Makam Raja Pengging & Garwa. Prabhu Sri Makurung Handayaningrat
.... berani menjalani kehidupan, adalah sebuah konsekuensi untuk ikut membangun sebuah peradaban yang lebih bertanggung jawab ...
31 October 2023
Sejarah Magelang - Halte di Magelang
Ini 97 tahun yang lalu, di Magelang sudah ada aturan supaya bis berhenti di halte-halte yang sudah ditentukan karena kebiasaan bis yang mengangkut dan menurunkan penumpang di tempat sesukanya itu memang nyaman bagi sebagian orang tapi mengganggu lancarnya lalu lintas.
Halte itu ada di:
-Pasar Rejowinangun
-Jalan Jagoan-Purworejo (sekitar tribun pacuan kuda)
-Alun-alun
-Pertigaan stasiun Kebonpolo
-Jalan Menowo-Potrobangsan (depan pandai besi Bertram)...ini yang menarik karena jadi tahu kira-kira letak rumah pertama yang disewa Pa van der Steur untuk rumah asuh.
Oleh : Eva Mentari Christoup
30 October 2023
Tukang Ojek
Potret para tukang ojek sepeda yang sedang menunggu penumpang di Jakarta tahun 1991. Para tukang ojek sepeda ini bergerombol menunggu penumpang yang beraktifitas di sekitaran Stasiun Jakarta Kota. Untuk sekali jalan, tarif ojek sepeda ini dibanderol minimal Rp 300. Meskipun terbilang lebih mahal dari tarif angkutan umum seperti bus dan mikrolet, dengan jumlah tukang ojek yang semakin banyak menunjukan bahwa ojek sepeda tetap lebih diminati. Alasannya beragam mengapa ojek sepeda lebih diminati ketika itu, salah satunya kemampuan ojek sepeda yang mampu menyalip dan memasuki jalan-jalan kecil sehingga terhindar dari macet.
Koleksi Layanan Surat Kabar Langka Perpustakaan Nasional RI
Sumber : Wawasan, 20 Mei 1990 halaman 6 kolom 7-9 (SKALA Team)
#transportasi #ojeksepeda #Jakarta #stasiunkota
JAKA TINGKIR
PERJALANAN RADEN JAKA TINGKIR
Enggal Marènana Matun Gaga,
Nuli Asuwitaa,
Maring Dêmak Sira Kulup,
Sira Uga Bakale Dadi Ratu.
( Sekar Asmaradana Pupuh 41, Dawuh Sunan Kalijaga marang Mas Karebet )
Tanggal 18 Jumadilakhir Tahun Dal Mongso Kawolu, menjelang subuh tepat seusai pertunjukan wayang beber yang digelar di Pendopo Kraton Pengging, lahirlah seorang bayi laki laki dengan paras menawan. Putra Ki Ageng Kebo Kenanga dari garwanya Rara Alit.
Setelah bayi mungil disucikan, oleh Ki Ageng Kebo Kenanga bayi tersebut dibawa ke pendopo Kraton diberikan kepada Ki Ageng Tingkir yang saat itu selesai mendalang dengan tujuan mohon doa & restu. Setelah dipangkuan Ki Ageng Tingkir bayi mungil dibacakan doa doa kebaikan dan terakhir beliau memberikan nama Mas Karebet, terinspirasi dari suara kemrebet wayang beber karena tiupan angin.
Ki Ageng Kebo Kenanga sangat bahagia dengan kelahiran putranya tersebut, apalagi dahulu beliau pernah mendapat wisik bahwa kelak putranya tersebut akan mukti atau jadi Ratu.
Saat itu usia Mas Karebet menginjak dua tahun ketika prahara menyerang Kraton Pengging. Ayahanda beliau Ki Ageng Kebo Kenanga wafat dalam pertarungan melawan Sunan Kudus utusan dari Kerajaan Demak Bintara. Ki Ageng Kebo Kenanga dianggap bersalah atau memberontak karena tidak pernah mau menghadap ke Kraton Demak. Ki Ageng Kebo Kenanga tertusuk keris Sunan Kudus.
Kesedihan Kraton Pengging belum usai, empat puluh hari sejak wafatnya Ki Ageng Kebo Kenanga, Nyai Ageng Kebo Kenanga Ibunda Mas Karebet wafat. Kini Mas Karebet hidup sebatang kara. Sehari hari beliau dirawat oleh para abdi Kraton Pengging yang sudah tidak memiliki Raja. Hingga pada suatu hari janda Ki Ageng Tingkir menjemput Mas Karebet dan berkenan menjadikan anak angkatnya dan membawanya pulang ke Dukuh Tingkir. Nyai Ageng Tingkir adalah seorang yang kaya raya karena sawah peninggalan Ki Ageng Tingkir yang luas.
Setelah tinggal dan besar di Dukuh Tingkir akhirnya Mas Karebet dikenal teman temannya dengan julukan Jaka Tingkir.
Meski berkecukupan, dalam keseharian Jaka Tingkir lebih suka menyepi ke gunung, jurang, dipinggir sungai, kadang bertapa di gua juga berendam ( kungkum ) di Sendang atau mata air. Sendang petilasan Joko Tingkir terkenal dengan nama Sendang Sanjaya. Sepuluh hari kemudian baru pulang kerumah .
Hingga pada suatu hari ketika Joko Tingkir sedang menyepi di gunung Telamaya ( Gunung Merbabu ) beliau tertidur dan bermimpi Rembulan di atas langit tiba tiba jatuh kepangkuannya dipeluknya erat erat, bulan terasa keras sekeras kentos biji salak. ketika terbangun terdengar suara gemuruh dari dari puncak Gunung Telamaya. Kemudian Raden Jaka Tingkir turun pulang kerumahnya. Dan mimpi tersebut diceritakan kepada ibunya.
Nyai Ageng Tingkir sebenarnya khawatir melihat putranya yang sering menyepi ke tempat tempat sunyi, beliau berharap Jaka Tingkir mendapat pengajaran agama dan kanuragan dari seorang guru. Kemudian pada suatu hari Nyai Ageng Tingkir mengirim Raden Jaka Tingkir untuk berguru kepada Ki Ageng Selo. Setiap sepuluh atau dua puluh hari , Jaka Tingkir pulang ke Dukuh Tingkir menemui Ibunya.
Di Padepokan Ki Ageng Selo, Raden Joko Tingkir belajar ilmu agama Islam, Ilmu kanuragan dan bela diri, Ilmu Dalang, Ilmu Sastra dan Tembang Macapat, Ilmu Bertani.
Terkadang Ki Ageng Selo mengirim Jaka Tingkir bersama Raden Henis, Bagus Kacung Juga Raden Juru Martani ke Padepokan Sunan Kalijaga di Mantingan.
