31 October 2025

Detik-detik penangkapan Tommy Soeharto pada 2001 yang ketika itu adalah buronan polisi nomor 1 Setelah setahun lebih jadi buronan, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto akhirnya tertangkap oleh Tim Khusus Reserse Polda Metro Jaya, Rabu, 28 November 2001, pukul 16.05. Berita besar ini kontan jadi perbincangan hangat masyarakat. Begitu kabar ini tersiar, ratusan wartawan langsung memadati ruang briefing yang tak begitu luas di lantai bawah Gedung Reserse Polda Metro Jaya. Mereka berdesak-desakan menunggu jumpa pers yang akan dilakukan Polda Metro Jaya. Setelah menunggu sekian lama, muncullah Kapolda Metro Jaya (saat itu) Irjen Sofjan Jacoeb memberi keterangan didampingi Kadispen Polda Metro Jaya (saat itu) Kombes Drs. Anton Bachrul Alam, S.H. Duduk di antara mereka, Tommy Soeharto yang malam itu mengenakan kaus putih dan celana biru. Tommy tampak klimis tanpa kumis. Anak lelaki bungsu mantan presiden Soeharto yang kabur sejak 4 November 2000 ini tampak berusaha tenang. Suasana sangat riuh karena wartawan foto dan elektronik berusaha mendapatkan momen yang bagus. Banyak di antara mereka yang terpaksa berdiri di atas kursi. Sekitar pukul 19.10 acara dimulai. "Keberhasilan polisi tak lepas dari ketekunan tim khusus (timsus) yang bertugas menangkap Tommy," ujar Sofjan. Selama dua bulan terakhir, polisi menajamkan usahanya untuk melacak keberadaan Tommy dengan menggunakan penyadap telepon yang disewa polisi. Dari hasil penyadapan, diketahui Tommy berada di Jakarta. “Tapi tempatnya selalu berpindah-pindah setiap beberapa jam. Beberapa daerah kami awasi secara khusus, seperti Menteng, Pejaten, dan Bintaro,” tambah Sofjan. Selama hampir dua minggu sebelum tertangkap, papar Sofjan, Tommy diketahui berada di Bintaro. Tepatnya di Jalan Maleo II no 9 Blok JB, Bintaro Jaya, di rumah milik Ny. Rossanna Hasan. "Begitu kami tahu lokasi persisnya, sejak 10 hari lalu lokasi tersebut kami awasi terus dengan ketat. Terutama dua hari menjelang penangkapan," tambahnya. Agar lebih dekat ke sasaran, polisi juga melakukan pembuntutan, penyelidikan, sampai penyamaran. Salah satu anggota tim, sempat pula menyamar menjadi sopir taksi untuk bisa mengawasi rumah itu. Begitu sudah diyakini benar bahwa Tommy yang ada di rumah itu, "Delapan anggota tim masuk ke dalam rumah. Lima di antaranya masuk ke dalam kamar nomor tiga di lantai satu dan menodongkan pistol ke arah Tommy yang tengah tidur. Sedangkan anggota yang lain menunggu di luar rumah," jelas Sofjan. Tommy kemudian langsung dibawa menuju Polda Metro Jaya dengan pengawalan ketat. "Polisi tidak menemukan kesulitan saat menangkap Tommy. Dia kooperatif, kok. Tommy juga langsung menyerah, tidak mengadakan perlawanan. Jadi, bukan menyerahkan diri, melainkan ditangkap," tegas Anton dalam kesempatan sama. Semula, petugas menyangka Tommy membawa senjata api. Nyatanya, tutur Anton, tidak ditemukan senjata ataupun granat di rumah tersebut. "Yang ada adalah sejumlah uang dalam mata uang rupiah, dolar Singapura, dan Amerika, sebuah laptop kecil berisi alamat dan nomor telepon, pakaian, serta lima telepon genggam yang semuanya diakui milik Tommy. Semuanya kami sita," ujar Anton. Tuduhan yang ditimpakan pada Tommy tidak main-main. Ada tiga kasus yang serentak dituduhkan padanya. Yaitu kepemilikan senjata api, pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, dan pengeboman di beberapa tempat. Dari ketiganya, yang diutamakan saat itu adalah kasus pembunuhan hakim agung. Baru kemudian kasus-kasus lainnya. Antara kasus satu dengan kasus yang lain akan ditangani oleh tim yang berbeda. Untuk kasus pembunuhan Syafiuddin, Tommy dikenai tuduhan melanggar pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dengan ancaman maksimal hukuman mati. Sedangkan untuk kasus kepemilikan senjata api, Tommy dituduh melanggar Undang-undang Darurat no 12 tahun 1951, juga dengan ancaman hukuman mati. Baca artikel selengkapnya di sini https://intisari.grid.id/read/034237989/mengenang-kembali-perjuangan-polisi-menangkap-tommy-soeharto-pada-2001-lalu-ada-yang-menyamar-jadi-sopir-taksi #tommysoeharto #polisi #penangkapan

 Detik-detik penangkapan Tommy Soeharto pada 2001 yang ketika itu adalah buronan polisi nomor 1



Setelah setahun lebih jadi buronan, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto akhirnya tertangkap oleh Tim Khusus Reserse Polda Metro Jaya, Rabu, 28 November 2001, pukul 16.05. Berita besar ini kontan jadi perbincangan hangat masyarakat.


Begitu kabar ini tersiar, ratusan wartawan langsung memadati ruang briefing yang tak begitu luas di lantai bawah Gedung Reserse Polda Metro Jaya. Mereka berdesak-desakan menunggu jumpa pers yang akan dilakukan Polda Metro Jaya.


Setelah menunggu sekian lama, muncullah Kapolda Metro Jaya (saat itu) Irjen Sofjan Jacoeb memberi keterangan didampingi Kadispen Polda Metro Jaya (saat itu) Kombes Drs. Anton Bachrul Alam, S.H. Duduk di antara mereka, Tommy Soeharto yang malam itu mengenakan kaus putih dan celana biru.


Tommy tampak klimis tanpa kumis. Anak lelaki bungsu mantan presiden Soeharto yang kabur sejak 4 November 2000 ini tampak berusaha tenang.


Suasana sangat riuh karena wartawan foto dan elektronik berusaha mendapatkan momen yang bagus. Banyak di antara mereka yang terpaksa berdiri di atas kursi. Sekitar pukul 19.10 acara dimulai. "Keberhasilan polisi tak lepas dari ketekunan tim khusus (timsus) yang bertugas menangkap Tommy," ujar Sofjan.


Selama dua bulan terakhir, polisi menajamkan usahanya untuk melacak keberadaan Tommy dengan menggunakan penyadap telepon yang disewa polisi. Dari hasil penyadapan, diketahui Tommy berada di Jakarta.


“Tapi tempatnya selalu berpindah-pindah setiap beberapa jam. Beberapa daerah kami awasi secara khusus, seperti Menteng, Pejaten, dan Bintaro,” tambah Sofjan.


Selama hampir dua minggu sebelum tertangkap, papar Sofjan, Tommy diketahui berada di Bintaro. Tepatnya di Jalan Maleo II no 9 Blok JB, Bintaro Jaya, di rumah milik Ny. Rossanna Hasan. "Begitu kami tahu lokasi persisnya, sejak 10 hari lalu lokasi tersebut kami awasi terus dengan ketat. Terutama dua hari menjelang penangkapan," tambahnya.


Agar lebih dekat ke sasaran, polisi juga melakukan pembuntutan, penyelidikan, sampai penyamaran. Salah satu anggota tim, sempat pula menyamar menjadi sopir taksi untuk bisa mengawasi rumah itu.


Begitu sudah diyakini benar bahwa Tommy yang ada di rumah itu, "Delapan anggota tim masuk ke dalam rumah. Lima di antaranya masuk ke dalam kamar nomor tiga di lantai satu dan menodongkan pistol ke arah Tommy yang tengah tidur. Sedangkan anggota yang lain menunggu di luar rumah," jelas Sofjan.


Tommy kemudian langsung dibawa menuju Polda Metro Jaya dengan pengawalan ketat. "Polisi tidak menemukan kesulitan saat menangkap Tommy. Dia kooperatif, kok. Tommy juga langsung menyerah, tidak mengadakan perlawanan. Jadi, bukan menyerahkan diri, melainkan ditangkap," tegas Anton dalam kesempatan sama.


Semula, petugas menyangka Tommy membawa senjata api. Nyatanya, tutur Anton, tidak ditemukan senjata ataupun granat di rumah tersebut.


"Yang ada adalah sejumlah uang dalam mata uang rupiah, dolar Singapura, dan Amerika, sebuah laptop kecil berisi alamat dan nomor telepon, pakaian, serta lima telepon genggam yang semuanya diakui milik Tommy. Semuanya kami sita," ujar Anton.


Tuduhan yang ditimpakan pada Tommy tidak main-main. Ada tiga kasus yang serentak dituduhkan padanya. Yaitu kepemilikan senjata api, pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, dan pengeboman di beberapa tempat.


Dari ketiganya, yang diutamakan saat itu adalah kasus pembunuhan hakim agung. Baru kemudian kasus-kasus lainnya. Antara kasus satu dengan kasus yang lain akan ditangani oleh tim yang berbeda.


Untuk kasus pembunuhan Syafiuddin, Tommy dikenai tuduhan melanggar pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dengan ancaman maksimal hukuman mati. Sedangkan untuk kasus kepemilikan senjata api, Tommy dituduh melanggar Undang-undang Darurat no 12 tahun 1951, juga dengan ancaman hukuman mati.


Baca artikel selengkapnya di sini https://intisari.grid.id/read/034237989/mengenang-kembali-perjuangan-polisi-menangkap-tommy-soeharto-pada-2001-lalu-ada-yang-menyamar-jadi-sopir-taksi


