28 March 2025

DIEN TAMAELA (Gadis Ambon yang menjadi Inspirasi Lahirnya Karya Puisi Penyair Chairil Anwar yang Berjudul BETA PATTIRADJAWANE - Cerita Buat Dien Tamaela)) Beta Pattirajawane Yang dijaga datu-datu Cuma satu Beta Pattirajawane Kikisan laut Berdarah laut Beta Pattirajawane Ketika lahir dibawakan Datu dayung sampan Beta Pattirajawane, menjaga hutan pala. Beta api di pantai. Siapa mendekat Tiga kali menyebut beta punya nama. Dalam sunyi malam ganggang menari Menurut beta punya tifa, Pohon pala, badan perawan jadi Hidup sampai pagi tiba. Mari menari! Mari beria! Mari berlupa! Awas jangan bikin beta marah Beta bikin pala mati, gadis kaku Beta kirim datu-datu! Beta ada di malam, ada di siang Irama ganggang dan api membakar pulau.... Beta Pattirajawane Yang dijaga datu-datu Cuma satu. (1946) Puisi Cerita Buat Dien Tamaela menyimpan banyak cerita. Salah satunya dalam puisi tersebut adalah kisah tentang pohon pala. Chairil memang tidak pernah menjelajahi kebun pala karena penyair tidak pernah menginjakkan kaki ke Maluku. Namun puisinya telah mengabadikan pala secara utuh dan penuh daya magis. Dalam Puisi tersebut, Pertama kali muncul pala pada bait keempat dan tercatat tiga kali terdapat kata pala. Negeri rempah-rempah itulah sebutan dari Maluku, the Spice Islands, kota yang begitu identik dengan cengkih dan pala. Dalam lazimnya penyebutan orang menyebut cengkih barulah pala. Dalam konteks cengkih memang lebih dominan di Maluku, karena Pohon cengkih lebih banyak dan gampang ditemukan di pulau ketimbang pala. Tapi dalam puisi Chairil, dia tidak menggunakan simbolisme cengkih melainkan pala. Hutan pala, pohon pala, dan pala. Namun simbolisme pala tidak muncul begitu saja. Tetapi, sebagai penyair memiliki kemerdekaan kreatif untuk memunculkan apapun. TENTANG PERKENALAN CHAIRIL DAN DIEN TAMAELA Seseorang telah bercerita kepada media tentang Chairil Anwar dan Dien Tamaela Semasa muda dia adalah Tokoh masyarakat Maluku Des Alwi (82), , Des berkawan dengan dua tokoh tersebut. Perjumpaan mereka bermula dari rumah Sutan Syahrir di Jalan Damrin Jakarta, yang kini menjadi Jalan Latuharhary. Des Merupakan anak angkat Sutan Syahrir, Des datang dari Banda Neira dan tinggal di rumah Sutan Syahrir. Di rumah itulah, Des berjumpa dengan Chairil. Sebagai sesama orang Padang, Ibunda Chairil yakni Saleha, punya hubungan kerabat dengan Bung Kecil, julukan Sutan Syahrir. Sebab itu Des dan Chairil ditempatkan pada satu kamar yang sama. “Beta satu kamar dengan Nini. Chairil itu disapa Nini. Katong dua tidur sama-sama,” kenang Des. Di kamar itulah, dua sahabat ini sering terlibat diskusi. Chairil sangat berminat pada kisah-kisah tentang Maluku. Des mengaku selalu bercerita tentang Bandaneira, tentang perkebunan pala, serta juga tentang hal-hal gaib. “Beta cerita tentang orang-orang alus (makluk halus) dan Nini antusias sekali. Tidak heran puisi Cerita Buat Dien Tamaela menjadi seperti itu,” kata Des. Sedangkan perkenalan dengan Dien juga terjadi karena rumah keluarga dr Tamaela memang tidak jauh dari rumah Sutan Syahrir. Sebagai tetangga, mereka sudah biasa saling berkunjung. Des akui, Chairil memang berkawan akrab dengan Dien. Hanya saja soal hubungan Chairil dan Dien, menurut Des, tidak sampai pada hubungan asmara. Tapi Des akui hubungan Chairil dan Dien sangat akrab. Hal itu bisa dilihat ketika Dien harus menjalani operasi usus buntu di Yogyakarta, Des dan Chairil jauh-jauh datang menjenguk di rumah sakit. Keduanya bahkan iseng meminta izin dokter agar bisa mengajak Dien jalan-jalan. “Dokter itu menjawab, tunggu saja kalau Dien sudah bisa kentut,” cerita Des sambil tertawa lebar. Des sendiri sempat menulis pengalaman bersama Chairil dalam sebuah bukunya “Friends and Exiles: A Memoir of the Nutmeg Isles and the Indonesian Nationalist Movement” yang diterbitkan Cornell University. Des mengakui bahwa Chairil adalah seorang seniman yang urakan tapi sosok mengagumkan.

 DIEN TAMAELA

(Gadis Ambon yang menjadi Inspirasi  Lahirnya Karya Puisi Penyair Chairil Anwar yang Berjudul BETA PATTIRADJAWANE - Cerita Buat Dien Tamaela))


Beta Pattirajawane

Yang dijaga datu-datu

Cuma satu

Beta Pattirajawane

Kikisan laut

Berdarah laut

Beta Pattirajawane

Ketika lahir dibawakan

Datu dayung sampan

Beta Pattirajawane, menjaga hutan pala.

Beta api di pantai. Siapa mendekat

Tiga kali menyebut beta punya nama.

Dalam sunyi malam ganggang menari

Menurut beta punya tifa,

Pohon pala, badan perawan jadi

Hidup sampai pagi tiba.

Mari menari!

Mari beria!

Mari berlupa!

Awas jangan bikin beta marah

Beta bikin pala mati, gadis kaku

Beta kirim datu-datu!

Beta ada di malam, ada di siang

Irama ganggang dan api membakar pulau....

Beta Pattirajawane

Yang dijaga datu-datu

Cuma satu.


(1946)


Puisi Cerita Buat Dien Tamaela menyimpan banyak cerita. Salah satunya dalam puisi tersebut adalah kisah tentang pohon pala. Chairil memang tidak pernah menjelajahi kebun pala karena penyair tidak pernah menginjakkan kaki ke Maluku. Namun puisinya telah mengabadikan pala secara utuh dan penuh daya magis. Dalam Puisi tersebut, Pertama kali muncul pala pada bait keempat dan tercatat tiga kali terdapat kata pala.


Negeri rempah-rempah itulah sebutan dari Maluku, the Spice Islands, kota yang begitu identik dengan cengkih dan pala. Dalam lazimnya penyebutan orang menyebut cengkih barulah pala. Dalam konteks cengkih memang lebih dominan di Maluku, karena Pohon cengkih lebih banyak dan gampang ditemukan di pulau ketimbang pala. Tapi dalam puisi Chairil, dia tidak menggunakan simbolisme cengkih melainkan pala. Hutan pala, pohon pala, dan pala. Namun simbolisme pala tidak muncul begitu saja. Tetapi, sebagai penyair memiliki kemerdekaan kreatif untuk memunculkan apapun.



TENTANG PERKENALAN CHAIRIL DAN DIEN TAMAELA

Seseorang telah bercerita kepada media tentang Chairil Anwar dan Dien Tamaela Semasa muda dia adalah Tokoh masyarakat Maluku Des Alwi (82), , Des berkawan dengan dua tokoh tersebut. Perjumpaan mereka bermula dari rumah Sutan Syahrir di Jalan Damrin Jakarta, yang kini menjadi Jalan Latuharhary.

Des Merupakan anak angkat Sutan Syahrir, Des datang dari Banda Neira dan tinggal di rumah Sutan Syahrir. Di rumah itulah, Des berjumpa dengan Chairil. Sebagai sesama orang Padang, Ibunda Chairil yakni Saleha, punya hubungan kerabat dengan Bung Kecil, julukan Sutan Syahrir. Sebab itu Des dan Chairil ditempatkan pada satu kamar yang sama. “Beta satu kamar dengan Nini. Chairil itu disapa Nini. Katong dua tidur sama-sama,” kenang Des.

Di kamar itulah, dua sahabat ini sering terlibat diskusi. Chairil sangat berminat pada kisah-kisah tentang Maluku. Des mengaku selalu bercerita tentang Bandaneira, tentang perkebunan pala, serta juga tentang hal-hal gaib. “Beta cerita tentang orang-orang alus (makluk halus) dan Nini antusias sekali. Tidak heran puisi Cerita Buat Dien Tamaela menjadi seperti itu,” kata Des. Sedangkan perkenalan dengan Dien juga terjadi karena rumah keluarga dr Tamaela memang tidak jauh dari rumah Sutan Syahrir. Sebagai tetangga, mereka sudah biasa saling berkunjung. Des akui, Chairil memang berkawan akrab dengan Dien. Hanya saja soal hubungan Chairil dan Dien, menurut Des, tidak sampai pada hubungan asmara. Tapi Des akui hubungan Chairil dan Dien sangat akrab. Hal itu bisa dilihat ketika Dien harus menjalani operasi usus buntu di Yogyakarta, Des dan Chairil jauh-jauh datang menjenguk di rumah sakit. Keduanya bahkan iseng meminta izin dokter agar bisa mengajak Dien jalan-jalan. “Dokter itu menjawab, tunggu saja kalau Dien sudah bisa kentut,” cerita Des sambil tertawa lebar. Des sendiri sempat menulis pengalaman bersama Chairil dalam sebuah bukunya “Friends and Exiles: A Memoir of the Nutmeg Isles and the Indonesian Nationalist Movement” yang diterbitkan Cornell University. Des mengakui bahwa Chairil adalah seorang seniman yang urakan tapi sosok mengagumkan.

Ken Arok Pendiri Dinasti Rajasa Ken Arok memerintah Kerajaan Singasari selama lima tahun dari 1222 sampai 1227 Masehi. Pada 1227, ia dibunuh oleh seseorang atas perintah Anusapati, anak Ken Dedes dari pernikahannya dengan Tunggul Ametung. Anusapati yang telah lama curiga akhirnya menemukan kebenaran bahwa Ken Arok yang bertanggung jawab atas kematian ayah kandungnya. Anusapati menggunakan keris Mpu Gandring untuk membunuh Ken Arok. Berbeda dengan Nagarakeṛtagama, Kitab Pararaton menyebutkan bahwa Ken Arok wafat pada tahun 1147 Masehi, dan hanya menyebutkan bahwa Ia didharmakan di Kagenenan. Dari perkawinannya dengan Ken Dedes, Ken Arok mempunyai empat orang anak, yaitu Mahisa Wonga Teleng, Apanji Saprang, Agnibhaya, dan Dewi Rumbu. Sedangkan dari selirnya yang bernama Ken Umang, Ken Arok juga memiliki empat anak, yaitu Tohjaya, Panji Sudhatu, Tuan Wergola dan Dewi Rambi. Ken Arok disebut sebagai pendiri Dinasti Rajasa, yaitu dinasti yang menurunkan raja-raja Singasari dan Majapahit. Hal itu diperkuat dengan temuan Prasasti Balawi, yang dikeluarkan oleh Raden Wijaya, pendiri Majapahit. Dalam prasasti tersebut, Raden Wijaya mengaku sebagai keturunan Wangsa Rajasa. Selain itu, raja Demak, Pajang, dan Mataram Islam, juga merupakan keturunan Dinasti Rajasa. Foto hanya ilustrasi

 Ken Arok Pendiri Dinasti Rajasa


Ken Arok memerintah Kerajaan Singasari selama lima tahun dari 1222 sampai 1227 Masehi. Pada 1227, ia dibunuh oleh seseorang atas perintah Anusapati, anak Ken Dedes dari pernikahannya dengan Tunggul Ametung. Anusapati yang telah lama curiga akhirnya menemukan kebenaran bahwa Ken Arok yang bertanggung jawab atas kematian ayah kandungnya. Anusapati menggunakan keris Mpu Gandring untuk membunuh Ken Arok. 



Berbeda dengan Nagarakeṛtagama, Kitab Pararaton menyebutkan bahwa Ken Arok wafat pada tahun 1147 Masehi, dan hanya menyebutkan bahwa Ia didharmakan di Kagenenan.


Dari perkawinannya dengan Ken Dedes, Ken Arok mempunyai empat orang anak, yaitu Mahisa Wonga Teleng, Apanji Saprang, Agnibhaya, dan Dewi Rumbu. Sedangkan dari selirnya yang bernama Ken Umang, Ken Arok juga memiliki empat anak, yaitu Tohjaya, Panji Sudhatu, Tuan Wergola dan Dewi Rambi. 


Ken Arok disebut sebagai pendiri Dinasti Rajasa, yaitu dinasti yang menurunkan raja-raja Singasari dan Majapahit. Hal itu diperkuat dengan temuan Prasasti Balawi, yang dikeluarkan oleh Raden Wijaya, pendiri Majapahit. Dalam prasasti tersebut, Raden Wijaya mengaku sebagai keturunan Wangsa Rajasa. Selain itu, raja Demak, Pajang, dan Mataram Islam, juga merupakan keturunan Dinasti Rajasa.


Foto hanya ilustrasi

Wawancara dengan Wartawan CBS (1969) Beberapa foto yang memperlihatkan Presiden Soeharto tengah bersiap dan diwawancarai untuk menjadi narasumber salah satu program stasiun televisi Amerika Serikat Columbia Broadcasting System (CBS) di Jakarta. (23 Juli 1969) Foto: Antara/Ipphos via Antara Foto #sejarah #tempodulu

 Wawancara dengan Wartawan CBS (1969)


Beberapa foto yang memperlihatkan Presiden Soeharto tengah bersiap dan diwawancarai untuk menjadi narasumber salah satu program stasiun televisi Amerika Serikat Columbia Broadcasting System (CBS) di Jakarta. (23 Juli 1969)



Foto: Antara/Ipphos via Antara Foto



25 March 2025

Ternyata, Kelantan Negara Bagian Malaysia Pernah Jadi Wilayah Majapahit di Bawah Hayam Wuruk _______________________________________________ Kelantan yang jadi wilayah negara bagian Malaysia pernah dikuasai oleh Kerajaan Majapahit. Ekspansi Majapahit hingga ke Malaysia saat ini terjadi pasca Gajah Mada memutuskan pengucapan Sumpah Palapa-nya menyatukan seluruh nusantara. Kelantan dulu merupakan sebuah kerajaan besar di Semenanjung Melayu sebelum adanya Malaysia. Saat ini wilayah ini bernama Kelantan Darul Naim, yang merupakan salah satu negara bagian dari 14 buah negara bagian di Malaysia yang kaya dengan sumber alam. Wilayah ini mempunyai wilayah kurang 14.922 km persegi, berada di timur laut Semenanjung Malaysia, dan berhadapan dengan Laut China Selatan serta berbatasan dengan Thailand. Lokasi yang strategis sebagaimana dikutip dari buku "Sejarah Kerajaan Bawahan Majapahit di Luar Jawa dan Luar Negeri". Pada tahun 1499, Kelantan menjadi negeri bawahan Kesultanan Malaka. Namun dengan kejatuhan Malaka pada tahun 1511, Kelantan kemudian diperintah oleh raja-raja kecil. Dengan adanya ancaman dari Siam pada tahun 1603, kebanyakan raja kecil Kelantan bernaung di bawah Persekutuan Pattani Besar. Kerajaan Pattani membagi Kelantan menjadi 4 wilayah, yaitu Kelantan Timur, Kelantan Barat, Legeh, dan Ulu Kelantan. Sekitar tahun 1760, seorang putra raja Kelantan Barat berhasil menyatukan wilayah Kelantan. Namun tidak lama kemudian, pada tahun 1764 Long Yunus, putra raja Kelantan Timur, anak Long Sulaiman berhasil merebut takhta kerajaan dan mendeklarasikan diri sebagai Raja Kelantan. Lalu ketika dirinya mangkat, Kelantan dipengaruhi oleh Trengganu. Ketika berada di bawah kekuasaan Majapahit, Kelantan ditetapkan sebagai Kerajaan Majapahit Barat. Saat Majapahit diperintah oleh Kertarajasa Jayawardana atau Hayam Wuruk, Majapahit meneruskan jejak Medang mengelola 5 zona perdagangan komersial Asia Tenggara tersebut. Demi mengamankan misi perdagangan serta mengantisipasi kemungkinan invasi Dinasti Yuan dari China dan Dinasti Thai Ayutthaya di utara, Majapahit membangun persekutuan dan aliansi militer bersama Kerajaan Champa dan Chermin-Kelantan.

 Ternyata, Kelantan Negara Bagian Malaysia Pernah Jadi Wilayah Majapahit di Bawah Hayam Wuruk 

_______________________________________________



Kelantan yang jadi wilayah negara bagian Malaysia pernah dikuasai oleh Kerajaan Majapahit. Ekspansi Majapahit hingga ke Malaysia saat ini terjadi pasca Gajah Mada memutuskan pengucapan Sumpah Palapa-nya menyatukan seluruh nusantara. 

Kelantan dulu merupakan sebuah kerajaan besar di Semenanjung Melayu sebelum adanya Malaysia. Saat ini wilayah ini bernama Kelantan Darul Naim, yang merupakan salah satu negara bagian dari 14 buah negara bagian di Malaysia yang kaya dengan sumber alam. 


Wilayah ini mempunyai wilayah kurang 14.922 km persegi, berada di timur laut Semenanjung Malaysia, dan berhadapan dengan Laut China Selatan serta berbatasan dengan Thailand. Lokasi yang strategis sebagaimana dikutip dari buku "Sejarah Kerajaan Bawahan Majapahit di Luar Jawa dan Luar Negeri".


Pada tahun 1499, Kelantan menjadi negeri bawahan Kesultanan Malaka. Namun dengan kejatuhan Malaka pada tahun 1511, Kelantan kemudian diperintah oleh raja-raja kecil. Dengan adanya ancaman dari Siam pada tahun 1603, kebanyakan raja kecil Kelantan bernaung di bawah


Persekutuan Pattani Besar. Kerajaan Pattani membagi Kelantan menjadi 4 wilayah, yaitu Kelantan Timur, Kelantan Barat, Legeh, dan Ulu Kelantan. Sekitar tahun 1760, seorang putra raja Kelantan Barat berhasil menyatukan wilayah Kelantan. Namun tidak lama kemudian, pada tahun 1764 Long Yunus, putra raja Kelantan Timur, anak Long Sulaiman berhasil merebut takhta kerajaan dan mendeklarasikan diri sebagai Raja Kelantan. Lalu ketika dirinya mangkat, Kelantan dipengaruhi oleh Trengganu.


Ketika berada di bawah kekuasaan Majapahit, Kelantan ditetapkan sebagai Kerajaan Majapahit Barat. Saat Majapahit diperintah oleh Kertarajasa Jayawardana atau Hayam Wuruk, Majapahit meneruskan jejak Medang mengelola 5 zona perdagangan komersial Asia Tenggara tersebut. Demi mengamankan misi perdagangan serta mengantisipasi kemungkinan invasi Dinasti Yuan dari China dan Dinasti Thai Ayutthaya di utara, Majapahit membangun persekutuan dan aliansi militer bersama Kerajaan Champa dan Chermin-Kelantan.