Raden Joko Tingkir sebagai murid sangat memperhatikan yang diajarkan oleh Ki Ageng Selo maupun Sunan Kalijaga. Termasuk ilmu dalang, Jaka Tingkir fasih mendalang hingga Ki Ageng Sela membelikan wayang kulit berikut perlengkapan dalang komplit. Dan selama di Selo Jaka Tingkir mulai manggung di desa desa sekitar sebagai Dalang Muda.
Jaka Tingkir juga sangat menyukai ilmu sastra dan tembang macapat.
Jaka Tingkir mempunyai kepribadian yang baik, sopan dalam bersikap dan bertutur kata, di Padepokan Ki Ageng Sela semua kawan seperguruan sangat menyukai beliau.
Begitu pula Ki Ageng Selo sangat menyayangi Jaka Tingkir seperti putranya sendiri. Selama di Sela, Jaka Tingkir hampir tidak pernah berpisah dengan Ki Ageng Selo. Ketika Ki Ageng Selo bertapa di hutan, Jaka Tingkir juga ikut bertapa. Termasuk ketika Ki Ageng Selo membuka hutan untuk perluasan tanah pertaniannya, Jaka Tingkir selalu mendampingi dan membantunya. Hingga pada suatu hari, saat itu adalah hari ketujuh Ki Ageng Sela menginap di gubug ditengah hutan setelah seharian membuka hutan.Tepatnya pada hari Jumat Malam, Ki Ageng Selo tidur di dalam gubug. Jaka Tingkir tidur di teras gubug. Ki Ageng Selo bermimpi berangkat ke hutan dengan membawa kampak untuk menebang pohon ternyata sesampai di hutan terlihat Jaka Tingkir sudah menebang beberapa pohon dan menyeret dengan tangan kirinya. Betapa terperanjatnya Ki Ageng Selo hingga beliau terbangun dari tidurnya.
Kemudian Ki Ageng Selo membangunkan Jaka Tingkir dan mengajaknya Sholat Malam dilanjutkan dengan mengaji / berdoa hingga menjelang waktu subuh dengan diterangi nyala lampu senthir. Kemudian setelah istirahat sebentar dilanjutkan sholat subuh.
Kemudian Ki Ageng Selo mengajak Jaka Tingkir untuk duduk santai di teras gubug ditemani nasi ketan dan air putih dari kendi.
Ki Ageng Selo kemudian bertanya kepada Jaka Tingkir : " Anakku, apakah sebelum ke Selo engkau pernah bermimpi yang menurutmu istimewa? "
Kemudian Jaka Tingkir menjawab: " Duh Romo selama di Tingkir saya sering menyepi ke gunung, jurang, di tepian sungai maupun kungkum di Sendang. Sebulan yang lalu saya berguru kepada Ajar Adirasa, pada suatu malam ketika saya sedang tidur di gunung Telamaya saya bermimpi tiba tiba rembulan dari langit jatuh ke pangkuan saya dan rembulan itu terasa keras seperti kentos biji salak. Ketika saya terbangun terdengar suara bergemuruh dari Gunung Telamaya ( Gunung Merbabu ) "
Menurut Ki Ageng Sela, bermimpi membabad hutan berarti akan mukti menjadi ratu. Demikian pula ditambah mimpi Raden Joko Tingkir, Ki Ageng Selo semakin yakin jika kelak Jaka Tingkir akan menjadi Ratu.
" Aku percaya kepadamu anakku, disuatu hari nanti engkau akan mendapat karunia dari Tuhan, berupa kedudukan yang tinggi di dunia.Oleh karena itu hendaklah engkau selalu dekat dengan Tuhan "
Ucap Ki Ageng Selo memberi wejangan.
Dan untuk selanjutnya untuk membuka tabir mimpi, Ki Ageng Selo memerintahkan Jaka Tingkir pergi ke Kerajaan Demak untuk menjadi abdi dalem dan mendapatkan posisi yang baik di lingkungan Kraton. Sebelum berangkat Jaka Tingkir diperintahkan menemui Ibu Angkatnya Nyai Ageng Tingkir untuk berpamitan dan mohon doa restu.
Sesampai di Tingkir, jakax Tingkir menceritakan saran Ki Ageng Selo untuk mendaftar menjadi abdi dalem di Demak. Demi mendengar cerita Raden Joko Tingkir, Nyai Ageng Tingkir terkejut juga khawatir mengingat ayahnya, Ki Ageng Kebo Kenanga yang wafat saat melawan utusan Demak. Untuk menutupi kekhawatirannya Nyai Ageng Tingkir meminta Raden Joko Tingkir untuk membantunya mencabuti rumput di sawah ( matun ). Sudah tiga hari Raden Joko Tingkir matun di sawah. Hari itu langit nampak mendung tepatnya menjelang asar tiba tiba Sunan Kalijaga yang pulang dari Dalem Mantingan datang menghampiri Raden Joko Tingkir yang sedang tekun mencabuti rumput / alang alang ( matun ) dengan suara yang rendah Sunan Kalijaga
" Ngger Cucuku, Selesaikan matunmu, segeralah berangkat ke Demak. Kelak engkau akan menjadi Ratu "
Selesai berkata kemudian Sunan Kalijaga melanjutkan perjalanan ke arah utara.
Kemudian Raden Joko Tingkir bergegas pulang dan menceritakan pertemuannya dengan Sunan Kalijaga. Nyai Ageng Tingkir terharu dan mantap melepas dan memberi restu Raden Joko Tingkir berangkat ke Demak.Sebelum berangkat, Nyai Ageng Tingkir berpesan kepada Raden Joko Tingkir untuk menemui saudaranya di Desa Ganjur yang bekerja di Suranata / Mesjid Demak.
Akhirnya berangkatlah Raden Joko Tingkir menuju Demak.Dari Tingkir ke Demak merupakan perjalanan yang panjang dan melelahkan. Selain melewati hutan-hutan lebat, juga menyusuri lereng-lereng bukit dan lembah. Perjalanan dengan naik kuda bisa ditempuh lebih dari satu hari satu malam.
Setibanya di Desa Ganjur, Jaka Tingkir langsung mencari rumah Lurah Ganjur. Setelah bertemu dengan Lurah Ganjur, beliau menyampaikan pesan dari Nyai Ageng Tingkir
Setelah mendengar pesan dari Nyai Ageng Tingkir kemudian Lurah Ganjur memberitahu Joko Tingkir bahwa besok adalah hari Jum’at. Sultan akan sembahyang di Masjid Agung Demak. Jadi besok pagi-pagi Joko Tingkir ikut pergi untuk membersihkan masjid dan menyiapkan segala sesuatu untuk keperluan shalat Jumat. Dengan harapan Sultan Trenggono akan melihatnya dan berkenan mengangkatnya sebagai abdi dalem atau pengawalnya.
