.
Mujirun sulit melupakan sebuah peristiwa pada 1995. Ketika itu, pegawai Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri) ini mendapat tugas istimewa dari orang paling berkuasa di negeri ini, Presiden Soeharto. Pak Harto meminta wajah dirinya diabadikan pada selembar uang kertas. Sebagai staf engraver, ia cemas. ''Saya takut nggak mirip karena Pak Harto itu presiden,'' ujarnya kepada Gatra, dua pekan lalu.
Pria kelahiran
Melikan, Bantul, Yogyakarta, 1958, itu bukan satu-satunya seniman yang
mendapat tugas tersebut. Pemerintah juga memanggil engraver kawakan asal
Australia, yang diingat Mujirun bernama Mister George. Sebagai ''pemain
tamu'', George mendapat perlakuan istimewa. ''Sewaktu menunggu
pengumuman pemenang, saya baru tahu bahwa Mister George diajak
jalan-jalan ke Ancol, sedangkan saya cuma makan di warteg,'' kata
Mujirun sambil tersenyum.
Dalam ''duel'' itu, Mujirun membuat dua karya, sedangkan sang lawan menghasilkan tiga karya. Kelima karya diacak dan hanya diberi tanda nomor 1 hingga 5 tanpa diketahui pembuatnya. Karya terbaik akan dipilih langsung si empunya wajah untuk dicetak pada mata uang kertas bernilai Rp 50.000 yang diterbitkan Bank Indonesia (BI).
Setelah deg-degan menunggu hasil, Mujirun kaget begitu melihat tanda tangan Pak Harto dibubuhkan di sudut kertas salah satu karyanya. Karya itulah yang kemudian dipakai pada uang kertas yang terkenal sebagai "uang kertas Pak Harto mesem".
Mujirun adalah satu dari sedikit engraver, orang yang berprofesi sebagai pembuat gambar pada mata uang, yang ada di Tanah Air. Teknik menggambarnya sendiri disebut engraving, yakni menggambar melalui garis dan titik dengan tingkat kedetailan yang tinggi. Dalam pembuatan uang kertas, engraver mesti membuat contoh karya lebih dulu secara manual dengan pena gambar.
Jika gambar disetujui BI, uang kertas akan dicetak di Peruri. Gambar dipindahkan ke pelat baja cetakan uang dengan metode cukil. Gambar harus sangat detail dengan presisi yang tinggi. Ini karena menjadi bagian pengamanan uang kertas. Pengerjaan satu gambar perlu waktu tiga hingga empat bulan. ''Jadi, engraver itu bukan sekadar desainer uang kertas,'' tutur Mujirun.
Selama 30 tahun berkarier di Peruri, Mujirun telah membuat karya untuk 13 pecahan uang kertas. Karyanya paling banyak di antara engraver lain yang bekerja di Peruri. Karya pertamanya adalah gambar pahlawan Pattimura pada uang pecahan Rp 5.000 keluaran 1986 (lihat: Karya Mujirun dari Tahun ke Tahun).
Peruri menyiapkan engraver dari siswa sekolah seni berprestasi. Pada 1968, Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta dikunjungi Peruri untuk mencari bibit-bibit engraver. Tiga siswa masuk radar Peruri untuk digembleng, termasuk Mujirun yang meraih beasiswa di sekolahnya. ''Tapi yang jadi cuma saya,'' kata putra seorang tukang dan penjaga malam itu.
Begitu juga sekarang. Peruri merekrut engraver asal SMSR dan Institut Teknologi Sepuluh November Jurusan Desain Visual. ''Mereka direkrut melalui proses rekrutmen pegawai terbuka,'' kata Heru Budi Cahyono, Kepala Biro Komunikasi Peruri, kepada Aditya Kirana dari Gatra. Selain mahir, mereka juga dituntut jujur. Engraver mendapat bayaran tertinggi ketimbang pegawai lain di sana.