DINASTI MATARAM KUNO, DARI SYAILENDRA HINGGA ISYANA Dinasti Syailendra berasal dari kerajaan Kalingga (424-716 M). Ini adalah kerajaan pertama di Jawa Tengah, di kawasan utara yang sekarang mencakup Pekalongan, dataran tinggi Dieng, Gedong Songo, hingga Jepara. Muncul di abad ke-4 dan berkuasa selama hampir 300 tahun, kerajaan Kalingga berdiri setelah Tarumanegara (358-382 M) di Jawa Barat dan Kutai Martapura (400–1635 M) di Kalimantan Timur. Dinasti Mataram Kuno (732–1016 M) dimulai dengan berdirinya kerajaan Medang i-Bhumi Mataram (Medang) oleh Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (732-746 M). Gelar Rakai Mataram menandakan bahwa Sanjaya sebelum menjadi raja adalah seorang kepala daerah (rakai) di kawasan i-Bhumi Mataram (Yogyakarta hingga Keresidenan Kedu). Sedangkan menurut Carita Parahyangan, Sanjaya bergelar Sang Ratu karena menjadi raja di tiga kerajaan sekaligus yaitu Sunda, Galuh, dan Medang. Menurut Prasasti Canggal, Sanjaya adalah putra dari raja ketiga Galuh dan Sanaha, cucu Ratu Shima (674-675 M) penguasa Kalingga yang kearifannya konon dikenal hingga Timur Tengah. Menurut Buya Hamka dalam bukunya "Sejarah Umat Islam", kemungkinan besar raja Arab yang disebut-sebut dalam kronik Tiongkok mengirim utusan ke Jawa untuk menguji kearifan Ratu Shima adalah Muawiyah bin Abu Sufyan (661–680 M), pendiri dinasti Umayyah. Pada saat berdiri, ibu kota Kerajaan Medang ada di Poh Pitu. Sampai saat ini belum bisa dipastikan di mana lokasi persisnya Poh Pitu tersebut. Dari Poh Pitu, pusat kerajaan dipindahkan ke timur, sekitar Sragen atau Purwodadi-Grobogan oleh Rakai Panangkaran (746-784 M), pengganti Sanjaya. Periode pemerintahan Rakai Panangkaran ditandai dengan giatnya pembangunan candi-candi Buddha Mahayana di kawasan Dataran Prambanan. Selain candi Kalasan, beberapa candi yang dibangun atas prakarsa Rakai Panangkaran antara lain Candi Sari yang dikaitkan sebagai wihara pendamping Candi Kalasan, Candi Lumbung, Prasada Vajrasana Manjusrigrha (Candi Sewu), dan Abhayagiri Vihara (kompleks Ratu Boko). Medang menguasai Sriwijaya sejak kepemimpinan Raja ke-6 Rudra Wikrama ditaklukkan oleh Rakai Panangkaran. Sejak itu Sriwajaya menjadi daerah taklukan (jajahan) Medang dinasti Syailendra. Dharanindra, anak Panangkaran, adalah keluarga Syailendra pertama yang diangkat menjadi raja Sriwijaya menggantikan Rudra Wikrama, diteruskan oleh Sri Maharaja Samaratungga (802-842 M) yang membangun candi Borobudur (824 M). Pada masa pemerintahan Samaratungga, Pangeran Jayawarman II yang telah dilantik menjadi "Kepala Daerah" di Angkor, Kamboja, melepaskan diri dari "penjajahan" Jawa dan mendirikan Kerajaan Khmer, pada tahun 802 M. Penerus Samaratungga adalah anaknya bernama Balaputradewa (860-900 M). Ini terjadi setelah Balaputradewa berperang saudara dengan Rakai Pikatan berebut takhta Medang namun kalah, kemudian dia pergi ke Sumatra dan mewarisi tahta Sriwijaya ini dari ibunya bernama Dewi Tara, istri Samaratungga. Memang setelah Rakai Panangkaran meninggal, Medang pecah menjadi dua berdasarkan agama. Keluarga Syailendra penganut Hindu (kemudian disebut Dinasti Sanjaya) menguasai Jawa Tengah bagian utara, dan keluarga Syailendra penganut Buddha menguasai Jawa Tengah bagian selatan. Kedua kubu yang berpecah ini kemudian menyatu lagi ketika terjadi perkawinan "antar agama" antara keturunan Sanjaya yang bernama Rakai Pikatan dan Pramodawardhani anak Samaratungga. Pada masa pemerintahan Rakai Pikatan ini (840-856 M), ibu kota kerajaan Medang berada di Mamrati, di sekitar Poh Pitu. Candi Prambanan pertama kalinya dibangun oleh Rakai Pikatan pada tahun 850 M, kemudian disempurnakan dan diperluas Sri Maharaja Dyah Balitung (898-915 M). */ Jadi Rakai Pikatan sang pembangun candi Prambanan adalah menantu dari Samaratungga sang pembangun candi Borobudur /* Pada era Dyah Balitung, pusat pemerintahan dikembalikan ke Poh Pitu, kemudian balik ke i-Bhumi Mataram lagi pada era Dyah Wawa (924 M). Kemudian pada tahun 929 M pusat kerajaan Medang dipindahkan lagi, kali ini ke Jawa Timur (sekitar Jombang) oleh Sri Maharaja Rake Hino Sri Isyana Wikramadharmottunggadewa (Mpu Sindok) yang berkuasa tahun 929-947 M. Semua penguasa Medang edisi Jawa Timur ini adalah keturunan Mpu Sindok sehingga juga dianggap telah mendirikan dinasti baru bernama Dinasti Isyana. Kekuasaan Dinasti Isyana di Medang alias Mataram Kuno ini pada akhirnya runtuh pada era kekuasaan Dharmawangsa Teguh (991-1016 M) setelah mendapat serangan balasan dari Sriwijaya. Adik Dharmawangsa Teguh, bernama Gunapriya Dharmmapatni (Mahendradatta), menikah dengan Raja Bali Udayana Warmadewa dan menjadi ratu yang berkuasa di Bali. Pasangan ini punya anak bernama Airlangga (Erlangga). Serangan terjadi pada saat pesta pernikahan antara Airlangga dan Galuh Sekar anak Dharmawangsa Teguh, sepupunya sendiri. Dharmawangsa Teguh dan keluarganya tewas dalam serangan itu, tapi Airlangga bersama Galuh Sekar beserta pengikutnya selamat meloloskan diri. Kemudian pada tahun 1031 Airlangga mendirikan kerajaan Kahuripan, menyatukan kembali sisa-sisa Medang. Kerajaan Kahuripan ini kemudian pada tahun 1042 M dibagi dua oleh Airlangga untuk anak-anaknya yang berseteru memperebutkan tahta yaitu menjadi Kediri (Panjalu) untuk Sri Samarawijaya dan Jenggala untuk Mapanji Garasakan. Tapi setelah dibagi dua perseteruan terus berlanjut, pada akhirnya Jenggala runtuh dicaplok Prabu Jayabaya Kediri tahun 1135. Kerajaan Kediri ini mencapai puncaknya pada era Prabu Jayabaya (1135-1159 M) yang terkenal dengan ramalannya itu. Pada masa ini muncul pula karya sastra Jawa Kuno legendaris "Kakawin Bharatayuda" gubahan Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang menceritakan pertempuran hebat antara Pandawa (Kediri) dan Kurawa (Jenggala). Pada akhirnya hegemoni Mataram Kuno berakhir setelah Kediri runtuh ketika penguasa terakhirnya, Sri Maharaja Kertajaya, tewas terbunuh dalam pemberontakan Tumapel yang dipimpin Ken Arok pada tahun 1422 M. Ken Arok kemudian mendirikan kerajaan Singasari dan berkuasa dengan gelar Sri Ranggah Rajasa. Sampai saat ini jati diri Ken Arok masih misterius, tidak jelas siapa dia dan dari mana asal-usulnya, belum ditemukan bukti dan peninggalan sejarah yang menegaskan eksistensinya. Pada masa kekuasaan Sri Maharaja Kertanagara, kerajaan Singasari ini pada akhirnya runtuh juga tahun 1292 M akibat serangan Jayakatwang, penguasa Kediri yang membalas dendam. Kertanegara tewas, namun Raden Wijaya, menantunya, berhasil meloloskan diri. Setelah berhasil membunuh Jayakatwang, dibantu adipati Madura Arya Wiraraja dan pasukan Mongol, Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit. Menurut sumber terpercaya Nagarakretagama, ayah Raden Wijaya (Dyah Lembu Tal), adalah anak Mahesa Campaka, cucu dari anak Ken Arok dan Ken Dedes yang bernama Mahesa Wong Ateleng. Dengan kata lain Raden Wijaya pendiri Majapahit adalah keturunan Ken Arok. Menurut prasasti Balawi yang dibuat tahun 1305 M, Raden Wijaya (bergelar Kertarajasa Jayawardhana) menyatakan dirinya sebagai anggota dinasti Rajasa, dinasti penguasa Singasari yang didirikan Ken Arok. Secara genealogis maka dinasti Mataram Kuno sudah tidak ada hubungannya lagi dengan kerajaan-kerajaan penerus Majapahit seperti Kesultanan Demak, Kesultanan Pajang, dan Kesultanan Mataram. Majapahit dan semua kerajaan penerusnya adalah keturunan Ken Arok - Ken Dedes. Itu sebabnya maka ada sebutan bagi Ken Dedes yaitu "baboning ratu", artinya raja-raja tanah Jawa (penerus Majapahit) merupakan keturunannya.

 DINASTI MATARAM KUNO, DARI SYAILENDRA HINGGA ISYANA


Dinasti Syailendra berasal dari kerajaan Kalingga (424-716 M). Ini adalah kerajaan pertama di Jawa Tengah, di kawasan utara yang sekarang mencakup Pekalongan, dataran tinggi Dieng, Gedong Songo, hingga Jepara. Muncul di abad ke-4 dan berkuasa selama hampir 300 tahun, kerajaan Kalingga berdiri setelah Tarumanegara (358-382 M) di Jawa Barat dan Kutai Martapura (400–1635 M) di Kalimantan Timur.



Dinasti Mataram Kuno (732–1016 M) dimulai dengan berdirinya kerajaan Medang i-Bhumi Mataram (Medang) oleh Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (732-746 M). Gelar Rakai Mataram menandakan bahwa Sanjaya sebelum menjadi raja adalah seorang kepala daerah (rakai) di kawasan i-Bhumi Mataram (Yogyakarta hingga Keresidenan Kedu). 

 

Sedangkan menurut Carita Parahyangan, Sanjaya bergelar Sang Ratu karena menjadi raja di tiga kerajaan sekaligus yaitu Sunda, Galuh, dan Medang.


Menurut Prasasti Canggal, Sanjaya adalah putra dari raja ketiga Galuh dan Sanaha, cucu Ratu Shima (674-675 M) penguasa Kalingga yang kearifannya konon dikenal hingga Timur Tengah. Menurut Buya Hamka dalam bukunya "Sejarah Umat Islam", kemungkinan besar raja Arab yang disebut-sebut dalam kronik Tiongkok mengirim utusan ke Jawa untuk menguji kearifan Ratu Shima adalah Muawiyah bin Abu Sufyan (661–680 M), pendiri dinasti Umayyah.


Pada saat berdiri, ibu kota Kerajaan Medang ada di Poh Pitu. Sampai saat ini belum bisa dipastikan di mana lokasi persisnya Poh Pitu tersebut.


Dari Poh Pitu, pusat kerajaan dipindahkan ke timur, sekitar Sragen atau Purwodadi-Grobogan oleh Rakai Panangkaran (746-784 M), pengganti Sanjaya. 


Periode pemerintahan Rakai Panangkaran ditandai dengan giatnya pembangunan candi-candi Buddha Mahayana di kawasan Dataran Prambanan. Selain candi Kalasan, beberapa candi yang dibangun atas prakarsa Rakai Panangkaran antara lain Candi Sari yang dikaitkan sebagai wihara pendamping Candi Kalasan, Candi Lumbung, Prasada Vajrasana Manjusrigrha (Candi Sewu), dan Abhayagiri Vihara (kompleks Ratu Boko).


Medang menguasai Sriwijaya sejak kepemimpinan Raja ke-6 Rudra Wikrama ditaklukkan oleh Rakai Panangkaran. Sejak itu Sriwajaya menjadi daerah taklukan (jajahan) Medang dinasti Syailendra. Dharanindra, anak Panangkaran, adalah keluarga Syailendra pertama yang diangkat menjadi raja Sriwijaya menggantikan Rudra Wikrama, diteruskan oleh Sri Maharaja Samaratungga (802-842 M) yang membangun candi Borobudur (824 M).


Pada masa pemerintahan Samaratungga, Pangeran Jayawarman II yang telah dilantik menjadi "Kepala Daerah" di Angkor, Kamboja, melepaskan diri dari "penjajahan" Jawa dan mendirikan Kerajaan Khmer, pada tahun 802 M. 


Penerus Samaratungga adalah anaknya bernama Balaputradewa (860-900 M). Ini terjadi setelah Balaputradewa berperang saudara dengan Rakai Pikatan berebut takhta Medang namun kalah, kemudian dia pergi ke Sumatra dan mewarisi tahta Sriwijaya ini dari ibunya bernama Dewi Tara, istri Samaratungga. 


Memang setelah Rakai Panangkaran meninggal, Medang pecah menjadi dua berdasarkan agama. Keluarga Syailendra penganut Hindu (kemudian disebut Dinasti Sanjaya) menguasai Jawa Tengah bagian utara, dan keluarga Syailendra penganut Buddha menguasai Jawa Tengah bagian selatan. Kedua kubu yang berpecah ini kemudian menyatu lagi ketika terjadi perkawinan "antar agama" antara keturunan Sanjaya yang bernama Rakai Pikatan dan Pramodawardhani anak Samaratungga.


Pada masa pemerintahan Rakai Pikatan ini (840-856 M), ibu kota kerajaan Medang berada di Mamrati, di sekitar Poh Pitu. Candi Prambanan pertama kalinya dibangun oleh Rakai Pikatan pada tahun 850 M, kemudian disempurnakan dan diperluas Sri Maharaja Dyah Balitung (898-915 M). 


*/ Jadi Rakai Pikatan sang pembangun candi Prambanan adalah menantu dari Samaratungga sang pembangun candi Borobudur /*


Pada era Dyah Balitung, pusat pemerintahan dikembalikan ke Poh Pitu, kemudian balik ke i-Bhumi Mataram lagi pada era Dyah Wawa (924 M). 


Kemudian pada tahun 929 M pusat kerajaan Medang dipindahkan lagi, kali ini ke Jawa Timur (sekitar Jombang) oleh Sri Maharaja Rake Hino Sri Isyana Wikramadharmottunggadewa (Mpu Sindok) yang berkuasa tahun 929-947 M. Semua penguasa Medang edisi Jawa Timur ini adalah keturunan Mpu Sindok sehingga juga dianggap telah mendirikan dinasti baru bernama Dinasti Isyana.


Kekuasaan Dinasti Isyana di Medang alias Mataram Kuno ini pada akhirnya runtuh pada era kekuasaan Dharmawangsa Teguh (991-1016 M) setelah mendapat serangan balasan dari Sriwijaya. Adik Dharmawangsa Teguh, bernama Gunapriya Dharmmapatni (Mahendradatta), menikah dengan Raja Bali Udayana Warmadewa dan menjadi ratu yang berkuasa di Bali. Pasangan ini punya anak bernama Airlangga (Erlangga). Serangan terjadi pada saat pesta pernikahan antara Airlangga dan Galuh Sekar anak Dharmawangsa Teguh, sepupunya sendiri. 


Dharmawangsa Teguh dan keluarganya tewas dalam serangan itu, tapi Airlangga bersama Galuh Sekar beserta pengikutnya selamat meloloskan diri. Kemudian pada tahun 1031 Airlangga mendirikan kerajaan Kahuripan, menyatukan kembali sisa-sisa Medang. Kerajaan Kahuripan ini kemudian pada tahun 1042 M dibagi dua oleh Airlangga untuk anak-anaknya yang berseteru memperebutkan tahta yaitu menjadi Kediri (Panjalu) untuk Sri Samarawijaya dan Jenggala untuk Mapanji Garasakan. Tapi setelah dibagi dua perseteruan terus berlanjut, pada akhirnya Jenggala runtuh dicaplok Prabu Jayabaya Kediri tahun 1135.


Kerajaan Kediri ini mencapai puncaknya pada era Prabu Jayabaya (1135-1159 M) yang terkenal dengan ramalannya itu. Pada masa ini muncul pula karya sastra Jawa Kuno legendaris "Kakawin Bharatayuda" gubahan Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang menceritakan pertempuran hebat antara Pandawa (Kediri) dan Kurawa (Jenggala). 


Pada akhirnya hegemoni Mataram Kuno berakhir setelah Kediri runtuh ketika penguasa terakhirnya, Sri Maharaja Kertajaya, tewas terbunuh dalam pemberontakan Tumapel yang dipimpin Ken Arok pada tahun 1422 M. Ken Arok kemudian mendirikan kerajaan Singasari dan berkuasa dengan gelar Sri Ranggah Rajasa. Sampai saat ini jati diri Ken Arok masih misterius, tidak jelas siapa dia dan dari mana asal-usulnya, belum ditemukan bukti dan peninggalan sejarah yang menegaskan eksistensinya. 


Pada masa kekuasaan Sri Maharaja Kertanagara, kerajaan Singasari ini pada akhirnya runtuh juga tahun 1292 M akibat serangan Jayakatwang, penguasa Kediri yang membalas dendam. Kertanegara tewas, namun Raden Wijaya, menantunya, berhasil meloloskan diri. Setelah berhasil membunuh Jayakatwang, dibantu adipati Madura Arya Wiraraja dan pasukan Mongol, Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit.


Menurut sumber terpercaya Nagarakretagama, ayah Raden Wijaya (Dyah Lembu Tal), adalah anak Mahesa Campaka, cucu dari anak Ken Arok dan Ken Dedes yang bernama Mahesa Wong Ateleng. Dengan kata lain Raden Wijaya pendiri Majapahit adalah keturunan Ken Arok. Menurut prasasti Balawi yang dibuat tahun 1305 M, Raden Wijaya (bergelar Kertarajasa Jayawardhana) menyatakan dirinya sebagai anggota dinasti Rajasa, dinasti penguasa Singasari yang didirikan Ken Arok.  


Secara genealogis maka dinasti Mataram Kuno sudah tidak ada hubungannya lagi dengan kerajaan-kerajaan penerus Majapahit seperti Kesultanan Demak, Kesultanan Pajang, dan Kesultanan Mataram. Majapahit dan semua kerajaan penerusnya adalah keturunan Ken Arok - Ken Dedes. Itu sebabnya maka ada sebutan bagi Ken Dedes yaitu "baboning ratu", artinya raja-raja tanah Jawa (penerus Majapahit) merupakan keturunannya.

Potret Mangngi-mangngi Daeng Matutu saat dinobatkan menjadi Raja Kesultanan Gowa ke 31 oleh pejabat gouverneur van Celebes tuan Boselaar dengan gelar Sultan Muhammad Tahir Muhibuddin. Foto ini diabadikan sebelum tahun 1937, yang tersimpan di wereldmuseum.nl

 Potret Mangngi-mangngi Daeng Matutu saat dinobatkan menjadi Raja Kesultanan Gowa ke 31 oleh pejabat gouverneur van Celebes tuan Boselaar dengan gelar Sultan Muhammad Tahir Muhibuddin.



