro, sekaligus menjadi panglima selama Perang Jawa berlangsung.


Kyai Mojo lahir dari pasangan Iman Abdul Ngarip dan R.A Mursilah yang merupakan keturunan bangsawan. Ayah Kyai Mojo merupakan keturunan Keraton Jogja dan ibunya saudara Sultan Hamengkuwana III. Namun Kyai Mojo sejak lahir tidak pernah berada di lingkungan keraton.


Kyai Mojo dan Pangeran Diponegoro dalam silsilah keluarga memiliki ikatan kekerabatan yang merupakan saudara sepupu. Namun persaudaraan mereka semakin erat saat Kyai Mojo menikahi janda Pangeran Mangkubumi yang merupakan paman Diponegoro. Sehingga setelah itu Kyai Mojo dipanggil dengan sapaan paman oleh Pangeran Diponegoro.


Dakwah Islam


Dasar pengetahuan agama Kiai Madja berasal dari ayahnya yang seorang ulama besar. Setelah menunaikan ibadah haji, Kiai Madja sempat bermukim di Mekkah. Pulang dari tanah suci, ia melanjutkan peran sang ayah mengelola pesantren di desanya dan berhasil menghimpun cukup banyak pengikut. Bersama para santrinya, Kiai Madja menggalang gerakan anti-pemurtadan yang marak di kalangan bangsawan kraton. Kiai Madja juga punya cita-cita suatu hari nanti tanah Jawa akan dikelola dengan pemerintahan berdasarkan syariat Islam. Dan itulah yang dijanjikan oleh Pangeran Diponegoro sehingga Kiai Mojo beserta para pengikutnya bersedia bergabung untuk menghadapi Belanda dalam Perang Jawa.


Perang Jawa


Bergabung dengan Diponegoro


Kyai Mojo bergabung sejak hari pertama pasukan Diponegoro tiba di Gua Selarong (terletak di Pajangan, Bantul, Yogyakarta) untuk menjalankan siasat perang gerilya melawan Belanda. Ia juga menjadi wakil Diponegoro dalam perundingan penting dengan Belanda pada 29 Agustus 1827 di Klaten. Dalam upaya diplomasinya, Kyai Madja dengan tegas mengajukan sejumlah tuntutan. Ia juga berhasil mengubah paradigma perlawanan terhadap penjajah Belanda dari label "pemberontak" menjadi "perang sabil" atau Perang Suci melawan orang-orang kafir yang menjadi musuh Islam. Sejak bergabung dengan Diponegoro, Kiai Madja berhasil merekrut banyak tokoh berpengaruh, termasuk 88 orang kiai desa, 11 orang syekh, 18 orang pejabat urusan agama (penghulu, khatib, juru kunci, dan lain-lain), 15 orang guru mengaji, juga puluhan orang ulama dari Bagelen, Kedu, Mataram, Pajang, Madiun, Ponorogo, dan seterusnya, serta beberapa orang santri perempuan.


Sang Pangeran telah mengetahui Kiai Mojo bahkan sebelum Perang Jawa meletus, beliau telah membahas dengan pamannya, Pangeran Mangkubumi, saat mereka tiba di Selarong mengenai siapa ulama yang paling cocok untuk dipanggil ke Selarong guna memberi saran tentang cara mengangkat Al-Quran sebagai landasan utnuk perang sabil melawan kafir Belanda. Mangkubumi menyarankan agar memilih seorang di antara para ulama di Yogyakarta, tetapi sang Pangeran menolak, sebab dia kurang percaya kepada kapasitas mereka untuk memberi petunjuk berbasis Al-Quran. Alih-alih memanggil ulama dari Yogyakarta, Diponegoro memilih memanggil dua ulama yang dia kenal sebagai orang yang betul-betul "ajrih kepada tuhan" dan sangat hati-hati untuk bertindak atas perintah Al-Quran, yaitu Kiai Kuweron dari Pesantren Kuweron di Kedu Selatan, yang sudah lanjut usia, dan Kiai Mojo dari Pesantren Mojo dekat Delanggu, yang jauh lebih muda (sekitar 33 tahun saat Perang Jawa meletus).