#tommysoeharto #polisi #penangkapan

30 October 2025

Tiga Jam Penuh Darah, Saat Keraton Yogyakarta Diserbu Inggris Lebih dari dua abad lalu, peristiwa akbar berdarah-darah berlangsung di jantung Kasultanan Yogyakarta. Tragedi ini memuncaki konflik internal, trik intrik, persekongkolan sekaligus pengkhianatan di antara para bangsawan kerajaan. Pasukan Gubernur Jenderal Inggris Sir Stamford Raffles yang dipimpin Kolonel RR Gillespie pada 20 Juni 1812 selama tiga jam penuh menggempur Keraton, meruntuhkan bentengnya, menaklukkan Sultan HB II, menjarah rayah harta karun seisi istana, termasuk keputren. Akhir dari episode muram masa HB II ini adalah dinaiktahtakannya secara paksa sang Putra Mahkota menjadi Sultan HB III. Keberhasilan invasi Inggris ke Keraton Yogyakarta inipun menandai kemerosotan kasultanan sejak didirikan Pangeran Mangkubumi pada 6 November 1755. Setelah 57 tahun berdiri megah sebagai kerajaan baru yang kokoh dan tidak tertundukkan, Keraton Yogyakarta remuk. Sebagian besar penyebab karena maraknya intrik internal. Ayah dan anak berebut tahta, yang secara maksimal ditunggangi para agresor dan kolonial. Perkubuan antarkeluarga kerajaan menambah pelik situasi. Sesudah serbuan Inggris dan naiknya Sultan HB III menjadi titik awal pergolakan nan panjang, sangat berdarah, menguras emosi dan segala sumber daya di pihak Jawa maupun Belanda nantinya. HB III adalah ayah kandung Pangeran Diponegoro. Tiga belas tahun berikutnya, pangeran yang saleh dan sederhana ini akan memimpin Perang Jawa, pertempuran dahsyat nan panjang yang tercatat dalam sejarah pendudukan Belanda. * Detik-detik Serbuan Inggris ke Kraton Yogyakarta Invasi Inggris ke Keraton Yogyakarta yang dimulai 18 Juni 1812. Plengkung Wijilan, salah satu titik serbuan paling dahsyat saat pasukan Raffles menggempur Keraton Yogyakarta pada 20 Juni 1812. Di dekat lokasi ini dulunya terdapat gerbang Poncosuro, pintu menuju Kadipaten, kediaman Putra Mahkota dan Pangeran Ontowiryo (Pangeran Diponegoro). Serbuan tentu tidak berlangsung mendadak. Ada banyak peristiwa yang mendahului kejadian ini, baik perundingan-perundingan dengan pihak Inggris maupun lobi-lobi melibatkan para petinggi kerajaan. Bahkan jauh sebelumnya, Sultan HB II membuat kesepakatan rahasia dengan Sunan Paku Buwono IV yang bertahta di Kasunanan Surakarta, terkait bagaimana mereka akan menghadapi kehadiran agresor asing (Inggris). Inti kesepakatan itu, jika Inggris menyerang Kasultanan Yogyakarta, pasukan Kasunanan Surakarta akan membantu dari belakang. Kelak, kesepakatan itu hanya jadi tulisan di atas kertas. Ketika prajurit Gillespie mengobrak-abrik istana Sultan, pasukan Surakarta hanya berdiam diri, menonton dari jauh berharap akan ada keuntungan politik bagi mereka. Sultan HB II atau Sultan Sepuh dan pengikut setianya bertarung sendirian hingga akhirnya takluk dan dihinakan. Pangeran Notokusumo yang terhitung adik Sultan Sepuh, semula dipercaya akan satu barisan. Jelang penyerbuan ia membelot ke pihak Inggris, memasuki benteng (Vrederburg) yang jadi basis pasukan penyerbu ketika itu. Dentuman meriam Inggris pertama kali pecah mengarah ke sisi timur laut benteng keraton, menandai awal serangan pada sore hari, 18 Juni 1812. Dua jam sebelum tembakan meriam, Raffles mengirimkan surat ultimatum ke Sultan HB II agar menyerah. Penerjemah Karesidenan Semarang CF Krijgsman diutus untuk menyampaikan surat ancaman. Sultan HB II, Putra Mahkota, ditemani Tumenggung Sumodinigrat dan Pangeran Mangkudiningrat menerima utusan Raffles di pendopo Srimanganti. Sultan menolak ultimatum Raffles, begitu juga Putra Mahkota. Penolakan itu memberi sinyal perlawanan dan perang besar akan segera berkobar. Sultan pada waktu itu menitip pesan ke utusan Raffles agar Notokusumo menjawab alasannya mengapa berkhianat. Hujan tembakan artileri Raffles dari arah benteng (Vredeburg) dan kubu-kubu mereka di tempat yang sekarang jadi Taman Pintar berlangsung hingga malam dan tembus ke hari berikutnya, Jumat, 19 Juni 1812. Serangan itu rupanya menggentarkan para kaum bangsawan. Banyak yang menyelinap pergi dari istana, mengungsi ke tempat-tempat di luar kota, hingga ke Imogiri. Segelintir saja yang bersiap sepenuh hati berjuang melawan. Sikap cari selamat para bangsawan istana ini menurunkan moral para prajurit dan pengikutnya yang berjuang di garis depan. Kawasan Kauman dan sekitarnya yang terletak di barat alun-alun, rusak terkena sambaran api dan tembakan meriam. Kadipaten, yang berlokasi di sebelah timur keraton, tempat tinggal Putra Mahkota dan Pangeran Diponegoro, mengalami kerusakan hebat. Gerbangnya tinggal menunggu waktu dijebol pasukan penyerbu. Bantuan kekuatan untuk mencegah jatuhnya Kadipaten tak kunjung datang. Bombardir berlangsung terus hingga terhenti pada Jumat pukul 9 malam. Penghuni istana menyangka serangan Inggris berakhir. Masa-masa kritis juga terjadi di kediaman Sultan yang dikawal prajurit Srikandi. Sabtu, 20 Juni 1812 sekitar pukul 2 dini hari, dua tembakan meriam menggelegar. Dua jam kemudian, pasukan infantri Inggris, Sepoy (India), Legiun Prangwedono, dan pengikut Notokusumo, bergerak maju mendekati benteng keraton. Tangga-tangga bambu digotong dan dipakai untuk memanjat dinding benteng. Kapiten Cina Tan Jing Sing (Secodiningrat) andil banyak pada bagian ini, dan membuktikan persekongkolannya dengan pihak penyerbu. Kadipaten, tempat tinggal Putra Mahkota, jadi sasaran utama. Gerbangnya diledakkan oleh pasukan artileri berkuda Madras, tingkap-tingkapnya direbut serdadu Sepoy. Meriam keraton dibalikkan mengarah ke dalam benteng dan pasukan yang mempertahankannya. Pagi itu gerbang Poncosuro di sisi timur laut keraton jebol. Serangan ke Kadipaten ini dipimpin Letkol Alexander McLeod. Dilihat dari sketsa peta saat penyerbuan sekarang lokasinya di Plengkung Wijilan ke arah timur (Jalan Ibu Ruswo). Serangan serentak itu juga menyebabkan gudang mesiu keraton di pojok timur laut benteng meledak, menimbulkan kerugian besar dan korban jiwa di pihak penyerang maupun yang bertahan. Mayor William Thorn melukiskan kesulitan menembus pertahanan keraton. Sekeliling benteng saat itu ada paritnya, dan bentengnya pun tebal. Tidak mudah dihancurkan. Pertempuran jarak dekat berlangsung sengit, menggunakan tombak, panah, senapan musket, granat, dan mortar. Serangan memutar juga dilakukan ke sisi selatan memutari benteng dengan target menjebol gerbang utama di selatan alun-alun. Pasukan yang menggempur area ini dipimpin Letnan Dewar. Mereka menghadapi perlawanan gigih pasukan Tumenggung Sumodiningrat. Menantu Sultan itu akhirnya tewas hingga perlawanan terakhir. Tubuhnya dicincang. Alun-alun Selatan dikuasai penyerbu yang terus melakukan pembersihan ke segala arah. Sisi timur, utara, barat dan selatan sudah dibanjiri pasukan Inggris dan penyokongnya. Jatuhnya Kadipaten di tangan pasukan Letkol McLeod membuat Putra Mahkota menyelamatkan diri ke sisi barat keraton. Semula ia berusaha berlindung ke kediaman Sultan, namun tempatnya sudah terkunci dan dijaga ketat pengawalnya. Putra Mahkota dan Diponegoro bergerak ke gerbang barat keraton, tempat mereka akhirnya bertemu pasukan penakluk, menyerah, dan diperlakukan terhina. Diponegoro terluka ketika keris pusakanya disita. Lokasi pertemuan itu diperkirakan di sekitar Pasar Ngasem atau Tamansari. Pasukan yang menemukan Putra Mahkota dan Diponegoro dipimpin Mayor Dennis H Dalton, didampingi Sekretaris Residen Yogyakarta John Deans dan Kapiten Cina Tan Jing Sing. Mereka kemudian dibawa ke Wisma Residen (sekarang Gedung Agung). Kedatangan Putra Mahkota di Wisma Residen disambut dingin. Pangeran Notokusumo, atau pamannya yang membelot, hanya memandangi kemenakannya itu tanpa bertegur sapa. Saat itu jarum jam menunjuk angka tujuh pagi. Berita tertangkapnya Putra Mahkota membuat raja syok. Sultan akhirnya memerintahkan bendera putih dikibarkan, dan prajuritnya meletakkan senjata. Penyerahan damai ini diharapkan meredam kemarahan penyerbu. Kolonel Gillespie memasuki kedaton, dan masih menghadapi sejumlah kecil perlawanan yang berpusat di komplek Masjid Suronatan di sebelah barat pendopo Srimanganti. Di tempat inilah Sultan dan pengikutnya bersiap menyerahkan diri ke Gillespie. * Abror Subhi Dari berbagai sumber

 Tiga Jam Penuh Darah, Saat Keraton Yogyakarta Diserbu Inggris

Lebih dari dua abad lalu, peristiwa akbar berdarah-darah berlangsung di jantung Kasultanan Yogyakarta. Tragedi ini memuncaki konflik internal, trik intrik, persekongkolan sekaligus pengkhianatan di antara para bangsawan kerajaan.



Pasukan Gubernur Jenderal Inggris Sir Stamford Raffles yang dipimpin Kolonel RR Gillespie pada 20 Juni 1812 selama tiga jam penuh menggempur Keraton, meruntuhkan bentengnya, menaklukkan Sultan HB II, menjarah rayah harta karun seisi istana, termasuk keputren.


Akhir dari episode muram masa HB II ini adalah dinaiktahtakannya secara paksa sang Putra Mahkota menjadi Sultan HB III.


Keberhasilan invasi Inggris ke Keraton Yogyakarta inipun menandai kemerosotan kasultanan sejak didirikan Pangeran Mangkubumi pada 6 November 1755.


Setelah 57 tahun berdiri megah sebagai kerajaan baru yang kokoh dan tidak tertundukkan, Keraton Yogyakarta remuk. Sebagian besar penyebab karena maraknya intrik internal.


Ayah dan anak berebut tahta, yang secara maksimal ditunggangi para agresor dan kolonial. Perkubuan antarkeluarga kerajaan menambah pelik situasi.


Sesudah serbuan Inggris dan naiknya Sultan HB III menjadi titik awal pergolakan nan panjang, sangat berdarah, menguras emosi dan segala sumber daya di pihak Jawa maupun Belanda nantinya. HB III adalah ayah kandung Pangeran Diponegoro.


Tiga belas tahun berikutnya, pangeran yang saleh dan sederhana ini akan memimpin Perang Jawa, pertempuran dahsyat nan panjang yang tercatat dalam sejarah pendudukan Belanda.


* Detik-detik Serbuan Inggris ke Kraton Yogyakarta

Invasi Inggris ke Keraton Yogyakarta yang dimulai 18 Juni 1812. Plengkung Wijilan, salah satu titik serbuan paling dahsyat saat pasukan Raffles menggempur Keraton Yogyakarta pada 20 Juni 1812. Di dekat lokasi ini dulunya terdapat gerbang Poncosuro, pintu menuju Kadipaten, kediaman Putra Mahkota dan Pangeran Ontowiryo (Pangeran Diponegoro).


Serbuan tentu tidak berlangsung mendadak. Ada banyak peristiwa yang mendahului kejadian ini, baik perundingan-perundingan dengan pihak Inggris maupun lobi-lobi melibatkan para petinggi kerajaan.


Bahkan jauh sebelumnya, Sultan HB II membuat kesepakatan rahasia dengan Sunan Paku Buwono IV yang bertahta di Kasunanan Surakarta, terkait bagaimana mereka akan menghadapi kehadiran agresor asing (Inggris).


Inti kesepakatan itu, jika Inggris menyerang Kasultanan Yogyakarta, pasukan Kasunanan Surakarta akan membantu dari belakang. Kelak, kesepakatan itu hanya jadi tulisan di atas kertas.


Ketika prajurit Gillespie mengobrak-abrik istana Sultan, pasukan Surakarta hanya berdiam diri, menonton dari jauh berharap akan ada keuntungan politik bagi mereka. Sultan HB II atau Sultan Sepuh dan pengikut setianya bertarung sendirian hingga akhirnya takluk dan dihinakan.


Pangeran Notokusumo yang terhitung adik Sultan Sepuh, semula dipercaya akan satu barisan. Jelang penyerbuan ia membelot ke pihak Inggris, memasuki benteng (Vrederburg) yang jadi basis pasukan penyerbu ketika itu.


Dentuman meriam Inggris pertama kali pecah mengarah ke sisi timur laut benteng keraton, menandai awal serangan pada sore hari, 18 Juni 1812. Dua jam sebelum tembakan meriam, Raffles mengirimkan surat ultimatum ke Sultan HB II agar menyerah.


Penerjemah Karesidenan Semarang CF Krijgsman diutus untuk menyampaikan surat ancaman. Sultan HB II, Putra Mahkota, ditemani Tumenggung Sumodinigrat dan Pangeran Mangkudiningrat menerima utusan Raffles di pendopo Srimanganti.


Sultan menolak ultimatum Raffles, begitu juga Putra Mahkota. Penolakan itu memberi sinyal perlawanan dan perang besar akan segera berkobar. Sultan pada waktu itu menitip pesan ke utusan Raffles agar Notokusumo menjawab alasannya mengapa berkhianat.


Hujan tembakan artileri Raffles dari arah benteng (Vredeburg) dan kubu-kubu mereka di tempat yang sekarang jadi Taman Pintar berlangsung hingga malam dan tembus ke hari berikutnya, Jumat, 19 Juni 1812.


Serangan itu rupanya menggentarkan para kaum bangsawan. Banyak yang menyelinap pergi dari istana, mengungsi ke tempat-tempat di luar kota, hingga ke Imogiri. Segelintir saja yang bersiap sepenuh hati berjuang melawan.


Sikap cari selamat para bangsawan istana ini menurunkan moral para prajurit dan pengikutnya yang berjuang di garis depan. Kawasan Kauman dan sekitarnya yang terletak di barat alun-alun, rusak terkena sambaran api dan tembakan meriam.