Keesokan harinya pagi-pagi Ki Lurah Ganjur dan para pembantunya serta Jaka Tingkir sudah berada di masjid dan mulai membersihkan lantai dan lingkungan masjid, menimba air untuk mengisi kulah dan gentong, menyiapkan tikar, menyapu halaman dan memotong rumput dan dahan,dan sebagainya.
Jaka Tingkir tampak rajin dan sigap terhadap tugas yang diberikan kepadanya. Saking seriusnya dalam bekerja,sampai-sampai ia tidak menyadari kalau sang Sultan dan rombongan telah tiba dan akan berjalan melewati tempat Jaka bekerja. Seketika itu juga, Jaka merasa kaget. Beliau bingung, jika pergi begitu saja maka akan membelakangi sang Sultan. Tapi jika tetap diam di tempat itu, tentu akan dilanggar oleh Sultan dan rombongan. Sementara posisi Joko Tingkir sendiri berada di antara dua kolam yang tempatnya sempit. Tanpa berpikir panjang, spontan Joko Tingkir melompat melampaui kolam dengan ilmu kanuragan yang telah dipelajari dari Ki Ageng Sela.
Sultan Trenggono dan rombongan amat terkejut sekaligus kagum, begitu juga dengan Ki Lurah Ganjur. Lalu sang Sultan mendekati Ki Lurah Ganjur dan memberi tanda agar Jaka Tingkir menemuinya usai shalat Jum’at.
Shalat Jum’at pun usai. Tidak berapa lama kemudian, Sultan dan rombongan keluar menemui Jaka Tingkir yang sudah siap menunggu di pintu keluar masjid. JokoTingkir segera memberi hormat. Jantungnya berdegup kencang kalau-kalau Sultan akan marah kepadanya.
“Siapa namamu anak muda?” sapa Sultan dengan nada ramah dan bersahabat.
“Saya Jaka Tingkir, Gusti.”
“Siapakah orang tuamu?”
“Bapak saya bernama Ki Ageng Tingkir, masih ada hubungan keluarga dengan Ki Lurah Ganjur.”
Sultan Trenggono seperti tersihir melihat sikap Joko Tingkir yang sopan dan mengerti tata krama Keraton.
Singkat cerita, Jaka Tingkir diterima sebagai abdi dalem keraton. Karena beliau pandai, berilmu, dua tahun kemudian beliau diangkat sebagai Lurah Wira Tamtama . Beliau mengadakan perbaikan di tubuh prajurit serta menjadikan prajurit Demak cukup disegani. Sultan merasa senang dan puas atas hasil kerja Jaka Tingkir, sehingga Jaka Tingkir diangkatnya sebagai putra, kemudian Sultan Trenggono memberi tambahan gelar untuk Jaka Tingkir menjadi Rahadyan Jaka Tingkir atau Raden Jaka Tingkir
Sultan Trenggono sangat sayang kepada Raden Jaka Tingkir , setiap Sultan Trenggono berburu ke hutan Raden Jaka Tingkir turut serta bahkan Raden Jaka Tingkir jitu dalam berburu singa maupun macan, ketika Sultan berpesiar naik perahu, Raden Jaka Tingkir mendampingi Sultan. Raden Jaka Tingkir berhasil menundukkan beberapa buaya yang akan menyerang mereka.
Tetapi sayang hubungan baik Raden Jaka Tingkir dengan Sultan Trenggono tidak berlangsung lama.
Saat itu Kraton Demak sedang menerima / seleksi prajurit baru salah satu ujiannya adalah membunuh banteng. Salah satu peserta seleksi bernama Dadunggawuk, seorang preman yang berperangai buruk yang berhasil memecahkan kepala banteng. Demi melihat Dadung Gawuk berhasil menundukkan banteng, Raden Jaka Tingkir tidak setuju jika calon pengawal Sultan adalah orang yang akan membahayakan Sultan sendiri. Kemudian Raden Jaka Tingkir turun ke lapangan dan menantang Dadung Gawuk. Akhirnya Dadung Gawuk bertarung melawan Raden Jaka Tingkir. Terjadilah perlawanan sengit dan akhirnya Raden Jaka Tingkir berhasil mengalahkan Dadung Gawuk dengan tusukan pusaka sadak kinang ( tusuk konde ) beliau kearah perut Dadung Gawuk dan tewaslah Dadung Gawuk.
Patih Wonosalam yang melihat Raden Jaka Tingkir membunuh peserta seleksi kemudian melapor ke Sultan Trenggono tanpa bertanya / klarifikasi kepada Raden Jaka Tingkir. Sultan Trenggono mendengar penuturan patihnya sangat marah dan tanpa ampun kemudian memecat Raden Jaka Tingkir dan membuangnya ke hutan.
Kepergian Raden Jaka Tingkir di iringi kesedihan para prajurit bawahannya. Sementara Sultan Trenggono akhirnya menyadari, tidak mungkin Raden Jaka Tingkir melakukan hal tersebut tanpa alasan tertentu. Tapi nasi telah menjadi bubur, Raden Jaka Tingkir sudah jauh didalam hutan rimba.
Sementara Raden Jaka Tingkir sudah jauh didalam hutan dengan perasaan campur aduk antara sedih kecewa marah. Jaka Tingkir berjalan semakin jauh melewati pegunungan Kendheng hingga akhirnya masuk ke hutan dan beristirahat dibawah pohon rimbun. Di saat istirahat di dalam hutan, Raden Jaka Tingkir dikejutkan dengan datangnya seorang kakek menghampirinya. Kakek tersebut menanyakan kenapa Raden Jaka Tingkir berada dihutan ini dari raut wajahnya kelihatan seakan memendam kesedihan. Kemudian Raden Jaka Tingkir memperkenalkan diri dan menceritakan kenapa beliau sampai di hutan ini. Betapa terkejutnya sang kakek mendengar penuturan Raden Jaka Tingkir, kemudian Kakek memeluk Raden Jaka Tingkir dan menjelaskan bahwa dia adalah Ki Ageng Butuh saudara seperguruan Ki Ageng Kebo Kenanga. Ki Ageng Butuh kemudian menjelaskan siapa jati diri Raden Jaka Tingkir dan juga menceritakan kenapa ramanya wafat. Kemudian Ki Ageng Butuh mengajak Raden Jaka Tingkir ke Padepokannya dipinggir hutan. Sesampai di Padepokan Ki Ageng Butuh memberi tahu Ki Gedhe Ngerang bahwa pemuda yang dihadapannya adalah putra Ki Ageng Kebo Kenanga yang dirawat oleh Nyai Ageng Tingkir. Ki Ageng Butuh menjelaskan kepada Raden Jaka Tingkir bahwa Ki Ageng Kebo Kenanga, Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang dahulu adalah kawan seperguruan. Akhirnya Raden Jaka Tingkir tinggal beberapa waktu di Padepokan tersebut. Disana Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang mengajarkan beberapa ilmu yang bermanfaat kepada Raden Jaka Tingkir. Setelah Raden Jaka Tingkir dirasa mahir menerima ilmu dari mereka kemudian Raden Jaka Tingkir diperintahkan untuk berguru kepada Ki Buyut Banyubiru yang Padepokannya di desa Banyu Biru di pinggir Gunungkidul disebelah timur Getas Aji. Tetapi sebelumnya ke makam ayahandanya Ki Ageng Kebo Kenanga di Pengging.
