02 June 2020

Tentang Sejarah Magelang - Sarekat buruh bagi kalangan bumiputra

Permasalahan - Permasalahan Eksternal Sarekat Buruh yang Melumpuhkan pada Masa Kolonial
Kurang dari satu generasi, perkotaan - perkotaan di Jawa telah berubah dari yang tadinya masih berupa semi-pedesaan menjadi kota kecil ataupun besar dengan unsur - unsur modern. Sensus penduduk pada 1930 menunjukkan bahwa setengah dari penduduk - penduduk bumiputra di kota - kota utama Jawa adalah kelahiran kota sedangkan sisanya adalah penduduk dari daerah dalam satu provinsi dimana kota besar itu berada dan para pekerja musiman atau buruh harian lepas musiman.
Sementara pedesaan masih menyediakkan jaminan sosial bagi para pekerja musiman perkotaan, berbeda halnya dengan penduduk bumiputra yang sudah lahir dan tumbuh di perkotaan. Hubungan kedekatan dengan pedesaan yang sudah kian luntur di kalangan kelas pekerja perkotaan membuat Sarekat Buruh dilihat sebagai cara mereka melindungi diri dari buruknya perlakuan kerja dan corong perjuangan perbaikan kualitas hidup. Sarekat Buruh bagi pekerja perkotaan adalah jaring pengaman sosial baru layaknya jaminan sosial bagi pekerja serkuler musiman yang mereka dapatkan di pedesaan.
Sarekat buruh bagi kalangan bumiputra pertama kali dibentuk pada 1908. Sekitar tiga dasawarsa berikutnya ratusan sarekat buruh berkembang diseantero Hindia Belanda, menjadikan satu kekuatan politik yang tidak bisa dianggap enteng. Selain masalah internal organisasi sarekat buruh seperti rekruitmen anggota, regenerasi pemimpin, dan iuran rutin, yang tidak kalah mengganggu bagi aktivitas sarekat buruh bumiputra adalah tekanan - tekanan eksternal dari pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Kontrol ketat terhadap sarekat - sarekat buruh dalam bentuk pembatasan hak organisasi, pembredelan dan pembungkaman hak bersuara, dan pelarangan segala bentuk aksi apapun yang menurut pemerintah kolonial diintepretasikan sebagai ancaman rust en order adalah cara - cara yang pemerintah tempuh. Hak mogok kerja sangat dibatasi pasca maraknya aksi ini disepanjang awal abad ke-20. Pada medio 1920an, aksi mogok yang terorganisir sudah benar - benar dianggap sebagai perbuatan yang melawan hukum. Bahkan pemerintah kolonial tak segan - segan mengerahkan Dinas Intelejen Politik ( Politiek Inlichtingen Dienst - semacam Badan Intelejen Negara), kepolisian dan pihak militer untuk melindungi para tuan dan majikan dari gangguan mogok kerja.
Selain tekanan dan kontrol sosial yang ketat pada sarekat - sarekat buruh, struktur sosial yang tersegregasi adalah masalah akut bagi sarekat buruh yang hidup di masa kolonial. Tempat kerja diperkotaan yang dibentuk berdasarkan etnis dan suku dimana kategori pekerjaan bagian ahli dan penyelia ditempati ras Eropa dan kemudian berturut - turut diisi orang Indo, Tionghoa dan bumiputra membuat sarekat buruh mengalami kesulitan untuk membentuk rasa solidaritas. Terlebih lagi, para buruh ini dikomandoi oleh para mandor - mandor yang merekrut mereka dari desa. Rasa hutang budi dan jaminan sosial yang para mandor berikan kepada para buruh membuat sarekat - sarekat buruh harus terlebih dulu “menjinakkan” para mandor agar para pekerja mereka mau masuk dalam anggota perserikatan.
Halangan sarekat buruh lainnya adalah iming - iming dan beberapa fasilitas jaminan sosial yang diberikan dari para majikan bagi para pekerja mereka. Penyediaan toko, layanan kematian, pembangunan kampung pekerja pabrik, kelompok tabungan dan simpan pinjam yang dibuat para majikan adalah salah satu wujud kontrol mereka atas para buruh. Hal ini sudah barang tentu membuat para buruh menjadi enggan melakukan aksi solidaritas pemogokan karena ketakutan akan kehilangan pekerjaan dan jaminan sosial yang sudah mereka dapat.
Hal yang paling menarik dari pengontrolan para pekerja dan buruh ini adalah dengan dibentuknya Biro Sidik Jari oleh Departemen Kehakiman pada 1914. Badan ini bertanggungjawab dalam menyimpan data sidik jari pegawai baik pemerintah dan swasta. Yang unik, Sindikat pabrik gula juga sempat membuat Biro Sidik Jari mereka sendiri bagi para pekerja yang bekerja dalam industri gula. Tidak mau ketinggalan Perusahaan Kereta Api seperti Nederlandsch Indische Spoorweg Maatscahpij (NIS) dan perusahaan teknik membentuk biro serupa. Pengambilan sidik jari para buruh dan pekerja secara sistematis ini tak lain adalah upaya mempermudah mereka (majikan) untuk mengidentifikasi para pembuat onar dan tukang mogok. Hal tersebut akan menjadikan para buruh yang “nakal” ini masuk dalam daftar hitam agar mereka tidak bisa diterima dimana - mana.
Memang tidak banyak yang bisa dilakukan Sarekat Buruh dalam bermanuver. Hal yang bisa dilakukan pada akhirnya adalah mengeksploitasi ketidakpuasan para buruh secara individu dan berusaha menekan baik majikan dan pemerintah untuk melakukan perbaikan upah dan kondisi kesejahteraan mereka.
- Chandra Gusta Wisnuwardana -
Referensi :
Ingelson, John. Perkotaan, Masalah Sosial & Perubahan di Jawa Masa Kolonial. Jakarta: Komunitas Bambu, 2013

No comments:

Post a Comment