Marlia Hardi adalah artis Indonesia tiga zaman. Di kala mudanya beliau ikut terlibat dalam beberapa film layar lebar, seangkatan dengan Nana Mayo, Tina Melinda dan Ermina Zaenah. Di masa keemasan TVRI, sering tampil dalam drama seri keluarga dan selalu memerankan sosok Ibu yang bijaksana. Berikut kisah ringkas riwayat hidupnya.
Marlia dilahirkan di Magelang pada 10 Maret 1927 sebagai anak tunggal dari Ibu yang asli Magelang dan ayah yang berasal dari Bugis bernama Nico. Sejak duduk di sekolah dsaar ia sudah tertarik pada seni peran. Ia selalu menirukan gerak-gerik artis pujaanya “Miss Rukiah” sesudah menonton filmnya.
Ayahnya meninggal ketika Marlia masih muda. Ia tetap bisa melanjutkan sekolah hingga SMA. Tak lama kemudian dipertemukan dengan pemuda bernama Hardi yang kemudian menjadi suaminya.
Sekitar tahun 1948, bertemu dengan Pak Kasur di kotanya di Magelang. Kala itu Pak Kasur sedang mengadakan pertunjukan sandiwara untuk menggalang dana dalam rangka mendukung para pejuang di masa revolusi. Marlia diberi kesempatan untuk ikut bermain. Pak Kasur melihat ia mempunyai bakat di dalam seni peran.
Tahun 1954 PFN memuat film “Sang Merah Putih”. Dalam film ini Pak Kasur dan bu Kasur juga turut main dan mengajak Marlia ikut. Sejak itu, banyak sudah film yang pernah dibintanginya. Ada sekitar 50-60 an judul film. Tahun 1964, ia pernah memperoleh penghargaan dari panitia Apresiasi Budaya. HIngga tahun 70-an ia aktif di perkumpulan kesenian “Bayu” yang didirikannya pada tahun 1957.
Ketika menikah dengan suami pertamanya Hardi pada tahun 1958, mereka dikaruniai 2 orang anak yaitu Tunggul Baskoro dan Prehara Revianti. Suami pertamanya meninggalkannya begitu saja. Di tahun 1964 ia menikah lagi dengan Zainul Arifin dan hijrah ke Jakarta. Anaknya yang pertama Tunggul Baskoro yang biasa dipanggil Era memutuskan tinggal di kampung Ringinanom Magelang.
Pada tanggal 18 Juni 1984, Marlia Hardi memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Sebelumnya ia menulis beberapa surat yang ditujukan kebeberapa temannya. Dari hasil investigasi, yang melatarbelakangi Ia mengakhiri hidupnya dikarenakan tekanan metal yang tidak dapat dipikulnya. Banyak orang yang berhutang kepadanya dan tak pernah membayar. Sementara ia sendiri, setelah ditinggal kembali oleh suami keduanya, harus menanggung beban hidup sendirian dan memaksanya untuk berhutang. Awalnya ia mempunyai hutang sebesar Rp. 3 juta karena meminjam dari renternir kemudian membengkak menjadi 10 juta, belum beberapa pinjaman kepada para teman dekatnya. Ia tak sanggup membayarnya. Belum berbagai gossip miring tentangnya, ini sangat menyakiti dirinya sebagai seorang ibu rumah tangga yang sangat berperangai halus ini.
Salah satu pelajaran penting dari kisah hidupnya antara lain : jangan sampai hidup kita terjerat hutang, yang sekarang menjadi jauh lebih mudah meminjam hanya bermodalkan ktp dan aplikasi “pinjaman online”. Namun untuk membayarnya berlipat kali lebih sulit. Hiduplah sesuai kemampuan fisik dan mental psikologis kita. Hidup “apa adanya“ lebih baik dari pada “banyak adanya” tapi banyak hutang.
Sumber: Harian Indonesia Raya, 29-4-1973 & Sinar Harapan 21-06-1984. Koleksi Surat Kabar Langka Perpustakaan Nasional RI Salemba (Skala-team)
#tokoh #film #sandiwara #TVRI
No comments:
Post a Comment