06 December 2023

Tersebutlah seorang pemuda bernama Toppi Silaban, bungsu dari tiga bersaudara. Ia bersama keluarganya tinggal di desa Simarhompa kecamatan Sihutar Tapanuli Utara Sumatera Utara. Toppi Silaban ini terkenal seorang pemuda pemberani. Di tahun 1943 (era pendudukan Jepang), Toppi berusia 20 tahun. suatu hari ia bertemu dengan seorang Pelatih militer Jepang. Sejak saat itulah pemuda Batak ini diajak masuk Heiho. Berbekal keberanian, Toppi meninggalkan kampung halamannya dan sejak itu kabar beritanya tidak pernah sampai. Bahkan keluarganya telah menduga Toppi telah meninggal dunia tanpa diketahui dimana jasadnya terkubur. Toppi setelah mendapat pelatihan sebagai Heiho, ia bersama pasukannya ditempatkan di kota pelabuhan Singapura. Ia turut mempertahankan Singapura sebelum direbut Sekutu. Dalam usaha menghalau Sekutu, ia bersama pasukannya ditugaskan melakukan penyusupan ke tengah-tengah kekuatan musuh. Nasib malang menimpa dirinya dan pasukannya. Mereka disergap dan menjadi tawanan musuh. Sebagai tawanan perang ia mengalami siksaan di luar batas perikemanusiaan di kamp pasukan Sekutu di Singapura. Tubuhnya nyaris lumpuh dan giginya bagian atas rontok akibat diterjang sepatu laras. Banyak anggota pasukannya yang tewas tidak tahan akan siksaan. Berkat usaha dan nasib baik, Toppi bersama beberapa temannya berhasil lolos dari kamp Sekutu, dengan membawa pesawat tempur Sekutu dan melarikan diri ke Pulau Jawa pada malam hari. Setibanya di Pulau Jawa, akibat siksaan pasukan Sekutu, Toppi langsung dirawat di RS Jiwa “Lali Jiwo” . Ia sudah kehilangan daya ingat dan sudah tidak bisa berbicara (bisu). Ia dirawat di RSJ Lali Jiwo sejak sekitar tahun 1948. Karena tidak bisa berbicara, ia biasa dipanggil Si Buyung. Nyaris menjadi penghuni tetap RS Jiwa hingga akhir hayatnya, sebelum akhirnya seseorang datang dari Sumatera Utara di tahun 1981. Seseorang itu bernama Batutahan Marpaung orang Batak yang telah lama tinggal di Jakarta. Ia tergerak hatinya mengenal lebih dekat seorang laki-laki pasien RS Jiwa Lali Jiwo Pakem Yogyakarta yang biasa dipanggil Pak Buyung. Ketika menjadi penghuni RSJ, kebiasaan Pak Buyung ini setiap pagi melakukan “taiso” (senam). Di kebun belakang RSJ Pak Buyung memasang bendera “Hinomaru” yang terbuat dari plat seng, di bawah bendera Jepang inilah, Buyung melakukan taiso kemudian mengadakan apel pagi seperti layaknya militer Jepang. Ia memberi hormat pada bendara yang dipacakkan di kebun itu. Sikap dan cara berjalan, diatur menurut langkah-langkah militer. Rapih, sigap sempurna penuh hormat. Batutahan Marpaunh kemudian minta ijin pada pimpinan RS Jiwa Lali Jiwo untuk membawa Buyung pulang kampung untuk dipertemukan dengan sanak keluarganya. Ketika tiba di Porsea, kira-kira 200 km di sebelah tenggara Medan, di pinggiran Danau Toba, Buyung tersentak kaget dan ingatannya mulai pulih. Ia mengaku nama aslinya Toppi Silaban berasal dari Desa Simarhompa Kecamatan Sihutar Tapanuli Utara. Langsung saja Marpaung membawanya ke desa tersebut. Sesampainya di desa, keluarga dan penduduk desa yang ditinggalkan sejak puluhan tahun menyambut dengan tangisan gembira. Ketika diceritakan bahwa kedua orang tua dan dua orang abang kandungnya telah meninggal dunia, Toppi Silaban tak kuasa menahan tangisnya… Keluarga marga Silaban tak lama kemudian mengadakan acara syukuran atas kembalinya Toppi Silaban. Sumber: Suara Merdeka, 1-10-1981. Koleksi Surat Kabar Langka-Perpustakaan Nasional Salemba (SKALA-Team) #Heiho #perang #Jepang #Sekutu #Singapura #SumateraUtara #Yogyakarta #RSLaliJiwo