Perpecahan dengan Diponegoro


Setelah berjuang bersama selama sekitar tiga tahun, Kiai Madja mulai tidak sepaham ketika Pangeran Diponegoro mulai menggunakan cara-cara yang dianggapnya menyimpang dari Islam untuk menarik simpati rakyat demi menambah kekuatannya. Diponegoro memakai sentimen budaya Jawa melalui konsep Ratu Adil atau juru selamat dalam kampanye merekrut pasukan. Salah satu gejalanya adalah ketika Diponegoro mengaku memperoleh tugas suci dari Tuhan yang didapatnya saat bersemedi. Diponegoro juga mengklaim telah diangkat sebagai Ratu Adil dengan gelar Jeng Sultan Abdulhamid Herucakra Sayidin Panatagama Khalifah Rasullullah di tanah Jawa. Pangeran Diponegoro, secara tersirat, menyamakan pengalaman spiritual yang diklaimnya dengan pengalaman Nabi Muhammad ketika diangkat menjadi Rasul. Diponegoro juga mengeksplorasi peristiwa-peristiwa khusus Rasullah terkait statusnya itu, seperti menyendiri di gua atau menerima wahyu dari malaikat Jibril. Hasilnya, Pangeran Diponegoro dilayani pengikutnya seperti seorang raja. Meskipun sering memakai jubah putih, namun ia juga punya koleksi pribadi berupa barang-barang mewah seperti pusaka, keris, kuda, dan lain-lain. Diponegoro juga sering menonjolkan gaya dan atribut kerajaan, termasuk dipayungi para pengawalnya dengan payung berlapis emas dalam setiap kemunculannya.


Kiai Madja tidak sepaham dengan ekpresi yang dimunculkan sepupunya itu. Ia menilai Diponegoro telah mengingkari janjinya untuk membentuk pemerintahan yang sesuai dengan ajaran Islam dan justru berambisi ingin mendirikan kerajaan tandingan di tanah Jawa. Hingga akhirnya, Diponegoro menyarankan agar Kiai Madja berhenti berperang. Kiai Madja akhirnya berinisiatif menemui Belanda untuk mengadakan perundingan demi berakhirnya perang. Dalam pertemuan pada 25 Oktober 1828 itu, Belanda bertanya kepada Kiai Madja tentang bagaimana jika Diponegoro diberi wilayah kekuasaan, dengan kata lain, Diponegoro akan mendapatkan jatah sebagai raja baru di Jawa. Kiai Madja lalu berkata jika itu yang terjadi, maka akan disambut dengan senang hati oleh Diponegoro dan perang pun akan usai. Pernyataan tersebut menyiratkan persepsi bahwa Kiai Madja memang menilai Diponegoro sedang mengincar gelar raja Jawa dan ingin memimpin kerajaan baru meskipun tidak dengan sistem pemerintahan Islam.


Di sisi lain Pangeran Diponegoro juga jengkel dengan sikap Kiai Mojo yang takabur bahwa pangeran-pangeran Surakarta terdahulu belajar dibawah asuhan ayahnya dan dilanjutkan sekarang anak-anak mereka yang diasuh olehnya, dalam babad karyanya Pangeran Diponegoro merasa dikecilkan martabatnya karena Kiai Mojo mengatakan bahwa dikarenakan pengaruh dialah mereka mendapatkan dukungan dari keraton sunan takala perang makin lanjut. Dikarenakan kejengkelan ini, beberapa minggu penting lewat begitu saja, sehingga pada 15 Oktober 1826 tentara sang Pangeran yang berkekuatan 5000 prajurit mulai menyerang Surakarta, dia menderita kekalahan besar di Gawok tepat di sebelah barat kota itu. Saling menyalahkan yang sengit penyebab kekalahan tersebut. Secara khusu, Kiai Mojo dan keluarganya dituduh telah dengan nekat mendesak untuk menyerang ibu kota kesunanan demi kepentingan mereka sendiri. Apa yang sebelumnya hanya merupakan persaingan yang mengganggu, sekarang menjadi perselisihan terbuka.