Kadipaten, yang berlokasi di sebelah timur keraton, tempat tinggal Putra Mahkota dan Pangeran Diponegoro, mengalami kerusakan hebat. Gerbangnya tinggal menunggu waktu dijebol pasukan penyerbu. Bantuan kekuatan untuk mencegah jatuhnya Kadipaten tak kunjung datang.


Bombardir berlangsung terus hingga terhenti pada Jumat pukul 9 malam. Penghuni istana menyangka serangan Inggris berakhir. Masa-masa kritis juga terjadi di kediaman Sultan yang dikawal prajurit Srikandi.


Sabtu, 20 Juni 1812 sekitar pukul 2 dini hari, dua tembakan meriam menggelegar. Dua jam kemudian, pasukan infantri Inggris, Sepoy (India), Legiun Prangwedono, dan pengikut Notokusumo, bergerak maju mendekati benteng keraton.


Tangga-tangga bambu digotong dan dipakai untuk memanjat dinding benteng. Kapiten Cina Tan Jing Sing (Secodiningrat) andil banyak pada bagian ini, dan membuktikan persekongkolannya dengan pihak penyerbu.


Kadipaten, tempat tinggal Putra Mahkota, jadi sasaran utama. Gerbangnya diledakkan oleh pasukan artileri berkuda Madras, tingkap-tingkapnya direbut serdadu Sepoy. Meriam keraton dibalikkan mengarah ke dalam benteng dan pasukan yang mempertahankannya.


Pagi itu gerbang Poncosuro di sisi timur laut keraton jebol. Serangan ke Kadipaten ini dipimpin Letkol Alexander McLeod. Dilihat dari sketsa peta saat penyerbuan sekarang lokasinya di Plengkung Wijilan ke arah timur (Jalan Ibu Ruswo).


Serangan serentak itu juga menyebabkan gudang mesiu keraton di pojok timur laut benteng meledak, menimbulkan kerugian besar dan korban jiwa di pihak penyerang maupun yang bertahan. Mayor William Thorn melukiskan kesulitan menembus pertahanan keraton.


Sekeliling benteng saat itu ada paritnya, dan bentengnya pun tebal. Tidak mudah dihancurkan. Pertempuran jarak dekat berlangsung sengit, menggunakan tombak, panah, senapan musket, granat, dan mortar.


Serangan memutar juga dilakukan ke sisi selatan memutari benteng dengan target menjebol gerbang utama di selatan alun-alun. Pasukan yang menggempur area ini dipimpin Letnan Dewar. Mereka menghadapi perlawanan gigih pasukan Tumenggung Sumodiningrat.


Menantu Sultan itu akhirnya tewas hingga perlawanan terakhir. Tubuhnya dicincang. Alun-alun Selatan dikuasai penyerbu yang terus melakukan pembersihan ke segala arah. Sisi timur, utara, barat dan selatan sudah dibanjiri pasukan Inggris dan penyokongnya.


Jatuhnya Kadipaten di tangan pasukan Letkol McLeod membuat Putra Mahkota menyelamatkan diri ke sisi barat keraton. Semula ia berusaha berlindung ke kediaman Sultan, namun tempatnya sudah terkunci dan dijaga ketat pengawalnya.


Putra Mahkota dan Diponegoro bergerak ke gerbang barat keraton, tempat mereka akhirnya bertemu pasukan penakluk, menyerah, dan diperlakukan terhina. Diponegoro terluka ketika keris pusakanya disita. Lokasi pertemuan itu diperkirakan di sekitar Pasar Ngasem atau Tamansari.


Pasukan yang menemukan Putra Mahkota dan Diponegoro dipimpin Mayor Dennis H Dalton, didampingi Sekretaris Residen Yogyakarta John Deans dan Kapiten Cina Tan Jing Sing. Mereka kemudian dibawa ke Wisma Residen (sekarang Gedung Agung).


Kedatangan Putra Mahkota di Wisma Residen disambut dingin. Pangeran Notokusumo, atau pamannya yang membelot, hanya memandangi kemenakannya itu tanpa bertegur sapa. Saat itu jarum jam menunjuk angka tujuh pagi.


Berita tertangkapnya Putra Mahkota membuat raja syok. Sultan akhirnya memerintahkan bendera putih dikibarkan, dan prajuritnya meletakkan senjata. Penyerahan damai ini diharapkan meredam kemarahan penyerbu.


Kolonel Gillespie memasuki kedaton, dan masih menghadapi sejumlah kecil perlawanan yang berpusat di komplek Masjid Suronatan di sebelah barat pendopo Srimanganti. Di tempat inilah Sultan dan pengikutnya bersiap menyerahkan diri ke Gillespie.


* Abror Subhi

Dari berbagai sumber

29 October 2025

Kisah Ki Ageng Pengging yang Memilih Mati Daripada Menghadiri Pengukuhan Sultan Demak Penolakan Ki Ageng Pengging atau Kebo Kenanga atas undangan pengukuhan Trenggono sebagai Sultan Demak Bintoro membuat penguasa baru tanah Jawa itu berang. Sebelumnya, Ki Ageng Pengging sudah tiga kali menolak datang ke Demak. Mulai beralasan menunggu kepulangan Kebo Kanigara, kakaknya yang bersemedi di Gunung Merapi, hingga berterus terang enggan datang. Penguasa Demak menganggap Pengging telah membangkang. Ia juga disangka tengah menyusun kekuatan untuk makar. Sebab bagaimanapun Pengging adalah cucu Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir yang telah diruntuhkan Demak. Juga murid kinasih Syekh Siti Jenar, ulama penyebar Islam yang telah berselisih dengan Wali Songo dan dijatuhi hukuman mati. Yang tidak dimengerti oleh penguasa Demak, Ki Ageng Pengging sudah memutuskan menjauhi kekuasaan, termasuk melepas gelar kebangsawanan. Dari kehidupan priyayi agung beralih menjadi rakyat jelata dengan melakukan cara produksi lazimnya petani, yakni bercocok tanam. Karenanya ia menolak hadir dalam pengukuhan Trenggono sebagai Sultan Demak Bintoro, menggantikan Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor yang mati muda. Ia memilih tenggelam dalam dzikir dan tafakur di langgarnya. Ki Ageng Pengging merupakan putra Raden Andayaningrat, panglima perang Majapahit yang menikah dengan Dewi Pembayun, putri sulung Prabu Brawijaya V. Dengan Sultan Trenggono, Ki Ageng Pengging terhitung saudara sepupu. Ki Ageng Pengging merasa hidupnya lebih tentram. Ia tidak ingin lagi berurusan dengan Demak. Ia memilih menanti kelahiran buah hati, yakni keturunan yang sudah lama ditunggunya. Bayi laki-laki itu diberi nama Mas Karebet atau dikenal Jaka Tingkir. Nama yang merujuk pada peristiwa yang terjadi saat proses kelahiran, yakni lahir di tengah-tengah berlangsungnya pagelaran wayang beber di mana Ki Ageng Pengging sebagai dalangnya. Mas Karebet yang kemudian diasuh Ki Ageng Tingkir, yakni saudara seperguruan Ki Ageng Pengging kelak menjadi Raja Pajang pertama yang bergelar Sultan Hadiwijaya. Sampai Sunan Kudus datang sendiri mewakili Sultan Trenggono, Ki Ageng Pengging tetap bersikukuh menolak datang ke Demak. Ia tahu risikonya. Menolak keinginan raja sama halnya dengan makar. Dan hukuman bagi seorang pemberontak adalah mati. Ki Ageng Pengging meminta Sunan Kudus tidak ragu melaksanakan tugasnya, menjatuhkan hukuman mati. Sebelum eksekusi dilakukan, terjadi percakapan antara keduanya tentang rahasia hidup dan kematian. Sunan Kudus meminta Ki Ageng Pengging memperlihatkan ilmu seperti apa mati di dalam hidup. Ki Ageng Pengging yang terkenal sakti itu, hanya tersenyum. Sejurus kemudian, dimintanya Sunan Kudus menusukkan sebilah keris kecil ke sikunya. Tusukan itu membuat Ki Ageng Pengging tiba-tiba tergolek lemas, namun bibirnya tetap tersenyum. Dengan didahului salam, mata Ki Ageng Pengging terkatup rapat. Nafasnya berhenti. Nyawa ayah Jaka Tingkir itu telah melayang. Sejarah kembali terulang, di mana ayah Ki Ageng Pengging, yakni Andayaningrat tewas di tangan Sunan Ngudung, ayah Sunan Kudus. * Abror Subhi Dari berbagai sumber

 Kisah Ki Ageng Pengging yang Memilih Mati Daripada Menghadiri Pengukuhan Sultan Demak

Penolakan Ki Ageng Pengging atau Kebo Kenanga atas undangan pengukuhan Trenggono sebagai Sultan Demak Bintoro membuat penguasa baru tanah Jawa itu berang.



Sebelumnya, Ki Ageng Pengging sudah tiga kali menolak datang ke Demak. Mulai beralasan menunggu kepulangan Kebo Kanigara, kakaknya yang bersemedi di Gunung Merapi, hingga berterus terang enggan datang.      


Penguasa Demak menganggap Pengging telah membangkang. Ia juga disangka tengah menyusun kekuatan untuk makar. Sebab bagaimanapun Pengging adalah cucu Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir yang telah diruntuhkan Demak.


Juga murid kinasih Syekh Siti Jenar, ulama penyebar Islam yang telah berselisih dengan Wali Songo dan dijatuhi hukuman mati. Yang tidak dimengerti oleh penguasa Demak, Ki Ageng Pengging sudah memutuskan menjauhi kekuasaan, termasuk melepas gelar kebangsawanan.

Dari kehidupan priyayi agung beralih menjadi rakyat jelata dengan melakukan cara produksi lazimnya petani, yakni bercocok tanam.


Karenanya ia menolak hadir dalam pengukuhan Trenggono sebagai Sultan Demak Bintoro, menggantikan Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor yang mati muda. Ia memilih tenggelam dalam dzikir dan tafakur di langgarnya.


Ki Ageng Pengging merupakan putra Raden Andayaningrat, panglima perang Majapahit yang menikah dengan Dewi Pembayun, putri sulung Prabu Brawijaya V. Dengan Sultan Trenggono, Ki Ageng Pengging terhitung saudara sepupu.


Ki Ageng Pengging merasa hidupnya lebih tentram. Ia tidak ingin lagi berurusan dengan Demak. Ia memilih menanti kelahiran buah hati, yakni keturunan yang sudah lama ditunggunya. Bayi laki-laki itu diberi nama Mas Karebet atau dikenal Jaka Tingkir.


Nama yang merujuk pada peristiwa yang terjadi saat proses kelahiran, yakni lahir di tengah-tengah berlangsungnya pagelaran wayang beber di mana Ki Ageng Pengging sebagai dalangnya.


Mas Karebet yang kemudian diasuh Ki Ageng Tingkir, yakni saudara seperguruan Ki Ageng Pengging kelak menjadi Raja Pajang pertama yang bergelar Sultan Hadiwijaya.


Sampai Sunan Kudus datang sendiri mewakili Sultan Trenggono, Ki Ageng Pengging tetap bersikukuh menolak datang ke Demak. Ia tahu risikonya. Menolak keinginan raja sama halnya dengan makar.


Dan hukuman bagi seorang pemberontak adalah mati. Ki Ageng Pengging meminta Sunan Kudus tidak ragu melaksanakan tugasnya, menjatuhkan hukuman mati.


Sebelum eksekusi dilakukan, terjadi percakapan antara keduanya tentang rahasia hidup dan kematian. Sunan Kudus meminta Ki Ageng Pengging memperlihatkan ilmu seperti apa mati di dalam hidup.


Ki Ageng Pengging yang terkenal sakti itu, hanya tersenyum. Sejurus kemudian, dimintanya Sunan Kudus menusukkan sebilah keris kecil ke sikunya. Tusukan itu membuat Ki Ageng Pengging tiba-tiba tergolek lemas, namun bibirnya tetap tersenyum.


Dengan didahului salam, mata Ki Ageng Pengging terkatup rapat. Nafasnya berhenti. Nyawa ayah Jaka Tingkir itu telah melayang. Sejarah kembali terulang, di mana ayah Ki Ageng Pengging, yakni Andayaningrat tewas di tangan Sunan Ngudung, ayah Sunan Kudus.


