04 December 2023

HAMPIR MALAM DI YOGYA Oleh: Frans Sartono (Kompas, 3 Desember 2010) Yogyakarta dengan sejarah perjuangan mengispirasi seniman untuk menulis lagu. Ismail Marzuki di masa perjuangan melahirkan lagu “Sepasang Mata Bola”. Pada masa “pembangunan” Kla Project mempopulerkan “Yogyakarta. Setiap kali Kla menggelar konser, mereka pasti menaruh “Yogyakarta” sebagai pemuncak penampilan. Dan, setiap kali pula ribuan penonton bernyanyi bersama dalam koor massal yang bisa membuat merinding orang yang mendengar. Mereka tidak sekedar bernostalgia tentang sebuah lagu yang mulai populer pada awal 1990-an itu. Mereka juga mengenang kota Yogya yang menurut vokalis Kla, Katon Bagaskara, hangat dan romantis. Katon menulis “Yogyakarta” berdasar kenangan masa kecil ketika ia sering diajak orangtuanya pulang ke rumah kakek-neneknya di Kampung Jetis, sebelah utara Tugu, Yogyakarta. “Setiap tahun saya diajak menengok embah. Itu menjadi kenangan manis seorang anak kecil bernama Katon tentang Yogya dengan suasana hangat dan romantis,” kata Katon, Kamis (2/12) pagi. Katon menuturkan bagaimana kenangan akan Yogya itu mewujud dalam lagu “Yogyakarta”. Alkisah, suatu kali Adi Adrian memainkan serangkaian chord dari keyboard-nya. Chord-chord itu menjadi stimulans dalam melahirkan melodi. “Waktu melodi tercipta, belum terbayang Yogyakarta. Tapi terbayang romantisme anak yang ingin pulang ke sebuah kota,” tutur Katon. Kemudian Adi memilih bunyi kastanyet yang ada di porgram dalam keyboard-nya sebagai semacam ketukan. Bunyi ritmis kastanyet tak-tak-tak-tak itu membawa Katon pada kenangan bunyi tapal kuda di aspal. . “Saya ingat suara andong yang sering melintas di depan rumah embah di Jalan AM Sangaji,” tutur Katon. Lain waktu, Kla akan rekaman di studio. Dalam perjalanan menuju studio, lirik belum selesai. Kemudian di studio, dalam suasana terpepet, ingatan bawah sadar Katon melayang ke kota Yogya. Lahirlah kemudian lagu yang dibawakan vokal Katon dan Lilo. Bait awalnya berbunyi: Pulang ke kotamu/ Ada setangkup haru dalam rindu/ Masih seperti dulu/ Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna/ Terhanyut aku akan nostlagia/ Saat kita sering luangkan waktu/ Nikmati bersama/ Suasana Jogja ...” Sebelum Kla mempopulerkan “Yogyakarta”, Anton Issudibyo pada tahun 1977 juga menulis lagu yang kebetulan berjudul sama. Tentu dengan dengan lirik dan melodi yang berbeda. Lagu yang dipopulerkan Geronimo plus Jatu Parmawati itu cenderung berkesan turistik seperti lagu untuk menyambut para pendatang. Lagu tersebut kini direkam kembali oleh Rafika Duri, dilengkapi rap oleh Afiblek. Simak lirik awalnya, “Selamat datang ke kota kami/ Yogyakarta indah dan megah/ Selamat datang kawan/ Kami menyambutmu ...” “Jogja Kembali” Pada masa perjuangan setidaknya muncul dua lagu dengan lanskap sejarah Yogyakarta, yaitu “Sepasang Mata Bola” dan “Jogja Kembali”. Ismail Marzuki (1914-1958) menulis “Sepasang Mata Bola” sebagai bagian dari cara berjuang sebagai seniman. Ismail pada masa perjuangan dengan rombongan orkesnya pernah berada di garis depan untuk menghibur rakyat di daerah perjuangan mulai Karawang, Sukabumi, Bandung, sampai Yogyakarta. Peristiwa di medan perjuangan Bandung menginspirasinya menulis lagu-lagus romantis patriotis, seperti “Bandung Selatan di Waktu Malam”, “Sapu Tangan dari Bandung Selatan”, dan “Halo-Halo Bandung”. Adapun pengalaman di Yogyakarta melahirkan lagu “Sepasang Mata Bola” dengan lirik awal menunjukkan lanskap stasiun Yogyakarta. “Hampir malam di Yogya/ketika keretaku tiba ...” Pada refrein ia menulis: “Sepasang mata bola, gemilang murni mesra/Telah memandang beta si setasiun Yogya...” Yogyakarta sebagai kota perjuangan juga diabadikan dalam lagi “Jogja Kembali” gubahan Subagjo. Lagu tersebut berlatar belakang sejarah kembalinya Yogyakarta ke tangan Republik pada 29 Juni 1949 yang kemudian dikenal sebagai peristiwa Yogya Kembali. Kita kutipkan lirik selengkapnya yang terkesan patriotik heroik. “Walaupun Yogya kembali ke tangan kita/Itulah bukan berarti kita berlengah hati/Siap korban jiwa raga dengan semangat baja/Untuk negara dan bangsa Republik Indonesia.” Notasi awal lagu itu sejak era 1950-an dijadikan jingle oleh RRI Yogyakarta dan biasa diperdengarkan sebagai penanda waktu menjelang siaran berita. Seniman yang peka mencatat sejarah dan perasaan manusia dalam lagu. Lagu-lagu itu seperti menjadi soundtrack zaman yang bisa membantu orang untuk menghayati sejarah—agar tidak melupakan sejarah bangsanya sendiri. Sumber: Kompas, 3 Desember 2010

 HAMPIR MALAM DI YOGYA

Oleh: Frans Sartono

(Kompas, 3 Desember 2010)


Yogyakarta dengan sejarah perjuangan mengispirasi seniman untuk menulis lagu. Ismail Marzuki di masa perjuangan melahirkan lagu  “Sepasang Mata Bola”. Pada masa “pembangunan” Kla Project mempopulerkan “Yogyakarta.