Penangkapan dan Pengasingan


Kiai Mojo berangkat lagi yang kedua kalinya ke Melangi pada 5-9 November 1928 dengan tujuan melakukan perundingan sendiri dan sepihak tanpa sepengetahuan Pangeran Diponegoro dengan pihak Belanda yang pada negosiasi pertamanya pada 31 Okotober 1828 juga terjadi di Melangi, di sebuah pathok nagari (pusat untuk ulama ahli hukum fikih). Namun, perundingan tidak terjadi. Nyatanya, Pasukan Gerak Cepat Ketiga yang dikomandoi Letnan-Kolonel Joseph Le Bron de Vexela sudah ditugaskan untuk memastikan Kiai Mojo dan pasukannya tidak bisa lolos. Karenanya, ketika perundingan gagal pada 10 November dan diketahui bahwa bahwa sang Kiai sedang berusaha balik menuju ke Pajang melalui jalan pintas di lereng-lereng Gunung Merapi, dia dicegat di dekat bekas perkebunan Bawon Bouwens van der Boyen di Babadan pada 12 November. Dia diberi waktu 2 menit untuk memutuskan apakan menyerah tanpa syarat atau langsung bertempur dalam keadaan sulit (Le Bron sudah mengepung pasukan Mojo), Kiai Mojo memilih menyerah dengan 400 pasukannya. Belanda sangat tegas kepada Kiai Mojo daripada kepada tokoh-tokoh Keraton yang membelot ke pihak Belanda, dikarenakan Belanda menggangap Kiai Mojo sangat berbahaya dan paling bertanggung jawab karena mengobarkan kefanatismean dalam perangnya.


Pada tanggal 12 November 1828, Kyai Mojo dan para pengikutnya disergap di daerah Mlangi, Sleman, dekat Sungai Bedog, kemudian dibawa ke Salatiga. Dalam penahanannya, Kiai Madja meminta agar para pengikutnya dibebaskan dan menerima apapun keputusan Belanda terhadap dirinya. Belanda mengabulkan permintaan tersebut dan hanya menyisakan Kiai Madja beserta orang-orang dekatnya dan beberapa tokoh berpengaruh, sementara sebagian besar pengikutnya dilepaskan. Belanda sangat tegas kepada Kiai Mojo daripada kepada tokoh-tokoh Keraton yang menyerah dikarenakan Belanda menggangap Kiai Mojo yang sangat berbahaya karena mengobarkan kefanatismean dalam perangnya. Baru pada tanggal 17 November 1828, Kyai Mojo beserta orang-orang yang masih menyertainya dikirim ke Batavia dan diputuskan akan diasingkan ke Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara. Di tanah pembuangan, Kyai Mojo terus berdakwah hingga wafat pada 20 Desember 1849 di usianya yang ke 57 tahun. Perang Jawa sendiri berakhir dua tahun setelah hengkangnya kubu Kiai Mojo dari pasukan Diponegoro.


Kampung Jawa Tondano


Semua pengikut Kiai Madja yang dibuang ke Tondano adalah laki-laki. Mereka kemudian menikahi perempuan setempat, dan dari dua kebudayaan inilah lahir Kampung Jawa. Mereka mendirikan Masjid Al-Falah dan mengislamkan beberapa perempuan Minahasa dan menyisakan tradisi-tradisi Islam Jawa hingga kini. Penerus keturunan Kiai Madja biasa memakai nama Kiay Modjo. Salah satunya adalah dosen Bahasa Jerman di Universitas Sam Ratulangi, Julaiha Kiay Modjo. Ia berkata tak tahu lagi di mana orang-orang dengan nama marga Kiay Modjo tinggal di Kampung Jawa Tondano. Banyak juga marga Kiay Modjo yang tinggal di Gorontalo.


Etnis Jaton (Jawa Tondano)


Dalam Fakta Sejarah Kepahlawanan Kyai Modjo (2017: 97) dijelaskan:


“Dari segi etnis, komunitas Jaton menjadi salah satu subetnis Minahasa sebagai hasil asimilasi melalui perkawinan antara pengikut Kyai Mojo dengan keke’ (gadis) anak para Walak sejak Januari 1831.”


Minahasaraad (dewan Minahasa) mengakui Jaton sebagai subetnis pada 1919 dan Jaton tunduk pada hukum adat Minahasa. Menurut Profesor Ishak Pulukadang, Jaton sebagai etnis maupun komunitas termasuk kawasan strategis provinsi dan sudah jadi Desa Budaya. Kampung Jaton kerap dikunjungi pejabat keturunan Jawa. Menurut warga setempat, Amien Rais, Abdurrahman Wahid, dan Sri Sultan Hamengkubuwono X juga pernah berkunjung ke sana.

No comments:

Post a Comment