Sentot Ali Basya Abdullah Mustafa Prawirodirjo
( Sentot Prawirodirdjo/ Sentot Ali Pasha )
Lahir : Kecamatan Maospati, Kabupaten Magetan, Provinsi Jawa Timur, 1808/1807/ 1809 M
Panglima Perang Diponegoro
Perjuangan : 1825 - 1830 M
Gelar Pahlawan Nasional : Pahlawan Perjuangan Nasional.
Orang Tua : ♂ Kanjeng Raden Adipati Haryo Ronggo Prawirodirdja III ? (Adipati Maospati Madiun ke III), ♀ Raden Roro Genosari.
Saudara : ♂Raden Ronggo Prawirodiningrat ( Bupati Madiun), ♂Raden Adipati Yododiningrat (Bupati Ngawi), ♀Raden Ayu Suronoto, ♀Raden Ayu Somoprawiro, ♀Raden Ayu Prawirodilogo, ♀Raden Ayu Notodipuro, ♀Raden Ayu Suryokusumo, ♀Raden Ayu Suryongalogo, ♀Raden Ayu Prawironegoro, ♂ Raden Abdul Kamil Alibasyah Raden Basyah (Raden Ronggo), ♀Raden Ayu Maduretno / Raden Ayu Diponegoro (Bendoro Raden Ayu Ontowiryo).
Istri : ♀ Raden Ayu Sentotprawirodirjo, ♀️R.Aju Ali Basya I Giripurno, ♀️Raden Ayu Ali Basya II Madiun, ♀️Raden Ayu Sri Penganti, ♀️Raden Ayu Adaninggar Bengkulu, ♀️Putri Bengkulu, ♀️Putri dari Padang, ♀️Putri dari Madiun, ♀️Bray. Padmosari.
Anak : ♀ Gusti Kanjeng Ratu Kencana (Bendara Raden Ayu Retno Sriwulan), ♂️Nursjewan Prawirodiningrat, ♀️RAy. Danoeprawiro, ♀️RAy Panji Soemoprawiro.
Wafat : Bengkulu, 17 April 1855/ 1885 M
Makam : 6767+C97, Bajak, Kec. Tlk. Segara, Kota Bengkulu, Bengkulu 38115.
Keterangan :
Sentot Alibasyah Prawirodirjo (1807 – 1885), sang “Napoleon Jawa”. Nama aslinya Sentot Prawiro Dirjo. Menyandang “pangkat” Phasya atau Bashya di usia 17 tahun. Gelar yang diambil dari struktur tentara Turki Utsmani itu berarti panglima perang.
Setelah diangkat menjadi panglima perang oleh Pangeran Diponegoro dia menjadi Sentot Alibasyah Prawirodirjo.
Sentot Prawirodirdjo (1807 - Bengkulu, 17 April 1855) yang juga di kenal sebagai Sentot Ali Pasha, atau orang-orang mengenalnya sebagai Sentot Ali Basha. Sentot Ali Basya Abdullah Mustafa Prawirodirjo adalah seorang panglima perang pada masa Perang Diponegoro. Ia adalah putra dari Ronggo Prawirodirjo, ipar Sultan Hamengku Buwono IV. Ayahnya dianggap pahlawan karena melawan Belanda dan terbunuh oleh penjajah Belanda yang saat itu dipimpin oleh Daendels. Dengan kematian ayahnya, Sentot Prawirodirdjo merasa dendam kepada Belanda sehingga akhirnya bergabung dengan Pangeran Diponegoro.
