30 September 2024

Kisah Hidup Nurnaningsih, Bintang Film Legendaris yang Dijuluki Marlyn Monroe-nya Indonesia Nama Nurnaningsih begitu legendaris di dunia perfilman Indonesia tahun 1950-an lahir di Wonokromo, Surabaya, pada 5 Desember 1928. Ayah Nurnaningsih merupakan keturunan Raja Yogyakarta, sementara sang ibu keturunan Raja Surakarta. Sebagai anak perempuan tertua dalam keluarga, orang tuanya berharap saat usianya telah cukup ia harus menikah. Wanita yang akrab disapa Nurna itupun terpaksa menikah demi menuruti kemauan orang tuanya. Tapi pernikahan itu hanya bertahan dua bulan. Keinginan Nurnaningsih untuk menjadi bintang ternama tidak terbendung. Sejak kecil dia memang sudah bercita-cita menjadi bintang film. Nurnaningsih mengaku terinspirasi jadi bintang film saat melihat film yang diperankan oleh Miss Roekiyah, seorang aktris dan penyanyi keroncong pada waktu itu. Untuk mewujudkan mimpi-mimpinya, Nurna merantau ke Jakarta saat usianya menginjak 25 tahun. Pada masa-masa awal perantauan, ia tinggal di sebuah gubuk di pinggir Kali Ciliwung. Saat itu banyak yang menilai usia Nurna sudah cukup tua dan tidak ideal lagi untuk memulai karier keartisan Segala bentuk omongan orang atas dirinya tak membuat Nurna patah arang. Ia belajar les vokal dan bermain teater. Mimpinya terwujud. Ia berhasil membintangi film garapan Usmar Ismail berjudul "Krisis". Dalam film yang diproduksi tahun 1953 itu ia menjadi pemeran utama. Namun dalam film ini Nurna tak mendapat bayaran tinggi. Ia hanya dibayar sebesar Rp180. Namun film "Krisis" yang ia bintangi sukses besar. Bahkan perusahaan film nasional yang sebelumnya dilanda krisis keuangan langsung terselamatkan berkat film "krisis". Setahun berselang, seorang sutradara terkenal bernama Jayakusuma menawari Nurna untuk membintangi film garapannya berjudul "Harimau Campa". Ia beradu peran dengan Bambang Hermanto yang juga aktor legendaris Indonesia. Film tersebut juga sukses dan berhasil meraih penghargaan skenario terbaik di ajang Festival Film Indonesia, dan musik terbaik di ajang Asian Festival. Namun di balik kesuksesan film tersebut ada kontroversi yang menyelimutinya. Dalam beberapa adegan di film tersebut, Nurna tampil cukup vulgar. Ada beberapa detik adegan yang menampakkan tubuhnya setengah telanj4ng. Pada film inilah nama Nurna ditasbihkan sebagai bom s3ks. Media massa saat itu membahas habis-habisan aksi Nurna tampil setengah telanj4ng. Sentimen negatif itu dijawab Nurna bahwa yang ia lakukan adalah bentuk eksplorasi terhadap seni. Sejak saat itu, Nurna dijuluki Marilyn Monroe-nya Indonesia. Tak hanya pada film, Nurna mengeksplorasi kemolekan tubuhnya ke berbagai medium seni lain seperti foto majalah. Foto vulgarnya tak hanya beredar di Jakarta, tapi sampai Amerika dan Italia. Dilansir dari kanal YouTube Indonesia Insider, foto-foto tersebut awalnya dijual dengan harga Rp200 per lembar, kemudian naik menjadi Rp300. Polisi bahkan sampai harus turun tangan untuk menghentikan penyebaran foto vulgar Nurna. Namun hal itu tidak menghalangi orang-orang untuk mendapatkan foto Nurna. Mereka mencari foto-foto itu di pasar gelap. Nurna mengatakan bahwa pemotretan foto vulgar itu adalah permintaannya sendiri. Ia melakukan itu sebagai bahan studi para pelukis telanjang. Dalam pemeriksaan oleh polisi, Nurna mengaku tidak mendapatkan keuntungan apa-apa dari penjualan foto vulgarnya. Ia juga mengatakan dalam pemotretan itu ada tujuh orang tentara yang membayarnya demi bisa memotret ia telanj4ng. Skandal foto-foto vulgar itu justru membuat nama Nurna semakin melambung. Saat baru mendarat di Bandara Polonia Medan untuk pementasan teater, ia langsung diserbu ribuan penggemarnya. Mayoritas dari mereka penasaran dengan sosok asli Nurna. Namun pada akhirnya Nurna tetap diboikot oleh masyarakat. Ia dinilai telah melanggar adat-adat ketimuran. Film-film yang dibintanginya dilarang di berbagai daerah seperti di Kalimantan Timur. Namun setelah membintangi film "Kebun Binatang" di tahun 1956, namanya hilang. Ia tidak lagi muncul di media massa. Selama menghilang, ia berkeliling Indonesia menjadi seniman sketsa, artis panggung, penyanyi, guru bahasa Inggris dan Belanda, bahkan menjadi penjahit. Pergantian kepemimpinan nasional dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto yang lebih condong ke barat membuat Nurna kembali percaya diri untuk membintangi beberapa judul film. Dimulai dari film "Jakarta Hongkong Macau" pada tahun 1968, ia kemudian membintangi 10 judul film. Beberapa judul yang cukup terkenal antara lain Bernafas dalam Lumpur (1970), Nafsu Gila (1973), Remang-Remang Jakarta (1981), dan Malam Satu Suro (1988). Nurnaningsih meninggal dunia pada 21 Maret 2004 dalam usia 76 tahun.