* Abror Subhi

Dari berbagai sumber

Makam Ki Ageng Enis, Leluhur Raja² Mataram Ki Ageng Enis dikenal juga sebagai Ki Ageng Laweyanbadalah seorang tokoh dari Sela yang hijrah ke Pengging. Ia dikenal dengan sebutan Ki Ageng Laweyan, karena bertempat tinggal di Laweyan. Selama hidup di Laweyan ia pernah menjadi guru spiritual Jaka Tingkir saat belum naik takhta menjadi raja Pajang atau masih bernama Mas Karebet. Kemudian Ki Ageng Enis diangkat sebagai sesepuh atau penasihat oleh Jaka Tingkir setelah menjadi raja Pajang bergelar Sultan Adiwijaya. Ki Ageng Enis adalah putra bungsu dari Ki Ageng Sela, ibunya bernama Nyai Bicak/Nyai Ageng Sela (putri Sunan Ngerang). Ia memiliki enam saudara, di mana semua saudaranya adalah perempuan, yaitu: Nyai Ageng Lurung Tengah, Nyai Ageng Saba, Nyai Ageng Bangsri, Nyai Ageng Jati, Nyai Ageng Patanen dan Nyai Ageng Pakisdadu. Ki Ageng Enis menikah dengan Nyai Ageng Enis, dan berputra Ki Ageng Pamanahan. Putranya itu kemudian menikah dengan Nyai Sabinah. Dari hasil pernikahan Ki Ageng Pamanahan dan Nyai Sabinah, Ki Ageng Enis dikaruniai seorang cucu yang bernama Sutawijaya, dalam perjalanan kariernya menjadi raja pertama Mataram, bergelar Panembahan Senapati. Pengging dahulu dikenal sebagai peradaban Hindu, masuknya Islam di tanah Pengging tidak luput dari peran serta Ki Ageng Enis. Laweyan yang saat itu merupakan wilayah kekuasaan Kadipaten Pengging (sebelum Pajang) masyarakat di sekitarnya masih menganut Hinduisme. Sejak saat itu Ki Ageng Enis mulai bermukim di desa Laweyan pada tahun 1546, tepatnya di sebelah utara pasar Laweyan (sekarang Kampung Lor Pasar Mati). Pada akhir hayatnya Ki Ageng Enis meninggal dan dimakamkan di Pasarean Laweyan. Rumah tempat tinggal Ki Ageng Enis kemudian ditempati oleh cucunya yang bernama Danang Sutawijaya. Kemudian Sutawijaya lebih dikenal dengan sebutan Raden Ngabehi Saloring Pasar, Sutawijaya pindah ke hutan Mentaok dan dalam perjalanannya kemudian mendirikan kerajaan Mataram Islam dan menjadi raja pertama dengan gelar Panembahan Senapati. * Abror Subhi Dari berbagai sumber

 Makam Ki Ageng Enis, Leluhur Raja² Mataram

Ki Ageng Enis dikenal juga sebagai Ki Ageng Laweyanbadalah seorang tokoh dari Sela yang hijrah ke Pengging. Ia dikenal dengan sebutan Ki Ageng Laweyan, karena bertempat tinggal di Laweyan.



Selama hidup di Laweyan ia pernah menjadi guru spiritual Jaka Tingkir saat belum naik takhta menjadi raja Pajang atau masih bernama Mas Karebet.

Kemudian Ki Ageng Enis diangkat sebagai sesepuh atau penasihat oleh Jaka Tingkir setelah menjadi raja Pajang bergelar Sultan Adiwijaya.


Ki Ageng Enis adalah putra bungsu dari Ki Ageng Sela, ibunya bernama Nyai Bicak/Nyai Ageng Sela (putri Sunan Ngerang). Ia memiliki enam saudara, di mana semua saudaranya adalah perempuan,


yaitu: Nyai Ageng Lurung Tengah, Nyai Ageng Saba, Nyai Ageng Bangsri, Nyai Ageng Jati, Nyai Ageng Patanen dan Nyai Ageng Pakisdadu.


Ki Ageng Enis menikah dengan Nyai Ageng Enis, dan berputra Ki Ageng Pamanahan. Putranya itu kemudian menikah dengan Nyai Sabinah.


Dari hasil pernikahan Ki Ageng Pamanahan dan Nyai Sabinah, Ki Ageng Enis dikaruniai seorang cucu yang bernama Sutawijaya, dalam perjalanan kariernya menjadi raja pertama Mataram, bergelar Panembahan Senapati.


Pengging dahulu dikenal sebagai peradaban Hindu, masuknya Islam di tanah Pengging tidak luput dari peran serta Ki Ageng Enis.

Laweyan yang saat itu merupakan wilayah kekuasaan Kadipaten Pengging (sebelum Pajang) masyarakat di sekitarnya masih menganut Hinduisme.


Sejak saat itu Ki Ageng Enis mulai bermukim di desa Laweyan pada tahun 1546, tepatnya di sebelah utara pasar Laweyan (sekarang Kampung Lor Pasar Mati).


Pada akhir hayatnya Ki Ageng Enis meninggal dan dimakamkan di Pasarean Laweyan. Rumah tempat tinggal Ki Ageng Enis kemudian ditempati oleh cucunya yang bernama Danang Sutawijaya.


Kemudian Sutawijaya lebih dikenal dengan sebutan Raden Ngabehi Saloring Pasar, Sutawijaya pindah ke hutan Mentaok dan dalam perjalanannya kemudian mendirikan kerajaan Mataram Islam dan menjadi raja pertama dengan gelar Panembahan Senapati.


* Abror Subhi

Dari berbagai sumber

27 October 2025

Mbah Fanani, seorang yang beradal dari Cirebon dikenal bertapa di Dieng, Wonosobo. Apakah beliau seorang wali Allah? Wallahu a'lam. Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Qudsi, "Allah berfirman yang artinya: 'Para Wali-Ku itu ada di bawah naungan-Ku, tiada yang mengenal mereka dan mendekat kepada seorang wali, kecuali jika Allah memberikan Taufiq Hidayah-Nya.'" Syekh Ibnu Atha'illah Assakandari jua mengatakan dalam kitab Al-Hikam: "Mahasuci Allah yang menyembunyikan rahasia keistimewaan pada hamba pilihan-Nya dengan menampakkan sifat kemanusiaan, dan terlihat keagungan sifat Ketuhanan dengan nampaknya sifat penghambaan pada dirinya." Dengan demikian, kita tidak bisa menentukan dengan pasti siapa yang benar-benar wali Allah, karena hanya Allah yang mengetahui dengan pasti. Namun, kita bisa belajar dari kisah-kisah inspiratif para wali Allah dan mengambil pelajaran dari kehidupan mereka." Wallahu a'lam ---Semoga Bermanfaat 🍃 ______________________

 Mbah Fanani, seorang yang beradal dari Cirebon dikenal bertapa di Dieng, Wonosobo. Apakah beliau seorang wali Allah? 

Wallahu a'lam. 



Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Qudsi, "Allah berfirman yang artinya: 


'Para Wali-Ku itu ada di bawah naungan-Ku, tiada yang mengenal mereka dan mendekat kepada seorang wali, kecuali jika Allah memberikan Taufiq Hidayah-Nya.'"


Syekh Ibnu Atha'illah Assakandari jua mengatakan dalam kitab Al-Hikam:


"Mahasuci Allah yang menyembunyikan rahasia keistimewaan pada hamba pilihan-Nya dengan menampakkan sifat kemanusiaan, dan terlihat keagungan sifat Ketuhanan dengan nampaknya sifat penghambaan pada dirinya."


Dengan demikian, kita tidak bisa menentukan dengan pasti siapa yang benar-benar wali Allah, karena hanya Allah yang mengetahui dengan pasti. Namun, kita bisa belajar dari kisah-kisah inspiratif para wali Allah dan mengambil pelajaran dari kehidupan mereka."


Wallahu a'lam 


---Semoga Bermanfaat 🍃

______________________

KUSNI KASDUT‼️Dari Laskar Kemerdekaan Hingga Perampok Legendaris 'Robin Hood' Indonesia JAKARTA – Indonesia menutup lembaran gelap sejarah kriminalnya kemarin, Sabtu, 16 Februari 1980. Ignatius Waluyo alias Kusni Kasdut (51 tahun), tokoh kriminal kelas kakap yang pernah menggemparkan Tanah Air dengan serangkaian perampokan dan aksi pelarian heroik, harus tumbang di hadapan regu tembak setelah penolakan permohonan grasinya oleh Presiden Soeharto. Kisah hidup Kusni Kasdut, yang dijuluki "Si Kancil" karena kelicinan melarikan diri, adalah sebuah ironi tragis. Perjalanan hidupnya melukiskan garis tipis antara pahlawan revolusi dan bromocorah berdarah dingin. Fase I: Pejuang Kemerdekaan (1945–1949) Kusni Kasdut lahir di Blitar, Jawa Timur, pada Desember 1929, dari pasangan petani miskin. Masa mudanya dihabiskan di jalanan Malang. Ketika Proklamasi dikumandangkan, Kusni muda dengan nama asli Waluyo langsung bergabung dengan Laskar Rakyat yang berjuang di front Jawa Timur, termasuk dalam pertempuran sengit 10 November di Surabaya. Pengabdian Revolusi: Kusni tercatat bergabung dengan laskar yang berafiliasi dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Malang. Ia mahir dalam operasi intelijen dan pertempuran ekonomi, bahkan pernah merampok harta saudagar kaya yang hasilnya ia klaim digunakan untuk mendanai logistik revolusi. Luka Batin: Setelah Revolusi fisik usai, Kusni gagal diakui sebagai anggota resmi TNI (APRIS) karena cacat luka tembak di kaki. Rasa kecewa mendalam ini, ditambah kesulitan ekonomi pasca-perang, disinyalir menjadi titik balik kelam dalam hidupnya. Fase II: Dari Veteran Menjadi Bromocorah (1953–1961) Kekecewaan dan himpitan ekonomi mendorong Kusni terjun ke lembah hitam kriminalitas. Ia membentuk kelompok perampok yang ditakuti. Kasus Pertama Heboh (1953): Aksi kriminal pertamanya yang menggemparkan adalah perampokan dan pembunuhan seorang hartawan keturunan Arab, Ali Badjened, pada 11 Agustus 1953. Peristiwa ini membuat namanya menjadi buronan utama Kepolisian. Perampokan Museum Nasional (1961): Puncak kejahatan yang melambungkan nama Kusni ke tingkat legenda terjadi pada 31 Mei 1961. Bersama komplotannya, Kusni menyatroni Museum Gajah (Museum Nasional Jakarta) dengan menyamar sebagai polisi dan menaiki mobil jip. Mereka melumpuhkan penjaga dan berhasil menggondol 11 butir berlian permata koleksi museum yang tak ternilai harganya. Fase III: Delapan Kali Melarikan Diri dan Pertobatan (1969–1980) Setelah buron bertahun-tahun, Kusni akhirnya tertangkap di Semarang ketika berusaha menjual berlian hasil rampokan yang ukurannya mencurigakan. Vonis Mati: Pengadilan Negeri Semarang menjatuhkan vonis hukuman mati pada tahun 1969. Si Kancil Penjara: Selama penantian eksekusi, Kusni Kasdut mencatatkan sejarah kelam dengan berhasil kabur dari berbagai penjara sebanyak delapan kali (beberapa sumber menyebutkan total delapan). Pelarian terakhirnya pada 10 September 1979 dari Lapas Cipinang menjadi berita utama nasional sebelum akhirnya ditangkap kembali di Surabaya pada 17 Oktober 1979. Akhir Pertobatan: Selama dipenjara, Kusni Kasdut diketahui dibaptis menjadi Katolik dengan nama Ignatius. Ia banyak menghabiskan waktu dengan melukis, termasuk membuat lukisan gereja dari pelepah pisang. Namun, pertobatan dan permohonan grasi yang diajukannya kepada Presiden tidak dapat membatalkan putusan pengadilan atas kejahatan pembunuhan dan perampokan yang dilakukannya. Kusni Kasdut dieksekusi oleh regu tembak pada 16 Februari 1980. Sumber Referensi Utama: Arsip Berita Surat Kabar Nasional (misalnya Kompas, Tempo, Sinar Harapan) periode 1960–1980. Buku Biografi "Perjalanan Hidup Kusni Kasdut" oleh Saiful Rahim (1980). Laporan Kepolisian dan Putusan Pengadilan Negeri Semarang tahun 1969. Catatan Sejarah Kriminal dan Revolusi Fisik di Indonesia.

 KUSNI KASDUT‼️Dari Laskar Kemerdekaan Hingga Perampok Legendaris 'Robin Hood' Indonesia



JAKARTA – Indonesia menutup lembaran gelap sejarah kriminalnya kemarin, Sabtu, 16 Februari 1980. Ignatius Waluyo alias Kusni Kasdut (51 tahun), tokoh kriminal kelas kakap yang pernah menggemparkan Tanah Air dengan serangkaian perampokan dan aksi pelarian heroik, harus tumbang di hadapan regu tembak setelah penolakan permohonan grasinya oleh Presiden Soeharto.