Setelah berpamitan kepada Ki Ageng Butuh & Ki Ageng Ngerang, Raden Jaka Tingkir berangkat menuju Pengging ke makam Ki Ageng Kebo Kenanga ayahandanya.Di makam ayahandanya Raden Jaka Tingkir menginap beberapa hari. Raden Jaka Tingkir tidak menyangka kalau dirinya adalah putra seorang Raja. Dalam perenungannya Raden Jaka Tingkir tidak menaruh rasa dendam kepada Sunan Kudus. Karena semua semata mata takdir dari yang Maha Kuasa.
Setelah dari makam leluhurnya di Pengging kemudia Jaka Tingkir melanjutkan perjalanan menuju Desa Banyubiru. Sesampai di desa Banyu Biru kemudian beliau menghadap Ki Buyut Banyu Biru dan menghaturkan salam dari Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang kemudian beliau memperkenalkan diri sebagai putra Ki Ageng Kenanga. Raden Jaka Tingkir kemudian menceritakan maksud tujuannya yaitu ingin menjadi murid Ki Buyut Banyubiru. Akhirnya beliau diterima sebagai murid oleh Ki Buyut Banyubiru. Di sana telah ada murid yang lain, seperti Mas Manca putra Jabaleka, tamtama dari prajurit Majapahit, juga Wuragil dan Wila yang masih keponakan Ki Buyut Banyubiru sendiri. Jaka Tingkir belajar dengan sangat tekunsehingga dalam waktu tiga bulan, Beliau sudah dapat menguasai semua ilmu yang diajarkan Ki Buyut Banyubiru dan lulus dalam ujian.
Lalu Ki Buyut Banyubiru menganjurkan Raden Jaka Tingkir untuk kembali ke Demak untuk menghadap Sultan. Ki Buyut Banyubiru membekali Raden Jaka Tingkir dengan segenggam tanah dari Siti Sangar untuk dimasukkan ke mulut kerbau Danu yang akan ditemuinya di perjalanan.
“ Selama musim penghujan Sultan Trenggono akan ngedaton di Pesanggrahan Prawata. Kerbau yang engkau masukkan segenggam tanah tadi akan mabuk dan mengamuk, berlari menuju depan pesanggrahan sang Sultan. Kemudian Sultan akan memintamu untuk menangkap binatang itu,” kata Ki Buyut Banyubiru.
Setelah mendapat restu dari Ki Buyut Banyubiru maka dengan menggunakan rakit ditemani tiga orang yaitu Ki Mas Manca, Ki Wuragil dan Ki Wila, Raden Jaka Tingkir meninggalkan Padepokan Banyubiru menyusuri Kali Dengkeng menuju Pesanggrahan Prawata Demak. Ki Mas Manca dengan galah bambu di depan mengemudikan rakit dan Ki Wuragil beserta Ki Wila yang mendayung sementara Mas Karebet duduk di atas rakit.
Saat itu langit nampak mendung ketika rakit melewati Kedung Srengenge. Sungai tersebut dikenal sangat angker dan banyak buaya.Di sana terkenal sebagai Kerajaan buaya putih dengan Baureksa sebagai rajanya dan Jalumampang patihnya. Dengan membawa 200 buaya mereka menyerang rakit yang ditumpangi empat pemuda. Mereka berhasil melawan pasukan buaya. Raden Jaka Tingkir menceburkan diri ke sungai berhasil membunuh puluhan buaya bahkan Jalumampang patih buaya mati ditangan Raden Jaka Tingkir. Ki Baureksa dipanggul di pundak Raden Jaka Tingkir . Ki Manca dengan tongkat kayunya berhasil membunuh 70 buaya yang lainnya kocar kacir melarikan diri. Dan akhirnya Ki Baureksa menyerah dan bersama 40 buaya yang tersisa ikut mendorong rakit berjalan lebih cepat. Seperti ditulis dalam Sekar Megatruh Babad Tanah Jawi :
sigra milir sang gethek sinangga bajul
(Mengalirlah segera rakit yang didorong buaya)
kawan dasa kang njageni
(Empat puluh yang menjadi penjaganya)
ing ngarsa kalawan pungkur
(Di depan maupun di belakang)
tanapi ing kanan kering
(Juga di sebelah kanan dan kiri)
sang gethek lampahnya alon
(Rakitpun berjalan pelan)
Siang beranjak malam rakit menyusuri panjangnya Kedung Srengenge.Sementara empat pemuda tidur lelap kelelahan sehabis melawan buaya. Tidak terasa rakit sudah sampai di Desa Butuh. Nampak dari kejauhan Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang sudah menunggu kedatangan Raden Jaka Tingkir, tiba tiba beliau melihat cahaya terang dari arah utara meluncur menuju rakut dan masuk kedalam tubuh Raden Jaka Tingkir yang masih tidur lelap. Kebetulan hari itu adalah Jumat malam. Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang bersyukur karena " Wahyu Ratu " sudah turun dan merasuk kedalam tubuh Raden Jaka Tingkir seperti tertulis dalam Sekar Asmaradana pupuh 40:
Cinarita Jumungah marêngi
Lingsir wêngi saking lèr kang cahya
nalika wahyu dhawuhe
muncar kadya andaru
manjing marang Dyan Jaka Tingkir
waridah ing karajan
wus angalih pulung
pulungira Sultan Dêmak
nganti sangat mring putrangkat Jaka Tingkir eca panendranira .
Dan akhirnya rakit menepi di Desa Butuh, Raden Jaka Tingkir mengucapkan terima kasih kepada Ki Baureksa dan 40 buaya putih lainnya.Dan merekapun masuk menyelam kembali ke Kedung Srengenge.
Ki Ageng Butuh yang sudah menunggu tidak bisa menahan haru melihat Raden Jaka Tingkir dan memeluknya.
Raden Jaka Tingkir bersama tiga kawannya melanjutkan perjalanan lewat darat naik kuda milik Ki Ageng Butuh melewati dusun Bulu, desa majenang hingga ke Grobogan sampailah ke kaki Gunung Prawata.
