MEMANJAKAN ANAK DENGAN CANDU : Kasus ekstrem kasih sayang ibu kepada anak 1874
“Dikempit kaya wade (dipegang dengan erat layaknya kain batik dagangan), dijuju kaya manuk (disuapi seperti anak burung)”
Adalah salah satu peribahasa Jawa yang menjadi gambaran dari orang tua yang mendidik dan memberikan apapun sebaik-baiknya kepada anak dengan maksud untuk menjaga dan membahagiakan si anak. Tak ubahnya seperti “barang berharga” yang terus dijaga dan “anak burung” , perlakuan yang berlebihan terhadap anak, menurut adat tradisi jawa, cenderung tidak dibenarkan. Sebab, dengan cara mengasuh dan menyayangi seperti itu, si anak akan menjadi manja, lemah, jiwanya kurang berkembang, dan akhirnya sulit untuk mandiri.
“Dikempit kaya wade (dipegang dengan erat layaknya kain batik dagangan), dijuju kaya manuk (disuapi seperti anak burung)”
Adalah salah satu peribahasa Jawa yang menjadi gambaran dari orang tua yang mendidik dan memberikan apapun sebaik-baiknya kepada anak dengan maksud untuk menjaga dan membahagiakan si anak. Tak ubahnya seperti “barang berharga” yang terus dijaga dan “anak burung” , perlakuan yang berlebihan terhadap anak, menurut adat tradisi jawa, cenderung tidak dibenarkan. Sebab, dengan cara mengasuh dan menyayangi seperti itu, si anak akan menjadi manja, lemah, jiwanya kurang berkembang, dan akhirnya sulit untuk mandiri.
Salah
satu kasus sensasional pernah diberitakan oleh surat kabar De locomotief
: Samarangsch handels- en advertentie-blad yang terbit pada 25 Maret
1874.
Dikisahkan di desa Slekko, tinggallah seorang ibu bernama Mbok Watoe. Ia hanya memiliki seorang putra semata wayang yang sangat disayanginya. Karena cintanya yang besar kepada sang putra, Mbok Watoe sudah memberikan candu (opium) kepada si anak saat ia masih berusia tiga tahun.
Pada awalnya, semua berjalan baik - baik saja. Namun, semua keindahan semu itu lambat laun memudar dan berubah menjadi kesedihan. Sang bocah yang kini berusia 10 tahun, sudah berubah menjadi seorang pecandu parah. Diusianya yang masih belia itu, Ia sudah tidak bisa melakukan apa - apa kecuali tidur rebahan dan menyesap opium. Hal yang sangat jauh berbanding terbalik dengan anak - anak lain seusianya yang bisa bebas bermain dan berlarian.
Disarikan dan diintepretasikan ulang dari surat kabar De locomotief yang terbit pada Maret 1874.
gambar hanya ilustrasi karya C. Jetses
- Chandra Gusta W -
Dikisahkan di desa Slekko, tinggallah seorang ibu bernama Mbok Watoe. Ia hanya memiliki seorang putra semata wayang yang sangat disayanginya. Karena cintanya yang besar kepada sang putra, Mbok Watoe sudah memberikan candu (opium) kepada si anak saat ia masih berusia tiga tahun.
Pada awalnya, semua berjalan baik - baik saja. Namun, semua keindahan semu itu lambat laun memudar dan berubah menjadi kesedihan. Sang bocah yang kini berusia 10 tahun, sudah berubah menjadi seorang pecandu parah. Diusianya yang masih belia itu, Ia sudah tidak bisa melakukan apa - apa kecuali tidur rebahan dan menyesap opium. Hal yang sangat jauh berbanding terbalik dengan anak - anak lain seusianya yang bisa bebas bermain dan berlarian.
Disarikan dan diintepretasikan ulang dari surat kabar De locomotief yang terbit pada Maret 1874.
gambar hanya ilustrasi karya C. Jetses
- Chandra Gusta W -
No comments:
Post a Comment