Nama "Sentot" adalah nama samaran perang yang berarti "terbang" atau "melesat" ini merujuk pada karekter perilaku orangnya. Sentot berarti meloloskan diri, melarikan diri, menarik diri, terbang, dan pada umumnya orang menafsirkannya sebagai karakter yang tidak mudah dikenal, seseorang yang temperamennya rumit dan kompleks. Digambarkan oleh kolonel Belanda selama perang, Mayor de Stuers sebagai "muda", "berapi-rapi", dan dalam segala hal seorang Jawa yang cemerlang yang tahu merambah jalan sendiri berkat kekuatan dan akalnya, dia mendapatkan nama dan pamornya dengan komandan medan Belanda karena keberanian dan mutu kepemimpinannya dalam pertempuran. Mayor Errembault memujinya sebagai;
"pemimpin pemberontak yang memiliki keberanian dan cara berjuang yang terbaik. Dia telah membayar cukup sering dengan badannya sendiri, karena telah kerap kali menerima luka sejak awal perang".
Ali Basah adalah pangkat panglima komandan yang terinspirasi dari unit militer Dinasti Usmaniyah di Turki diberikan oleh Pangeran Diponegoro atas keberaniannya tersebut pada saat beliau baru saja berumur 17 tahun pada awal 1826. Menurut Sejarawan Peter Carey, Gelar "Ali Basah" kemungkinan diambil dari istilah Turki Utsmani "Ali Pasha" (Pasha yang Mulia) atau dari nama Muhammad Ali Pasha, penguasa Mesir (berkuasa 1805-1849), gubernur atau wakil (pasha) terkemuka kesultanan Turki Utsmani awal abad ke-19.
Sentot Alibasyah dalam Lingkaran Perang Padri
Sentot memiliki pasukan khusus gerilya berkuda sejumlah 1000 orang yang semuanya bersorban. Pasukan Sentot tak ada yang infantri. Semua kavaleri berkuda dengan keutamaan serangan kilat, cepat dan mematikan!
Sangat menarik bahwa kisah akhir panglima militer muda yang jenius dan ditakuti lawan lawannya, tercatat dalam sejarah terlibat dalam Perang Padri (1821 – 1837) walau dalam posisi yang bertolak belakang. Semoga dengan ini kita belajar memahami apa yang terjadi. Ada satu kutipan buku yang saya pikir menarik untuk bahan pertimbangan.
Di Minangkabau, dia terkenal sebagai anak emas Van den Bosch, tokoh Belanda paling berkuasa yang pernah dikirim ke kepulauan Nusantara. Ia diberi pangkat letnan kolonel, banyak uang, hidup penuh kemewahan, mempunyai barisan sendiri, dan mendapat perlakuan istimewa.
Orang-orang Belanda dalam tentara sangat tidak menyenanginya. Bukan saja karena tulang punggungnya begitu kuat, melainkan sudah menjadi kebiasaan orang totok untuk tidak menyenangi perwira berkulit berwarna.
Selain itu, penduduk setempat pun tidak menyenangi Sentot. Ia dianggap sombong dan agak meremehkan penduduk asli.
Sentot tidak lama di Sumatera Barat. Sebelum Perang Pidari dimenangkan Belanda, khusus setelah terjadi “serangan fajar” tahun 1833, harapannya untuk dijadikan raja kecil pun pupus.
Serangan serentak dilakukan “Kaum Putih” sewaktu fajar menyingsing tanggal 11 Januari 1833, mengubah segala rencana Van den Bosch. Dalam waktu 24 jam, ratusan tentara Belanda tewas dan seluruh Sumatera Barat bagian utara (kecuali kota-kota pantai), jatuh lagi ke tangan Pidari.
Tentara yang sebelumnya senantiasa melaporkan kepada Van den Bosch bahwa keadaan sudah “aman” dan perang segera akan berakhir, sekarang saling tuding dan tuduh dengan orang-orang pemerintahan sipil dan berusaha mencari kambing hitam.
Sentot termasuk salah seorang yang dijadikan kambing hitam, dituduh “berkhianat” oleh berwira-perwira bule di sana. Banyak bangsa kita yang tidak bersalah menjadi korban kaum militer yang sedang kalap karena dipermalukan oleh serangan mendadak orang-orang Pidari waktu subuh itu.