Setelah tiba di kaki Gunung Prawata, mereka melihat seekor kerbau yang sedang merumput. Mereka yakin inilah kerbau Danu yang diceritakan oleh Ki Buyut Banyubiru. Padang rumput ini pula lokasinya dekat dengan Pesanggrahan Sultan Trenggono. Raden Jaka Tingkir segera mengambil segenggam tanah dalam kantungnya, mendekati kerbau itu, dan kemudian menjejalkan tanah itu ke dalam mulutnya. Beberapa menit kemudian, kerbau itu menggoyang-goyangkan kepalanya, matanya mulai memerah, dan kakinya digaruk-garukkan ke tanah.
Kini, kerbau Danu benar-benar telah mabuk. Dia lari kencang dan menabrak apa saja yang ada di depannya. Ia lari menuju ke halaman pesanggrahan sang Sultan, dan di sana ia mengamuk. Satu pasukan prajurit mencoba menangkapnya, namun gagal. Bahkan beberapa prajurit ada yang terluka. Jaka Tingkir dan kawan-kawan juga mengikuti kerbau Danu hingga ke pesanggrahan.
Melihat kejadian itu, Sang Sultan merasa cemas, kalau kerbau itu semakin ganas dan membuat banyak kerusakan. Di tengah kebingungannya, tiba-tiba Sultan melihat Jaka Tingkir berada di halaman Pesanggrahan. Maka ia mengutus seorang pengawal untuk memanggil Jaka Tingkir untuk menghadapnya.
“Jaka, aku perintahkan kepadamu untuk menangkap kerbau itu. Jika engkau berhasil aku berkenan mengampunimu,” perintah Sultan kepada Jaka Tingkir.
“Baik, Kanjeng Sinuhun.”
Lalu, Jaka mendekati kerbau Danu yang sedang mengamuk itu. Ia mencoba menangkap ekornya beberapa kali gagal, karena kerbau itu lari dengan liar. Jaka tidak patah semangat, ia terus berusaha mengejar kerbau itu dan berusaha menangkap ekornya. Akhirnya Raden Jaka Tingkir berhasil memegang kerbau itu dan tangan kiri menarik ekornya sedangkan tangan kanan memegang tanduknya, tidak lama kemudian keluarlah tanah siti sangar dari mulut kerbau Danu. Tidak lama kemudian kerbau Danu mati seketika.
Sultan Trenggono menghampiri Raden Jaka Tingkir dan mengucapkan terima atas bantuannya. Raden Jaka Tingkir diminta untuk menghadap Sultan Trenggono di Pesanggrahan Prawata.
Keesokan harinya Raden Jaka Tingkir menghadap Sultan Trenggono. Sultan Trenggono mengumumkan bahwa beliau mengampuni kesalahan Raden Jaka Tingkir dan Jaka Tingkir kembali menduduki jabatannya sebagai Lurah Wira Tamtama Kraton Demak Bintara.
Enam bulan kemudian pangkat Raden Jaka Tingkir dinaikkan menjadi Panglima Demak Bintara. Kemudian Sultan Trenggono berkenan menikahkan Raden Jaka Tingkir dengan putrinya, Ratu Mas Cempaka. Setelah pernikahan, Raden Jaka Tingkir diwisuda menjadi Adipati di Nagari Paos dengan gelar Adipati Pajang.
Kelak ketika Sultan Trenggono wafat, Nagari Paos melepaskan diri dari Demak Bintara dengan nama Kerajaan Pajang. Dan Raden Jaka Tingkir mengganti namanya dengan gelar Sultan Hadiwijaya Ratu Ing Pajang Kedaton.
Sumber : Babad Tanah Jawi.
NH DINI - ORANG ORANG TRAN
Sebuah iklan buku baru dari Penerbit Sinar Harapan. Buku ini berjudul “Orang-orang Trans” karya dari penulis wanita kenamaan Indonesia yaitu NH Dini. Di tahun 1985, buku in dijual seharga RP.3000,-.
Buku ini mengisahkan seorang pemuda bernama Samirin yang baru lulus sekolah guru (SPG, setingkat SMA). Ia berusaha mencari pekerjaan, namun keburu diisi oleh para pencari kerja yang sudah punya kenalan “orang dalam”. Ayahnya menyarankan Samirin untuk meminta bantuan kerabatnya, namun Samirin tetap pada pendiriannya, ingin mencari pekerjaan dengan usahanya sendiri. Maka terjadilah pertikaian antara ayah dan anak.
Samirin memutuskan pergi dari rumah, dengan meminang kekasihnya bernama Marsi. Bagi ayah Marsi tak keberatan mempunya menantu Samirin meski menganggur, Samirin rajin membantu usahanya membuat tahu.
Ketika dibuka lowongan tenaga guru untuk ditempatkan di daerah transmigrasi di pelosok Kalimantan Selatan, maka mendaftarlah Samirin. Di lokasi transmigrasi, tiap hari setelah mengajar, Samirin harus bertarung dengan terik matahari, hujan dan kekeringan. Ketika malam , hewan penganggu sering muncul dan merusak ladang karena lapar akibat hutan mereka diambil alih manusia. Belum lagi hama dan penyakit tanaman, dan penyakit yang menyerang para transmigran yang tidak dikenalnya di tanah Jawa.
Samirin juga sering mendapat tugas rapat di dinas yang harus ditempuh puluhan kilometer menembus hutan dan rawa, yang hanya menghabiskan waktu dan uang. Jika sekolah tidak mengirimkan guru untuk rapat, maka sekolah tersebut bakal ditandai. Ini menjadi dilema tersendiri bagi Samirin, antara mengajar dan bekerja di ladang, atau menghabiskan waktu seharian ikut rapat di kantor Dinas...
Bagi yang sedang melakukan riset atau penelitian dengan transmigrasi di era Orde Baru, buku ini layak untuk dibaca.
Sumber: 29-9-1985, hal 13, kol 4-5. Koleksi Surat Kabar Langka Salemba-Perpustakaan Nasional RI (SKALA-Team).
#buku #kesusastraan #bacaan #transmigrasi
Para penjual makanan di depan sebuah kios tukang cukur, Sumedang pada Tahun 1910. Foto: Wijnand Elbert Kerkhoff.
Para penjual makanan di depan sebuah kios tukang cukur, Sumedang pada Tahun 1910.
Foto: Wijnand Elbert Kerkhoff.