Kisah hidup Kusni Kasdut, yang dijuluki "Si Kancil" karena kelicinan melarikan diri, adalah sebuah ironi tragis. Perjalanan hidupnya melukiskan garis tipis antara pahlawan revolusi dan bromocorah berdarah dingin.


Fase I: Pejuang Kemerdekaan (1945–1949)

Kusni Kasdut lahir di Blitar, Jawa Timur, pada Desember 1929, dari pasangan petani miskin. Masa mudanya dihabiskan di jalanan Malang. Ketika Proklamasi dikumandangkan, Kusni muda dengan nama asli Waluyo langsung bergabung dengan Laskar Rakyat yang berjuang di front Jawa Timur, termasuk dalam pertempuran sengit 10 November di Surabaya.


Pengabdian Revolusi: Kusni tercatat bergabung dengan laskar yang berafiliasi dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Malang. Ia mahir dalam operasi intelijen dan pertempuran ekonomi, bahkan pernah merampok harta saudagar kaya yang hasilnya ia klaim digunakan untuk mendanai logistik revolusi.


Luka Batin: Setelah Revolusi fisik usai, Kusni gagal diakui sebagai anggota resmi TNI (APRIS) karena cacat luka tembak di kaki. Rasa kecewa mendalam ini, ditambah kesulitan ekonomi pasca-perang, disinyalir menjadi titik balik kelam dalam hidupnya.


Fase II: Dari Veteran Menjadi Bromocorah (1953–1961)

Kekecewaan dan himpitan ekonomi mendorong Kusni terjun ke lembah hitam kriminalitas. Ia membentuk kelompok perampok yang ditakuti.


Kasus Pertama Heboh (1953): Aksi kriminal pertamanya yang menggemparkan adalah perampokan dan pembunuhan seorang hartawan keturunan Arab, Ali Badjened, pada 11 Agustus 1953. Peristiwa ini membuat namanya menjadi buronan utama Kepolisian.


Perampokan Museum Nasional (1961): Puncak kejahatan yang melambungkan nama Kusni ke tingkat legenda terjadi pada 31 Mei 1961. Bersama komplotannya, Kusni menyatroni Museum Gajah (Museum Nasional Jakarta) dengan menyamar sebagai polisi dan menaiki mobil jip. Mereka melumpuhkan penjaga dan berhasil menggondol 11 butir berlian permata koleksi museum yang tak ternilai harganya.


Fase III: Delapan Kali Melarikan Diri dan Pertobatan (1969–1980)

Setelah buron bertahun-tahun, Kusni akhirnya tertangkap di Semarang ketika berusaha menjual berlian hasil rampokan yang ukurannya mencurigakan.


Vonis Mati: Pengadilan Negeri Semarang menjatuhkan vonis hukuman mati pada tahun 1969.


Si Kancil Penjara: Selama penantian eksekusi, Kusni Kasdut mencatatkan sejarah kelam dengan berhasil kabur dari berbagai penjara sebanyak delapan kali (beberapa sumber menyebutkan total delapan). Pelarian terakhirnya pada 10 September 1979 dari Lapas Cipinang menjadi berita utama nasional sebelum akhirnya ditangkap kembali di Surabaya pada 17 Oktober 1979.


Akhir Pertobatan: Selama dipenjara, Kusni Kasdut diketahui dibaptis menjadi Katolik dengan nama Ignatius. Ia banyak menghabiskan waktu dengan melukis, termasuk membuat lukisan gereja dari pelepah pisang. Namun, pertobatan dan permohonan grasi yang diajukannya kepada Presiden tidak dapat membatalkan putusan pengadilan atas kejahatan pembunuhan dan perampokan yang dilakukannya.


Kusni Kasdut dieksekusi oleh regu tembak pada 16 Februari 1980.


Sumber Referensi Utama:


Arsip Berita Surat Kabar Nasional (misalnya Kompas, Tempo, Sinar Harapan) periode 1960–1980.


Buku Biografi "Perjalanan Hidup Kusni Kasdut" oleh Saiful Rahim (1980).


Laporan Kepolisian dan Putusan Pengadilan Negeri Semarang tahun 1969.


Catatan Sejarah Kriminal dan Revolusi Fisik di Indonesia.

26 October 2025

Silsilah Keluarga Jawa : Moyang ke-18. Mbah Trah Tumerah Moyang ke-17. Mbah Menya-menya Moyang ke-16. Mbah Menyaman Moyang ke-15. Mbah Ampleng Moyang ke-14. Mbah Cumpleng Moyang ke-13. Mbah Giyeng Moyang ke-12. Mbah Cendheng Moyang ke-11. Mbah Gropak Waton Moyang ke-10. Mbah Galih Asem Moyang ke-9. Mbah Debog Bosok Moyang ke-8. Mbah Gropak Sénthé Moyang ke-7. Mbah Gantung Siwur Moyang ke-6. Mbah Udheg-udheg Moyang ke-5. Mbah Wareng Moyang ke-4. Mbah Canggah Moyang ke-3. Mbah Buyut Moyang ke-2. Simbah/ Éyang Moyang ke-1. Bapak/ Ibu Penyebutan KITA Keturunan ke-1. Anak Keturunan ke-2. Putu/ cucu Keturunan ke-3. Buyut/ cicit Keturunan ke-4. Canggah Keturunan ke-5. Wareng Keturunan ke-6. Udhek-Udhek Keturunan ke-7. Gantung Siwur Keturunan ke-8. Gropak Sénthé Keturunan ke-9. Debog Bosok Keturunan ke-10. Galih Asem Keturunan ke-11. Gropak waton Keturunan ke-12. Cendheng Keturunan ke-13. Giyeng Keturunan ke-14. Cumpleng Keturunan ke-15. Ampleng Keturunan ke-16. Menyaman Keturunan ke-17. Menya-menya Keturunan ke-18. Trah tumerah #filosofijawa #fp #fypjangkauanluas

 Silsilah Keluarga Jawa :



Moyang ke-18. Mbah Trah Tumerah

Moyang ke-17. Mbah Menya-menya

Moyang ke-16. Mbah Menyaman

Moyang ke-15. Mbah Ampleng

Moyang ke-14. Mbah Cumpleng

Moyang ke-13. Mbah Giyeng

Moyang ke-12. Mbah Cendheng

Moyang ke-11. Mbah Gropak Waton

Moyang ke-10. Mbah Galih Asem

Moyang ke-9. Mbah Debog Bosok

Moyang ke-8. Mbah Gropak Sénthé

Moyang ke-7. Mbah Gantung Siwur

Moyang ke-6. Mbah Udheg-udheg

Moyang ke-5. Mbah Wareng

Moyang ke-4. Mbah Canggah

Moyang ke-3. Mbah Buyut

Moyang ke-2. Simbah/ Éyang

Moyang ke-1. Bapak/ Ibu


Penyebutan KITA 


Keturunan ke-1. Anak

Keturunan ke-2. Putu/ cucu

Keturunan ke-3. Buyut/ cicit

Keturunan ke-4. Canggah

Keturunan ke-5. Wareng

Keturunan ke-6. Udhek-Udhek

Keturunan ke-7. Gantung Siwur

Keturunan ke-8. Gropak Sénthé

Keturunan ke-9. Debog Bosok

Keturunan ke-10. Galih Asem

Keturunan ke-11. Gropak waton

Keturunan ke-12. Cendheng

Keturunan ke-13. Giyeng

Keturunan ke-14. Cumpleng

Keturunan ke-15. Ampleng

Keturunan ke-16. Menyaman

Keturunan ke-17. Menya-menya

Keturunan ke-18. Trah tumerah


#filosofijawa #fp #fypjangkauanluas

Pembangunan jembatan kereta api di Hindia Belanda, kemungkinan pada jalur Djoekja-Magelang, c. 1880 - 1910 Sumber : Andre Owen

 Pembangunan jembatan kereta api di Hindia Belanda, kemungkinan pada jalur Djoekja-Magelang, c. 1880 - 1910



Sumber : Andre Owen

25 October 2025

TRAGEDI JENDERAL BINTANG SATU: Kisah Mustafa Sjarief Soepardjo, Pangkat Tertinggi dalam Pusaran G30S/PKI‼️ Sejarah kelam Gerakan 30 September (G30S) menutup lembaran terakhirnya bagi salah satu tokoh utama. Brigadir Jenderal (Brigjen) Mustafa Sjarief Soepardjo, perwira Angkatan Darat (AD) dengan pangkat tertinggi yang terlibat langsung dalam makar G30S, telah dieksekusi mati oleh regu tembak. Kisahnya adalah potret tragis seorang jenderal berpengalaman yang terjebak dalam pusaran konflik ideologi dan strategi militer yang kacau. Profil: Jenderal Ahli Taktik dari Gombong Mustafa Sjarief Soepardjo, lahir di Gombong, Kebumen, Jawa Tengah, pada 23 Maret 1923, memiliki rekam jejak militer yang cemerlang. Ia merupakan lulusan Sekolah Staf dan Komando di Quetta, Pakistan (Sumber: Tirto.id), dan dikenal sebagai ahli strategi militer. Puncak kariernya adalah ketika menjabat Panglima Komando Tempur II (Komput II) di Kalimantan Barat, memimpin 13 batalyon gabungan dalam kampanye Konfrontasi Ganyang Malaysia (Sumber: Merdeka.com). Pada September 1965, Soepardjo tiba di Jakarta atas panggilan mendadak dari Panglima Kolaga, Laksamana Madya Omar Dhani. Namun, alih-alih kembali ke posnya di Kalimantan, ia justru terjerumus dalam pertemuan-pertemuan rahasia yang merencanakan "Gerakan 30 September". Dalam struktur Dewan Revolusi yang dibentuk sepihak, nama Brigjen Soepardjo dicatut sebagai Wakil Ketua, sebuah posisi di bawah perwira yang dua tingkat lebih rendah, Letnan Kolonel Untung Sjamsuri. Peran Kunci di Malam Jahanam Keterlibatan Soepardjo memberikan bobot militer yang signifikan bagi G30S. Pada malam 30 September hingga dini hari 1 Oktober 1965, ia hadir di markas komando gerakan di Lubang Buaya/Halim Perdanakusuma. Perannya adalah sebagai perwira senior yang mengamati dan melaporkan perkembangan operasi penculikan kepada Presiden Soekarno yang berada di Halim. Namun, bukannya mendapat dukungan penuh, Presiden justru memerintahkan gerakan tersebut dihentikan (Sumber: Merdeka.com). Laporan dari berbagai sumber menyebutkan, kegagalan merespons perintah ini membuat Soepardjo tersadar akan kekalahan. "Kita Sudah Kalah," ucapnya, seperti dikutip dari kesaksiannya. Ia bahkan berupaya mengambil alih pimpinan dari Letkol Untung karena melihat gerakan itu tidak konsisten, tetapi usahanya ditolak oleh Sjam Kamaruzaman (Biro Khusus PKI) dan Untung (Sumber: Merdeka.com). 'Dokumen Soepardjo': Kritik Internal dari Seorang Loyalis Setelah gerakan itu dipatahkan oleh pasukan yang dipimpin oleh Mayjen Soeharto, Soepardjo menghilang dan menjadi buronan utama. Dalam pelariannya, sekitar tahun 1966, ia menulis sebuah analisis strategi militer yang kini dikenal sebagai "Dokumen Soepardjo" (ditemukan di Museum TNI Satria Mandala dan dikutip oleh Tempo.co dan Liputan6.com). Dokumen ini menjadi kritik pedas dan jujur dari seorang pelaku. Poin-poin utama kegagalan G30S menurutnya antara lain: Rencana Dangkal: "Rentjana operasinja ternjata tidak djelas. Terlalu dangkal," tulis Soepardjo. Fokus hanya pada penculikan tujuh jenderal tanpa rencana yang jelas bagaimana bertindak jika berhasil atau gagal (Sumber: Liputan6.com). Ketiadaan Komando Tunggal: Ia menyebut adanya tarik ulur antara kubu militer (Untung cs) dan Biro Khusus PKI (Sjam cs), yang menyebabkan tidak adanya garis komando yang ketat dan solid (Sumber: Tirto.id). Kekacauan Logistik: Soepardjo mencatat, pasukan mengalami kemacetan gerakan karena "tidak makan semenjak pagi, siang dan malam," menunjukkan buruknya persiapan operasional (Sumber: Tirto.id). Akhir Pelarian di Hari Raya Selama satu setengah tahun, Brigjen Soepardjo menjadi buronan yang paling sulit ditangkap oleh Operasi Kalong Kodam V/Jaya. Ia berpindah-pindah persembunyian, mulai dari Cilincing hingga ke kawasan Halim (Sumber: Historia.ID). Drama penangkapan Soepardjo berakhir pada dini hari 12 Januari 1967, bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri. Tim Operasi Kalong yang dipimpin Kapten CPM Suroso berhasil mengepung sebuah rumah di kompleks AURI Halim Perdanakusuma. Setelah penggeledahan, Soepardjo ditemukan bersembunyi di atas loteng dan menyerahkan diri setelah diancam tembak (Sumber: Historia.ID, - Operasi Kalong). Pada tahun yang sama, ia diadili di Mahmilub dan divonis hukuman mati. Grasi yang diajukan kepada Presiden Soeharto ditolak. Saksi mata di Rumah Tahanan Militer (RTM) Cimahi mengenang saat-saat terakhirnya. Sehari sebelum eksekusi, Soepardjo bertemu seluruh keluarganya. Pada pagi hari 16 Mei 1970 (meskipun ada sumber lain yang menyebut 18 Maret 1967, sumber Wikipedia dan Merdeka.com cenderung pada 16 Mei 1970), sebelum dibawa ke hadapan regu tembak, Soepardjo dikabarkan sempat mengumandangkan Adzan di dalam selnya, sebuah penutup kisah yang menyentuh hati para penghuni penjara (Sumber: Intisari Online, Wikipedia).