Foto ini diabadikan sebelum tahun 1937, yang tersimpan di wereldmuseum.nl

👑 Sri Susuhunan Pakubuwono III Sumber : Dari Beberapa Website Editor : FOTO ZAMAN DULU Sri Susuhunan Pakubuwono III adalah raja Mataram terakhir yang memerintah dari tahun 1755 hingga 1788. Ia juga merupakan Raja pertama Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Biografi Nama kecilnya adalah Raden Mas Suryadi Ia lahir pada 24 Februari 1732 di Kartasura, Mataram Ia adalah putra dari Pakubuwono II dan GKR Hemas Ia meninggal pada 26 September 1788 di Karaton Surakarta, Surakarta Hadiningrat Ia dimakamkan di Astana Kaswargan Imogiri, Bantul Yogyakarta Kehidupan berkuasa Ia dilantik Belanda menjadi raja Mataram pada tahun 1749 untuk menggantikan Pakubuwono II yang meninggal. Masa pemerintahannya diwarnai dengan konflik internal keluarga keraton Konflik mereda setelah dilakukan Perjanjian Giyanti pada 1755 . Dalam perjanjian tersebut, Pakubuwono III diputuskan memerintah Kasunanan Surakarta. Pencapaian Ia merupakan raja Jawa pertama yang dilantik oleh Belanda Ia memerintah selama hampir empat dekade, hingga akhir hayatnya

 👑 Sri Susuhunan Pakubuwono III

Sumber : Dari Beberapa Website

Editor : FOTO ZAMAN DULU 


Sri Susuhunan Pakubuwono III adalah raja Mataram terakhir yang memerintah dari tahun 1755 hingga 1788. Ia juga merupakan Raja pertama Kasunanan Surakarta Hadiningrat. 



Biografi 

Nama kecilnya adalah Raden Mas Suryadi

Ia lahir pada 24 Februari 1732 di Kartasura, Mataram

Ia adalah putra dari Pakubuwono II dan GKR Hemas

Ia meninggal pada 26 September 1788 di Karaton Surakarta, Surakarta Hadiningrat

Ia dimakamkan di Astana Kaswargan Imogiri, Bantul Yogyakarta


Kehidupan berkuasa

Ia dilantik Belanda menjadi raja Mataram pada tahun 1749 untuk menggantikan Pakubuwono II yang meninggal.

Masa pemerintahannya diwarnai dengan konflik internal keluarga keraton 

Konflik mereda setelah dilakukan Perjanjian Giyanti pada 1755 .

Dalam perjanjian tersebut, Pakubuwono III diputuskan memerintah Kasunanan Surakarta.

 

Pencapaian 

Ia merupakan raja Jawa pertama yang dilantik oleh Belanda

Ia memerintah selama hampir empat dekade, hingga akhir hayatnya

Pembukaan pabrik Goodyear di Bogor tahun 1935. Dihadapan kurang lebih 1000 tamu yang hadir, pabrik buka oleh Hadley sebagai direktur Goodyear bogor dan diresmikan oleh Litchfield. Pabrik ini menjadi pabrik ban pertama di Hindia Belanda dan pabrik Goodyear ke sembilan di dunia. . https://www.instagram.com/doculama?igsh=MWpnZ2VuYTM5b2xsZw==

 Pembukaan pabrik Goodyear di Bogor tahun 1935. Dihadapan kurang lebih 1000 tamu yang hadir, pabrik buka oleh  Hadley sebagai direktur Goodyear bogor dan diresmikan oleh Litchfield. Pabrik ini menjadi pabrik ban pertama di Hindia Belanda dan pabrik Goodyear ke sembilan di dunia.

.



 
















 


https://www.instagram.com/doculama?igsh=MWpnZ2VuYTM5b2xsZw==

Pakubuwono II menyerahkan Surabaya Kepada VOC Sebagai Hadiah Sejarah kolonialisme Belanda di Surabaya tak bisa dilepaskan dari peran Pakubuwono II. Raja Mataram kesembilan itu menghadiahkan wilayah pesisir utara Jawa termasuk Surabaya ke VOC, karena membantunya dalam perebutan tahta dengan Amangkurat V. Pakubuwono II resmi menghadiahkan Surabaya dan pesisir utara Jawa pada November 1743. Sejak saat itu, perusahaan dagang asal Belanda tersebut berkuasa penuh di wilayah pesisir meliputi Surabaya, Madura Barat, Blambangan, Rembang dan Jepara. Dengan penyerahan itu, maka sejarah kolonialisme VOC Belanda resmi dimulai dan kokoh di Surabaya, salah satu jejak simbol kolonialisme awal yang masih berdiri hingga kini yakni Gedung Negara Grahadi. Kekuasaan ini makin kokoh pada 1763 ketika Surabaya ditetapkan sebagai pusat komando Oosthoek (ujung timur) yang dipimpin pejabat Gezaghebber (Letnan Gubernur). Kekuasaannya dari Semarang hingga Banyuwangi, wilayah pesisir termasuk Surabaya tersebut sengaja dijanjikan oleh Pakubuwono II. Janji itu ditunaikan setelah VOC mengalahkan dan merebut istana Kartasura yang diduduki Amangkurat V. konflik perebutan tahta antata Pakubuwono II dan Amangkurat V dipicu karena sebagian rakyat Jawa kecewa melihat Pakubuwono yang memutuskan bersahabat dengan VOC, usai peristiwa Geger Pecinan di Batavia. Peristiwa Geger Pecinan atau Tragedi Angke terjadi pada tahun 1740. Dalam peristiwa itu ribuan orang-orang Cina di Batavia yang akan memberontak dibantai oleh VOC. Mereka yang selamat dari pembantaian kemudian melarikan diri ke arah timur bergabung dengan Orang-orang Jawa yang dipimpin oleh Mas Garendi untuk melakukan perlawanan terhadap VOC. Pada mulanya, Pakubuwono II secara sembunyi-sembunyi turut membantu pemberontakan itu. Namun karena kalah dan dukungannya kepada kaum pemberontak diketahui VOC, Pakubuwono II kemudian menyerah dan memilih berpihak kepada VOC. Melihat sikap Pakubuwono II itu, rakyat Jawa kemudian kecewa. Kaum pemberontak yang kecewa kemudian mengangkat Raden Mas Garendi menjadi susuhanan (raja) Mataram baru dengan gelar Amangkurat V Pada awal 1742. Raden Mas Garendi merupakan cucu dari Amangkurat III dan anti-VOC. Masih di tahun yang sama, pemberontakan mencapai puncaknya dengan takluknya istana Kartasura. Hal itu kemudian mengakibatkan lengsernya tahta Pakubuwono II dan harus melarikan diri ke arah timur hingga Ponorogo. Merasa terancam dengan pemberontakan itu, Pakubuwono II kemudian meminta bantuan ke VOC untuk dapat merebut kembali tahtanya. Sebagai imbalannya, Pakubuwono menawarkan ke VOC hadiah wilayah pesisir utara Jawa. Tawaran itu diterima VOC. Dalam waktu singkat, VOC mampu memukul mundur Amangkurat V dan kaum pemberontak. Tak hanya itu, istana Kartasura juga dapat dikuasai kembali dan diserahkan ke Pakubuwono II. Pada November 1743, Amangkurat V dan pengikutnya menyerah kepada VOC. Penyerahan itu kemudian diikuti dengan pengembalian tahta Pakubuwono II. Atas keberhasilan VOC itu, Pakubuwono II kemudian menepati janjinya dengan menghadiahkan wilayah pesisir utara Jawa kepada VOC seperti Surabaya, Rembang, Jepara, Ujung Timur serta Madura dan sebagian dari pendapatan pelabuhan lainnya. Surabaya merupakan kota pelabuhan penting di Jawa Timur yang menjadi pusat perdagangan antara Jawa dan luar negeri. Dengan menguasai Surabaya, VOC dapat memperkuat posisinya di Asia Tenggara dan menghalau pesaingnya seperti Inggris. Dengan penyerahan Surabaya dan wilayah pesisir utara Jawa lainnya kepada VOC, sejarah kolonialisme Belanda di Jawa Timur resmi dimulai dan kokoh hingga abad ke-20. Salah satu jejak simbol kolonialisme awal yang masih berdiri hingga kini adalah Gedung Negara Grahadi, sebuah bangunan bergaya Eropa yang dibangun oleh VOC pada tahun 1795 sebagai kediaman resmi gubernur pesisir Jawa bagian timur. * Abror Subhi, Dikutip Dan Disusun Kembali Dari Berbagai Sumber

 Pakubuwono II menyerahkan Surabaya Kepada VOC Sebagai Hadiah

Sejarah kolonialisme Belanda di Surabaya tak bisa dilepaskan dari peran Pakubuwono II. Raja Mataram kesembilan itu menghadiahkan wilayah pesisir utara Jawa termasuk Surabaya ke VOC, karena membantunya dalam perebutan tahta dengan Amangkurat V.

Pakubuwono II resmi menghadiahkan Surabaya dan pesisir utara Jawa pada November 1743. Sejak saat itu, perusahaan dagang asal Belanda tersebut berkuasa penuh di wilayah pesisir meliputi Surabaya, Madura Barat, Blambangan, Rembang dan Jepara.



Dengan penyerahan itu, maka sejarah kolonialisme VOC Belanda resmi dimulai dan kokoh di Surabaya, salah satu jejak simbol kolonialisme awal yang masih berdiri hingga kini yakni Gedung Negara Grahadi. Kekuasaan ini makin kokoh pada 1763 ketika Surabaya ditetapkan sebagai pusat komando Oosthoek (ujung timur) yang dipimpin pejabat Gezaghebber (Letnan Gubernur). Kekuasaannya dari Semarang hingga Banyuwangi, wilayah pesisir termasuk Surabaya tersebut sengaja dijanjikan oleh Pakubuwono II. Janji itu ditunaikan setelah VOC mengalahkan dan merebut istana Kartasura yang diduduki Amangkurat V.


konflik perebutan tahta antata Pakubuwono II dan Amangkurat V dipicu karena sebagian rakyat Jawa kecewa melihat Pakubuwono yang memutuskan bersahabat dengan VOC, usai peristiwa Geger Pecinan di Batavia.

Peristiwa Geger Pecinan atau Tragedi Angke terjadi pada tahun 1740. Dalam peristiwa itu ribuan orang-orang Cina di Batavia yang akan memberontak dibantai oleh VOC. Mereka yang selamat dari pembantaian kemudian melarikan diri ke arah timur bergabung dengan

Orang-orang Jawa yang dipimpin oleh Mas Garendi untuk melakukan perlawanan terhadap VOC.

Pada mulanya, Pakubuwono II secara sembunyi-sembunyi turut membantu pemberontakan itu. Namun karena kalah dan dukungannya kepada kaum pemberontak diketahui VOC, Pakubuwono II kemudian menyerah dan memilih berpihak kepada VOC.


Melihat sikap Pakubuwono II itu, rakyat Jawa kemudian kecewa. Kaum pemberontak yang kecewa kemudian mengangkat Raden Mas Garendi menjadi susuhanan (raja) Mataram baru dengan gelar Amangkurat V Pada awal 1742. Raden Mas Garendi merupakan cucu dari Amangkurat III dan anti-VOC.

Masih di tahun yang sama, pemberontakan mencapai puncaknya dengan takluknya istana Kartasura. Hal itu kemudian mengakibatkan lengsernya tahta Pakubuwono II dan harus melarikan diri ke arah timur hingga Ponorogo.


Merasa terancam dengan pemberontakan itu, Pakubuwono II kemudian meminta bantuan ke VOC untuk dapat merebut kembali tahtanya. Sebagai imbalannya, Pakubuwono menawarkan ke VOC hadiah wilayah pesisir utara Jawa. Tawaran itu diterima VOC.


Dalam waktu singkat, VOC mampu memukul mundur Amangkurat V dan kaum pemberontak. Tak hanya itu, istana Kartasura juga dapat dikuasai kembali dan diserahkan ke Pakubuwono II.


Pada November 1743, Amangkurat V dan pengikutnya menyerah kepada VOC. Penyerahan itu kemudian diikuti dengan pengembalian tahta Pakubuwono II. Atas keberhasilan VOC itu, Pakubuwono II kemudian menepati janjinya dengan menghadiahkan wilayah pesisir utara Jawa kepada VOC seperti Surabaya, Rembang, Jepara, Ujung Timur serta Madura dan sebagian dari pendapatan pelabuhan lainnya.


Surabaya merupakan kota pelabuhan penting di Jawa Timur yang menjadi pusat perdagangan antara Jawa dan luar negeri. Dengan menguasai Surabaya, VOC dapat memperkuat posisinya di Asia Tenggara dan menghalau pesaingnya seperti Inggris.

Dengan penyerahan Surabaya dan wilayah pesisir utara Jawa lainnya kepada VOC, sejarah kolonialisme Belanda di Jawa Timur resmi dimulai dan kokoh hingga abad ke-20.

Salah satu jejak simbol kolonialisme awal yang masih berdiri hingga kini adalah Gedung Negara Grahadi, sebuah bangunan bergaya Eropa yang dibangun oleh VOC pada tahun 1795 sebagai kediaman resmi gubernur pesisir Jawa bagian timur.

* Abror Subhi, Dikutip Dan Disusun Kembali Dari Berbagai Sumber

24 March 2025

Gaya Hedon Mangkunegara V Mangkunegara V atau Prabu Prangwedana memimpin Pura Mangkunegaran di Surakarta dari tahun 1881 hingga 1896. Meski saat naik tahta, dunia sedang mengalami krisis ekonomi global, Prangwedana tetap bergaya hidup boros. Ia suka berburu di Hutan Kethu Wonogiri. Tiap Jumat dan Minggu bermalam di pesanggrahan yang disebut pesanggrahan Seneng yang dibangun dekat dengan hutan Kethu. Selain itu ia juga suka berkuda dan berkelana dengan kudanya. Mangkunegara V juga menyukai anjing, bahkan banyak anjing yang dibeli dari manca negara. Anjing peliharaannya diberi makanan bestik, makanan yang mewah pada waktu itu. Binatang peliharaan lain yang disukai Mangkunegara V adalah burung. Ia membangun sebuah gedung di sebelah timur gedung Prangwedana yang disebut Pantipurna. Bangunan ini dilengkapi dengan taman dan hiasan dengan deretan sangkar burung yang berisi bermacam-macam burung yang dibeli dari manca negara. Ia tak peduli dengan kondisi keuangan kerajaan yang kian menipis. Ini salah satu penyebab Mangkunegaran harus utang kepada Belanda. Terjerat Utang, Mangkunegara V Dilecehkan Ketika Mangkunegara lima yang berkuasa di Pura Mangkunegaran dari 1881 sampai 1896 gagal mengatasi krisis keuangan maka ia meminjam uang baik kepada swasta maupun pemerintah Belanda. Kepada swasta, Mangkunegaran menggadaikan sejumlah harta kerajaan. Pemerintah Belanda menuntut lebih. Mereka membentuk Komisi Keuangan yang menjalankan dan mengawasi keuangan kerajaan. Komisi Keuangan dipimpin oleh Residen Belanda. Terbentuknya Komisi Keuangan ini membuat martabat raja Pura Mangkunegaran setara dengan Residen. Bahkan, kadang direndahkan. Jika Mangkunegara V tak setuju dengan sebuah kebijakan, residen tetap bisa menjalankan rencana itu tanpa persetujuan raja. Belanda benar-benar mengatur kehidupan ekonomi dan keuangan Pura Mangkunegaran. Sumber: YouTube: @obrolanharis

 Gaya Hedon Mangkunegara V


Mangkunegara V atau Prabu Prangwedana memimpin Pura Mangkunegaran di Surakarta dari tahun 1881 hingga 1896.



Meski saat naik tahta, dunia sedang mengalami krisis ekonomi global, Prangwedana tetap bergaya hidup boros. Ia suka berburu di Hutan Kethu Wonogiri. Tiap Jumat dan Minggu bermalam di pesanggrahan yang disebut pesanggrahan Seneng yang dibangun dekat dengan hutan Kethu. Selain itu ia juga suka berkuda dan berkelana dengan kudanya.


Mangkunegara V juga menyukai anjing, bahkan banyak anjing yang dibeli dari manca negara. Anjing peliharaannya diberi makanan bestik, makanan yang mewah pada waktu itu.


Binatang peliharaan lain yang disukai Mangkunegara V adalah burung. Ia membangun sebuah gedung di sebelah timur gedung Prangwedana yang disebut Pantipurna. Bangunan ini dilengkapi dengan taman dan hiasan dengan deretan sangkar burung yang berisi bermacam-macam burung yang dibeli dari manca negara.


Ia tak peduli dengan kondisi keuangan kerajaan yang kian menipis. Ini salah satu penyebab Mangkunegaran harus utang kepada Belanda.


Terjerat Utang, Mangkunegara V Dilecehkan


Ketika Mangkunegara lima yang berkuasa di Pura Mangkunegaran dari 1881 sampai 1896 gagal mengatasi krisis keuangan maka ia meminjam uang  baik kepada swasta maupun pemerintah Belanda.


Kepada swasta, Mangkunegaran menggadaikan sejumlah harta kerajaan. Pemerintah Belanda menuntut lebih. Mereka membentuk Komisi Keuangan yang menjalankan dan mengawasi keuangan kerajaan. Komisi Keuangan dipimpin oleh Residen Belanda.


Terbentuknya Komisi Keuangan ini membuat martabat raja Pura Mangkunegaran setara dengan Residen. Bahkan, kadang direndahkan. Jika Mangkunegara V tak setuju dengan sebuah kebijakan, residen tetap bisa menjalankan rencana itu tanpa persetujuan raja. Belanda benar-benar mengatur kehidupan ekonomi dan keuangan Pura Mangkunegaran.