 Kisah Hidup Nurnaningsih, Bintang Film Legendaris yang Dijuluki Marlyn Monroe-nya Indonesia


Nama Nurnaningsih begitu legendaris di dunia perfilman Indonesia tahun 1950-an


lahir di Wonokromo, Surabaya, pada 5 Desember 1928. Ayah Nurnaningsih merupakan keturunan Raja Yogyakarta, sementara sang ibu keturunan Raja Surakarta. Sebagai anak perempuan tertua dalam keluarga, orang tuanya berharap saat usianya telah cukup ia harus menikah. Wanita yang akrab disapa Nurna itupun terpaksa menikah demi menuruti kemauan orang tuanya. Tapi pernikahan itu hanya bertahan dua bulan.



Keinginan Nurnaningsih untuk menjadi bintang ternama tidak terbendung. Sejak kecil dia memang sudah bercita-cita menjadi bintang film. Nurnaningsih mengaku terinspirasi jadi bintang film saat melihat film yang diperankan oleh Miss Roekiyah, seorang aktris dan penyanyi keroncong pada waktu itu.


Untuk mewujudkan mimpi-mimpinya, Nurna merantau ke Jakarta saat usianya menginjak 25 tahun. Pada masa-masa awal perantauan, ia tinggal di sebuah gubuk di pinggir Kali Ciliwung. Saat itu banyak yang menilai usia Nurna sudah cukup tua dan tidak ideal lagi untuk memulai karier keartisan


Segala bentuk omongan orang atas dirinya tak membuat Nurna patah arang. Ia belajar les vokal dan bermain teater. Mimpinya terwujud. Ia berhasil membintangi film garapan Usmar Ismail berjudul "Krisis". Dalam film yang diproduksi tahun 1953 itu ia menjadi pemeran utama. Namun dalam film ini Nurna tak mendapat bayaran tinggi. Ia hanya dibayar sebesar Rp180. Namun film "Krisis" yang ia bintangi sukses besar. Bahkan perusahaan film nasional yang sebelumnya dilanda krisis keuangan langsung terselamatkan berkat film "krisis".


Setahun berselang, seorang sutradara terkenal bernama Jayakusuma menawari Nurna untuk membintangi film garapannya berjudul "Harimau Campa". Ia beradu peran dengan Bambang Hermanto yang juga aktor legendaris Indonesia. Film tersebut juga sukses dan berhasil meraih penghargaan skenario terbaik di ajang Festival Film Indonesia, dan musik terbaik di ajang Asian Festival. Namun di balik kesuksesan film tersebut ada kontroversi yang menyelimutinya. Dalam beberapa adegan di film tersebut, Nurna tampil cukup vulgar. Ada beberapa detik adegan yang menampakkan tubuhnya setengah telanj4ng.


Pada film inilah nama Nurna ditasbihkan sebagai bom s3ks. Media massa saat itu membahas habis-habisan aksi Nurna tampil setengah telanj4ng. Sentimen negatif itu dijawab Nurna bahwa yang ia lakukan adalah bentuk eksplorasi terhadap seni. Sejak saat itu, Nurna dijuluki Marilyn Monroe-nya Indonesia.


Tak hanya pada film, Nurna mengeksplorasi kemolekan tubuhnya ke berbagai medium seni lain seperti foto majalah. Foto vulgarnya tak hanya beredar di Jakarta, tapi sampai Amerika dan Italia.


Dilansir dari kanal YouTube Indonesia Insider, foto-foto tersebut awalnya dijual dengan harga Rp200 per lembar, kemudian naik menjadi Rp300. Polisi bahkan sampai harus turun tangan untuk menghentikan penyebaran foto vulgar Nurna. Namun hal itu tidak menghalangi orang-orang untuk mendapatkan foto Nurna. Mereka mencari foto-foto itu di pasar gelap. Nurna mengatakan bahwa pemotretan foto vulgar itu adalah permintaannya sendiri. Ia melakukan itu sebagai bahan studi para pelukis telanjang.


Dalam pemeriksaan oleh polisi, Nurna mengaku tidak mendapatkan keuntungan apa-apa dari penjualan foto vulgarnya. Ia juga mengatakan dalam pemotretan itu ada tujuh orang tentara yang membayarnya demi bisa memotret ia telanj4ng.


Skandal foto-foto vulgar itu justru membuat nama Nurna semakin melambung. Saat baru mendarat di Bandara Polonia Medan untuk pementasan teater, ia langsung diserbu ribuan penggemarnya. Mayoritas dari mereka penasaran dengan sosok asli Nurna.


Namun pada akhirnya Nurna tetap diboikot oleh masyarakat. Ia dinilai telah melanggar adat-adat ketimuran. Film-film yang dibintanginya dilarang di berbagai daerah seperti di Kalimantan Timur. Namun setelah membintangi film "Kebun Binatang" di tahun 1956, namanya hilang. Ia tidak lagi muncul di media massa.


Selama menghilang, ia berkeliling Indonesia menjadi seniman sketsa, artis panggung, penyanyi, guru bahasa Inggris dan Belanda, bahkan menjadi penjahit.


Pergantian kepemimpinan nasional dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto yang lebih condong ke barat membuat Nurna kembali percaya diri untuk membintangi beberapa judul film. Dimulai dari film "Jakarta Hongkong Macau" pada tahun 1968, ia kemudian membintangi 10 judul film. Beberapa judul yang cukup terkenal antara lain Bernafas dalam Lumpur (1970), Nafsu Gila (1973), Remang-Remang Jakarta (1981), dan Malam Satu Suro (1988). Nurnaningsih meninggal dunia pada 21 Maret 2004 dalam usia 76 tahun.

No comments:

Post a Comment