 TRAGEDI JENDERAL BINTANG SATU: Kisah Mustafa Sjarief Soepardjo, Pangkat Tertinggi dalam Pusaran G30S/PKI‼️



Sejarah kelam Gerakan 30 September (G30S) menutup lembaran terakhirnya bagi salah satu tokoh utama. Brigadir Jenderal (Brigjen) Mustafa Sjarief Soepardjo, perwira Angkatan Darat (AD) dengan pangkat tertinggi yang terlibat langsung dalam makar G30S, telah dieksekusi mati oleh regu tembak. Kisahnya adalah potret tragis seorang jenderal berpengalaman yang terjebak dalam pusaran konflik ideologi dan strategi militer yang kacau.


Profil: Jenderal Ahli Taktik dari Gombong

Mustafa Sjarief Soepardjo, lahir di Gombong, Kebumen, Jawa Tengah, pada 23 Maret 1923, memiliki rekam jejak militer yang cemerlang. Ia merupakan lulusan Sekolah Staf dan Komando di Quetta, Pakistan (Sumber: Tirto.id), dan dikenal sebagai ahli strategi militer. Puncak kariernya adalah ketika menjabat Panglima Komando Tempur II (Komput II) di Kalimantan Barat, memimpin 13 batalyon gabungan dalam kampanye Konfrontasi Ganyang Malaysia (Sumber: Merdeka.com).


Pada September 1965, Soepardjo tiba di Jakarta atas panggilan mendadak dari Panglima Kolaga, Laksamana Madya Omar Dhani. Namun, alih-alih kembali ke posnya di Kalimantan, ia justru terjerumus dalam pertemuan-pertemuan rahasia yang merencanakan "Gerakan 30 September". Dalam struktur Dewan Revolusi yang dibentuk sepihak, nama Brigjen Soepardjo dicatut sebagai Wakil Ketua, sebuah posisi di bawah perwira yang dua tingkat lebih rendah, Letnan Kolonel Untung Sjamsuri.


Peran Kunci di Malam Jahanam

Keterlibatan Soepardjo memberikan bobot militer yang signifikan bagi G30S. Pada malam 30 September hingga dini hari 1 Oktober 1965, ia hadir di markas komando gerakan di Lubang Buaya/Halim Perdanakusuma.


Perannya adalah sebagai perwira senior yang mengamati dan melaporkan perkembangan operasi penculikan kepada Presiden Soekarno yang berada di Halim. Namun, bukannya mendapat dukungan penuh, Presiden justru memerintahkan gerakan tersebut dihentikan (Sumber: Merdeka.com).


Laporan dari berbagai sumber menyebutkan, kegagalan merespons perintah ini membuat Soepardjo tersadar akan kekalahan. "Kita Sudah Kalah," ucapnya, seperti dikutip dari kesaksiannya. Ia bahkan berupaya mengambil alih pimpinan dari Letkol Untung karena melihat gerakan itu tidak konsisten, tetapi usahanya ditolak oleh Sjam Kamaruzaman (Biro Khusus PKI) dan Untung (Sumber: Merdeka.com).


'Dokumen Soepardjo': Kritik Internal dari Seorang Loyalis

Setelah gerakan itu dipatahkan oleh pasukan yang dipimpin oleh Mayjen Soeharto, Soepardjo menghilang dan menjadi buronan utama. Dalam pelariannya, sekitar tahun 1966, ia menulis sebuah analisis strategi militer yang kini dikenal sebagai "Dokumen Soepardjo" (ditemukan di Museum TNI Satria Mandala dan dikutip oleh Tempo.co dan Liputan6.com).


Dokumen ini menjadi kritik pedas dan jujur dari seorang pelaku. Poin-poin utama kegagalan G30S menurutnya antara lain:


Rencana Dangkal: "Rentjana operasinja ternjata tidak djelas. Terlalu dangkal," tulis Soepardjo. Fokus hanya pada penculikan tujuh jenderal tanpa rencana yang jelas bagaimana bertindak jika berhasil atau gagal (Sumber: Liputan6.com).


Ketiadaan Komando Tunggal: Ia menyebut adanya tarik ulur antara kubu militer (Untung cs) dan Biro Khusus PKI (Sjam cs), yang menyebabkan tidak adanya garis komando yang ketat dan solid (Sumber: Tirto.id).


Kekacauan Logistik: Soepardjo mencatat, pasukan mengalami kemacetan gerakan karena "tidak makan semenjak pagi, siang dan malam," menunjukkan buruknya persiapan operasional (Sumber: Tirto.id).


Akhir Pelarian di Hari Raya

Selama satu setengah tahun, Brigjen Soepardjo menjadi buronan yang paling sulit ditangkap oleh Operasi Kalong Kodam V/Jaya. Ia berpindah-pindah persembunyian, mulai dari Cilincing hingga ke kawasan Halim (Sumber: Historia.ID).


Drama penangkapan Soepardjo berakhir pada dini hari 12 Januari 1967, bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri. Tim Operasi Kalong yang dipimpin Kapten CPM Suroso berhasil mengepung sebuah rumah di kompleks AURI Halim Perdanakusuma. Setelah penggeledahan, Soepardjo ditemukan bersembunyi di atas loteng dan menyerahkan diri setelah diancam tembak (Sumber: Historia.ID, - Operasi Kalong).


Pada tahun yang sama, ia diadili di Mahmilub dan divonis hukuman mati. Grasi yang diajukan kepada Presiden Soeharto ditolak.


Saksi mata di Rumah Tahanan Militer (RTM) Cimahi mengenang saat-saat terakhirnya. Sehari sebelum eksekusi, Soepardjo bertemu seluruh keluarganya. Pada pagi hari 16 Mei 1970 (meskipun ada sumber lain yang menyebut 18 Maret 1967, sumber Wikipedia dan Merdeka.com cenderung pada 16 Mei 1970), sebelum dibawa ke hadapan regu tembak, Soepardjo dikabarkan sempat mengumandangkan Adzan di dalam selnya, sebuah penutup kisah yang menyentuh hati para penghuni penjara (Sumber: Intisari Online, Wikipedia).

24 October 2025

KAHAR MUZAKKAR SANG PATRIOT YANG AKHIRNYA MEMBERONTAK PADA NEGARA Nama Abdul Kahar Muzakkar terukir dalam sejarah Indonesia dengan tinta paradoks. Di satu sisi, ia adalah pejuang kemerdekaan yang gigih dari tanah Sulawesi. Di sisi lain, ia adalah simbol pemberontakan regional terlama yang pernah dihadapi republik muda. Kisahnya adalah studi kasus klasik tentang bagaimana idealisme kedaerahan, kekecewaan politik, dan realitas konsolidasi negara baru dapat berbenturan secara tragis. Perjalanan Kahar Muzakkar bukanlah hitam-putih. Ia adalah potret rumit seorang patriot yang merasa dikhianati, yang akhirnya memilih jalan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah pusat yang turut ia perjuangkan. Bagian I: Api Perjuangan dari Luwu Lahir di Luwu, Sulawesi Selatan, pada tahun 1921, Kahar Muzakkar tumbuh dalam gejolak zaman. Ia dikenal sebagai sosok pemuda cerdas, karismatik, namun juga keras kepala. Pendidikan awalnya di sekolah Muhammadiyah membentuk pandangan keislamannya yang kuat. Ketika api revolusi kemerdekaan berkobar pasca-1945, Kahar tidak tinggal diam. Ia aktif dalam perjuangan gerilya melawan Belanda (NICA) di Sulawesi. Namanya mencuat sebagai pemimpin Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS). Ia piawai mengorganisasi laskar-laskar rakyat yang tersebar di pedalaman. Bagi para pengikutnya, Kahar adalah simbol perlawanan dan harga diri rakyat Sulawesi. Ia memimpin mereka dalam pertempuran sengit, menanamkan semangat jihad melawan penjajah. Dedikasinya pada kemerdekaan tak perlu diragukan; ia adalah patriot di garis depan. Bagian II: Titik Patah di Meja Reorganisasi Bentrokan fatal itu dimulai bukan dengan peluru, melainkan dengan birokrasi. Setelah pengakuan kedaulatan pada akhir 1949, Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS)—yang kemudian menjadi RI—memulai program berat: rasionalisasi dan reorganisasi tentara. Semua laskar rakyat, termasuk yang dipimpin Kahar, harus dilebur ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS), yang kelak menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Di sinilah letak masalahnya. Kahar Muzakkar memimpin sekitar 10.000 gerilyawan yang tergabung dalam Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS). Ia memiliki tuntutan yang jelas kepada Jakarta: Seluruh anggota KGSS harus diterima menjadi anggota APRIS. Mereka ingin dibentuk dalam satu brigade tersendiri, yakni Brigade Hasanuddin. Kahar Muzakkar sendiri yang harus menjadi komandan brigade tersebut, dengan pangkat Letnan Kolonel. Penolakan dari Jakarta Pemerintah pusat, yang dimotori oleh A.H. Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), menolak tuntutan tersebut. Bagi Jakarta, tentara profesional harus didasarkan pada standar pendidikan formal dan pelatihan militer standar (banyak perwira inti TNI saat itu berlatar belakang KNIL atau PETA), bukan sekadar pengalaman gerilya. Pemerintah hanya mau menerima anggota KGSS secara individual dan melalui seleksi ketat. Tawaran kompromi diajukan: Kahar ditawari pangkat Letnan Kolonel, namun ditempatkan di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) di Jakarta, jauh dari pasukannya. Bagi Kahar, ini adalah penghinaan. Ia dan pasukannya merasa telah berjuang, berdarah-darah mengusir Belanda, namun kini disingkirkan oleh "tentara salon" di Jakarta yang tidak memahami pahitnya perang gerilya. Mereka merasa perjuangan mereka tidak dihargai. Bagian III: Dari Hutan ke Bendera DI/TII Merasa dikhianati dan tersingkir, Kahar Muzakkar membuat pilihan drastis. Pada April 1950, ia menolak tawaran Jakarta dan memutuskan "turun gunung"—atau lebih tepatnya, kembali ke hutan—bersama para pengikutnya yang setia. Awalnya, gerakan Kahar murni bersifat protes regional dan kekecewaan militer. Ia menuntut otonomi yang lebih besar bagi Sulawesi dan penghargaan atas jasa para gerilyawan. Namun, isolasi dan tekanan dari operasi militer pemerintah pusat mendorongnya ke arah yang lebih ideologis. Pada 7 Agustus 1953, Kahar Muzakkar mengambil langkah yang mengubah statusnya dari seorang "pejuang kecewa" menjadi "pemberontak". Ia memproklamasikan bahwa Sulawesi Selatan adalah bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) yang sebelumnya telah diproklamasikan oleh Kartosuwiryo di Jawa Barat. Gerakannya secara resmi bergabung dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Kahar diangkat menjadi Panglima Divisi IV TII. Perjuangan yang tadinya menuntut hak militer, kini berubah menjadi perjuangan ideologis untuk mendirikan negara berdasarkan syariat Islam, terpisah dari Republik Indonesia yang dianggapnya sekuler. Bagian IV: Perang Gerilya Panjang dan Akhir di Sungai Lasolo Pemberontakan DI/TII di bawah Kahar Muzakkar berlangsung sangat lama, bertahan selama 15 tahun (1950-1965). Ia menerapkan taktik gerilya yang brilian, memanfaatkan medan hutan dan pegunungan Sulawesi yang ia kuasai, serta dukungan kuat (seringkali di bawah paksaan) dari basis massa di pedesaan. Pemerintah pusat silih berganti melancarkan operasi militer (seperti Operasi Kilat dan Operasi Tumpas) untuk menaklukkannya, namun selalu gagal. Kahar licin seperti belut. Namun, kekuatan gerilya akhirnya terkikis. Perselisihan internal, tekanan militer TNI yang semakin intensif di bawah komando Jenderal M. Jusuf (yang ironisnya juga putra Sulawesi), dan kelelahan rakyat membuat ruang gerak Kahar semakin sempit. Pada 3 Februari 1965, dalam sebuah penyergapan Operasi Tumpas oleh Batalion 330/Kujang I dari Divisi Siliwangi, pelarian Kahar Muzakkar berakhir. Ia tewas tertembak di tepi Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara. Jasadnya dilaporkan diterbangkan ke Makassar untuk diidentifikasi sebelum dimakamkan di lokasi yang dirahasiakan oleh militer untuk mencegah makamnya dijadikan simbol perlawanan baru. Kematian Kahar menandai berakhirnya pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan. Namun, kisahnya tetap menjadi memori kolektif yang kompleks: seorang pahlawan revolusi yang berbelok menjadi musuh negara, didorong oleh apa yang ia yakini sebagai pengkhianatan atas idealismenya. SUMBER DAN REFERENSI UTAMA Kisah ini disarikan dari berbagai catatan sejarah dan analisis akademik. Berikut adalah beberapa sumber kunci yang mengulas fenomena Kahar Muzakkar: Harvey, Barbara Sillars. (1974). Tradition, Islam and Rebellion: South Sulawesi 1950-1965. Disertasi doktoral dari Cornell University ini dianggap sebagai studi paling komprehensif dan mendalam mengenai latar belakang sosial, budaya, dan politik pemberontakan Kahar Muzakkar. Gonggong, Anhar. (1992). Abdul Qahhar Mudzakkar: Dari Patriot Hingga Pemberontak. Buku karya sejarawan Indonesia ini memberikan biografi mendetail mengenai perjalanan hidup Kahar, ditulis dari perspektif nasional. Van Dijk, Cornelis. (1981). Rebellion under the Banner of Islam: The Darul Islam in Indonesia. Buku ini menempatkan gerakan Kahar Muzakkar dalam konteks pemberontakan DI/TII yang lebih luas di berbagai wilayah Indonesia (Jawa Barat, Aceh). Nasution, A.H. (1977). Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia. Memoar Jenderal Nasution memberikan perspektif dari pemerintah pusat mengenai kebijakan rasionalisasi APRIS yang menjadi pemicu awal konflik. Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI. (1994). Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Kodam VII/Wirabuana. Catatan sejarah militer resmi ini merinci operasi-operasi penumpasan yang dilakukan TNI terhadap gerakan Kahar Muzakkar. Ricklefs, M.C. (2008). A History of Modern Indonesia since c. 1200. Buku teks standar mengenai sejarah Indonesia modern ini menempatkan pemberontakan Kahar dalam konteks konsolidasi negara-bangsa pasca-kemerdekaan.