Setelah diselidiki secara cermat, ternyata semua tuduhan itu tidak benar, termasuk tuduhan atas diri Sentot. Ini diakui oleh Van den Bosch. Akan tetapi, anak muda pemberani seperti Sentot dituduh yang bukan-bukan, bisa menggawatkan keadaan kalau tetap berada di Sumatera Barat.
Oleh karena itu, Van den Bosch mengambil jalan keluar paling aman, dia dipersilakan mengaso ke Bengkulu, diberi tunjangan lebih dari cukup (juga untuk para pengikutnya), dan tetap hidup serbamewah seperti di Padang.
Secara resmi, Barisan Sentot baru dibubarkan pada Januari 1834. Bagian terbesar dari pasukannya dipecah, dilebur ke dalam kesatuan-kesatuan tentara Hindia Belanda. Mereka tidak diizinkan menjadi satu kesatuan lagi.
Para perwiranya yang bergelar pangeran diangkat menjadi mayor, seperti Suryobronto; cucu Sultan Yogya dan yang bergelar raden temenggung diangkat menjadi kapten, umpamanya Prawirodipuro, Notoprawiro, dan Prawirokusumo; sedangkan yang temenggung diangkat menjadi letnan satu, seperti Prawirosudiro dan Sosroatmojo.
Akan tetapi, ada juga yang diangkat menjadi letnan dua, seperti Kartowongso dan Prawirodilogo; malah ada yang juga hanya sersan, seperti Joyosentono. Mereka ini meneruskan perjuangan membantu Belanda melawan Pidari. Semuanya berjumlah sekitar 600 orang masuk tentara Hindia Belanda.
Sebagian lagi dilepas dari dinas ketentaraan. Mereka mendapat tunjangan yang cukup selama mereka belum mendapat pekerjaan yang tetap. Mereka boleh menetap di Sumatera, boleh juga kembali ke Jawa atas ongkos pemerintah.
Ada pula yang diberi uang pensiun besar, tetapi harus bermukim terus di Sumatera. Umpamanya di Padang seperti halnya Raden Temenggung Mangundipuro (bapak Kapten Prawirodipuro) atau Raden Temenggung Purwonegoro (mertua kapten yang sama).
Kedua raden temenggung ini mendapat tunjangan tidak kurang dari 174 gulden sebulan. Jumlah yang tidak sedikit untuk waktu itu. Seorang lagi Temenggung Ponconegoro, entah apa sebabnya ia harus diam di Tapanuli dengan uang pensiun 65 gulden sebulan.
Sebagian lagi (kurang lebih 40 jiwa bersama keluarga) diberi tanah di dekat Padang untuk bertani. Selama satu tahun hidup mereka dijamin oleh pemerintah.
Tentu banyak pula yang memilih tinggal di Minangkabau karena terpikat gadis-gadis Minang yang terkenal cantik dan istri yang baik. Sejak generasi kedua, perkawinan ini banyak dijalankan dan anak-anak serta keturunan mereka benar-benar sudah menjadi orang Minang. Nama dan bahasa Jawa mereka pun kemudian menjadi hilang.
Yang cukup menarik adalah besarnya pensiun yang diberikan Pemerintah Belanda kepada para kiai bekas barisan Sentot. Yang tertinggi adalah Haji Nisa, menetap di Padang, menerima pensiun tidak kurang dari 224 gulden sebulan.
Mungkin karena dia juga dianggap mengepalai semua orang asal suku Jawa di sana. Dua lainnya (Kiai Penghulu dan Kiai Melangi) masing-masing menerima 115 gulden sebulan.
Satu lagi yang juga menarik ialah kedudukan yang baik diberikan pemerintah kepada keturunan bekas Barisan Sentot ini. Mungkin tidak banyak yang mengetahui bahwa pada saat jatuhnya Hindia Belanda karena Perang Pasifik, banyak dari mereka memegang jabatan penting di Sumatera Barat. Waktu itu mereka sudah lama berintegrasi dengan penduduk setempat.