 Tersebutlah seorang pemuda bernama Toppi Silaban, bungsu dari tiga bersaudara. Ia bersama keluarganya tinggal di desa Simarhompa kecamatan Sihutar Tapanuli Utara Sumatera Utara. Toppi Silaban ini terkenal seorang pemuda pemberani.  Di tahun 1943 (era pendudukan Jepang), Toppi berusia 20 tahun. suatu hari ia bertemu dengan seorang  Pelatih militer Jepang. Sejak saat itulah pemuda Batak ini diajak masuk Heiho. Berbekal keberanian, Toppi meninggalkan kampung halamannya dan sejak itu kabar beritanya tidak pernah sampai. Bahkan keluarganya telah menduga Toppi telah meninggal dunia tanpa diketahui dimana jasadnya terkubur.





Toppi setelah mendapat pelatihan sebagai Heiho, ia bersama pasukannya ditempatkan di kota pelabuhan Singapura. Ia turut mempertahankan Singapura sebelum direbut Sekutu. Dalam usaha menghalau Sekutu, ia bersama pasukannya ditugaskan melakukan penyusupan ke tengah-tengah kekuatan musuh. Nasib malang menimpa dirinya dan pasukannya. Mereka disergap dan menjadi tawanan musuh. Sebagai tawanan perang ia mengalami siksaan di luar batas perikemanusiaan di kamp pasukan Sekutu di Singapura. Tubuhnya nyaris lumpuh dan giginya bagian atas rontok akibat diterjang sepatu laras. Banyak anggota pasukannya yang tewas tidak tahan akan siksaan. Berkat usaha dan nasib baik, Toppi bersama beberapa temannya berhasil lolos dari kamp Sekutu, dengan membawa pesawat tempur Sekutu dan melarikan diri ke Pulau Jawa pada malam hari. 


Setibanya di Pulau Jawa, akibat siksaan pasukan Sekutu, Toppi langsung dirawat di RS Jiwa “Lali Jiwo” . Ia sudah kehilangan daya ingat dan sudah tidak bisa berbicara (bisu). Ia dirawat di RSJ Lali Jiwo sejak sekitar tahun 1948. Karena tidak bisa berbicara, ia biasa dipanggil Si Buyung. Nyaris menjadi penghuni tetap RS Jiwa hingga akhir hayatnya, sebelum akhirnya seseorang datang dari Sumatera Utara di tahun 1981.


Seseorang itu bernama Batutahan Marpaung orang Batak yang telah lama tinggal di Jakarta. Ia tergerak hatinya mengenal lebih dekat seorang laki-laki pasien RS Jiwa Lali Jiwo Pakem Yogyakarta yang biasa dipanggil  Pak Buyung. Ketika menjadi penghuni RSJ, kebiasaan Pak Buyung ini setiap pagi melakukan “taiso” (senam). Di kebun belakang RSJ Pak Buyung memasang bendera “Hinomaru” yang terbuat dari plat seng, di bawah bendera Jepang inilah, Buyung melakukan taiso kemudian mengadakan apel pagi seperti layaknya militer Jepang. Ia memberi hormat pada bendara yang dipacakkan di kebun itu.  Sikap dan cara berjalan, diatur menurut langkah-langkah militer. Rapih, sigap sempurna penuh hormat. 


Batutahan Marpaunh kemudian minta ijin pada pimpinan RS Jiwa Lali Jiwo untuk membawa Buyung pulang kampung untuk dipertemukan dengan sanak keluarganya.


Ketika tiba di Porsea, kira-kira 200 km di sebelah tenggara Medan, di pinggiran Danau Toba, Buyung tersentak kaget dan ingatannya mulai pulih. Ia mengaku nama aslinya Toppi Silaban berasal dari Desa Simarhompa Kecamatan Sihutar Tapanuli Utara. Langsung saja Marpaung membawanya ke desa tersebut.


Sesampainya di desa, keluarga dan penduduk desa yang ditinggalkan sejak puluhan tahun menyambut dengan tangisan gembira. Ketika diceritakan bahwa kedua orang tua dan dua orang abang kandungnya telah meninggal dunia, Toppi Silaban  tak kuasa menahan tangisnya… Keluarga marga Silaban tak lama kemudian mengadakan acara syukuran atas kembalinya Toppi Silaban.


Sumber:  Suara Merdeka, 1-10-1981. Koleksi Surat Kabar Langka-Perpustakaan Nasional Salemba (SKALA-Team)


#Heiho #perang #Jepang #Sekutu #Singapura #SumateraUtara #Yogyakarta #RSLaliJiwo

No comments:

Post a Comment