 KAHAR MUZAKKAR SANG PATRIOT YANG AKHIRNYA MEMBERONTAK PADA NEGARA


Nama Abdul Kahar Muzakkar terukir dalam sejarah Indonesia dengan tinta paradoks. Di satu sisi, ia adalah pejuang kemerdekaan yang gigih dari tanah Sulawesi. Di sisi lain, ia adalah simbol pemberontakan regional terlama yang pernah dihadapi republik muda. Kisahnya adalah studi kasus klasik tentang bagaimana idealisme kedaerahan, kekecewaan politik, dan realitas konsolidasi negara baru dapat berbenturan secara tragis.



Perjalanan Kahar Muzakkar bukanlah hitam-putih. Ia adalah potret rumit seorang patriot yang merasa dikhianati, yang akhirnya memilih jalan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah pusat yang turut ia perjuangkan.


Bagian I: Api Perjuangan dari Luwu

Lahir di Luwu, Sulawesi Selatan, pada tahun 1921, Kahar Muzakkar tumbuh dalam gejolak zaman. Ia dikenal sebagai sosok pemuda cerdas, karismatik, namun juga keras kepala. Pendidikan awalnya di sekolah Muhammadiyah membentuk pandangan keislamannya yang kuat.


Ketika api revolusi kemerdekaan berkobar pasca-1945, Kahar tidak tinggal diam. Ia aktif dalam perjuangan gerilya melawan Belanda (NICA) di Sulawesi. Namanya mencuat sebagai pemimpin Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS). Ia piawai mengorganisasi laskar-laskar rakyat yang tersebar di pedalaman.


Bagi para pengikutnya, Kahar adalah simbol perlawanan dan harga diri rakyat Sulawesi. Ia memimpin mereka dalam pertempuran sengit, menanamkan semangat jihad melawan penjajah. Dedikasinya pada kemerdekaan tak perlu diragukan; ia adalah patriot di garis depan.


Bagian II: Titik Patah di Meja Reorganisasi

Bentrokan fatal itu dimulai bukan dengan peluru, melainkan dengan birokrasi. Setelah pengakuan kedaulatan pada akhir 1949, Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS)—yang kemudian menjadi RI—memulai program berat: rasionalisasi dan reorganisasi tentara.


Semua laskar rakyat, termasuk yang dipimpin Kahar, harus dilebur ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS), yang kelak menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Di sinilah letak masalahnya.


Kahar Muzakkar memimpin sekitar 10.000 gerilyawan yang tergabung dalam Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS). Ia memiliki tuntutan yang jelas kepada Jakarta:


Seluruh anggota KGSS harus diterima menjadi anggota APRIS.


Mereka ingin dibentuk dalam satu brigade tersendiri, yakni Brigade Hasanuddin.


Kahar Muzakkar sendiri yang harus menjadi komandan brigade tersebut, dengan pangkat Letnan Kolonel.


Penolakan dari Jakarta

Pemerintah pusat, yang dimotori oleh A.H. Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), menolak tuntutan tersebut. Bagi Jakarta, tentara profesional harus didasarkan pada standar pendidikan formal dan pelatihan militer standar (banyak perwira inti TNI saat itu berlatar belakang KNIL atau PETA), bukan sekadar pengalaman gerilya.


Pemerintah hanya mau menerima anggota KGSS secara individual dan melalui seleksi ketat. Tawaran kompromi diajukan: Kahar ditawari pangkat Letnan Kolonel, namun ditempatkan di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) di Jakarta, jauh dari pasukannya.


Bagi Kahar, ini adalah penghinaan. Ia dan pasukannya merasa telah berjuang, berdarah-darah mengusir Belanda, namun kini disingkirkan oleh "tentara salon" di Jakarta yang tidak memahami pahitnya perang gerilya. Mereka merasa perjuangan mereka tidak dihargai.


Bagian III: Dari Hutan ke Bendera DI/TII

Merasa dikhianati dan tersingkir, Kahar Muzakkar membuat pilihan drastis. Pada April 1950, ia menolak tawaran Jakarta dan memutuskan "turun gunung"—atau lebih tepatnya, kembali ke hutan—bersama para pengikutnya yang setia.


Awalnya, gerakan Kahar murni bersifat protes regional dan kekecewaan militer. Ia menuntut otonomi yang lebih besar bagi Sulawesi dan penghargaan atas jasa para gerilyawan. Namun, isolasi dan tekanan dari operasi militer pemerintah pusat mendorongnya ke arah yang lebih ideologis.


Pada 7 Agustus 1953, Kahar Muzakkar mengambil langkah yang mengubah statusnya dari seorang "pejuang kecewa" menjadi "pemberontak". Ia memproklamasikan bahwa Sulawesi Selatan adalah bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) yang sebelumnya telah diproklamasikan oleh Kartosuwiryo di Jawa Barat.


Gerakannya secara resmi bergabung dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Kahar diangkat menjadi Panglima Divisi IV TII. Perjuangan yang tadinya menuntut hak militer, kini berubah menjadi perjuangan ideologis untuk mendirikan negara berdasarkan syariat Islam, terpisah dari Republik Indonesia yang dianggapnya sekuler.


Bagian IV: Perang Gerilya Panjang dan Akhir di Sungai Lasolo

Pemberontakan DI/TII di bawah Kahar Muzakkar berlangsung sangat lama, bertahan selama 15 tahun (1950-1965). Ia menerapkan taktik gerilya yang brilian, memanfaatkan medan hutan dan pegunungan Sulawesi yang ia kuasai, serta dukungan kuat (seringkali di bawah paksaan) dari basis massa di pedesaan.


Pemerintah pusat silih berganti melancarkan operasi militer (seperti Operasi Kilat dan Operasi Tumpas) untuk menaklukkannya, namun selalu gagal. Kahar licin seperti belut.


Namun, kekuatan gerilya akhirnya terkikis. Perselisihan internal, tekanan militer TNI yang semakin intensif di bawah komando Jenderal M. Jusuf (yang ironisnya juga putra Sulawesi), dan kelelahan rakyat membuat ruang gerak Kahar semakin sempit.


Pada 3 Februari 1965, dalam sebuah penyergapan Operasi Tumpas oleh Batalion 330/Kujang I dari Divisi Siliwangi, pelarian Kahar Muzakkar berakhir. Ia tewas tertembak di tepi Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara. Jasadnya dilaporkan diterbangkan ke Makassar untuk diidentifikasi sebelum dimakamkan di lokasi yang dirahasiakan oleh militer untuk mencegah makamnya dijadikan simbol perlawanan baru.


Kematian Kahar menandai berakhirnya pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan. Namun, kisahnya tetap menjadi memori kolektif yang kompleks: seorang pahlawan revolusi yang berbelok menjadi musuh negara, didorong oleh apa yang ia yakini sebagai pengkhianatan atas idealismenya.


SUMBER DAN REFERENSI UTAMA

Kisah ini disarikan dari berbagai catatan sejarah dan analisis akademik. Berikut adalah beberapa sumber kunci yang mengulas fenomena Kahar Muzakkar:


Harvey, Barbara Sillars. (1974). Tradition, Islam and Rebellion: South Sulawesi 1950-1965. Disertasi doktoral dari Cornell University ini dianggap sebagai studi paling komprehensif dan mendalam mengenai latar belakang sosial, budaya, dan politik pemberontakan Kahar Muzakkar.


Gonggong, Anhar. (1992). Abdul Qahhar Mudzakkar: Dari Patriot Hingga Pemberontak. Buku karya sejarawan Indonesia ini memberikan biografi mendetail mengenai perjalanan hidup Kahar, ditulis dari perspektif nasional.


Van Dijk, Cornelis. (1981). Rebellion under the Banner of Islam: The Darul Islam in Indonesia. Buku ini menempatkan gerakan Kahar Muzakkar dalam konteks pemberontakan DI/TII yang lebih luas di berbagai wilayah Indonesia (Jawa Barat, Aceh).


Nasution, A.H. (1977). Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia. Memoar Jenderal Nasution memberikan perspektif dari pemerintah pusat mengenai kebijakan rasionalisasi APRIS yang menjadi pemicu awal konflik.


Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI. (1994). Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Kodam VII/Wirabuana. Catatan sejarah militer resmi ini merinci operasi-operasi penumpasan yang dilakukan TNI terhadap gerakan Kahar Muzakkar.


Ricklefs, M.C. (2008). A History of Modern Indonesia since c. 1200. Buku teks standar mengenai sejarah Indonesia modern ini menempatkan pemberontakan Kahar dalam konteks konsolidasi negara-bangsa pasca-kemerdekaan.