Sumber: YouTube: @obrolanharis

KETIKA RAJA-RAJA MATARAM BERBURU Jika sedang berkendara di jalur Jogja–Solo, sebelum tiba di Kartasura kita akan bertemu dengan jalan raya Semarang–Solo, di kanan jalan kita bisa melihat Markas Kopassus yang dikelilingi lapangan. Tempat ini dikenal dengan nama "Kandang Menjangan" yang dulunya merupakan semacam hutan suaka yang dikelilingi pagar dari balok-balok kayu jati milik Kasunanan Surakarta. Di lokasi ini terdapat berbagai macam hewan hasil buruan dari hutan atas perintah Susuhunan. Hewan-hewan tersebut dilepas liarkan dan bebas berkembang biak. Pada waktu-waktu tertentu Sunan menyelenggarakan acara berburu di Krapyak (sebutan untuk tempat ini) sebagai salah satu rekreasi kaum bangsawan. Dalam sejarah, kita mengenal tokoh Sunan Hanyokrowati (Raden Mas Jolang) Raja ke-2 Mataram tahun 1601-1613 pengganti Panembahan Senopati pendiri Mataram dan ayah Sultan Agung. Mas Jolang inilah yang dikenal dengan Sunan Sedo Krapyak (Raja yang meninggal di Krapyak), karena terjangan seekor banteng. Berburu memang sudah lama menjadi kegemaran raja dan kaum bangsawan di Jawa. Dari kitab Negarakertagama gubahan Prapanca tahun 1365 kita bisa memperoleh informasi bahwa raja Hayam Wuruk beberapa kali menyelenggarakan acara berburu di hutan. Hanya tidak diketahui apakah era Majapahit juga sudah dikenal hutan suaka semacam Krapyak pada jaman Mataram. Pada jaman Mataram acara berburu tidak hanya diadakan di dalam Krapyak, tetapi juga dalam hutan rimba. Hanya saja berburu dalam hutan ini biasanya terbatas untuk jenis babi hutan. Adapun daerah Krapyak yang terkenal pada jaman Mataram terletak di 3 tempat, salah satunya Pringamba sebelah Tenggara Yogyakarta dan di sisi kiri–kanan muara sungai Opak dekat pantai Selatan Yogyakarta. Di luar dan di sekeliling Krapyak itu sendiri masih merupakan hutan lebat yang penuh dengan hewan buruan, sehingga para penulis Belanda pada masa itu menamakannya "jagersparadijs" atau Surga bagi para Pemburu. Berziarah sambil berburu Apa sebabnya daerah itu yang dipilih menjadi Krapyak disebabkan beberapa hal. Pertama, karena ibukota Mataram sebelum dipindahkan ke Kartasura adalah di Plered dan Kerta yang letaknya berdekatan dengan krapyak-krapyak tadi. Kedua, karena raja-raja Mataram mempunyai kebiasaan untuk menyepi dan bersemadi di gua-gua yang ada di pantai Selatan, guna meminta berkah dari Nyai Roro Kidul sebagai Penguasa Laut Selatan, agar dapat memimpin kerajaannya dengan baik. Selama mereka bersamadi itulah kadang-kadang diadakan acara selingan berburu sebagai rekreasi. Waktu ibukota Mataram dipindah ke Kartasura dan kemudian ke Surakarta, krapyak-krapyak tadi tetap dipelihara meskipun jaraknya amat jauh untuk ukuran waktu itu. Hal ini disebabkan karena kebiasaan untuk bersamadi tadi masih tetap dilakukan. Selain itu hal yang biasa dilakukan oleh raja Hayam Wuruk pada zaman Majapahit untuk berziarah ke tempat-tempat keramat dan ke makam leluhur dinasti, masih dijalankan juga oleh raja-raja Mataram pada zaman Kartasura dan Surakarta. Krapyak Pringamba terletak di kaki bukit Girilaya dan di bukit ini dimakamkan salah seorang isteri Amangkurat I dan Sunan Geseng salah seorang di antara Walisongo. Sedangkan muara sungai Opak selain dekat pantai Selatan, juga tidak begitu jauh letaknya dari Imogiri, yaitu kompleks makam keluarga kerajaan Mataram dimulai dari Sultan Agung. Pada waktu acara ziarah ke makam leluhur dinasti itulah sering diseling dengan acara berburu di dalam Krapyak. Berita tertua tentang perburuan semacam itu kita peroleh dari E. Rijklof van Goens, duta VOC yang beberapa kali mengunjungi ibukota Mataram pada abad ke-XVII. Pada 1652 Van Goens pernah mengikuti acara berburu yang diadakan oleh Amangkurat I di sekitar muara sungai Opak. Dia melukiskan tempat itu sebagai "padang perburuan yang luasnya tak terkira dan dikelilingi pagar dari balok kayu jati. Di dalamnya terdapat ribuan rusa, kerbau liar, banteng, kuda liar serta hewan lainnya di mana orang dapat memburu mereka tanpa takut diterkam harimau atau digigit ular." Jadi jelaslah apa perbedaan antara Krapyak dengan hutan biasa. Di dalam krapyak keadaannya dijaga sedemikian rupa agar binatang-binatang buas seperti harimau tidak dapat masuk ke dalamnya demi menjaga kenikmatan para pemburu. Perjalanan Amangkurat IV Tujuan perjalanan sebenarnya untuk berziarah ke makam leluhur dinasti dilanjutkan dengan bersemadi ke pantai Selatan. Akan tetapi acara-acara selingan yang diselenggarakan Sunan Amangkurat IV cukup menarik untuk kita ketahui. Rombongan berangkat pada pagi hari 3 September 1724, dikawal oleh ratusan prajurit Mataram, ratusan punggawa dan pemikul tandu, ratusan pelayan, ditambah dengan 75 orang serdadu Kompeni di bawah komandannya Letnan Hendrik Coster. Dari Perwira Kompeni ini pulalah kita memperoleh laporan perjalanan Sunan. Dari ibukota Kartasura rombongan bertolak diiringi tembakan salvo meriam dari arah benteng VOC sebagai penghormatan. Sebagaimana diketahui, semenjak ibukota Mataram dipindahkan ke Kartasura, pihak VOC diizinkan mendirikan benteng di ibukota. Benteng ini dipimpin oleh seorang Kapten yang menjadi wakil VOC dengan jabatan Residen. Waktu itu yang menjadi Residen adalah Kapten Simon Keesjong. Perwira ini bersama para Pembesar Mataram lainnya yang tidak turut dalam perjalanan mengantarkan Sunan sampai di batas kota. Setelah segala upacara basa-basi perpisahan di batas kota, Keesjong cs. kembali ke ibukota. Dan bergeraklah rombongan Sunan, Ibu Suri, Permaisuri, Putra Mahkota dan para Pembesar di atas tandu semuanya, diiringi prajurit dan pelayan serta pasukan Kompeni. "Pawai" yang jumlahnya ribuan ini tentu saja merupakan tontonan cukup menarik bagi penduduk desa-desa yang dilalui. Rombongan berhenti dan mengaso untuk menginap berturut-turut di Delanggu dan Gondang, dua kota Kecamatan yang kini terletak di daerah Klaten. Tanggal 5 September 1724 pagi rombongan dipecah menjadi dua. Ibu Suri dengan sebagian rombongan bertolak menuju Kuto Anyar yang letaknya kira-kira di kota Yogyakarta sekarang; sedangkan Sunan dan rombongan menuju ke Karto Winoto, yaitu daerah Madu Gondo di sebelah tenggara Yogyakarta sekarang. Di tempat ini Sunan tinggal selama 12 hari, karena dari sini dapat dikunjungi dengan mudah beberapa tempat ziarah, antara lain: Kuto Gede tempat makam Kyai Gede Pemanahan leluhur dinasti; Panembahan Senopati atau Sutowijoyo pendiri Mataram; dan Sunan Anyokrowati atau Sunan Sedo Krapyak. Juga tempat ini ada di bawah bukit Girilaya yang sudah disebutkan di atas. Dan sebagai selingan kegiatan ziarah inilah Sunan telah mengadakan beberapa acara rekreasi. Tanggal 6 September Sunan menyelenggarakan rekreasinya yang pertama. Para punggawa yang tugasnya memikul tandu, semua dikumpulkan di alun-alun. Mereka diharuskan bermain "Sodoran " atau "Senenan". Permainan yang juga populer di Eropa pada Abad Pertengahan ini pada pokoknya adalah berusaha menjatuhkan lawan dari atas kuda yang dikendarainya dengan sebatang bambu. Akan tetapi karena pertandingan kali ini dilakukan oleh para punggawa yang bukan tugasnya melakukan hal itu, maka terjadilah adegan lucu dan menggelikan. Letnan Coster melaporkan (dalam bahasa Belanda yang berlaku abad itu) bagaimana para punggawa tadi: "sonder zadels te paard sitten, en met groene bamboesen tournoijen, waar-door er al veele, als geen kennis daarvan hebbende, hoL over bol-de grond sogten, tot bijsonder vermaak van den vorst, die sig van lachen niet onthouden kon." (mengendarai kuda tanpa pelana, bertanding dengan bambu hijau dan karena tidak memiliki keahlian untuk pekerjaan itu, berjatuhan ke tanah, yang menyebabkan Raja begitu geli dan tertawa terbahak-bahak seolah-olah tak dapat berhenti ). Acara lain, tentu saja, berburu. Tiga kali Sunan berburu di hutan tanpa Coster ikut serta. Dia hanya melaporkan bahwa tanggal 11 September ia menerima kiriman 6 ekor babi-hutan hasil buruan sehari sebelumnya; tanggal 12 September sore ia menerima kiriman 6 ekor babi-liar hasil buruan pagi harinya; dan tanggal 16 sore ia menyaksikan iring-iringan Sunan pulang berburu dengan hasil buruan yang tak terhitung jumlahnya. Tanggal 15 September ketika Sunan berburu di dalam Krapyak Pring Amba, Letnan Coster turut serta. Diceritakannya bahwa, Sunan serta para pembesar lainnya duduk di atas joli yang dipasang di punggung kerbau. Mereka menanti berderet-deret dengan jarak berjauhan. Kemudian para prajurit dan punggawa menghalau hewan dari arah kiri dan kanan tempat pemburu-pemburu itu menanti, dengan jalan berteriak-teriak dan memukul-mukul kentongan. Begitu hewan yang terkejut itu berlarian ke arah Sunan menanti, mulailah para pemburu menunjukkan kemahiran masing-masing. Ada yang menembak dengan senapan, ada yang mempergunakan panah dan ada pula yang memakai lembing. Hari itu telah dibantai tidak kurang dari 130 ekor rusa, 5 ekor banteng dan 6 ekor sapi-liar. Disambut banteng depan pesanggrahan Tanggal 17 September perjalanan dilanjutkan ke Imogiri dan berkumpul kembali dengan rombongan Ibu Suri yang sudah lebih dahulu tiba dari Kuto Anyar. Dua hari lamanya acara ziarah di sini. Sesudah itu perjalanan dilanjutkan ke daerah Gading di muara sungai Opak. Begitu tiba, begitu Sunan memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk menjelajah hutan-hutan dan menghalau hewan buruan yang ditemui ke arah Krapyak di sisi barat sungai. Menurut perhitungan Coster sesudahnya, di dalam Krapyak itu terkumpul 500 ekor banteng, kerbau-liar dan sapi liar, serta kira-kira 1300 ekor rusa. Tiga hari berikutnya Sunan bersemadi di dalam gua di pantai Selatan, sementara Coster dengan beberapa anak buahnya menanti dalam kemah di tepi pantai. Ketika tanggal 21 September pagi Coster keluar dari dalam kemahnya, ia melihat Sunan sedang duduk memancing di pantai. Karena hasilnya tidak banyak, Sunan mengajak Coster kembali ke pesanggrahan. Ternyata di depan pesanggrahan sudah menanti seekor banteng buas yang diikat pada tonggak kayu. Sunan memerintahkan para pembesar untuk menjadikan banteng itu sebagai sasaran latihan memanah. Setelah puas barulah Sunan mengangkat senapannya dan menembak banteng itu sampai tewas. Tanggal 23 September diadakan lagi acara "Sodoran". Kali ini pertandingan benar-benar dilakukan oleh para prajurit yang mahir. Namun ketika acara hampir selesai, tanpa sepengetahuan siapa pun, Sunan memerintahkan melepas ratusan ekor babi-liar ke tengah arena. Tentu saja terjadi kepanikan luar-biasa, baik di kalangan para penonton maupun mereka yang sedang bertanding. Kuda-kuda menjadi binal, para penonton berserabutan lari kian-kemari. Mereka saling tubruk, berebut memanjat pohon, terjatuh berguling-guling, sementara Sunan dan para pembesar dari arah tribune tertawa puas menyaksikannya. Akhirnya Sunan memerintahkan anak-buah Coster menghalau babi-babi itu ke arah Krapyak; suatu tugas yang cukup sulit bagi serdadu Kompeni itu. Keesokan harinya Sunan berburu ke seberang Timur sungai. Kali ini juga Coster tidak turut. Dia hanya melaporkan bahwa tanggal 25 September siang, ia menerima kiriman 30 ekor rusa dan 10 ekor banteng untuk konsumsi anak-buahnya. Tanggal 28 September adalah hari terakhir Sunan di daerah pantai Selatan. Hari itu diselenggarakan acara berburu dalam Krapyak sebelah Timur sungai. Letnan Coster pun turut serta. Karena banyaknya hewan yang dibantai hari itu, Coster tidak dapat menghitung jumlahnya. Dia menyebutkan bahwa hasil buruannya akan cukup untuk bekal seluruh anggota rombongan yang ribuan itu sampai mereka kelak tiba kembali di Kartosuro. Tanggal 29 September Sunan menuju kembali ke Karto Winoto, di mana keesokan harinya dia masih mengajak Coster berburu babi-liar di hutan. Kali ini mereka semua mengendarai kuda diiringkan oleh anjing pemburu. Ketika sore harinya kembali ke pasanggrahan, telah dibawa hewan buruan sebanyak 110 ekor. Tanggal 1 Oktober adalah hari terakhir Sunan "di rantau" sebelum kembali ke Kartosuro. Hari itu diadakan acara "Rampokan" Sebuah sangkar berisi harimau diletakkan di tengah alun-alun. Di sekeliling sangkar ditimbun kayu untuk dibakar, sementara sangkar dibuka. Si raja-hutan yang takut pada api segera keluar dari sangkar dan berusaha melompati api-unggun. Namun di sekeliling api unggun itu telah berbaris bersaf-saf para prajurit Mataram dengan tombak terarah pada sang harimau. Sebuah adegan yang benar-benar dramatis, karena segala sesuatu mungkin terjadi. Harimau yang berhasil melompati api unggun berusaha menerobos barisan tombak. Kadang-kadang ia menyeruduk di antara kaki para prajurit, kadang- kadang ia berusaha melompatinya. Dengan tubuh penuh luka, harimau semakin ganas, sehingga seringkali para prajurit terkena goresan kuku-kukunya. Acara ini baru berhenti kalau sang raja hutan akhirnya tewas di ujung tombak atau tewas ditembak karena ia berhasil lolos dari kepungan. Tanggal 2 Oktober Sunan dan rombongan mulai bergerak kembali ke ibukota. Di batas kota rombongan disambut oleh Residen Keesjong dan para pembesar kerajaan lainnya. Dan, akhirnya, tanggal 3 Oktober 1724 jam 09.00 pagi Sunan tiba kembali di keraton disambut dengan tembakan salvo meriam dari arah benteng VOC sebagai penghormatan dan ucapan selamat datang. Begitulah perjalanan raja Mataram berburu di hutan-hutan buruan bikinan mereka sendiri. #mataram #nusantara

 KETIKA RAJA-RAJA MATARAM BERBURU


Jika sedang berkendara di jalur Jogja–Solo, sebelum tiba di Kartasura kita akan bertemu dengan jalan raya Semarang–Solo, di kanan jalan kita bisa melihat Markas Kopassus yang dikelilingi lapangan. Tempat ini dikenal dengan nama "Kandang Menjangan" yang dulunya merupakan semacam hutan suaka yang dikelilingi pagar dari balok-balok kayu jati milik Kasunanan Surakarta.



Di lokasi ini terdapat berbagai macam hewan hasil buruan dari hutan atas perintah Susuhunan. Hewan-hewan tersebut dilepas liarkan dan bebas berkembang biak. Pada waktu-waktu tertentu Sunan menyelenggarakan acara berburu di Krapyak (sebutan untuk tempat ini) sebagai salah satu rekreasi kaum bangsawan.


Dalam sejarah, kita mengenal tokoh Sunan Hanyokrowati (Raden Mas Jolang) Raja ke-2 Mataram tahun 1601-1613 pengganti Panembahan Senopati pendiri Mataram dan ayah Sultan Agung. Mas Jolang inilah yang dikenal dengan Sunan Sedo Krapyak (Raja yang meninggal di Krapyak), karena terjangan seekor banteng.


Berburu memang sudah lama menjadi kegemaran raja dan kaum bangsawan di Jawa. Dari kitab Negarakertagama gubahan Prapanca tahun 1365 kita bisa memperoleh informasi bahwa raja Hayam Wuruk beberapa kali menyelenggarakan acara berburu di hutan. Hanya tidak diketahui apakah era Majapahit juga sudah dikenal hutan suaka semacam Krapyak pada jaman Mataram.


Pada jaman Mataram acara berburu tidak hanya diadakan di dalam Krapyak, tetapi juga dalam hutan rimba. Hanya saja berburu dalam hutan ini biasanya terbatas untuk jenis babi hutan. Adapun daerah Krapyak yang terkenal pada jaman Mataram terletak di 3 tempat, salah satunya Pringamba sebelah Tenggara Yogyakarta dan di sisi kiri–kanan muara sungai Opak dekat pantai Selatan Yogyakarta.


Di luar dan di sekeliling Krapyak itu sendiri masih merupakan hutan lebat yang penuh dengan hewan buruan, sehingga para penulis Belanda pada masa itu menamakannya "jagersparadijs" atau Surga bagi para Pemburu.


Berziarah sambil berburu


Apa sebabnya daerah itu yang dipilih menjadi Krapyak disebabkan beberapa hal. Pertama, karena ibukota Mataram sebelum dipindahkan ke Kartasura adalah di Plered dan Kerta yang letaknya berdekatan dengan krapyak-krapyak tadi.


Kedua, karena raja-raja Mataram mempunyai kebiasaan untuk menyepi dan bersemadi di gua-gua yang ada di pantai Selatan, guna meminta berkah dari Nyai Roro Kidul sebagai Penguasa Laut Selatan, agar dapat memimpin kerajaannya dengan baik. Selama mereka bersamadi itulah kadang-kadang diadakan acara selingan berburu sebagai rekreasi.


Waktu ibukota Mataram dipindah ke Kartasura dan kemudian ke Surakarta, krapyak-krapyak tadi tetap dipelihara meskipun jaraknya amat jauh untuk ukuran waktu itu. Hal ini disebabkan karena kebiasaan untuk bersamadi tadi masih tetap dilakukan.


Selain itu hal yang biasa dilakukan oleh raja Hayam Wuruk pada zaman Majapahit untuk berziarah ke tempat-tempat keramat dan ke makam leluhur dinasti, masih dijalankan juga oleh raja-raja Mataram pada zaman Kartasura dan Surakarta.


Krapyak Pringamba terletak di kaki bukit Girilaya dan di bukit ini dimakamkan salah seorang isteri Amangkurat I dan Sunan Geseng salah seorang di antara Walisongo. Sedangkan muara sungai Opak selain dekat pantai Selatan, juga tidak begitu jauh letaknya dari Imogiri, yaitu kompleks makam keluarga kerajaan Mataram dimulai dari Sultan Agung.


Pada waktu acara ziarah ke makam leluhur dinasti itulah sering diseling dengan acara berburu di dalam Krapyak.


Berita tertua tentang perburuan semacam itu kita peroleh dari E. Rijklof van Goens, duta VOC yang beberapa kali mengunjungi ibukota Mataram pada abad ke-XVII. Pada 1652 Van Goens pernah mengikuti acara berburu yang diadakan oleh Amangkurat I di sekitar muara sungai Opak.


Dia melukiskan tempat itu sebagai "padang perburuan yang luasnya tak terkira dan dikelilingi pagar dari balok kayu jati. Di dalamnya terdapat ribuan rusa, kerbau liar, banteng, kuda liar serta hewan lainnya di mana orang dapat memburu mereka tanpa takut diterkam harimau atau digigit ular."


Jadi jelaslah apa perbedaan antara Krapyak dengan hutan biasa. Di dalam krapyak keadaannya dijaga sedemikian rupa agar binatang-binatang buas seperti harimau tidak dapat masuk ke dalamnya demi menjaga kenikmatan para pemburu.


Perjalanan Amangkurat IV


Tujuan perjalanan sebenarnya untuk berziarah ke makam leluhur dinasti dilanjutkan dengan bersemadi ke pantai Selatan. Akan tetapi acara-acara selingan yang diselenggarakan Sunan Amangkurat IV cukup menarik untuk kita ketahui.


Rombongan berangkat pada pagi hari 3 September 1724, dikawal oleh ratusan prajurit Mataram, ratusan punggawa dan pemikul tandu, ratusan pelayan, ditambah dengan 75 orang serdadu Kompeni di bawah komandannya Letnan Hendrik Coster. Dari Perwira Kompeni ini pulalah kita memperoleh laporan perjalanan Sunan.


Dari ibukota Kartasura rombongan bertolak diiringi tembakan salvo meriam dari arah benteng VOC sebagai penghormatan. Sebagaimana diketahui, semenjak ibukota Mataram dipindahkan ke Kartasura, pihak VOC diizinkan mendirikan benteng di ibukota. Benteng ini dipimpin oleh seorang Kapten yang menjadi wakil VOC dengan jabatan Residen.