Silsilah Kanjeng Sunan Mojogung
SILSILAH KANDJENG SUNAN MOJOGUNG
Pada beberapa abad yang lalu salah satu keturunan dari Trah Bani Asin dari Nagari Arab berlayar bersama beberapa pengikutnya dan akhirnya mendarat di Tanah Jawa. Dan bermukim di bekas wilayah kerajaan Mataram Hindu, beliau bernama Syech Maulana Djumadil Qubra. Tujuan utama berkelana adalah syiar agama Islam. Syech Maulana Djumadil Qubra dikenal pula dengan julukan Ki Ageng Mataram I. Setelah wafat beliau dimakamkan di puncak Gunung Plawangan, dikaki Gunung Merapi di sebelah selatan Tanah Mataram.
Syech Maulana Djumadil Qubra memiliki 22 anak. Putra bungsunya bernama Sajid Musrail. Sajid Musrail berkelana hingga sampai di Tanah Magribi dan dikenal dengan nama Sultan Syarif ing Maghribi.
Sultan Syarif ing Maghribi menikah dengan Siti Tabiroh putri dari Maulana Sultan Tadjudin Madinil Qubra ( kakak Sultan Syarif ing Maghribi ) menurunkan :
1. Sajid Muzhakir dan disebut dengan nama Kangjeng Susuhunanan Atas Angin. Ketika wafat dimakamkan di Cirebon
2. Sajid Ahlidhakir dan disebut dengan nama Syeh Maulana Maghribi. Ketika beliau wafat dimakamkan di Gunung Mantjingan Yogya.
Sajid Muzhakir atau Susuhunan Atas Angin memiliki 3 putra :
1. Sajid Djahiduhin Atas
Sajid Djahiduhin Atas menikah dengan putri Sultan Cirebon, dan ketika Sultan Cirebon wafat, Sajid Djahiduhin menggantikan kedudukan sang mertua dengan gelar Sultan Djahidubinatas Abu Nakit Alahbar dan menjadi Sultan Cirebon yang kedua.
Sultan Cirebon II menurunkan :
1.1 Nyai Ageng Djatisworo, beliau menikah dengan Sunan Mojogung II ing Gunung Jati.
1.2 Nyai Ageng Woriyopodo, beliau menikah dengan Pangeran Musakih Muchamad atau Susuhunan Mukti ing Darajat. Ketika pindah ke Cirebon di Gunung Woriyo bergelar Susuhunan Woriyodo.
1.3 Sajid Ngusmanakit bertempat tinggal di Modang, ketika sang Bapak wafat, beliau diangkat menggantikan kedudukannya dengan gelar Sultan Ngusmankit Djahiduatas Alahbar. Ketika pindah ke Modang berganti nama Kangdjeng Susuhunan Modang. Susuhunan Modang menikah dengan putri Susuhunan Atas Angin II menurunkan :
1.3.1 Pangeran Pangalasan
1.3.2 Perempuan menikah dengan Pangeran Pakaos
1.3.3 Perempuan menikah dengan Pangetan Pudjargo dari Negeri Tjempo
2. Sajid Ngabdullah Binatas
Beliau dikenal dengan nama Kandjeng Sunan Mojogung ing Gunung Jati Tanah Cirebon. Dan ketika wafat dimakamkan di Cirebon.
Beliau menurunkan putra sbb:
2.1 Susuhunan Mojogung II
Susuhunan Mojogung II menikah dengan Nyai Ageng Djatisworo melahirkan Susuhunan Mojogung III ing Gunung Jati III.
Susuhunan Mojogung III menikah dengan putri Pangeran Maksum Cirebon menurunkan Pangeran Sumedang I.
2.2 Perempuan menikah dengan Syech Ngabidullah ing Wonosobo ( putra R Bondhan Kajawan )
2.3 Perempuan menikah dengan Syech Ngabdullah ing Getas Pendowo ( putra R Bondhan Kajawan )
3. Seorang perempuan
Menikah dengan Dyan Jang Margono, putra Sri Prabu Hardjokusumo atau Sri Pamekas ing Kedaton Pajajaran. Ketika Susuhunan Atas Angin I wafat Dyan Jang Margono diangkat menjadi Susuhunan Atas Angin II
Silsilah Keluarga Raja Demak Bintoro
SILSILAH KELUARGA RAJA DEMAK BINTORO
Raden Patah, Adipati Demak Bintoro bertahta di Kraton Glagah Wangi dengan gelar :
" Syah Alam Akbar Senopati Jimbun Sirrolah Kalifatul Rasul Ammirilmukminin Tajudin Ngabdulhamidhah "
Beliau juga disebut sebagai Sultan Ngadil Surya I.
Bertahta tahun Jimawal Sinangkalan Mantri Tunggal Catur Aji ( th 1413 ) beliau jumeneng Nata 27 Tahun.
A. RADEN PATAH RAJA DEMAK I
Raden Djoko Probo atau Raden Patah adalah Putra dari Raja Majapahit Brawijaya V, Beliau menikah dengan Ratu Panggung putri Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manilo
Menurunkan :
1. Raden Suryo atau Pangeran Sabrang Lor atau Adipati Unus ( Raja Demak II )
2. Raden Songko atau Pangeran Adipati Anom atau Pangeran Sekar Sedo Lepen
3. Raden Trenggono
4. Raden Ayu Kirana atau Ratu Mas Purnamasidi menikah dengan Panembahan Banten
5. Raden Ayu Wulan atau Ratu Mas Nyowo menikah dengan Panembahan Cirebon
6. Raden Tangkowo atau Pangeran Kundurawan menjadi Tumenggung di Sumenep
7. Raden Jaladara , meninggal muda
8. Raden Tedjo , Pangeran Pamekasan Madura
9. Raden Alit atau Pangeran Sekar atau Pangeran Ragil ( leluhur Ki Ageng Karang Lo )
B. RADEN SONGKO, PANGERAN SEKAR SEDO LEPEN
Raden Songko bergelar Pangeran Adipati Anom atau Pangeran Sekar Sedo Lepen atau Pangeran Sekar yang wafat di sungai.
Menurunkan :
1. Pangeran Haryo Jipang atau Haryo Panangsang menikah dengan Putri Sunan Kudus
2. Ratu Timoer menikah dengan Panembahan Timur Bupati Madiun I
3. Pangeran Haryo Mataram
C. SULTAN TRENGGONO RAJA DEMAK III
Sultan Trenggono adalah Raja Demak ke tiga, Beliau adalah putra Raden Patah raja Demak I dari istri nya yang bernama Asyikah atau Ratu Panggung .Ratu Asyikah adalah Putri Sunan Ampel.
Wafat pada tahun 1546
Memerintah Kraton Demak pada tahun Alip sinangkalan Banyu Suci Dadi Nabi ( th 1417)
Sultan Trenggono mempunyai dua istri yaitu Kanjeng Ratu Pembayun ( Putri Sunan Kalijaga ) dan Putri Nyai Ageng Maloko.