KISAH PILU PANGLIMA BATUR, PEMBERANI DAYAK ISLAM YANG DIKHIANATI OLEH AIR MATA KASIH SAYANG BANJARMASIN— Di jantung Pulau Borneo, dari pusaran air Sungai Barito yang keruh dan perkasa, bangkitlah seorang putra dusun dengan jiwa membara, Panglima Batur bin Barui (1852-1905). Kisahnya bukan sekadar catatan perang, melainkan sebuah tragedi heroik yang mengoyak hati, tentang kesetiaan seorang panglima Dayak-Bakumpai kepada tanah, agama, dan pemimpinnya, hingga titik darah penghabisan di tiang gantungan. Panglima Batur adalah ujung tombak dari Perang Barito, sebuah episode menyayat hati yang menjadi kelanjutan Perang Banjar (1859-1905). Bersama Sultan Muhammad Seman, putra Pangeran Antasari, Batur bersumpah mempertahankan kedaulatan Banjar hingga napas terakhir. Benteng Manawing: Saksi Bisu Kesetiaan yang Hancur Panglima Batur, seorang panglima perang yang terkenal cerdik, pemberani, dan disegani, menjadikan Benteng Manawing sebagai pertahanan terakhir. Benteng kayu ini adalah harapan terakhir rakyat melawan serbuan Kompeni Belanda, yang dipimpin Letnan Christofel dengan pasukan Marsose berpengalaman dari Perang Aceh. Namun, takdir berkata lain. Pada Januari 1905, badai serangan yang tak seimbang menghantam Manawing. Panglima Batur, yang saat itu ditugaskan mencari bantuan mesiu ke Kesultanan Pasir, harus menelan pil pahit. Sekembalinya ia dari misi, Benteng Manawing telah musnah. Pilu tak terperikan membekap dadanya. Di antara puing-puing, ia mendapati kabar duka yang meruntuhkan semangatnya: Sultan Muhammad Seman, sang pemimpin agung, telah gugur tertembak sebagai kusuma bangsa. "Kesedihan yang mendalam, bukan hanya kehilangan pemimpin, tetapi rasa hampa karena pertahanan terakhir telah direnggut paksa," ujar sejarawan setempat (Sjamsuddin, Helius, Pegustian dan Temenggung, 2001). Jebakan Licik yang Memanfaatkan Hati Nurani Setelah gugurnya Sultan Seman, Panglima Batur menjadi satu-satunya pimpinan perjuangan yang tersisa, terlalu licin untuk ditangkap Belanda. Ia dikenal memiliki keteguhan hati baja, namun memiliki satu kelemahan fatal: mudah terharu dan bersedih melihat penderitaan orang-orang yang dicintainya, terutama keluarga dan anak buahnya. Kelemahan inilah yang menjadi senjata paling kejam di tangan Residen Belanda, van Wear. Belanda menyusun jebakan biadab. Mereka menangkap dan menyiksa keponakan Panglima Batur di Kampung Lemo. Pesan disampaikan: keponakan tersebut akan dibebaskan hanya jika sang Panglima bersedia datang untuk "berunding". Hati seorang panglima sejati, yang selama ini kebal peluru dan pantang menyerah, luluh oleh tangis keponakannya. Antara tugas suci dan jeritan kasih sayang keluarga, Panglima Batur memilih yang terakhir. Dengan langkah berat dan diiringi orang-orang sekampung yang berduka, ia berangkat ke Muara Teweh pada 24 Agustus 1905. Namun, janji "perundingan" itu hanyalah sebuah topeng penghinaan. Setibanya di sana, Panglima Batur langsung ditangkap sebagai tawanan. Permintaan Terakhir di Tiang Gantungan Setelah dua minggu ditawan dan diarak keliling Muara Teweh dan Banjarmasin, dipermalukan sebagai "pemberontak keras kepala," Panglima Batur dihadapkan ke pengadilan kolonial. Mahkamah Agung Batavia menjatuhkan hukuman yang paling keji: mati di tiang gantungan. Pagi buta tanggal 15 September 1905 (versi lain: 30 Mei 1906), di halaman penjara Banjarmasin, ribuan rakyat berdatangan, namun dilarang menyaksikan. Di tengah kesunyian mencekam itu, Panglima Batur menyampaikan permintaan terakhirnya: ia meminta dibacakan Dua Kalimah Syahadat. Permintaan seorang panglima Dayak yang teguh memeluk Islam itu disambut dengan keheningan khidmat. Ia menyambut tali gantungan dengan ketenangan luar biasa, seolah-olah tiang itu adalah pintu gerbang menuju kemuliaan abadi. Panglima Batur gugur sebagai martir, dimakamkan pertama kali di belakang Masjid Jami Banjarmasin, dan kemudian dipindahkan ke Kompleks Makam Pangeran Antasari, menyatu kembali dengan pemimpinnya (Sumber: Koran De Preanger-Bode edisi 14 Juni 1906; Sjamsuddin, Helius, 2001). Kisah Panglima Batur adalah epitaf abadi tentang perjuangan, pengorbanan, dan harga yang harus dibayar demi harga diri bangsa. Ia adalah pahlawan dari Barito, yang kelemahan terbesarnya justru adalah kemanusiaannya yang tulus. SUMBER-SUMBER PENDUKUNG: Helius Sjamsuddin, Pegustian dan Temenggung: akar sosial, politik, etnis, dan dinasti perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, 1859-1906. Balai Pustaka, 2001. Koran De Preanger-Bode edisi 14 Juni 1906 (Dokumen Belanda). Harto Juwono dan Yosephine H, Perang Barito 1900-1907: Perlawanan Panglima Batur. Banjar Aji, 2008. H. Mukeri Inas, Sosok Panglima Batur di Kancah Perang Barito. Penerbit Mekar Surya, 2012. Arsip Sejarah Lokal Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah (lisan dan tulisan).

 KISAH PILU PANGLIMA BATUR, PEMBERANI DAYAK ISLAM YANG DIKHIANATI OLEH AIR MATA KASIH SAYANG



BANJARMASIN— Di jantung Pulau Borneo, dari pusaran air Sungai Barito yang keruh dan perkasa, bangkitlah seorang putra dusun dengan jiwa membara, Panglima Batur bin Barui (1852-1905). Kisahnya bukan sekadar catatan perang, melainkan sebuah tragedi heroik yang mengoyak hati, tentang kesetiaan seorang panglima Dayak-Bakumpai kepada tanah, agama, dan pemimpinnya, hingga titik darah penghabisan di tiang gantungan.


Panglima Batur adalah ujung tombak dari Perang Barito, sebuah episode menyayat hati yang menjadi kelanjutan Perang Banjar (1859-1905). Bersama Sultan Muhammad Seman, putra Pangeran Antasari, Batur bersumpah mempertahankan kedaulatan Banjar hingga napas terakhir.


Benteng Manawing: Saksi Bisu Kesetiaan yang Hancur


Panglima Batur, seorang panglima perang yang terkenal cerdik, pemberani, dan disegani, menjadikan Benteng Manawing sebagai pertahanan terakhir. Benteng kayu ini adalah harapan terakhir rakyat melawan serbuan Kompeni Belanda, yang dipimpin Letnan Christofel dengan pasukan Marsose berpengalaman dari Perang Aceh.


Namun, takdir berkata lain. Pada Januari 1905, badai serangan yang tak seimbang menghantam Manawing. Panglima Batur, yang saat itu ditugaskan mencari bantuan mesiu ke Kesultanan Pasir, harus menelan pil pahit. Sekembalinya ia dari misi, Benteng Manawing telah musnah.


Pilu tak terperikan membekap dadanya. Di antara puing-puing, ia mendapati kabar duka yang meruntuhkan semangatnya: Sultan Muhammad Seman, sang pemimpin agung, telah gugur tertembak sebagai kusuma bangsa.


"Kesedihan yang mendalam, bukan hanya kehilangan pemimpin, tetapi rasa hampa karena pertahanan terakhir telah direnggut paksa," ujar sejarawan setempat (Sjamsuddin, Helius, Pegustian dan Temenggung, 2001).


Jebakan Licik yang Memanfaatkan Hati Nurani


Setelah gugurnya Sultan Seman, Panglima Batur menjadi satu-satunya pimpinan perjuangan yang tersisa, terlalu licin untuk ditangkap Belanda. Ia dikenal memiliki keteguhan hati baja, namun memiliki satu kelemahan fatal: mudah terharu dan bersedih melihat penderitaan orang-orang yang dicintainya, terutama keluarga dan anak buahnya.


Kelemahan inilah yang menjadi senjata paling kejam di tangan Residen Belanda, van Wear.


Belanda menyusun jebakan biadab. Mereka menangkap dan menyiksa keponakan Panglima Batur di Kampung Lemo. Pesan disampaikan: keponakan tersebut akan dibebaskan hanya jika sang Panglima bersedia datang untuk "berunding".


Hati seorang panglima sejati, yang selama ini kebal peluru dan pantang menyerah, luluh oleh tangis keponakannya. Antara tugas suci dan jeritan kasih sayang keluarga, Panglima Batur memilih yang terakhir. Dengan langkah berat dan diiringi orang-orang sekampung yang berduka, ia berangkat ke Muara Teweh pada 24 Agustus 1905.


Namun, janji "perundingan" itu hanyalah sebuah topeng penghinaan. Setibanya di sana, Panglima Batur langsung ditangkap sebagai tawanan.


Permintaan Terakhir di Tiang Gantungan


Setelah dua minggu ditawan dan diarak keliling Muara Teweh dan Banjarmasin, dipermalukan sebagai "pemberontak keras kepala," Panglima Batur dihadapkan ke pengadilan kolonial. Mahkamah Agung Batavia menjatuhkan hukuman yang paling keji: mati di tiang gantungan.


Pagi buta tanggal 15 September 1905 (versi lain: 30 Mei 1906), di halaman penjara Banjarmasin, ribuan rakyat berdatangan, namun dilarang menyaksikan. Di tengah kesunyian mencekam itu, Panglima Batur menyampaikan permintaan terakhirnya: ia meminta dibacakan Dua Kalimah Syahadat.


Permintaan seorang panglima Dayak yang teguh memeluk Islam itu disambut dengan keheningan khidmat. Ia menyambut tali gantungan dengan ketenangan luar biasa, seolah-olah tiang itu adalah pintu gerbang menuju kemuliaan abadi.


Panglima Batur gugur sebagai martir, dimakamkan pertama kali di belakang Masjid Jami Banjarmasin, dan kemudian dipindahkan ke Kompleks Makam Pangeran Antasari, menyatu kembali dengan pemimpinnya (Sumber: Koran De Preanger-Bode edisi 14 Juni 1906; Sjamsuddin, Helius, 2001).


Kisah Panglima Batur adalah epitaf abadi tentang perjuangan, pengorbanan, dan harga yang harus dibayar demi harga diri bangsa. Ia adalah pahlawan dari Barito, yang kelemahan terbesarnya justru adalah kemanusiaannya yang tulus.


SUMBER-SUMBER PENDUKUNG:


Helius Sjamsuddin, Pegustian dan Temenggung: akar sosial, politik, etnis, dan dinasti perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, 1859-1906. Balai Pustaka, 2001.


Koran De Preanger-Bode edisi 14 Juni 1906 (Dokumen Belanda).


Harto Juwono dan Yosephine H, Perang Barito 1900-1907: Perlawanan Panglima Batur. Banjar Aji, 2008.


H. Mukeri Inas, Sosok Panglima Batur di Kancah Perang Barito. Penerbit Mekar Surya, 2012.


Arsip Sejarah Lokal Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah (lisan dan tulisan).

Presiden Soeharto menandatangani RAPBN 1969 pada 21 Mart 1969 sebagai awal dimulainya Repelita1. Dibentuknya tim ahli ekonomi yang mengarsiteki ekonomi orde baru yang sering di sebut 'Mafia Berkeley" yang terdiri dari Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, dan Mohammad Sadli yang semuanya akademisi lulusan AS. Sedangkan Sumitro Joyohadikusumo ditugasi sebagai menteri perdagangan. Pada 1 April 1969 dimulainyah pelaksanaan Pelita I (1969–1974). Program kerja Pelita I adalah untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya. Sarannya prioritasnya pembangunan pangan, sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Dengan memprioritaskan pembangunan bidang pertanian untuk mencukupi kebutuhan makan rakyat. 📷Nostalgia era 80 an

 Presiden Soeharto menandatangani RAPBN 1969 pada 21 Mart 1969 sebagai awal dimulainya Repelita1. Dibentuknya tim ahli ekonomi yang mengarsiteki ekonomi orde baru yang sering di sebut 'Mafia Berkeley" yang terdiri dari  Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, dan Mohammad Sadli yang semuanya akademisi lulusan AS. Sedangkan Sumitro Joyohadikusumo ditugasi sebagai menteri perdagangan. Pada 1 April 1969 dimulainyah  pelaksanaan Pelita I (1969–1974). Program kerja Pelita I adalah untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya. Sarannya prioritasnya pembangunan pangan, sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.

Dengan memprioritaskan pembangunan bidang pertanian untuk mencukupi kebutuhan makan rakyat.



📷Nostalgia era 80 an