Menjadi engraver tidak mudah. Minimal, sebut saja Mujirun, perlu waktu lima hingga enam tahun untuk melakoninya dengan konsisten. Semakin dilatih, kemampuan engraver makin mumpuni, misalnya sanggup mengisi celah selembar satu sentimeter dengan 60 garis. Bahkan, suatu kali, dalam proses latihan itu, alat cukil Mujirun sampai patah 12 kali dalam sehari. ''Engraver itu berat. Latihannya lama. Itu pun bisa gagal, karena ini seni yang butuh proses. Modalnya tekun,'' tuturnya.
Untuk memperdalam kemampuan, engraver Peruri dikirim studi ke luar negeri. Mujirun pernah dikirim untuk studi di Italia selama tiga bulan pada 1982. Tapi persiapan untuk studi itu dimulai dua tahun sebelumnya. Setelah itu, ia juga pernah belajar di Inggris dan Hongaria.
Rekan seangkatan Mujirun, Aloysius Sardi, juga mengalaminya. Ia pernah dikirim ke Belanda dan Swiss selama delapan bulan. Mereka dikirim Peruri untuk mendapatkan pembinaan dan pelatihan. Bentuk pelatihannya, antara lain, harus mengisi garis sebanyak mungkin dalam ruang berjarak satu sentimeter.
Engraver muncul sejak Indonesia merdeka. Tepatnya setelah pemerintah menerbitkan uang sendiri dengan nama Oeang Republik Indonesia (ORI). Pelukis uang kertas generasi pertama antara lain Osman Kagami, Nasrun, Edel Yusuf, dan Bunyamin Soerjohardjo.
Setiap karya engraver punya ciri khas dan keunikan tersendiri. Dengan begitu, jika Anda cermat, gambar yang sama pada uang kertas di tahun produksi yang berbeda sesungguhnya juga punya banyak perbedaan. Ini karena gambar-gambar itu dibuat engraver yang berlainan pula.
Misalnya pada pecahan Rp 1.000 keluaran 1987 karya Mujirun. Pada bagian mata Sisingamangaraja XII terdapat garis-garis halus yang membentuk area gelap dan tidak ditemui pada gambar sejenis di uang kertas keluaran berikutnya. Pada gambar yang lain, seperti yang ditemukan Gatra, ia memberi perbedaan gradasi warna pada alis wajah. Jika karya engraver lain tanpa gradasi atau satu gradasi gelap-terang, Mujirun membuat sampai dua gradasi.
Belakangan, pembuatan uang kertas juga tersentuh oleh teknologi. Tugas engraver dibantu lewat software khusus dan eksekusinya menggunakan laser. Meski penggunaan teknologi makin tak bisa dihindari, Mujirun merasa karya buatan tangan tetap lebih unggul. ''Kalau diadu, hasil laser kurang luwes dan kotor. Masih kalah jauh. Rasa itu di tangan. Jadi, tergantung yang punya tangan,'' kata dia.
Bantuan teknologi diperlukan karena jumlah engraver Peruri tidak banyak. Pada 1970-an, jumlahnya hanya 10 orang. Kini Peruri, kata Heru Budi Cahyono, Kepala Biro Komunikasi Peruri, memiliki enam engraver, termasuk tenaga muda.
Minimnya tenaga itu barangkali lantaran engraver menjadi profesi sensitif di mata Peruri dan BI, karena terkait dengan pelukisan uang kertas. ''Engraver itu tidak banyak diketahui publik,'' ujar Difi Johansyah, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI.
Setelah pensiun dini, para pensiunan engraver memilih jalan sendiri-sendiri. Ada yang menjadi desainer dan pelukis. Mujirun memilih melukis dan menerima pesanan lukisan. Karya-karyanya masih menggunakan teknik engrave. Akhir tahun lalu, ia menggelar pameran di Jakarta. Kemudian, pertengahan Juni lalu, ia juga memboyong karya-karyanya ke Borobudur International Festival 2013 di pelataran candi tersebut.
Salah satu karyanya adalah wajah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Lukisan itu laku Rp 25 juta. Karya tersebut diserahkan kepada Ani Yudhoyono. Dalam pameran di Jakarta, Ibu Negara yang sempat melihat karya Mujirun juga heran. Ia mengira gambar di uang kertas itu dibuat dengan alat khusus tanpa peran seorang engraver. ''Dirikan sekolah saja, Pak,'' kata Mujirun menirukan ucapan istri SBY itu.