Waktu itu yang menjadi Residen adalah Kapten Simon Keesjong. Perwira ini bersama para Pembesar Mataram lainnya yang tidak turut dalam perjalanan mengantarkan Sunan sampai di batas kota.


Setelah segala upacara basa-basi perpisahan di batas kota, Keesjong cs. kembali ke ibukota. Dan bergeraklah rombongan Sunan, Ibu Suri, Permaisuri, Putra Mahkota dan para Pembesar di atas tandu semuanya, diiringi prajurit dan pelayan serta pasukan Kompeni.


"Pawai" yang jumlahnya ribuan ini tentu saja merupakan tontonan cukup menarik bagi penduduk desa-desa yang dilalui.


Rombongan berhenti dan mengaso untuk menginap berturut-turut di Delanggu dan Gondang, dua kota Kecamatan yang kini terletak di daerah Klaten. Tanggal 5 September 1724 pagi rombongan dipecah menjadi dua. Ibu Suri dengan sebagian rombongan bertolak menuju Kuto Anyar yang letaknya kira-kira di kota Yogyakarta sekarang; sedangkan Sunan dan rombongan menuju ke Karto Winoto, yaitu daerah Madu Gondo di sebelah tenggara Yogyakarta sekarang.


Di tempat ini Sunan tinggal selama 12 hari, karena dari sini dapat dikunjungi dengan mudah beberapa tempat ziarah, antara lain: Kuto Gede tempat makam Kyai Gede Pemanahan leluhur dinasti; Panembahan Senopati atau Sutowijoyo pendiri Mataram; dan Sunan Anyokrowati atau Sunan Sedo Krapyak.


Juga tempat ini ada di bawah bukit Girilaya yang sudah disebutkan di atas. Dan sebagai selingan kegiatan ziarah inilah Sunan telah mengadakan beberapa acara rekreasi.


Tanggal 6 September Sunan menyelenggarakan rekreasinya yang pertama. Para punggawa yang tugasnya memikul tandu, semua dikumpulkan di alun-alun. Mereka diharuskan bermain "Sodoran " atau "Senenan". Permainan yang juga populer di Eropa pada Abad Pertengahan ini pada pokoknya adalah berusaha menjatuhkan lawan dari atas kuda yang dikendarainya dengan sebatang bambu.


Akan tetapi karena pertandingan kali ini dilakukan oleh para punggawa yang bukan tugasnya melakukan hal itu, maka terjadilah adegan lucu dan menggelikan. Letnan Coster melaporkan (dalam bahasa Belanda yang berlaku abad itu) bagaimana para punggawa tadi:


"sonder zadels te paard sitten, en met groene bamboesen tournoijen, waar-door er al veele, als geen kennis daarvan hebbende, hoL over bol-de grond sogten, tot bijsonder vermaak van den vorst, die sig van lachen niet onthouden kon."


(mengendarai kuda tanpa pelana, bertanding dengan bambu hijau dan karena tidak memiliki keahlian untuk pekerjaan itu, berjatuhan ke tanah, yang menyebabkan Raja begitu geli dan tertawa terbahak-bahak seolah-olah tak dapat berhenti ).


Acara lain, tentu saja, berburu. Tiga kali Sunan berburu di hutan tanpa Coster ikut serta. Dia hanya melaporkan bahwa tanggal 11 September ia menerima kiriman 6 ekor babi-hutan hasil buruan sehari sebelumnya; tanggal 12 September sore ia menerima kiriman 6 ekor babi-liar hasil buruan pagi harinya; dan tanggal 16 sore ia menyaksikan iring-iringan Sunan pulang berburu dengan hasil buruan yang tak terhitung jumlahnya.


Tanggal 15 September ketika Sunan berburu di dalam Krapyak Pring Amba, Letnan Coster turut serta. Diceritakannya bahwa, Sunan serta para pembesar lainnya duduk di atas joli yang dipasang di punggung kerbau. Mereka menanti berderet-deret dengan jarak berjauhan.


Kemudian para prajurit dan punggawa menghalau hewan dari arah kiri dan kanan tempat pemburu-pemburu itu menanti, dengan jalan berteriak-teriak dan memukul-mukul kentongan. Begitu hewan yang terkejut itu berlarian ke arah Sunan menanti, mulailah para pemburu menunjukkan kemahiran masing-masing.


Ada yang menembak dengan senapan, ada yang mempergunakan panah dan ada pula yang memakai lembing. Hari itu telah dibantai tidak kurang dari 130 ekor rusa, 5 ekor banteng dan 6 ekor sapi-liar.


Disambut banteng depan pesanggrahan


Tanggal 17 September perjalanan dilanjutkan ke Imogiri dan berkumpul kembali dengan rombongan Ibu Suri yang sudah lebih dahulu tiba dari Kuto Anyar. Dua hari lamanya acara ziarah di sini. Sesudah itu perjalanan dilanjutkan ke daerah Gading di muara sungai Opak.


Begitu tiba, begitu Sunan memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk menjelajah hutan-hutan dan menghalau hewan buruan yang ditemui ke arah Krapyak di sisi barat sungai. Menurut perhitungan Coster sesudahnya, di dalam Krapyak itu terkumpul 500 ekor banteng, kerbau-liar dan sapi liar, serta kira-kira 1300 ekor rusa.


Tiga hari berikutnya Sunan bersemadi di dalam gua di pantai Selatan, sementara Coster dengan beberapa anak buahnya menanti dalam kemah di tepi pantai. Ketika tanggal 21 September pagi Coster keluar dari dalam kemahnya, ia melihat Sunan sedang duduk memancing di pantai. Karena hasilnya tidak banyak, Sunan mengajak Coster kembali ke pesanggrahan. Ternyata di depan pesanggrahan sudah menanti seekor banteng buas yang diikat pada tonggak kayu.


Sunan memerintahkan para pembesar untuk menjadikan banteng itu sebagai sasaran latihan memanah. Setelah puas barulah Sunan mengangkat senapannya dan menembak banteng itu sampai tewas.


Tanggal 23 September diadakan lagi acara "Sodoran". Kali ini pertandingan benar-benar dilakukan oleh para prajurit yang mahir. Namun ketika acara hampir selesai, tanpa sepengetahuan siapa pun, Sunan memerintahkan melepas ratusan ekor babi-liar ke tengah arena.


Tentu saja terjadi kepanikan luar-biasa, baik di kalangan para penonton maupun mereka yang sedang bertanding. Kuda-kuda menjadi binal, para penonton berserabutan lari kian-kemari.


Mereka saling tubruk, berebut memanjat pohon, terjatuh berguling-guling, sementara Sunan dan para pembesar dari arah tribune tertawa puas menyaksikannya. Akhirnya Sunan memerintahkan anak-buah Coster menghalau babi-babi itu ke arah Krapyak; suatu tugas yang cukup sulit bagi serdadu Kompeni itu.


Keesokan harinya Sunan berburu ke seberang Timur sungai. Kali ini juga Coster tidak turut. Dia hanya melaporkan bahwa tanggal 25 September siang, ia menerima kiriman 30 ekor rusa dan 10 ekor banteng untuk konsumsi anak-buahnya.


Tanggal 28 September adalah hari terakhir Sunan di daerah pantai Selatan. Hari itu diselenggarakan acara berburu dalam Krapyak sebelah Timur sungai. Letnan Coster pun turut serta.


Karena banyaknya hewan yang dibantai hari itu, Coster tidak dapat menghitung jumlahnya. Dia menyebutkan bahwa hasil buruannya akan cukup untuk bekal seluruh anggota rombongan yang ribuan itu sampai mereka kelak tiba kembali di Kartosuro.


Tanggal 29 September Sunan menuju kembali ke Karto Winoto, di mana keesokan harinya dia masih mengajak Coster berburu babi-liar di hutan. Kali ini mereka semua mengendarai kuda diiringkan oleh anjing pemburu. Ketika sore harinya kembali ke pasanggrahan, telah dibawa hewan buruan sebanyak 110 ekor.


Tanggal 1 Oktober adalah hari terakhir Sunan "di rantau" sebelum kembali ke Kartosuro. Hari itu diadakan acara "Rampokan" Sebuah sangkar berisi harimau diletakkan di tengah alun-alun. Di sekeliling sangkar ditimbun kayu untuk dibakar, sementara sangkar dibuka.


Si raja-hutan yang takut pada api segera keluar dari sangkar dan berusaha melompati api-unggun. Namun di sekeliling api unggun itu telah berbaris bersaf-saf para prajurit Mataram dengan tombak terarah pada sang harimau. Sebuah adegan yang benar-benar dramatis, karena segala sesuatu mungkin terjadi.


Harimau yang berhasil melompati api unggun berusaha menerobos barisan tombak. Kadang-kadang ia menyeruduk di antara kaki para prajurit, kadang- kadang ia berusaha melompatinya. Dengan tubuh penuh luka, harimau semakin ganas, sehingga seringkali para prajurit terkena goresan kuku-kukunya.


Acara ini baru berhenti kalau sang raja hutan akhirnya tewas di ujung tombak atau tewas ditembak karena ia berhasil lolos dari kepungan.


Tanggal 2 Oktober Sunan dan rombongan mulai bergerak kembali ke ibukota. Di batas kota rombongan disambut oleh Residen Keesjong dan para pembesar kerajaan lainnya. Dan, akhirnya, tanggal 3 Oktober 1724 jam 09.00 pagi Sunan tiba kembali di keraton disambut dengan tembakan salvo meriam dari arah benteng VOC sebagai penghormatan dan ucapan selamat datang.


Begitulah perjalanan raja Mataram berburu di hutan-hutan buruan bikinan mereka sendiri.


#mataram #nusantara

Sebagai salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdhatul Ulama selalu hadir untuk Indonesia NU turut berjuang untuk kemerdekaan juga mempertahankan persatuan bangsa Foto ini adalah salah satu wujud sumbangsih NU untuk NKRI, yaitu latihan para sukarelawan Muslimat NU sekitar tahun 1960 Sumber foto oleh akun twitter NUDoeloe #sejarah #tempodulu

 Sebagai salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdhatul Ulama selalu hadir untuk Indonesia


NU turut berjuang untuk kemerdekaan juga mempertahankan persatuan bangsa


Foto ini adalah salah satu wujud sumbangsih NU untuk NKRI, yaitu latihan para sukarelawan Muslimat NU sekitar tahun 1960



Sumber foto oleh akun twitter NUDoeloe



Kisah Perang Sabil, Pengikut Pangeran Diponegoro Melawan Pasukan Kiai Mojo _______________________________________________ Pangeran Diponegoro selain harus menghadapi penjajah Belanda, juga disibukkan menata internal pasukannya. Konon suatu ketika Pangeran Diponegoro harus melawan pasukan dari Kiai Mojo yang mayoritas diisi orang-orang Pajang. Peperangan antarbangsa sendiri ini dicatat Peter Carey dalam bukunya "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro (1785 - 1825)" karena mengusung aspek kedaerahan yang terlalu kuat. Padahal kedua kubu ini sebenarnya sama-sama berjuang melawan penjajah Belanda. Bahkan sebagian besar basis pasukan mereka juga ada di Jawa tengah bagian selatan. Pasukan Diponegoro yang didukung kaum santri sebanyak 200 orang laki-laki dan perempuan. Para pasukan ini terdiri atas beberapa orang Arab dan peranakan Tionghoa, juga ada yang berasal dari golongan santri istana, yang merupakan anggota hierarki pejabat resmi islam dan resimen pasukan yang direkrut dari para santri keraton. Sementara kelompok yang dibawa Kiai Mojo yang notabene juga dekat dengan Pangeran Diponegoro, bahkan di beberapa catatan sejarah merupakan penasehat sang pangeran, diisi oleh keluarga besar Kiai Mojo dan para santrinya yang datang dari tiga pesantren di Mojo, Banderan, dekat Delanggu, dan Pulo Kadang dekat Imogiri. Perang Sabil menjadi catatan sejarah kelam bagi perjuangan Pangeran Diponegoro karena dimensi kedaerahan yang terlalu ditonjolkan. Alhasil beberapa kali pasukan keduanya ini bentrok di daerah-daerah seperti Demak pada Agustus-September 1825, Madiun pada November 1825-Januari 1826, Rembang dan Jipang Rajekwesi, yang kini masuk Bojonegoro, pada November 1827 sampai Maret 1828. Saat itu pauskan Pangeran Diponegoro didominasi laskar Mataram yang setia kepada sang pangeran sewaktu gerak maju pangeran ke Surakarta pada Agustus-Oktober 1826. Mutu tempur pasukan, menurut Pangeran Diponegoro juga tidak sama antara satu daerah dengan daerah lain, sebagaimana berikut ini. "Penduduk Madiun bagus dalam bertahan terhadap serangan pertama, namun setelah itu mereka tidak banyak berguna. Penduduk Pajang juga terkenal pemberani, tetapi tidak lama setelah itu kondisinya sama seperti yang tadi. Penduduk Bagelen lebih baik, tapi mereka harus bertempur di daerahnya sendiri. Jika di luar itu, mereka payah. Tetapi penduduk Mataram terbaik di antara semua, mereka bertarung dengan gigih dan tahu bagaimana harus prihatin dan tabah menghadapi penderitaan akibat perang". Putra tertua Pangeran Diponegoro juga mengemukakan tentang karakter orang Mataram. Mereka dapat menjaga rahasia, punya hati yang tulus, dan berdisiplin dalam menaati perintah agama.

 Kisah Perang Sabil, Pengikut Pangeran Diponegoro Melawan Pasukan Kiai Mojo

_______________________________________________



Pangeran Diponegoro selain harus menghadapi penjajah Belanda, juga disibukkan menata internal pasukannya. Konon suatu ketika Pangeran Diponegoro harus melawan pasukan dari Kiai Mojo yang mayoritas diisi orang-orang Pajang. 


Peperangan antarbangsa sendiri ini dicatat Peter Carey dalam bukunya "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro (1785 - 1825)" karena mengusung aspek kedaerahan yang terlalu kuat. Padahal kedua kubu ini sebenarnya sama-sama berjuang melawan penjajah Belanda. Bahkan sebagian besar basis pasukan mereka juga ada di Jawa tengah bagian selatan. 


Pasukan Diponegoro yang didukung kaum santri sebanyak 200 orang laki-laki dan perempuan. Para pasukan ini terdiri atas beberapa orang Arab dan peranakan Tionghoa, juga ada yang berasal dari golongan santri istana, yang merupakan anggota hierarki pejabat resmi islam dan resimen pasukan yang direkrut dari para santri keraton. 


Sementara kelompok yang dibawa Kiai Mojo yang notabene juga dekat dengan Pangeran Diponegoro, bahkan di beberapa catatan sejarah merupakan penasehat sang pangeran, diisi oleh keluarga besar Kiai Mojo dan para santrinya yang datang dari tiga pesantren di Mojo, Banderan, dekat Delanggu, dan Pulo Kadang dekat Imogiri. 


Perang Sabil menjadi catatan sejarah kelam bagi perjuangan Pangeran Diponegoro karena dimensi kedaerahan yang terlalu ditonjolkan. Alhasil beberapa kali pasukan keduanya ini bentrok di daerah-daerah seperti Demak pada Agustus-September 1825, Madiun pada November 1825-Januari 1826, Rembang dan Jipang Rajekwesi, yang kini masuk Bojonegoro, pada November 1827 sampai Maret 1828.


Saat itu pauskan Pangeran Diponegoro didominasi laskar Mataram yang setia kepada sang pangeran sewaktu gerak maju pangeran ke Surakarta pada Agustus-Oktober 1826. Mutu tempur pasukan, menurut Pangeran Diponegoro juga tidak sama antara satu daerah dengan daerah lain, sebagaimana berikut ini. 


"Penduduk Madiun bagus dalam bertahan terhadap serangan pertama, namun setelah itu mereka tidak banyak berguna. Penduduk Pajang juga terkenal pemberani, tetapi tidak lama setelah itu kondisinya sama seperti yang tadi. Penduduk Bagelen lebih baik, tapi mereka harus bertempur di daerahnya sendiri. Jika di luar itu, mereka payah. Tetapi penduduk Mataram terbaik di antara semua, mereka bertarung dengan gigih dan tahu bagaimana harus prihatin dan tabah menghadapi penderitaan akibat perang".


Putra tertua Pangeran Diponegoro juga mengemukakan tentang karakter orang Mataram. Mereka dapat menjaga rahasia, punya hati yang tulus, dan berdisiplin dalam menaati perintah agama.

6 Nama Gelar Raja Raja Mataram Islam Sejak berdiri tahun 1586, para raja Kerajaan Mataram Islam tercatat memiliki sejumlah nama gelar pribadi yang digunakan selama menjabat. Gelar nama demikian digunakan seorang raja sejak mulai naik takhta. Gelar nama sebagai raja itu juga merupakan pengganti gelar nama sebelumnya yang dipakai semasa menduduki jabatan maupun berstatus lebih rendah, entah itu masih pangeran, raden mas, maupun raden. Dengan kata lain, penggunaan gelar nama baru tersebut menandai kenaikan status, juga menegaskan posisi selaku pemegang daulat tertinggi di negerinya. Berikut ini adalah enam gelar nama pribadi para raja raja Dinasti Mataram: 1). Senopati Ingalaga Gelar ini dalam bahasa Jawa kurang lebih berarti “jenderal pemimpin pasukan di medan pertempuran”. Yang paling dikenal sebagai pemakai gelar adalah pendiri sekaligus raja pertama Mataram Islam, yakni Sutawijaya yang bertakhta 1586-1601. Penggunaan gelar tersebut juga menggambarkan gencarnya kampanye militer penaklukan yang dilakukan Mataram di Jawa Bagian Tengah maupun Jawa Bagian Timur semasa bertakhtanya Panembahan Senopati. Gelar "Senopati Ingalaga" juga terus diwarisi dan digunakan oleh para raja Dinasti Mataram setelah Panembahan Senopati wafat. Oleh para penerusnya, gelar Senopati Ingalaga lebih merupakan gelar pelengkap saja, bukan gelar nama utama. Tidak ada di antara para pengganti Panembahan Senopati yang dikenal dalam penyebutan gelar nama versi ringkas Senopati Ingalaga II atau Senopati Ingalaga III dan seterusnya. 2. Hanyakrawati Gelar ini merupakan versi bahasa Jawa dari Cakrawarti dalam bahasa Kawi dan Cakravat dalam Sanskerta yang maknanya adalah “penguasa besar yang kereta perangnya dapat berputar kemana pun tanpa terhalang”, atau “penguasa dunia”, atau juga “maharaja atas negeri yang tanahnya berbatas satu lautan ke lautan lainnya”. Pengguna gelar Hanyakrawati ini adalah raja kedua Mataram Islam sekaligus putra Panembahan Senopati, yaitu Mas Jolang. Satu-satunya pengguna gelar nama Hanyakrawati di antara para raja Dinasti Mataram Islam ini bertakhta antara 1601-1613. 3). Hanyakrakusuma Gelar nama raja ini menurut bahasa Jawa kurang lebih bermakna “penguasa yang mampu menebar keharuman”, atau bisa diartikan juga “penguasa yang termasyhur”. Satu-satunya di antara para raja Dinasti Mataram Islam yang menjadi pengguna gelar nama pribadi ini adalah raja ketiga Mataram, yaitu Mas Jatmika yang dikenal dengan sebutan Sultan Agung Hanyakrakusuma yang bertakhta 1613-1646. Ia adalah putra Panembahan Hanyakrawati dan cucu Panembahan Senapati Ingalaga. Dalam 33 tahun masa bertakhtanya, Hanyakrakusuma tercatat pernah mengggunakan tiga gelar jabatan berbeda di depan gelar nama pribadinya. Panembahan dipakainya 1613 hingga 1625. Susuhunan dipakaianya 1625 hingga 1641. Sultan Agung dipakainya 1641 hingga 1646. 4). Amangkurat Gelar nama ini bersumber dari bahasa Jawa dan tepatnya merupakan gabungan dari dua kata: amangku atau mangku dan rat. Amangku berarti memangku, sedangkan rat berarti dunia. Dengan demikian, Amangkurat berarti “ia yang memangku dunia”. Gelar nama Amangkurat resminya tercatat sampai dipakai oleh lima raja yang bertakhta dari Amangkurat I sampai Amangkurat V pada kurun 1646-1743. Orang yang pertama menggunakan gelar ini adalah raja keempat Mataram, yaitu Mas Sayyidin putra Sultan Agung, ia bergelar Susuhunan Amangkurat I dan bertakhta sejak 1646-1677. 5). Pakubuwana Gelar nama ini bersumber dari bahasa Jawa dan tepatnya merupakan gabungan dari dua kata: paku dan buwana. Paku adalah paku, sedangkan buwana berarti dunia. Dengan demikian, Pakubuwana berarti “paku bagi dunia”. Orang pertama yang memakai gelar nama Pakubuwana di antara para raja Mataram Islam adalah raja ketujuh. Sebelum naik takhta ia dikenal dengan nama Pangeran Puger. Pangeran Puger ini adalah putra dari Amangkurat I, adik dari Amangkurat II, paman sekaligus mertua dari Amangkurat III, juga ayah dari Amangkurat IV 6). Hamengkubuwana Gelar nama ini bersumber dari bahasa Jawa dan tepatnya merupakan gabungan dari dua kata: hamengku atau mangku dan buwana. Hamengku berarti memangku, sedangkan buwana berarti dunia. Dengan demikian, Hamengkubuwana berarti “ia yang memangku dunia”. Gelar nama "Hamengkubuwana" muncul ketika Mataram Islam sudah mengalami perpecahan Sebagai konsekuensi dari Perjanjian Giyanti yang membagi Mataram Islam menjadi dua bagian, yakni Surakarta dan Yogyakarta. Orang pertama yang memakai gelar nama ini adalah pendiri sekaligus raja pertama Kasultanan Yogyakarta, yaitu Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubuwana I. ia memakai gelar tersebut sejak 1755. *Abror Subhi, Dikutip Dan Disusun Kembali Dari Berbagai Sumber Gambar Ilustrasi AI

 6 Nama Gelar Raja Raja Mataram Islam

Sejak berdiri tahun 1586, para raja Kerajaan Mataram Islam tercatat memiliki sejumlah nama gelar pribadi yang digunakan selama menjabat. Gelar nama demikian digunakan seorang raja sejak mulai naik takhta.