Dari Putri Nyai Ageng Maloko menurunkan :
1. Ratu Pembayun
2. Sunan Prawoto
3. Ratu Mas Pemancingan menikah dengan Panembahan Jogorogo ing Pemancingan
4. Retno Kencana ( Ratu Kalinyamat ) menikah dengan Pangeran Hadiri ( Penguasa Jepara )
5. Ratu Mas Ayu menikah dengan Pangeran Orang Ayu putra Pangeran Wonokromo
6. Ratu Mas Kumambang
Dari Kanjeng Ratu Pembayun ( Putri Sunan Kalijaga ) menurunkan :
7. Pangeran Timur , Panembahan Madiun , Bupati I Kadipaten Madiun
8. Ratu Mas Cempaka , menjadi Permaisuri Sultan Hadiwijaya Pajang bergelar Ratu Mas Pajang.
9. Pangeran Tg Mangkurat ( dari Garwa Pangrembe )
Mohon maaf jika ada kesalahan (baik) tulisan, bahasa dan informasi.
Monggo silahkan di tambahkan... 👇👇
#jjd
#silsilah_raja
#palingujung
Sumber data : Soejarah Jawa oleh Pujangga Hartati
ALAS MENTAOK
ALAS MENTAOK
Dibalik rimbunnya belukar Alas Mentaok, dahulunya disana berdiri sebuah Kerajaan Hindu / Budha . Tepatnya sekitar abad VIII hingga akhir abad X. Di Alas Mentaok dahulu pernah berdiri sebuah kerajaan yang bernama Mataram, dari berbagai prasasti dan candi candi yang ditemukan dituliskan disana masa masa kejayaan Wangsa Sanjaya & Wangsa Syailendra penguasa Kraton Mataram Kuno.
Tetapi kejayaan mulai meredup, ketika terjadi perang saudara ditambah dengan meletusnya Gunung Merapi yang menghancurkan istana, rumah penduduk, membuat para penguasa Mataram Kuno memindahkan Ibukota Nagari ke pulau Jawa bagian Timur. Dan Mataram menjadi kota mati dan sepi.dan semak belukar pohon pohon tumbuh liar menutupi kisah Mataram kuno.
Sekitar awal abad ke XIII, sebuah perahu besar menepi dan menghentikan perahunya dekat dengan Alas Mentaok. Dari perahu besar turun seseorang yang tampaknya bukan orang biasa , dan memiliki ilmu mumpuni. Beliau turun dari perahu dengan diikuti oleh para pengikutnya, beliau adalah Syech Jumadil Qubro seorang kyahi yang datang dari negeri seberang.
Di Alas Mentaok Syech Jumadil Qubro dan pengikutnya mulai membuka hutan dan mendirikan bangunan tempat tinggal juga langgar. Lambat laun lokasi mulai ramai banyak yang berdatangan kesana untuk melakukan jual beli kebutuhan sehari hari. Syech Jumadil Qubro juga mulai mengadakan syiar agama Islam. Beliau mendirikan Padepokan banyak penduduk yang belajar ilmu agama di Padepokan beliau.
Mengingat lokasi tersebut bekas wilayah Kraton Mataram Kuno, akhirnya Syech Jumadil Qubro dijuluki sebagai Ki Ageng Mataram I.
Setelah beberapa tahun kemudian, Syech Jumadil Qubro melanjutkan syiar nya ke lain daerah.
Sunan Kalijaga atau Syech Malaya juga pernah tinggal di Alas Mentaok. Bahkan beliau sebagai Priyayi yang wasis dan waskitho sempat menanam tiga pohon beringin di tepi sendang atau mata air. Ketika menanam pohon beringin beliau berkata " Kelak daerah ini pada masanya akan menjadi daerah rejo / makmur "
Kelak di lokasi tersebut berdiri kerajaan Mataram Islam.
Pada masa akhir Kerajaan Demak, seorang Pangeran dari kerajaan Demak berkelana hingga ke Alas Mentaok, Beliau mendapat tugas dari Para Wali untuk syiar Islam.
Pangeran tersebut tidak mau terlibat dalam perebutan kekuasaan Kraton Demak. Beliau lebih suka mendalami spiritual dan ilmu agama.
Pangeran itu adalah Raden Djoyoprono. Beliau adalah putra dari Sunan Prawata raja Kraton Demak Bintoro saat itu.
Silsilah Raden Djoyoprono :
Sunan Trenggana menurunkan Sunan Prawata.
Sunan Prawata menikah dengan Ratu Mas Panenggak putri Panembahan Agung Surabaya ( putra Batara Katong Adipati Ponorogo ) menurunkan :
1. Raden Djoyoprono
2. Raden Wilasmoro ( kelak Panembahan Wilasmoro ing Kediri )
Raden Djoyoprono atau Pangeran Djoyoprono bertempat tinggal di Alas Mentaok dan di kenal dengan nama Ki Ageng Mataram II.
Pada masa pemerintahan Kraton Pajang, Ki Ageng Pemanahan mendapat hadiah tanah Alas Mentaok karena jasanya berhasil menundukkan Arya Penangsang.
Ki Ageng Pemanahan dan keluarga besarnya meninggalkan Dukuh Manahan menuju Alas Mentaok.
Sesampai di Alas Mentaok Ki Ageng Pemanahan bertemu dengan Ki Ageng Djoyoprono yang telah lama tinggal di Alas Mentaok.
Ki Ageng Pemanahan berkata bahwa beliau tinggal disana karena perintah Sultan Hadiwijaya Raja Kraton Pajang
Ki Ageng Djoyoprono berkata bahwa beliau terlebih dahulu tinggal di Alas Mentaok jauh sebelum Kraton Pajang berdiri.
Akhirnya Ki Ageng Djoyoprono mau pindah dari Alas Mentaok tapi dengan syarat Ki Ageng Pemanahan menggendongnya dan bergeser sepuluh langkah dari tempat tersebut. Ki Ageng Pemanahan menyetujui dan kemudian menggendong Ki Ageng Djoyoprono, tetapi baru dua langkah Ki Ageng Pemanahan sudah tidak sanggup menggendongnya karena diam diam Ki Ageng Djoyoprono dengan kesaktiaan menambah berat tubuhnya.
Akhirnya Ki Ageng Djoyoprono kemudian mengijinkan Ki Ageng Pemanahan dan keluarganya untuk tinggal disana, Ki Ageng Djoyoprono kemudian tinggal disekitar tempat tersebut daerah tersebut dinamakan Dukuh Djoyopranan, beliau juga mendirikan Padepokan dan langgar yang dinamakan Langgar Djoyopranan. Bahkan akhirnya Ki Ageng Djoyoprono diangkat sebagai Guru oleh Ki Ageng Pemanahan dan mendapat gelar Panembahan Djoyoprono.