Setiap kali Kla menggelar konser, mereka pasti menaruh “Yogyakarta” sebagai pemuncak penampilan. Dan, setiap kali pula ribuan penonton bernyanyi bersama dalam koor massal yang bisa membuat merinding orang yang mendengar. Mereka tidak sekedar bernostalgia tentang sebuah lagu yang mulai populer pada awal 1990-an itu. Mereka juga mengenang kota Yogya yang menurut vokalis Kla, Katon Bagaskara, hangat dan romantis. 


Katon menulis “Yogyakarta” berdasar kenangan masa kecil ketika ia sering diajak orangtuanya pulang ke rumah kakek-neneknya di Kampung Jetis, sebelah utara Tugu, Yogyakarta.


“Setiap tahun saya diajak menengok embah. Itu menjadi kenangan manis seorang anak kecil bernama Katon tentang Yogya dengan suasana hangat dan romantis,” kata Katon, Kamis (2/12) pagi.


Katon menuturkan bagaimana kenangan akan Yogya itu mewujud dalam lagu “Yogyakarta”. Alkisah, suatu kali Adi Adrian memainkan serangkaian chord dari keyboard-nya. Chord-chord itu menjadi stimulans dalam melahirkan melodi. “Waktu melodi tercipta, belum terbayang Yogyakarta. Tapi terbayang romantisme anak yang ingin pulang ke sebuah kota,” tutur Katon. 


Kemudian Adi memilih bunyi kastanyet yang ada di porgram dalam keyboard-nya sebagai semacam ketukan. Bunyi ritmis kastanyet tak-tak-tak-tak itu membawa Katon pada kenangan bunyi tapal  kuda di aspal. . “Saya ingat suara andong yang sering melintas di depan rumah embah di Jalan AM Sangaji,” tutur Katon. 


Lain waktu, Kla akan rekaman di studio. Dalam perjalanan menuju studio, lirik belum selesai. Kemudian di studio, dalam suasana terpepet, ingatan bawah sadar Katon melayang ke kota Yogya. Lahirlah kemudian lagu yang dibawakan vokal Katon dan Lilo. Bait awalnya berbunyi: Pulang ke kotamu/ Ada setangkup haru dalam rindu/ Masih seperti dulu/ Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna/ Terhanyut aku akan nostlagia/ Saat kita sering luangkan waktu/ Nikmati bersama/ Suasana Jogja ...”


Sebelum Kla mempopulerkan “Yogyakarta”, Anton Issudibyo pada tahun 1977 juga menulis lagu yang kebetulan berjudul sama. Tentu dengan dengan lirik dan melodi yang berbeda. Lagu yang dipopulerkan Geronimo plus Jatu Parmawati itu cenderung berkesan turistik seperti lagu untuk menyambut para pendatang. Lagu tersebut kini direkam kembali oleh Rafika Duri, dilengkapi rap oleh Afiblek. Simak lirik awalnya, “Selamat datang ke kota kami/ Yogyakarta indah dan megah/ Selamat datang kawan/ Kami menyambutmu ...”


“Jogja Kembali” 

Pada masa perjuangan setidaknya muncul dua lagu dengan lanskap sejarah Yogyakarta, yaitu “Sepasang Mata Bola” dan “Jogja Kembali”. Ismail Marzuki (1914-1958) menulis “Sepasang Mata Bola” sebagai bagian dari cara berjuang sebagai seniman. Ismail pada masa perjuangan dengan rombongan orkesnya pernah berada di garis depan untuk menghibur rakyat di daerah perjuangan mulai Karawang, Sukabumi, Bandung, sampai Yogyakarta. 


Peristiwa di medan perjuangan Bandung menginspirasinya menulis lagu-lagus romantis patriotis, seperti “Bandung Selatan di Waktu Malam”, “Sapu Tangan dari Bandung Selatan”, dan “Halo-Halo Bandung”. Adapun pengalaman di Yogyakarta melahirkan lagu  “Sepasang Mata Bola” dengan lirik awal menunjukkan lanskap stasiun Yogyakarta. “Hampir malam di Yogya/ketika keretaku tiba ...”


Pada refrein ia menulis: “Sepasang mata bola, gemilang murni mesra/Telah memandang beta si setasiun Yogya...”


Yogyakarta sebagai kota perjuangan juga diabadikan dalam lagi “Jogja Kembali” gubahan Subagjo. Lagu tersebut berlatar belakang sejarah kembalinya Yogyakarta ke tangan Republik pada 29 Juni 1949 yang kemudian dikenal sebagai peristiwa Yogya Kembali. Kita kutipkan lirik selengkapnya yang terkesan patriotik heroik. 


“Walaupun Yogya kembali ke tangan kita/Itulah bukan berarti kita berlengah hati/Siap korban jiwa raga dengan semangat baja/Untuk negara dan bangsa Republik Indonesia.”


Notasi awal lagu itu sejak era 1950-an dijadikan jingle oleh RRI Yogyakarta dan biasa diperdengarkan sebagai penanda waktu menjelang siaran berita. 


Seniman yang peka mencatat sejarah dan perasaan manusia dalam lagu. Lagu-lagu itu seperti menjadi soundtrack zaman yang bisa membantu orang untuk menghayati sejarah—agar tidak melupakan sejarah bangsanya sendiri. 


Sumber: Kompas, 3 Desember 2010

No comments:

Post a Comment