Gelar nama sebagai raja itu juga merupakan pengganti gelar nama sebelumnya yang dipakai semasa menduduki jabatan maupun berstatus lebih rendah, entah itu masih pangeran, raden mas, maupun raden. Dengan kata lain, penggunaan gelar nama baru tersebut menandai kenaikan status, juga menegaskan posisi selaku pemegang daulat tertinggi di negerinya. 

Berikut ini adalah enam gelar nama pribadi para raja raja Dinasti Mataram: 


1). Senopati Ingalaga                                                    

Gelar ini dalam bahasa Jawa kurang lebih berarti “jenderal pemimpin pasukan di medan pertempuran”. Yang paling dikenal sebagai pemakai gelar adalah pendiri sekaligus raja pertama Mataram Islam, yakni Sutawijaya yang bertakhta 1586-1601. Penggunaan gelar tersebut juga menggambarkan gencarnya kampanye militer penaklukan yang dilakukan Mataram di Jawa Bagian Tengah maupun Jawa Bagian Timur semasa bertakhtanya Panembahan Senopati.

Gelar "Senopati Ingalaga" juga terus diwarisi dan digunakan oleh para raja Dinasti Mataram setelah Panembahan Senopati wafat. Oleh para penerusnya, gelar Senopati Ingalaga lebih merupakan gelar pelengkap saja, bukan gelar nama utama. Tidak ada di antara para pengganti Panembahan Senopati yang dikenal dalam penyebutan gelar nama versi ringkas Senopati Ingalaga II atau Senopati Ingalaga III dan seterusnya.


2. Hanyakrawati 

Gelar ini merupakan versi bahasa Jawa dari Cakrawarti dalam bahasa Kawi dan Cakravat dalam Sanskerta yang maknanya adalah “penguasa besar yang kereta perangnya dapat berputar kemana pun tanpa terhalang”, atau “penguasa dunia”, atau juga “maharaja atas negeri yang tanahnya berbatas satu lautan ke lautan lainnya”.

Pengguna gelar Hanyakrawati ini adalah raja kedua Mataram Islam sekaligus putra Panembahan Senopati, yaitu Mas Jolang. Satu-satunya pengguna gelar nama Hanyakrawati di antara para raja Dinasti Mataram Islam ini bertakhta antara 1601-1613.

3). Hanyakrakusuma

Gelar nama raja ini menurut bahasa Jawa kurang lebih bermakna “penguasa yang mampu menebar keharuman”, atau bisa diartikan juga “penguasa yang termasyhur”. Satu-satunya di antara para raja Dinasti Mataram Islam yang menjadi pengguna gelar nama pribadi ini adalah raja ketiga Mataram, yaitu Mas Jatmika yang dikenal dengan sebutan Sultan Agung Hanyakrakusuma yang bertakhta 1613-1646. Ia adalah putra Panembahan Hanyakrawati dan cucu Panembahan Senapati Ingalaga.

Dalam 33 tahun masa bertakhtanya, Hanyakrakusuma tercatat pernah mengggunakan tiga gelar jabatan berbeda di depan gelar nama pribadinya. Panembahan dipakainya 1613 hingga 1625. Susuhunan dipakaianya 1625 hingga 1641. Sultan Agung dipakainya 1641 hingga 1646.


4). Amangkurat

Gelar nama ini bersumber dari bahasa Jawa dan tepatnya merupakan gabungan dari dua kata: amangku atau mangku dan rat. Amangku berarti memangku, sedangkan rat berarti dunia. Dengan demikian, Amangkurat berarti “ia yang memangku dunia”.

Gelar nama Amangkurat resminya tercatat sampai dipakai oleh lima raja yang bertakhta dari Amangkurat I sampai Amangkurat V pada kurun 1646-1743. Orang yang pertama menggunakan gelar ini adalah raja keempat Mataram, yaitu Mas Sayyidin putra Sultan Agung, ia bergelar Susuhunan Amangkurat I dan bertakhta sejak 1646-1677.


5). Pakubuwana

Gelar nama ini bersumber dari bahasa Jawa dan tepatnya merupakan gabungan dari dua kata: paku dan buwana. Paku adalah paku, sedangkan buwana berarti dunia. Dengan demikian, Pakubuwana berarti “paku bagi dunia”.

Orang pertama yang memakai gelar nama Pakubuwana di antara para raja Mataram Islam adalah raja ketujuh. Sebelum naik takhta ia dikenal dengan nama Pangeran Puger.

Pangeran Puger ini adalah putra dari Amangkurat I, adik dari Amangkurat II, paman sekaligus mertua dari Amangkurat III, juga ayah dari Amangkurat IV


6). Hamengkubuwana 

Gelar nama ini bersumber dari bahasa Jawa dan tepatnya merupakan gabungan dari dua kata: hamengku atau mangku dan buwana. Hamengku berarti memangku, sedangkan buwana berarti dunia. Dengan demikian, Hamengkubuwana berarti “ia yang memangku dunia”.

Gelar nama "Hamengkubuwana" muncul ketika Mataram Islam sudah mengalami perpecahan Sebagai konsekuensi dari Perjanjian Giyanti yang membagi Mataram Islam menjadi dua bagian, yakni Surakarta dan Yogyakarta. 

Orang pertama yang memakai gelar nama ini adalah pendiri sekaligus raja pertama Kasultanan Yogyakarta, yaitu Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubuwana I. ia memakai gelar tersebut sejak 1755.


*Abror Subhi, Dikutip Dan Disusun Kembali Dari Berbagai Sumber 

Gambar Ilustrasi AI

Sunan Kuning: Raja yang Terlupakan, Pemberontakan yang Dikenang Di antara riwayat yang terpatri di pelipis waktu, nama Sunan Kuning bergema dalam bisik angin yang melintasi sisa-sisa kerajaan tua. Seorang anak yang tumbuh dalam gelombang pergolakan, seorang pemuda yang ditempa oleh luka sejarah, dan seorang raja yang melawan takdirnya sendiri. RM Garendi, cucu Amangkurat III, adalah nyala api di tengah gelapnya pengkhianatan dan penindasan. Ia lahir dari keturunan bangsawan Jawa, namun darah perjuangan yang mengalir dalam tubuhnya berbaur dengan semangat rakyat yang terpinggirkan. Namanya berasal dari Cun Ling, yang berarti "bangsawan tertinggi" dalam bahasa Tionghoa, kemudian perlahan bertransformasi menjadi Sunan Kuning dalam lidah rakyat yang mengaguminya. Dibesarkan dalam Bara Perlawanan Sejarah bukan hanya ditulis oleh pemenang, tetapi juga oleh mereka yang berani melawan. Sunan Kuning bukanlah penguasa yang mewarisi takhta dengan penuh gemerlap dan penghormatan. Ia adalah anak yang diambil dari reruntuhan kekuasaan, dibawa ke Semarang oleh Wiramenggala, lalu diasuh oleh He Ti, seorang pemimpin masyarakat Tionghoa yang melihat percik api dalam dirinya. Dari seorang anak buangan, ia dibentuk menjadi pejuang yang memahami bahwa tanah air lebih luas dari sekadar istana, dan rakyat lebih penting dari mahkota. Saat geger Pacinan 1740-1743 pecah—saat darah bercampur dengan tanah, saat air mata dan kemarahan menjadi satu—Sunan Kuning berdiri di garis depan. Ia bukan hanya memimpin, tetapi juga menjadi simbol harapan bagi orang-orang yang merasa dikhianati oleh Sunan Pakubuwana II, raja yang lebih memilih tunduk pada VOC daripada membela negerinya sendiri. Bersama Khe Panjang dan Raden Mas Said (Sambernyawa), Sunan Kuning mengobarkan perang di tanah Mataram. Sebuah persekutuan yang begitu berani, hingga VOC pun gemetar menghadapi gelombang perlawanan yang tak terduga. Merebut Tahta yang Hilang Juni 1742. Kartasura, jantung kekuasaan Mataram, bergetar di bawah derap langkah pasukan Sunan Kuning. Khe Panjang, kapitan perang yang gagah berani, memimpin serangan melalui gerbang Sitihinggil, sementara di dalam istana, Pakubuwana II dan keluarganya melarikan diri dengan wajah pucat. Dalam sekejap, sejarah berubah. Seorang anak buangan kini duduk di singgasana Kartasura. Ia memerintah sebagai Sunan Amangkurat V, namun tahtanya lebih seperti api unggun di tengah badai—hangat, tetapi rapuh. Ia tahu, kemenangan yang baru diraihnya akan segera diuji oleh gelombang balasan dari VOC dan para penguasa yang masih setia kepada Pakubuwana II. Dan badai itu pun datang. Pasukannya yang terdiri dari orang-orang Jawa dan Tionghoa berusaha menahan gempuran di berbagai titik—di Welahan, di Salatiga, di Boyolali. Tetapi, VOC terlalu kuat, terlalu licik, dan terlalu tak kenal ampun. Satu per satu para pejuang gugur. Tan We Kie tewas di Pulau Mandalika. Singseh ditangkap di Lasem, lalu dieksekusi di sana. Pada bulan November 1742, Kartasura jatuh. Sunan Kuning tak lagi punya istana, tetapi hatinya tetap berisi perlawanan. Ia mundur ke selatan, ke hutan, ke lembah, ke tempat-tempat di mana kebebasan masih bisa bersembunyi. Takdir di Ujung Senja Namun waktu tak pernah memihak mereka yang terusir. September 1743, di Surabaya bagian selatan, perjalanan Sunan Kuning mencapai ujungnya. Terpisah dari Kapitan Sepanjang, ia dan para pengikutnya menyerahkan diri kepada VOC di bawah pimpinan Reinier De Klerk. Hari itu, langit mendung seakan ikut menangis. Dibawa ke Semarang, lalu ke Batavia, ia akhirnya diasingkan ke Ceylon (Sri Lanka)—sebuah tempat yang jauh dari tanah yang diperjuangkannya, dari rakyat yang pernah meneriakkan namanya, dari istana yang pernah ia rebut dengan darah dan air mata. Tetapi, legenda tak pernah benar-benar mati. Beberapa mengatakan bahwa ia wafat di tanah asing, tetapi ada pula yang percaya bahwa jasadnya terbaring tenang di atas bukit di Semarang, di tempat di mana angin masih membawa bisikan perjuangannya. Jejak yang Tak Terhapus Waktu Sunan Kuning bukan sekadar nama dalam buku sejarah. Ia adalah cermin dari perlawanan yang terus menyala, dari hati yang tak mudah tunduk pada tirani. Ia adalah anak yang terlupakan, raja yang terbuang, dan pahlawan yang tetap hidup dalam ingatan orang-orang yang mengerti arti kebebasan. Karena sejatinya, seorang pemimpin tak diukur dari seberapa lama ia berkuasa, tetapi dari seberapa banyak ia berani menantang kezaliman. Dan Sunan Kuning telah melakukannya—dengan segala yang ia punya. --- Sumber Sejarah Ricklefs, M. C. (2008). A History of Modern Indonesia Since c. 1200. Palgrave Macmillan. De Graaf, H. J., & Pigeaud, T. G. Th. (1974). Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries. Lombard, D. (2000). Nusa Jawa: Silang Budaya. PT Gramedia. Wikipedia: Sunan Kuning & Geger Pacinan. #JejakNusantara #jangkauanluas #sejarahindonesia #budaya #kesenianindonesia #history #urbanlegends #kerajaan #majapahit #kerajaanmajapahit #nusantara #WisataSejarah #sejarah #sejarahnusantara #SejarahCilacap #MikSemarSeniBudaya

 Sunan Kuning: Raja yang Terlupakan, Pemberontakan yang Dikenang


Di antara riwayat yang terpatri di pelipis waktu, nama Sunan Kuning bergema dalam bisik angin yang melintasi sisa-sisa kerajaan tua. Seorang anak yang tumbuh dalam gelombang pergolakan, seorang pemuda yang ditempa oleh luka sejarah, dan seorang raja yang melawan takdirnya sendiri.



RM Garendi, cucu Amangkurat III, adalah nyala api di tengah gelapnya pengkhianatan dan penindasan. Ia lahir dari keturunan bangsawan Jawa, namun darah perjuangan yang mengalir dalam tubuhnya berbaur dengan semangat rakyat yang terpinggirkan. Namanya berasal dari Cun Ling, yang berarti "bangsawan tertinggi" dalam bahasa Tionghoa, kemudian perlahan bertransformasi menjadi Sunan Kuning dalam lidah rakyat yang mengaguminya.


Dibesarkan dalam Bara Perlawanan


Sejarah bukan hanya ditulis oleh pemenang, tetapi juga oleh mereka yang berani melawan. Sunan Kuning bukanlah penguasa yang mewarisi takhta dengan penuh gemerlap dan penghormatan. Ia adalah anak yang diambil dari reruntuhan kekuasaan, dibawa ke Semarang oleh Wiramenggala, lalu diasuh oleh He Ti, seorang pemimpin masyarakat Tionghoa yang melihat percik api dalam dirinya.


Dari seorang anak buangan, ia dibentuk menjadi pejuang yang memahami bahwa tanah air lebih luas dari sekadar istana, dan rakyat lebih penting dari mahkota.


Saat geger Pacinan 1740-1743 pecah—saat darah bercampur dengan tanah, saat air mata dan kemarahan menjadi satu—Sunan Kuning berdiri di garis depan. Ia bukan hanya memimpin, tetapi juga menjadi simbol harapan bagi orang-orang yang merasa dikhianati oleh Sunan Pakubuwana II, raja yang lebih memilih tunduk pada VOC daripada membela negerinya sendiri.


Bersama Khe Panjang dan Raden Mas Said (Sambernyawa), Sunan Kuning mengobarkan perang di tanah Mataram. Sebuah persekutuan yang begitu berani, hingga VOC pun gemetar menghadapi gelombang perlawanan yang tak terduga.


Merebut Tahta yang Hilang


Juni 1742. Kartasura, jantung kekuasaan Mataram, bergetar di bawah derap langkah pasukan Sunan Kuning. Khe Panjang, kapitan perang yang gagah berani, memimpin serangan melalui gerbang Sitihinggil, sementara di dalam istana, Pakubuwana II dan keluarganya melarikan diri dengan wajah pucat.


Dalam sekejap, sejarah berubah. Seorang anak buangan kini duduk di singgasana Kartasura.


Ia memerintah sebagai Sunan Amangkurat V, namun tahtanya lebih seperti api unggun di tengah badai—hangat, tetapi rapuh. Ia tahu, kemenangan yang baru diraihnya akan segera diuji oleh gelombang balasan dari VOC dan para penguasa yang masih setia kepada Pakubuwana II.


Dan badai itu pun datang.


Pasukannya yang terdiri dari orang-orang Jawa dan Tionghoa berusaha menahan gempuran di berbagai titik—di Welahan, di Salatiga, di Boyolali. Tetapi, VOC terlalu kuat, terlalu licik, dan terlalu tak kenal ampun. Satu per satu para pejuang gugur. Tan We Kie tewas di Pulau Mandalika. Singseh ditangkap di Lasem, lalu dieksekusi di sana.


Pada bulan November 1742, Kartasura jatuh. Sunan Kuning tak lagi punya istana, tetapi hatinya tetap berisi perlawanan. Ia mundur ke selatan, ke hutan, ke lembah, ke tempat-tempat di mana kebebasan masih bisa bersembunyi.


Takdir di Ujung Senja


Namun waktu tak pernah memihak mereka yang terusir.


September 1743, di Surabaya bagian selatan, perjalanan Sunan Kuning mencapai ujungnya. Terpisah dari Kapitan Sepanjang, ia dan para pengikutnya menyerahkan diri kepada VOC di bawah pimpinan Reinier De Klerk.


Hari itu, langit mendung seakan ikut menangis.


Dibawa ke Semarang, lalu ke Batavia, ia akhirnya diasingkan ke Ceylon (Sri Lanka)—sebuah tempat yang jauh dari tanah yang diperjuangkannya, dari rakyat yang pernah meneriakkan namanya, dari istana yang pernah ia rebut dengan darah dan air mata.


Tetapi, legenda tak pernah benar-benar mati.


Beberapa mengatakan bahwa ia wafat di tanah asing, tetapi ada pula yang percaya bahwa jasadnya terbaring tenang di atas bukit di Semarang, di tempat di mana angin masih membawa bisikan perjuangannya.


Jejak yang Tak Terhapus Waktu


Sunan Kuning bukan sekadar nama dalam buku sejarah. Ia adalah cermin dari perlawanan yang terus menyala, dari hati yang tak mudah tunduk pada tirani.


Ia adalah anak yang terlupakan, raja yang terbuang, dan pahlawan yang tetap hidup dalam ingatan orang-orang yang mengerti arti kebebasan.


Karena sejatinya, seorang pemimpin tak diukur dari seberapa lama ia berkuasa, tetapi dari seberapa banyak ia berani menantang kezaliman.


Dan Sunan Kuning telah melakukannya—dengan segala yang ia punya.