Bukan saja nama-nama, melainkan bahasa ibu mereka pun sudah lama tidak dipakai dan terlupakan. Di antara mereka ada yang keturunan langsung Sentot Alibasya (saudara, kemanakan, atau sepupunya).
Kecuali pangkat-pangkat yang dikaitkan dengan adat, seperti kepala laras dan penghulu kepala, mereka menguasai semua kedudukan penting dalam jajaran pemerintahan abad yang lalu.
Yang terpenting di antaranya ialah di bidang perkopian, seperti mantri kopi klas 1 sampai klas 3. Juga mantri-mantri lainnya: mantri cacar, mantri candu, mantri jalan, mantri pasar, dan mantri pajak. Ada lagi di bidang perkeretaapian, pertambangan batu bara, kepolisian, dan lain-lain.
Namun, yang paling menarik ialah setelah pangkat kepala laras diganti dengan demang, banyak dari mereka memegang jabatan tertinggi untuk pribumi ini, misalnya Wongsosentono (Abdullah) jadi demang, antara lain di Pariaman.
Sebelum itu, sebagai mantri kopi, dia berpindah-pindah tempat di Kabupaten Lima Puluh Kota. Kartowongso (Ibrahim) menjadi demang di Ulakan, Painan, dan Talamau, setelah sebelumnya menjadi mantri kopi di daerah-daerah rawan, seperti Solok dan Alahan Panjang.
Dia anak Wongsodirjo (Solihin) yang juga bekerja di perkopian sejak dari Halaban hingga Padang Panjang. Seorang lagi bernama Wirioharjo (Rusman), ipar Kartowongso, pernah menjadi mantri kopi di Payakumbuh, Tanjung, Bukitsileh, Lubukgadang, dan lain-lain tempat sebelum diangkat menjadi Demang Batang Hari dan Rao.
Siapa tidak kenal nama Wirado Prawirodirjo. sebagai mantri kopi klas 1, dia tewas dibunuh rakyat selama Pemberontakan Pajak tahun 1908 (di Kamang) atau nama-nama termasyur waktu itu, seperti Prawirodimejo (Karah), Poncoduria (Wahab), Wongsoprawiro (Ahmad), dan Wongsosasmito. Tolong Datuk Basa (anak Joyokarsono) malah pernah menjadi kepala laras di Lubuk Sikaping. Ada pula yang menjadi guru di Batusangkar, seperti Wiriojoyo.
Demikianlah sekilas tentang keturunan yang disebut Barisan Sentot. Yang banyak diketahui ialah tentang mereka yang berkedudukan penting. Kita tidak mempunyai keterangan-keterangan tentang mereka dari keturunan para prajurit biasa.
Pemimpinnya sendiri, Sentot Alibasya Prawirodirjo, tidak sempat menjadi raja kecil di Minangkabau. Seperti ditulis tadi, karena serangan di waktu fajar bulan Januari 1833. Dia meninggal di Bengkulu tanggal 17 April 1855.
Konon sewaktu wafat, Sentot meninggalkan 7 istri (4 tidak resmi) dan 28 anak (7 tidak resmi).
Dengan demikian, berakhirlah riwayat pemuda flamboyan, pemberani dan ambisius. Andai kata tidak terjadi serangan fajar orang-orang Pidari dan andai kata Belanda masih berkuasa, sekarang di Minangkabau (di XII-Kota atau XX-Kota) mungkin berdiam seorang raja kecil keturunan Sentot dengan keraton dan tentara sendiri, dengan tugas terpenting, menyiapkan tentara bantuan bagi Belanda jika terjadi pemberontakan rakyat di sana.
Mungkin pula di Minangkabau kini berdiam sekelompok elit bangsa Jawa. Inilah tujuan Komisaris Jenderal Van den Bosch dahulu mengirim Sentot ke Sumatra Barat.
Memang harus diakui, suatu tindakan tepat untuk daerah seperti Minangkabau yang tidak henti-hentinya berontak melawan penjajah.
No comments:
Post a Comment