Mujirun hanya tersenyum. Selain terbentur modal, sekolah engraver menjadi tugas pemerintah. Tapi, kalau ada yang mau menderita sekolah, ia siap membantu. Sampai akhir zaman, engraver tetap dipakai.
.
Sumber Gatra.
Dalam ''duel'' itu, Mujirun membuat dua karya, sedangkan sang lawan menghasilkan tiga karya. Kelima karya diacak dan hanya diberi tanda nomor 1 hingga 5 tanpa diketahui pembuatnya. Karya terbaik akan dipilih langsung si empunya wajah untuk dicetak pada mata uang kertas bernilai Rp 50.000 yang diterbitkan Bank Indonesia (BI).
Setelah deg-degan menunggu hasil, Mujirun kaget begitu melihat tanda tangan Pak Harto dibubuhkan di sudut kertas salah satu karyanya. Karya itulah yang kemudian dipakai pada uang kertas yang terkenal sebagai "uang kertas Pak Harto mesem".
Mujirun adalah satu dari sedikit engraver, orang yang berprofesi sebagai pembuat gambar pada mata uang, yang ada di Tanah Air. Teknik menggambarnya sendiri disebut engraving, yakni menggambar melalui garis dan titik dengan tingkat kedetailan yang tinggi. Dalam pembuatan uang kertas, engraver mesti membuat contoh karya lebih dulu secara manual dengan pena gambar.
Jika gambar disetujui BI, uang kertas akan dicetak di Peruri. Gambar dipindahkan ke pelat baja cetakan uang dengan metode cukil. Gambar harus sangat detail dengan presisi yang tinggi. Ini karena menjadi bagian pengamanan uang kertas. Pengerjaan satu gambar perlu waktu tiga hingga empat bulan. ''Jadi, engraver itu bukan sekadar desainer uang kertas,'' tutur Mujirun.
Selama 30 tahun berkarier di Peruri, Mujirun telah membuat karya untuk 13 pecahan uang kertas. Karyanya paling banyak di antara engraver lain yang bekerja di Peruri. Karya pertamanya adalah gambar pahlawan Pattimura pada uang pecahan Rp 5.000 keluaran 1986 (lihat: Karya Mujirun dari Tahun ke Tahun).
Peruri menyiapkan engraver dari siswa sekolah seni berprestasi. Pada 1968, Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta dikunjungi Peruri untuk mencari bibit-bibit engraver. Tiga siswa masuk radar Peruri untuk digembleng, termasuk Mujirun yang meraih beasiswa di sekolahnya. ''Tapi yang jadi cuma saya,'' kata putra seorang tukang dan penjaga malam itu.
Begitu juga sekarang. Peruri merekrut engraver asal SMSR dan Institut Teknologi Sepuluh November Jurusan Desain Visual. ''Mereka direkrut melalui proses rekrutmen pegawai terbuka,'' kata Heru Budi Cahyono, Kepala Biro Komunikasi Peruri, kepada Aditya Kirana dari Gatra. Selain mahir, mereka juga dituntut jujur. Engraver mendapat bayaran tertinggi ketimbang pegawai lain di sana.
Menjadi engraver tidak mudah. Minimal, sebut saja Mujirun, perlu waktu lima hingga enam tahun untuk melakoninya dengan konsisten. Semakin dilatih, kemampuan engraver makin mumpuni, misalnya sanggup mengisi celah selembar satu sentimeter dengan 60 garis. Bahkan, suatu kali, dalam proses latihan itu, alat cukil Mujirun sampai patah 12 kali dalam sehari. ''Engraver itu berat. Latihannya lama. Itu pun bisa gagal, karena ini seni yang butuh proses. Modalnya tekun,'' tuturnya.