---


Sumber Sejarah


Ricklefs, M. C. (2008). A History of Modern Indonesia Since c. 1200. Palgrave Macmillan.


De Graaf, H. J., & Pigeaud, T. G. Th. (1974). Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries.


Lombard, D. (2000). Nusa Jawa: Silang Budaya. PT Gramedia.


Wikipedia: Sunan Kuning & Geger Pacinan.

#JejakNusantara #jangkauanluas #sejarahindonesia #budaya #kesenianindonesia #history #urbanlegends #kerajaan #majapahit #kerajaanmajapahit #nusantara #WisataSejarah #sejarah #sejarahnusantara #SejarahCilacap #MikSemarSeniBudaya

23 March 2025

Foto Raden Ayu Danudirejo dan pembantunya yang diabadikan oleh fotografer dari Woodbury & Page antara tahun 1875-1885. Raden Ayu Danudirejo adalah istri dari pelukis Raden Saleh yang berasal dari keluarga ningrat Kraton Yogyakarta. Ada yang menyebutkan Raden Ayu Danudirejo adalah istri kedua, dimana Raden Saleh pernah menikah secara tidak resmi dengan seorang janda keturunan Eropa(Jerman). Sumber foto : wereldmuseum.nl

 Foto  Raden Ayu Danudirejo dan pembantunya yang diabadikan oleh fotografer dari Woodbury & Page antara tahun 1875-1885.


Raden Ayu Danudirejo adalah istri dari pelukis Raden Saleh yang berasal dari keluarga ningrat Kraton Yogyakarta.


Ada yang menyebutkan Raden Ayu Danudirejo adalah istri kedua, dimana Raden Saleh pernah menikah secara tidak resmi dengan seorang janda keturunan Eropa(Jerman).



Sumber foto : wereldmuseum.nl

Perkembangan denah rumah-rumah masa kolonial dari masa ke masa.

 Perkembangan denah rumah-rumah masa kolonial dari masa ke masa.





















makam Kaum Bani Israel di Yogyakarta. dua orang ini adalah bersaudara Bani (keluarga) Israel merupakan warga Yogyakarta di abad 19 sampai 20. nama keluarga Israel sempat tenar oleh Rinus Israel, legenda bola Belanda seangkatan Johan Cruyff. Kaum Bani Israel adalah salah satu dari sekian banyak orang asing yang ingin memperbaiki nasib di Nusantara. Hindia Belanda bagi mereka adalah tanah yang menjanjikan untuk kehidupan yang lebih baik. sumber : imexbo.site.

 makam Kaum Bani Israel di Yogyakarta. dua orang ini adalah bersaudara

Bani (keluarga) Israel merupakan warga Yogyakarta di abad 19 sampai 20. nama keluarga Israel sempat tenar oleh Rinus Israel, legenda bola Belanda seangkatan Johan Cruyff. Kaum Bani Israel adalah salah satu dari sekian banyak orang asing yang ingin memperbaiki nasib di Nusantara. Hindia Belanda bagi mereka adalah tanah yang menjanjikan untuk kehidupan yang lebih baik.



 sumber : imexbo.site.

Soematri, Roekmini, Kartinah dan tiga pemuda di Jawa Tengah, sekitar tahun 1910 Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl #sejarah #tempodulu

 Soematri, Roekmini, Kartinah dan tiga pemuda di Jawa Tengah, sekitar tahun 1910



 Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl


Soekarno sedang menyantap sajian yang disiapkan oleh Fatmawati Soekarno. Sebuah fragmen romantisme antara mereka berdua. Koleksi Perpunas, tahun tidak diketahui. #sejarah #tempodulu

 Soekarno sedang menyantap sajian yang disiapkan oleh Fatmawati Soekarno. Sebuah fragmen romantisme antara mereka berdua.



Koleksi Perpunas, tahun tidak diketahui.



Transliterasi dokumen lawas yang kemarin baru saja mendarat. Dibuat sekira pada tahun 1909 dengan aksara Pegon berbahasa Jawa. Magelang ping 7 Muharom tahun 1909 hijriyah (1326) Kawula tiyang jaler nami Haji Muhammad Marzuqi manggen kampung Kauman dhusun Cacaban distrik Magelang. Kula sampun ngakeni nyukaaken griya sakpekaranganipun wangun limasan payon gendeng, soko kayu, pager bambu. Kawula sukaaken dhateng adhi kula setri nami Tasminah ugi nunggil kampung Kauman pinangka lintunipun bageyanipun Tasminah tilaranipun tiyang sepuh kawula kalih ingkang sampun pejah wau tasminah sampun terima. Kawula lintune sangking taman taman kawula yaosi tandha asta ngandhap punika kawula kaliyan nami Tanda tangan materai Haji Muhammad Marzuqi Saksi-saksi: 1. Muhammad Zaidi, 2. Haji Abdul Hamid, 3. Muhammad Ismail Berikut terjemahan teks tersebut ke dalam bahasa Indonesia: ⸻ Magelang, tanggal 7 Muharram tahun 1909 Hijriyah (1326 Masehi) Saya, seorang laki-laki bernama Haji Muhammad Marzuqi, bertempat tinggal di Kampung Kauman, Dusun Cacaban, Distrik Magelang. Saya mengakui telah memberikan sebuah rumah beserta pekarangannya, yang berbentuk limasan dengan atap genteng, tiang kayu, dan pagar bambu. Saya menyerahkan rumah tersebut kepada adik perempuan saya yang bernama Tasminah, yang juga tinggal di Kampung Kauman, sebagai bagian warisan peninggalan orang tua kami berdua yang telah meninggal dunia. Tasminah telah menerima warisan tersebut. Sebagai tanda bahwa saya menyerahkan hak atas rumah dan pekarangan tersebut, saya membubuhkan tanda tangan di bawah ini. Tanda tangan bermaterai Haji Muhammad Marzuqi Saksi-saksi: 1. Muhammad Zaidi 2. Haji Abdul Hamid 3. Muhammad Ismail

 Transliterasi dokumen lawas yang kemarin baru saja mendarat. Dibuat sekira pada tahun 1909 dengan aksara Pegon berbahasa Jawa.



Magelang ping 7 Muharom tahun 1909 hijriyah (1326)

Kawula tiyang jaler nami Haji Muhammad Marzuqi manggen kampung Kauman dhusun Cacaban distrik Magelang. 

Kula sampun ngakeni nyukaaken griya sakpekaranganipun wangun limasan payon gendeng, soko kayu, pager bambu. 

Kawula sukaaken dhateng adhi kula setri nami Tasminah ugi nunggil kampung Kauman pinangka lintunipun bageyanipun Tasminah tilaranipun tiyang sepuh kawula kalih ingkang sampun pejah wau tasminah sampun terima. Kawula lintune sangking taman taman kawula yaosi tandha asta ngandhap punika kawula kaliyan nami Tanda tangan materai Haji Muhammad Marzuqi

Saksi-saksi:

 1. Muhammad Zaidi, 

2. Haji Abdul Hamid, 

3. Muhammad Ismail


Berikut terjemahan teks tersebut ke dalam bahasa Indonesia:



Magelang, tanggal 7 Muharram tahun 1909 Hijriyah (1326 Masehi)


Saya, seorang laki-laki bernama Haji Muhammad Marzuqi, bertempat tinggal di Kampung Kauman, Dusun Cacaban, Distrik Magelang.


Saya mengakui telah memberikan sebuah rumah beserta pekarangannya, yang berbentuk limasan dengan atap genteng, tiang kayu, dan pagar bambu.


Saya menyerahkan rumah tersebut kepada adik perempuan saya yang bernama Tasminah, yang juga tinggal di Kampung Kauman, sebagai bagian warisan peninggalan orang tua kami berdua yang telah meninggal dunia.


Tasminah telah menerima warisan tersebut. Sebagai tanda bahwa saya menyerahkan hak atas rumah dan pekarangan tersebut, saya membubuhkan tanda tangan di bawah ini.


Tanda tangan bermaterai

Haji Muhammad Marzuqi


Saksi-saksi:

 1. Muhammad Zaidi

 2. Haji Abdul Hamid

 3. Muhammad Ismail




Sumber tulisan : Chandra Gusta Wisnuwardhana

22 March 2025

Potret seorang kakek menggendong anak lelaki di Yogyakarta, sekitar tahun 1910. Leiden University Libraries #sejarah #tempodulu

 Potret seorang kakek menggendong anak lelaki di Yogyakarta, sekitar tahun 1910.



Leiden University Libraries



JUGUN IANFU Jugun Ianfu adalah adalah wanita muda yang dipaksa bekerja di rumah bordil Jepang selama Perang Dunia II. Jugun Ianfu direkrut oleh tentara Jepang untuk dijadikan budak seks bagi para tentara dan perwira. Sistem ini disetujui langsung oleh kaisar Jepang untuk menghibur dan memberikan semangat kepada para tentaranya yang sedang berperang. Pada jaman sekarang wanita yang punya wajah cantik dengan body seksi adalah berkah, tapi pada jaman penjajahan Jepang adalah musibah, karena proses perekutran Jugun Ianfu selain dilakukan melalui cara sukarela, ditipu dengan iming-iming pekerjaan dan beasiswa, juga dilakukan dengan cara penculikan secara paksa jika terlihat di sebuah keluarga atau rumah ada gadis bertubuh bohay dan cantik. Selama berada di rumah bordil, meski sering mendapati pengobatan kesehatan, para wanita tak lepas dari penderitaan seperti pemerkosaan, penyiksaan karena dalam satu hari mereka bisa saja dipaksa untuk melayani 5-10 tentara. Jika ada beberapa Jugun Ianfu yang berusaha melarikan diri mereka akan dibunuh, bahkan ada yang bunuh diri karena tak tahan, bahkan tak jarang juga ada yang menjadi gila hingga di bawa-bawa ke rumah sakit kejiwaan. Berikut adalah potret-potret para Jugun Ianfu setelah lebih dari lima puluh tahun kemudian. Wajah mereka masih menunjukkan jejak apa yang telah mereka lalui. Fotografer : Jan Banning pada tahun 2008 Sumber foto : rijkmuseum.nl Semoga para almarhumah yang ada di foto diampuni dosa2 nya, meninggal dalam keadaan husnul khatimah..Aamiin

 JUGUN IANFU

Jugun Ianfu adalah adalah wanita muda yang dipaksa bekerja di rumah bordil Jepang selama Perang Dunia II.  

Jugun Ianfu direkrut oleh tentara Jepang untuk dijadikan budak seks bagi para tentara dan perwira. Sistem ini disetujui langsung oleh kaisar Jepang untuk menghibur dan memberikan semangat kepada para tentaranya yang sedang berperang.



Pada jaman sekarang wanita yang punya wajah cantik dengan body seksi adalah berkah, tapi pada jaman penjajahan Jepang adalah musibah, karena proses perekutran Jugun Ianfu selain dilakukan melalui cara sukarela, ditipu dengan iming-iming pekerjaan dan beasiswa, juga dilakukan dengan cara penculikan secara paksa jika terlihat di sebuah keluarga atau rumah ada gadis bertubuh bohay dan cantik.


Selama berada di rumah bordil, meski sering mendapati pengobatan kesehatan, para wanita tak lepas dari penderitaan seperti pemerkosaan, penyiksaan karena dalam satu hari mereka bisa saja dipaksa untuk melayani 5-10 tentara. 


Jika ada beberapa Jugun Ianfu yang berusaha melarikan diri mereka akan dibunuh, bahkan ada yang bunuh diri karena tak tahan, bahkan tak jarang juga ada yang menjadi gila hingga di bawa-bawa ke rumah sakit kejiwaan.


Berikut adalah potret-potret para Jugun Ianfu setelah lebih dari lima puluh tahun kemudian.  

Wajah mereka masih menunjukkan jejak apa yang telah mereka lalui.


Fotografer : Jan Banning pada tahun 2008

Sumber foto : rijkmuseum.nl


Semoga para almarhumah yang ada di foto diampuni dosa2 nya, meninggal dalam keadaan husnul khatimah..Aamiin

Pasukan Siliwangi bersiap untuk berangkat hijrah ke Jogjakarta di titik kumpul Ciwidey Bandung 9 Februari 1948. Tampak dari wajah² mereka yang masih remaja, keraan dan pasrah harus hijrah ke Yogyakarta untuk menaati perintah panggilan Negara.

 Pasukan Siliwangi bersiap  untuk berangkat hijrah ke Jogjakarta di titik kumpul Ciwidey Bandung 9 Februari 1948.



Tampak dari wajah² mereka yang  masih remaja, keraan dan pasrah harus hijrah ke Yogyakarta untuk menaati perintah panggilan Negara.

Dua Pangeran Mataram Bernasib Pilu di Masa Kecil, Menjadi Raja Ketika Besar, Raden Mas Garendi dan Raden Mas Said. Raden Mas Garendi lahir tahun 1726 di Keraton Kartasura, Kakek RM Garendi yang bergelar Amangkurat III dibuang jauh ke Srilanka hingga Wafat disana. Kemudian Ayah RM Garendi yang bernama Pangeran Tepasana dijatuhi hukuman mati oleh Sri Susuhunan Paku Buwana II, penguasa keraton Mataram Kartasura. Setelah ayahnya tewas, RM Garendi dibawa lari menyelamatkan diri meninggalkan Karaton Kartasura oleh pamannya bernama Wiramenggala. Raden Mas Said lahir pada 7 April 1725 di Kartasura, Ayah RM Said bernama KPA Mangkunegara. KPA. Mangkunegara merupakan putra tertua Susuhunan Amangkurat IV, raja Mataram ke-8. Dengan demikian, sebenarnya ayah RM Said lah yang memiliki hak sebagai pewaris tahta. KPA. Mangkunegara secara politik terang-terangan menyatakan sikap anti-VOC, hal ini membuat KPA Mangkunegara diasingkan oleh VOC ke Ceylon (Srilanka) Maka sejak saat itu RM. Said diasuh oleh neneknya yang bernama BRAy. Kusumanarsa. Perjalanan hidup kedua bangsawan Mataram tersebut punya banyak kemiripan. Usia hampir sepantaran. Keduanya sama-sama cicit Susuhunan Amangkurat I, raja Mataram saat beribu kota di Plered. Garendi dan Said dipertemukan pada nasib yang sama. Ayah Garendi, Pangeran Tepasana menjadi korban intrik politik di istana Kartasura. Demikian pula dengan ayah RM Said, KPA Mangkunegara. Kedua pangeran itu tersingkir dari istana Kartasura di masa Pakubuwono II. Pada tahun 1740, RM Garendi lalu memimpin pemberontakan Geger Pecinan dengan pasukan gabungan Laskar Jawa-Tionghoa, dan salah satu senopati perangnya adalah RM Said, Garendi dan Said bersama-sama mengangkat senjata melawan VOC yang bersekutu dengan Pakubuwono II. Puncak dari Geger Pecinan terjadi pada 30 Juni tahun 1742, pasukan Mas Garendi berhasil menjebol benteng istana Kartasura. Pakubuwana II dan keluarganya menyelamatkan diri dari peristiwa tersebut, evakuasi Pakubuwono II dan keluarganya dipimpin oleh Kapten Van Hohendorff (pemimpin tentara kolonial VOC di Kartasura). Mereka melarikan diri ke Magetan melalui Gunung Lawu. Pakubuwono II kemudian mendapat perlindungan dengan aman di Ponorogo.. Tanggal 1 Juli 1742 setelah puncak serangan Geger Pecinan ke Karaton Kartasura, Raden Mas Garendi naik tahta dengan gelar "Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping V", atau Sunan Amangkurat V. RM Garendi naik takhta menjadi raja Mataram Selama empat bulan, tepatnya antara Juli hingga November 1742. Garendi memakai gelar Sunan Amangkurat V. Sejarah mencatat, Garendi merupakan raja terakhir Mataram yang memakai sebutan Amangkurat. Pada 26 November 1742, keadaan tidak berpihak kepada Amangkurat V. Kartasura diserang dari tiga penjuru oleh pasukan gabungan Cakraningrag IV, Pakubuwana II, dan VOC. Cakraningrat IV dari arah Bengawan Solo, Pakubuwana II dari Ngawi, dan pasukan VOC dari Ungaran dan Salatiga. Amangkurat V meninggalkan Kartasura dan mengungsi bersama pasukannya. Akhir dari perjalanan Amangkurat V terjadi pada September 1743 saat tedesak di sekitar Surabaya. Terpisah dari kawalan Kapitan Sepanjang, Amangkurat V terpaksa menyerahkan diri ke loji VOC di Surabaya di bawah pimpinan Reinier De Klerk. Setelah beberapa hari ditawan di Surabaya, dia bersama beberapa pengikutnya dibawa ke Semarang lalu ke Batavia, hingga akhirnya diasingkan ke Ceylon (Sri Lanka). Setelah peristiwa tersebut RM Said terus mengadakan perlawanan terhadap VOC dan Pakubuwono II. Perjuangan RM Said yang dimulai dengan Perang kuning pada 1740 yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi, RM Said berperang sepanjang 16 tahun lamanya melawan Pakubuwono II dan VOC, juga melawan Hamengkubuwono I. Begitu kuatnya pasukan RM Said sampai ia mendapat julukan Pangeran Sambernyawa. Sampai diadakannya Perjanjian Salatiga atau Perjanjian Kalicacing yang ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1757. Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa mendirikan Kadipaten Mangkunegaran, beliau diangkat menjadi penguasa di wilayah Mangkunegaran yang kemudian bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I. Beliau bertahta selama 40 tahun dan kemudian wafat pada hari Senin Pon tanggal 16 Jumadilakir tahun Jimakir 1722 atau tanggal 28 Desember 1795. * Abror Subhi, Dikutip Dan Disusun Kembali Dari Berbagai Sumber * Bekas Jebolnya Tembok Keraton Kartasura oleh meriam Mas Garendi bisa dilihat di Postingan Saya: facebook.com/100001856336410/posts/28503677102610787/ Gambar Ilustrasi AI

 Dua Pangeran Mataram Bernasib Pilu di Masa Kecil, Menjadi Raja Ketika Besar, Raden Mas Garendi dan Raden Mas Said. 



Raden Mas Garendi lahir tahun 1726 di Keraton Kartasura, Kakek RM Garendi yang bergelar Amangkurat III dibuang jauh ke Srilanka hingga Wafat disana. Kemudian Ayah RM Garendi yang bernama Pangeran Tepasana dijatuhi hukuman mati oleh Sri Susuhunan Paku Buwana II, penguasa keraton Mataram Kartasura.

Setelah ayahnya tewas, RM Garendi dibawa lari menyelamatkan diri meninggalkan Karaton Kartasura oleh pamannya bernama Wiramenggala.


Raden Mas Said lahir pada 7 April 1725 di Kartasura, Ayah RM Said bernama KPA Mangkunegara. KPA. Mangkunegara merupakan putra tertua Susuhunan Amangkurat IV, raja Mataram ke-8. Dengan demikian, sebenarnya ayah RM Said lah yang memiliki hak sebagai pewaris tahta.

KPA. Mangkunegara secara politik terang-terangan menyatakan sikap anti-VOC, hal ini membuat KPA Mangkunegara diasingkan oleh VOC ke Ceylon (Srilanka)

 Maka sejak saat itu RM. Said diasuh oleh neneknya yang bernama BRAy. Kusumanarsa.


Perjalanan hidup kedua bangsawan Mataram tersebut punya banyak kemiripan. Usia hampir sepantaran. Keduanya sama-sama cicit Susuhunan Amangkurat I, raja Mataram saat beribu kota di Plered.

