07 February 2024

RAJA HAJI

 Mari kita mengenal tokoh pahlawan yang hampir terlupakan, dan mungkin banyak dari kita yang tidak mengetahui sama sekali. Beliau bernama Raja Haji (1725-1784), berasal dari Riau. Namanya mirip dengan Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad (1783-1808) yang sama-sama dari Penyengat Kepulauan Riau. Raja  Haji  berasal dari periode abad ke 18, sedangkan  Raja Ali  Haji berada di periode abad 19. 


Raja Haji lahir tahun 1725, adalah hasil asimilasi suku Bugis-Melayu. Daeng Celak dengan Engku Hamidah. Hidup di tengah keluarga bangsawan  karena ayahnya adalah Yang Dipertuan Muda Riau II (semacam perdana menteri). Raja Haji tumbuh dewasa sebagai seorang lelaki terdidik dan ksatria.


Rasa benci Raja Haji kepada Belanda tertanam sejak ia memangku jabatan Engku Kelana (1749-1777), suatu jabatan yang harus dipegang oleh seseorang yang akan menjadi Yang Dipertuan Muda. Ia melihat keserakahan Belanda dalam usaha perdagangan di jalur perdagangan Riau-Lingga maupun dengan Malaka, Kalimantan dan Jawa.  



Ketika Raja Haji sudah memegang jabatan Yang Dipertuan Muda Riau IV (1777-1784). Saat itu kesewenangan dan monopoli Belanda di wilayah Nusantara semakin menjadi-jadi. Salah satunya dengan merampas kapal dagang Inggris, Betsy di perairan Riau-Lingga pada pertengahan tahun 1782.


Raja Haji mengirim utusan ke Malaka dan meminta pertanggungjawaban Belanda. Namun tak digubris. Amarah rakyat Riau-Lingga akhirnya tak terkendalikan, dan terjadilah pertempuran antara Riau-Lingga dengan Belanda. Perang yang paling dahsyat terjadi tanggal 6 Januari 1784. Sebelumnya Belanda berhasil memblokade benteng Riau di Telukkeriting, dekat Tanjungpinang.  Belanda menggunakan belasan kapal perang dengan sebuah kapal induk bernama  Malaka’s Walvaren. Mereka tidak saja memblokade pertahanan dan keamanan, juga perekonomian.


Dari pihak rakyat Riau-Lingga dengan pimpinan Raja Haji menggunakan senjata “penjajab”, sampan, beberapa bedil dan Meriam. Pasukan Raja Haji sebanyak 2500 orang berhasil mematahkan blokade tersebut. Ratusan prajurit Belanda tewas, bahkan kapal perang induk Malaka’s Walvaren, hancur berkeping-keping.  Pasukan Belanda lari pontang-panting ke pangkalannya di Malaka, dikejar Raja Haji dengan 11 orang Panglima dan ratusan prajurit sukarela.


Ini membuat Belanda kelabakan dan segera minta bantuan ke Batavia.  Tak lama kemudian, pasukan baru prajurit Belanda berdatangan ke Riau. Peristiwa ini dikenal dengan nama Perang Riau. Raja Haji dan pasukannya bertahan mati-matian menghadang tentara Belanda yang masih segar bugar.  Sultan Mahmud yang bertakhta di Riau-Lingga saat itu memberi semangat yang luar biasa. Di depan Sultan, Raja Haji mengatakan bahwa ia sudah rela dijemput ajal lebih dulu demi mempertahankan martabat bangsa. Dan di suatu senja dalam pertempuran di Telukketapang, Malaka tanggal 18 Juni 1784, Raja Haji gugur diterjang peluru Belanda.  Dalam sakratulmaut, ia memegang memegang badik di tangan kanan dan Dalailukhairat di tangan kiri. Semula pihak Belanda mau membawa jenazahnya ke Batavia. Tetapi tak jadi akhirnya di makamkan di Malaka. Baru 30 tahun kemudian makamnya dipindahkan ke Pulau Penyengat. 


Perjuangan Raja Haji ini telah mengilhami perjuangan Sultan Badarudin di Palembang dan Tengku Sulung di Riau. Itu terjadi dalam rentang waktu hampir ¾ abad. Dan Sultan Badaruddin sudah diakui pemerintah sebagai pahlawan nasional.


Perjuangan Raja Haji adalah perjuangan maritim bangsa Asia menentang bangsa Eropa. Raja Haji dapat mematahkan kekuatan Belanda.  Negara kincir angin yang terkenal di dunia sebagai satu bangsa yang memiliki kekuatan besar di lautan, pernah dikalahkan oleh Nenek Moyang Bangsa Indonesia yang orang pelaut. Dan Raja Haji dikenal sebagai satu-satunya pahlawan maritim di Nuantara.


Sumber: Kompas, 7-12-1988. Koleksi Surat Kabar Langka-Perpustakaan Nasional Salemba (SKALA-Team)


#tokoh #pahlawan #Maritim #Riau #Lingga #Malaka

No comments:

Post a Comment