Untuk memperdalam kemampuan, engraver Peruri dikirim studi ke luar negeri. Mujirun pernah dikirim untuk studi di Italia selama tiga bulan pada 1982. Tapi persiapan untuk studi itu dimulai dua tahun sebelumnya. Setelah itu, ia juga pernah belajar di Inggris dan Hongaria.
Rekan seangkatan Mujirun, Aloysius Sardi, juga mengalaminya. Ia pernah dikirim ke Belanda dan Swiss selama delapan bulan. Mereka dikirim Peruri untuk mendapatkan pembinaan dan pelatihan. Bentuk pelatihannya, antara lain, harus mengisi garis sebanyak mungkin dalam ruang berjarak satu sentimeter.
Engraver muncul sejak Indonesia merdeka. Tepatnya setelah pemerintah menerbitkan uang sendiri dengan nama Oeang Republik Indonesia (ORI). Pelukis uang kertas generasi pertama antara lain Osman Kagami, Nasrun, Edel Yusuf, dan Bunyamin Soerjohardjo.
Setiap karya engraver punya ciri khas dan keunikan tersendiri. Dengan begitu, jika Anda cermat, gambar yang sama pada uang kertas di tahun produksi yang berbeda sesungguhnya juga punya banyak perbedaan. Ini karena gambar-gambar itu dibuat engraver yang berlainan pula.
Misalnya pada pecahan Rp 1.000 keluaran 1987 karya Mujirun. Pada bagian mata Sisingamangaraja XII terdapat garis-garis halus yang membentuk area gelap dan tidak ditemui pada gambar sejenis di uang kertas keluaran berikutnya. Pada gambar yang lain, seperti yang ditemukan Gatra, ia memberi perbedaan gradasi warna pada alis wajah. Jika karya engraver lain tanpa gradasi atau satu gradasi gelap-terang, Mujirun membuat sampai dua gradasi.
Belakangan, pembuatan uang kertas juga tersentuh oleh teknologi. Tugas engraver dibantu lewat software khusus dan eksekusinya menggunakan laser. Meski penggunaan teknologi makin tak bisa dihindari, Mujirun merasa karya buatan tangan tetap lebih unggul. ''Kalau diadu, hasil laser kurang luwes dan kotor. Masih kalah jauh. Rasa itu di tangan. Jadi, tergantung yang punya tangan,'' kata dia.
Bantuan teknologi diperlukan karena jumlah engraver Peruri tidak banyak. Pada 1970-an, jumlahnya hanya 10 orang. Kini Peruri, kata Heru Budi Cahyono, Kepala Biro Komunikasi Peruri, memiliki enam engraver, termasuk tenaga muda.
Minimnya tenaga itu barangkali lantaran engraver menjadi profesi sensitif di mata Peruri dan BI, karena terkait dengan pelukisan uang kertas. ''Engraver itu tidak banyak diketahui publik,'' ujar Difi Johansyah, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI.
Setelah pensiun dini, para pensiunan engraver memilih jalan sendiri-sendiri. Ada yang menjadi desainer dan pelukis. Mujirun memilih melukis dan menerima pesanan lukisan. Karya-karyanya masih menggunakan teknik engrave. Akhir tahun lalu, ia menggelar pameran di Jakarta. Kemudian, pertengahan Juni lalu, ia juga memboyong karya-karyanya ke Borobudur International Festival 2013 di pelataran candi tersebut.
Salah satu karyanya adalah wajah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Lukisan itu laku Rp 25 juta. Karya tersebut diserahkan kepada Ani Yudhoyono. Dalam pameran di Jakarta, Ibu Negara yang sempat melihat karya Mujirun juga heran. Ia mengira gambar di uang kertas itu dibuat dengan alat khusus tanpa peran seorang engraver. ''Dirikan sekolah saja, Pak,'' kata Mujirun menirukan ucapan istri SBY itu.
Mujirun hanya tersenyum. Selain terbentur modal, sekolah engraver menjadi tugas pemerintah. Tapi, kalau ada yang mau menderita sekolah, ia siap membantu. Sampai akhir zaman, engraver tetap dipakai.
.
Sumber Gatra.
No comments:
Post a Comment