Garendi dan Said dipertemukan pada nasib yang sama. Ayah Garendi, Pangeran Tepasana menjadi korban intrik politik di istana Kartasura. Demikian pula dengan ayah RM  Said, KPA Mangkunegara. Kedua pangeran itu tersingkir dari istana Kartasura di masa Pakubuwono II.


Pada tahun 1740, RM Garendi lalu memimpin pemberontakan Geger Pecinan dengan pasukan gabungan Laskar Jawa-Tionghoa, dan salah satu senopati perangnya adalah RM Said, Garendi dan Said bersama-sama mengangkat senjata melawan VOC yang bersekutu dengan Pakubuwono II.  Puncak dari Geger Pecinan terjadi pada 30 Juni tahun 1742, pasukan Mas Garendi berhasil menjebol benteng istana Kartasura. Pakubuwana II dan keluarganya menyelamatkan diri dari peristiwa tersebut, evakuasi Pakubuwono II dan keluarganya dipimpin oleh Kapten Van Hohendorff (pemimpin tentara kolonial VOC di Kartasura). Mereka melarikan diri ke Magetan melalui Gunung Lawu. Pakubuwono II kemudian mendapat perlindungan dengan aman di Ponorogo..

Tanggal 1 Juli 1742 setelah puncak serangan Geger Pecinan ke Karaton Kartasura, Raden Mas Garendi naik tahta dengan gelar "Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping V", atau Sunan Amangkurat V.

RM Garendi naik takhta menjadi raja Mataram Selama empat bulan, tepatnya antara Juli hingga November 1742. Garendi memakai gelar Sunan Amangkurat V. Sejarah mencatat, Garendi merupakan raja terakhir Mataram yang memakai sebutan Amangkurat.


Pada 26 November 1742, keadaan tidak berpihak kepada Amangkurat V. Kartasura diserang dari tiga penjuru oleh pasukan gabungan Cakraningrag IV, Pakubuwana II, dan VOC. Cakraningrat IV dari arah Bengawan Solo, Pakubuwana II dari Ngawi, dan pasukan VOC dari Ungaran dan Salatiga.

Amangkurat V meninggalkan Kartasura dan mengungsi bersama pasukannya. Akhir dari perjalanan Amangkurat V terjadi pada September 1743 saat tedesak di sekitar Surabaya. Terpisah dari kawalan Kapitan Sepanjang, Amangkurat V terpaksa menyerahkan diri ke loji VOC di Surabaya di bawah pimpinan Reinier De Klerk. Setelah beberapa hari ditawan di Surabaya, dia bersama beberapa pengikutnya dibawa ke Semarang lalu ke Batavia, hingga akhirnya diasingkan ke Ceylon (Sri Lanka).


Setelah peristiwa tersebut RM Said terus mengadakan perlawanan terhadap VOC dan Pakubuwono II. Perjuangan RM Said yang dimulai dengan Perang kuning pada 1740 yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi, RM Said berperang sepanjang 16 tahun lamanya melawan Pakubuwono II dan VOC, juga melawan Hamengkubuwono I. Begitu kuatnya pasukan RM Said sampai ia mendapat julukan Pangeran Sambernyawa. Sampai diadakannya Perjanjian Salatiga atau Perjanjian Kalicacing yang ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1757. Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa mendirikan Kadipaten Mangkunegaran, beliau diangkat menjadi penguasa di wilayah Mangkunegaran yang kemudian bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I.

Beliau bertahta selama 40 tahun dan kemudian wafat pada hari Senin Pon tanggal 16 Jumadilakir tahun Jimakir 1722 atau tanggal 28 Desember 1795.

* Abror Subhi, Dikutip Dan Disusun Kembali Dari Berbagai Sumber 

* Bekas Jebolnya Tembok Keraton Kartasura oleh meriam Mas Garendi bisa dilihat di Postingan Saya: facebook.com/100001856336410/posts/28503677102610787/

Gambar Ilustrasi AI

21 March 2025

LENGSERNYA TRAH AMANGKURAT DI MATARAM Raja-Raja Mataram Islam yang bergelar Amangkurat memang penuh kontroversi dan konflik, meskipun begitu Trah ini sempat memimpin Jawa selama 3 generasi, yaitu Amangkurat I, II dan III. Trah Amangkurat pada akhirnya dihapuskan untuk kemudian digantikan dengan Trah Pakubwana. Kisah Penghapusan Trah Amangkurat dimulai naik tahtanya Raden Mas Sutikna menggantikan kedudukan ayahnya Amangkurat II ( Raden Rahmat). Menurut Babad Tanah Jawi, Raden Mas Sutikna adalah anak satu-satunya Amangkurat II, istri yang lain dari Amangkurat II diguna-guna oleh ibu Raden Mas Sutikna sehingga tidak ada satupun yang memiliki keturunan. Raden Mas Sutikna ketika masih muda dijuluki dengan nama Pangeran Kencet, dijuluki demikian karena ia menderita cacat (kencet) di bagian tumitnya sejak kecil. Watak Amangkurat III dikisahkan mirip dengan kakeknya (Amangkurat I), ia berwatak buruk, mudah marah dan cemburu bila ada pria lain yang lebih tampan darinya, ia juga dikenal sebagai Raja yang gegabah dalam mengambil keputusan. Sebelum menjadi Raja Kasunanan Kartasura, Raden Mas Sutikna menjabat sebagai Adipati Anom, ia memperistri sepupunya sendiri yang bernama Raden Ayu Lembah, anak Pangeran Puger. Namun pernikahannya dengan Ayu Lembah tidak bertahan lama, sebab istrinya berselingkuh dengan Raden Sukra, putra Patih Sindareja. Tragedi perselingkuhan itu kemudian menyebabkan Raden Sukra dijatuhi hukuman mati, sementara Ayu Lembah sendiri rupanya bernasib sama, Amangkurat III memaksa pamannya Pangeran Puger untuk membunuh Ayu Lembah, putrinya sendiri. Selepas peristiwa itu, Amangkurat III menikah lagi dengan Raden Ayu Himpun, adik dari Ayu Lembah, akan tetapi lagi-lagi pernikahan ini kandas ditengah jalan. Amangkurat III menceriakan Ayu Himpun karena waktu itu Pangeran Puger dianggap melakukan pembangkangan pada Amangkurat III. Amangkurat III kemudian mengangkat Permaisuri baru, kali ini ia mengawini wanita desa yang masih gadis wanita itu dikisahkan diambil dari Desa Onje. Tingkah laku Amangkurat III yang sewenang-wenang dan gegabah dalam mengambil keputusan membuat sebagian pejabat Istana tidak lagi suka kepada Rajanya. Diam-diam mereka mendukung Pangeran Puger untuk menjadi Raja di Kertasura, dukungan ini kemudian ditanggapi oleh Raden Surya Kusumo yang tak lain merupakan putra Pangeran Puger untuk melakukan pemberontakan. Belum juga terlaksana, upaya pemberontakan yang dilancarkan keluarga Pangeran Puger tercium oleh Amangkurat III, oleh karena itu, Raja kemudian mengirim utusan untuk membunuh Pangeran Puger beserta seluruh keluarganya, akan tetapi upaya pembunuhan gagal. Sebab sebelum dibunuh Pangeran Puger telah mengetahui rencana pembunuhan keluarga dan dirinya. Dalam rangka menghindari upaya pembunuhan, Pangeran Puger dan seluruh anggota keluarganya melarikan diri ke Semarang. Di Semarang Pangeran Puger diliputi kegelisahan karena merasa jiwanya terancam, ia takut suatu waktu keponakannya menyerbu Semarang, oleh karena itu Pangeran Puger kemudian mengadakan persekutuan dengan VOC Belanda, ia mengiming-imingi VOC dengan keuntungan yang besar bila bersedia membantunya melengserkan keponakannya dari tahta. Kerjasama antara Pangeran Puger dan VOC kemudian terbina. Pada tahun 1705 Pangeran Puger dengan dibantu VOC bergerak ke Kartasura untuk melakukan serangan, di sisi lain Amangkurat III membangun pertahannya di Unggaran. Pertahanan dikepalai oleh Arya Mataram. Akan tetapi dikemudian hari Arya Mataram membelot ia bergabung dengan pasukan Pangeran Puger. Pada Tahun 1706 gabungan pasukan Pangeran Puger, Arya Mataram dan VOC Belanda berhasil merebut keraton Kertasura setelah terlibat peperangan yang sengit dengan pihak Kesultanan. Biarpun demikian Amangkurat III berhasil melarikan diri ke Ponorogo. Sesampainya di Ponorogo bukannya berbaik-baik dengan Adipati-nya, Amangkurat III justru merasa curiga terhadap kesetiaan rakyat dan Adipati Ponorogo. Ia pun menyiksa Adipati dan beberapa pejabat tinggi Keadipatian. Melihat Adipatinya disiksa Rakyat Ponorogo berontak, mereka melakukan pengepungan, tujuannya menangkap Amangkurat III, akan tetapi Amangkurat III berhasil melarikan diri ke Madiun. Dari Madiun Amangkurat III kemudian bertolak ke Kediri, untuk bergabung dengan Untung Suropati yang kala itu sedang berperang melawan VOC Belanda. Pangeran Puger yang masih belum puas kerena belum berhasil meringkus keponakannya akhirnya melancarkan serangan ke Kediri, ia mencoba memberantas pasukan Amangkurat III yang kala itu sudah bergabung dengan Untung Suropati. Pada Tahun 1708 Pangeran Puger berhasil merebut Kediri, Amangkurat III tertangkap, sementara Untung Suropati berhasil melarikan diri. Setelah tertangkap Amangkurat III dikirim ke Batavia dan selanjutnya di buang ke Srilangka. Amangkurat III wafat pada tahun 1734 di tempat pembuangannya. Amangkurat III menjabat sebagai Sultan Kasunanan Kartasura dari tahun 1703 hingga 1705, ini berarti ia hanya memerintah seumur jagung saja, yaitu hanya memerintah selama 2 tahun lebih sedikit. Kekalahan Amangkurat III kemudian mengantarkan Pangeran Puger menjadi Raja Kartasura selanjutnya, adapun gelar yang disematkan kepada Pangeran Puger adalah Pakubwana I. Namun selepas wafatnya Pakubuwana ternyata anaknya yang bernama Raden Mas Suryaputra justru mengambil gelar Amangkurat sebagai gelarnya menyalahi pakem. Ia bergelar Amangkurat IV. Oleh : Sejarah Cirebon

 LENGSERNYA TRAH AMANGKURAT DI MATARAM


Raja-Raja Mataram Islam yang bergelar Amangkurat memang penuh kontroversi dan konflik, meskipun begitu Trah ini sempat memimpin Jawa selama 3 generasi, yaitu Amangkurat I, II dan III. Trah Amangkurat pada akhirnya dihapuskan untuk kemudian digantikan dengan Trah Pakubwana.


Kisah Penghapusan Trah Amangkurat dimulai naik tahtanya Raden Mas Sutikna menggantikan kedudukan ayahnya Amangkurat II ( Raden Rahmat). Menurut Babad Tanah Jawi, Raden Mas Sutikna adalah anak satu-satunya Amangkurat II, istri yang lain dari Amangkurat II diguna-guna oleh ibu Raden Mas Sutikna sehingga tidak ada satupun yang memiliki keturunan. Raden Mas Sutikna ketika masih muda dijuluki dengan nama Pangeran Kencet, dijuluki demikian karena ia menderita cacat (kencet) di bagian tumitnya sejak kecil.


Watak Amangkurat III dikisahkan mirip dengan kakeknya (Amangkurat I), ia berwatak buruk, mudah marah dan cemburu bila ada pria lain yang lebih tampan darinya, ia juga dikenal sebagai Raja yang gegabah dalam mengambil keputusan.


Sebelum menjadi Raja Kasunanan Kartasura, Raden Mas Sutikna menjabat sebagai Adipati Anom, ia memperistri sepupunya sendiri yang bernama Raden Ayu Lembah, anak Pangeran Puger. Namun pernikahannya dengan Ayu Lembah tidak bertahan lama, sebab istrinya berselingkuh dengan Raden Sukra, putra Patih Sindareja.


Tragedi perselingkuhan itu kemudian menyebabkan Raden Sukra dijatuhi hukuman mati, sementara Ayu Lembah sendiri rupanya bernasib sama, Amangkurat III memaksa pamannya Pangeran Puger untuk membunuh Ayu Lembah, putrinya sendiri.


Selepas peristiwa itu, Amangkurat III menikah lagi dengan Raden Ayu Himpun, adik dari Ayu Lembah, akan tetapi lagi-lagi pernikahan ini kandas ditengah jalan. Amangkurat III menceriakan Ayu Himpun karena waktu itu Pangeran Puger dianggap melakukan pembangkangan pada Amangkurat III.


Amangkurat III kemudian mengangkat Permaisuri baru, kali ini ia mengawini wanita desa yang masih gadis wanita itu dikisahkan diambil dari Desa Onje.


Tingkah laku Amangkurat III yang sewenang-wenang dan gegabah dalam mengambil keputusan membuat sebagian pejabat Istana tidak lagi suka kepada Rajanya. Diam-diam mereka mendukung Pangeran Puger untuk menjadi Raja di Kertasura, dukungan ini kemudian ditanggapi oleh Raden Surya Kusumo yang tak lain merupakan putra Pangeran Puger untuk melakukan pemberontakan.


Belum juga terlaksana, upaya pemberontakan yang dilancarkan keluarga Pangeran Puger tercium oleh Amangkurat III, oleh karena itu, Raja kemudian mengirim utusan untuk membunuh Pangeran Puger beserta seluruh keluarganya, akan tetapi upaya pembunuhan gagal. Sebab sebelum dibunuh Pangeran Puger telah mengetahui rencana pembunuhan keluarga dan dirinya. Dalam rangka menghindari upaya pembunuhan, Pangeran Puger dan seluruh anggota keluarganya melarikan diri ke Semarang.


Di Semarang Pangeran Puger diliputi kegelisahan karena merasa jiwanya terancam, ia takut suatu waktu keponakannya menyerbu Semarang, oleh karena itu Pangeran Puger kemudian mengadakan persekutuan dengan VOC Belanda, ia mengiming-imingi VOC dengan keuntungan yang besar bila bersedia membantunya melengserkan keponakannya dari tahta. Kerjasama antara Pangeran Puger dan VOC kemudian terbina.


Pada tahun 1705 Pangeran Puger dengan dibantu VOC bergerak ke Kartasura untuk melakukan serangan, di sisi lain Amangkurat III membangun pertahannya di Unggaran. Pertahanan dikepalai oleh Arya Mataram. Akan tetapi dikemudian hari Arya Mataram membelot ia bergabung dengan pasukan Pangeran Puger.


Pada Tahun 1706 gabungan pasukan Pangeran Puger, Arya Mataram dan VOC Belanda berhasil  merebut keraton Kertasura setelah terlibat peperangan yang sengit dengan pihak Kesultanan. Biarpun demikian Amangkurat III berhasil melarikan diri ke Ponorogo.


Sesampainya di Ponorogo bukannya berbaik-baik dengan Adipati-nya, Amangkurat III justru merasa curiga terhadap kesetiaan rakyat dan Adipati Ponorogo. Ia pun menyiksa Adipati dan beberapa pejabat tinggi Keadipatian.


Melihat Adipatinya disiksa Rakyat Ponorogo berontak, mereka melakukan pengepungan, tujuannya menangkap Amangkurat III, akan tetapi Amangkurat III berhasil melarikan diri ke Madiun. Dari Madiun Amangkurat III kemudian bertolak ke Kediri, untuk bergabung dengan Untung Suropati yang kala itu sedang berperang melawan VOC Belanda.



Pangeran Puger yang masih belum puas kerena belum berhasil meringkus keponakannya akhirnya melancarkan serangan ke Kediri, ia mencoba memberantas pasukan Amangkurat III yang kala itu sudah bergabung dengan Untung Suropati.


Pada Tahun 1708 Pangeran Puger berhasil merebut Kediri, Amangkurat III tertangkap, sementara Untung Suropati berhasil melarikan diri. Setelah tertangkap Amangkurat III dikirim ke Batavia dan selanjutnya di buang ke Srilangka. Amangkurat III wafat pada tahun 1734 di tempat pembuangannya.


Amangkurat III menjabat sebagai Sultan Kasunanan Kartasura dari tahun 1703 hingga 1705, ini berarti ia hanya memerintah seumur jagung saja, yaitu hanya memerintah selama 2 tahun lebih sedikit. Kekalahan Amangkurat III kemudian mengantarkan Pangeran Puger menjadi Raja Kartasura selanjutnya, adapun gelar yang disematkan kepada Pangeran Puger adalah Pakubwana I. Namun selepas wafatnya Pakubuwana ternyata anaknya yang bernama Raden Mas Suryaputra justru mengambil gelar Amangkurat sebagai gelarnya menyalahi pakem. Ia bergelar Amangkurat IV. 


Oleh : Sejarah Cirebon

Perlawanan pun tak hanya dilakukan di hutan-hutan, di sejumlah daerah di Indonesia pun rakyat melawan para penjajah untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Momen saat tentara Belanda kembali tiba di Indonesia, tepatnya di daerah Magelang Jawa Tengah, pada tahun 1949 untuk kembali menjajah Indonesia yang telah merdeka ______ Fakta Sejarah #sorotan #semuaorang #jangkauanluas #fbpro #fyp

Perlawanan pun tak hanya dilakukan di hutan-hutan, di sejumlah daerah di Indonesia pun rakyat melawan para penjajah untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia.

 Momen saat tentara Belanda kembali tiba di Indonesia, tepatnya di daerah Magelang Jawa Tengah, pada tahun 1949 untuk kembali menjajah Indonesia yang telah merdeka

______



Malam Selikuran adalah tradisi yang sudah ada sejak awal penyebaran Islam di Jawa. Tradisi ini merupakan adaptasi Islam dalam budaya Jawa. Sejarah Malam Selikuran Tradisi ini diperkenalkan oleh Wali Sanga sebagai metode dakwah Islam. Di Keraton Surakarta, tradisi ini diperkenalkan oleh Sultan Agung. Tradisi ini dihidupkan kembali pada masa Pakubuwana IX dan mencapai puncaknya pada masa Pakubuwana X. Tradisi ini juga dilakukan di masyarakat Jawa, seperti di Kalurahan Tepus, Sidoharjo, dan Desa Trasan. Tujuan Malam Selikuran Menyambut datangnya malam Lailatul Qadar Ungkapan rasa syukur atas ibadah puasa di bulan Ramadhan Motivasi untuk meningkatkan ibadah dan amal kebaikan di 10 hari terakhir bulan Ramadhan. semuaorang @sorotan

 Malam Selikuran adalah tradisi yang sudah ada sejak awal penyebaran Islam di Jawa. Tradisi ini merupakan adaptasi Islam dalam budaya Jawa. 

Sejarah Malam Selikuran

Tradisi ini diperkenalkan oleh Wali Sanga sebagai metode dakwah Islam. 

Di Keraton Surakarta, tradisi ini diperkenalkan oleh Sultan Agung. 

Tradisi ini dihidupkan kembali pada masa Pakubuwana IX dan mencapai puncaknya pada masa Pakubuwana X. 

Tradisi ini juga dilakukan di masyarakat Jawa, seperti di Kalurahan Tepus, Sidoharjo, dan Desa Trasan. 



Tujuan Malam Selikuran 

Menyambut datangnya malam Lailatul Qadar

Ungkapan rasa syukur atas ibadah puasa di bulan Ramadhan

Motivasi untuk meningkatkan ibadah dan amal kebaikan di 10 hari terakhir bulan Ramadhan.

sumber : Siwi Father