Sebagai penghormatan, ketika Panembahan Djoyoprono wafat, beliau dimakamkan di Dalem Pendopo Tajug disamping kanan makam Nyai Ageng Henis di Astana Kotagede.
Selanjutnya akhirnya Ki Ageng Pemanahan mendirikan tanah perdikan di Alas Mentaok. Beliau mendirikan bangunan di sekitar pohon beringin yang ditanam Sunan Kalijaga.sesuai petunjuk Sunan Kalijaga. Dan membangun Sendang disamping pohon beringin tersebut dan dinamakan Sendang Seliran. Beliau juga membangun Masjid di sekitar tempat tinggal beliau. Lama kelamaan wilayah tersebut menjadi ramai banyak pendatang yg melakukan transaksi jual beli juga tinggal disana. Wilayah tersebut akhirnya dinamakan Kutha Gedhe atau Kota Besar dan dikenal dengan nama Kotagede ing Mataram.
Ki Ageng Pemanahan dikenal dengan nama Ki Ageng Mataram III.
29 October 2023
Randu Alas
Randu Alas
Lima pria berpose di dekat pohon besar di Toeban, Jawa
Title: Randoe alas (red silk-cotton tree) te Toeban
Foto. Vijf mannen poseren bij een grote boom in Toeban op Java
Unknown author
Creative Commons Attribution-Share Alike 3.0
COLLECTIE TROPENMUSEUM Vijf mannen poseren bij een grote boom in Toeban op Java TMnr 60025448.jpg Copy
[[File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Vijf mannen poseren bij een grote boom in Toeban op Java TMnr 60025448.jpg|COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Vijf_mannen_poseren_bij_een_grote_boom_in_Toeban_op_Java_TMnr_60025448]]
Copy
before 1880
Mohon koreksinya jika ada kesalahan penulisan nama, alamat dan lokasi
Dikarenakan sesuai judul tersebut yang saya dapatkan.
Maturnuwun
Sejarah Magelang - Simpang Karang Gading, Jl. Sudirman Magelang
Simpang Karang Gading, Jl. Sudirman Magelang
Oleh : Cahyono Edo Santosa
📷 : Arsip Kota (1980), Streetview (2023)
28 October 2023
Sejarah Suku Samin
Sejarah Suku Samin
Di pedalaman Kabupaten Blora, ada suku yang masih memegang adat dan tradisi. Namanya Suku Samin. Masyarakatnya memiliki ajaran untuk menjunjung tinggi kejujuran serta tidak bersikap sombong
Suku Samin memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi. Warga suku ini hidup berpencar di banyak desa yang tersebar di sekitar Kabupaten Blora dan kabupaten lain di sekitarnya. Seperti Kabupaten Grobogan, Bojonegoro, Rembang, Pati dan Kudus. Dalam satu desa, biasanya terdiri dari lima hingga enam kepala keluarga.
Suku Samin merupakan salah satu dari sekian banyak suku bangsa yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Suku Samin tetap mempertahankan nilai adat tradisinya dan ajaran pendahulunya.
Sejarah
Suku Samin berawal dari seorang penduduk desa bernama Ki Samin Surosentiko yang lahir di Desa Poso, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, pada 1859. Bagi masyarakat sekitar tempat tinggalnya, Ki Samin dikenal sebagai sosok mulia.
Bahkan ada yang menyebutnya sebagai intelektual desa. Ki Samin juga pemimpin yang dihormati masyarakat setempat. Namun, tidak bagi pemerintah Belanda saat itu. Samin dianggap sebagai penjahat yang sering masuk keluar penjara karena tak patuh aturan penjajah.
Ajaran Samin
Perlawanan tanpa senjata
Makna ajaran ini bahwa Suku Samin mengutamakan perlawanan tanpa senjata dan kekerasan. Akar dari ajaran ini berawal dengan tindakan mereka untuk tidak membayar pajak serta tak mau menaati peraturan dari pemerintah kolonial Belanda sampai ke penjajahan Jepang. Mereka tak segan menentang penguasa yang sewenang-wenang. Pada zaman penjajahan, masyarakat Suku Samin menolak saat Belanda hendak mendirikan kebun jati. Tidak sampai di situ, hal ini berlanjut ketika Belanda sudah pergi dari Indonesia.
Masyarakat Samin menolak saat mereka hendak dikuasai protani milik pemerintah. Sikap ini seringkali dianggap menjengkelkan, bahkan terkadang masih dirasakan sampai saat ini.
Sohaling ilat
Ajaran lain yang berkembang di antara masyarakat Suku Samin adalah Sohaling Ilat yang berarti gerak lidah. Makna ajaran ini adalah agar tidak berbicara sembarangan, menjaga lidah atau lisan agar tidak mengucapkan kata-kata bohong yang berpotensi menyakiti hati dan perasaan orang lain. Hal ini berlaku antara satu warga dengan lainnya. Jika tidak ingin disakiti, jangan menyakiti orang lain. Ajaran serupa juga berlaku di setiap aspek kehidupan penduduk setempat.
Tidak Menyakiti Orang Lain
Masyarakat suku ini memegang prinsip 'Ono niro mergo ningsung, ono ningsung mergo niro' yang artinya (Saya ada karena kamu, kamu ada karena saya). Prinsip ini membuat orang Samin tidak mau menyakiti orang lain. Meski demikian, mereka tidak akan tinggal diam jika hak-haknya diambil
Selalu Berjalan Kaki
Masyarakat Suku Samin terbiasa pergi ke berbagai tempat dengan berjalan kaki.
Al kisah mengungkap, pengalaman (seorang) penduduk suku (Samin), saat bepergian menuju Rembang. Di tengah jalan, ada bus yang berhenti di dekatnya lalu sang kondektur mengajaknya naik. Orang Samin itu pun naik, namun, dia heran mengapa dimintai (duit) ongkos oleh kondektur. Karena tidak punya uang, dia diminta turun oleh kondektur. Seorang penumpang pun menawari untuk membayarkan ongkos bus, namun (orang) Samin tersebut menolak dengan mengatakan, lebih baik jalan kaki.
Masyarakat Suku Samin juga menjadikan diri mereka dengan nama ‘Sedulur Sikep’, yang artinya orang-orang yang memiliki sikap, serta punya rasa kemanusiaan yang tinggi. Di tengah kemajuan zaman saat ini, apalagi di Pulau Jawa, Suku Samin tetap mempertahankan adat dan tradisi. Di sisi lain, suku ini tetap berbaur dengan masyarakat umum.
Mohon maaf bila mana ada kesalahan tulisan, bahasa,serta informasi yang kurang berkenan..
#jjd
#sukusamin
#kabupatenblora_mustika
#palingujung
© @inews.id
Menurut anda ini Jokteng mana ? Jokteng Wetan = pertigaan arah Jalan Parang Tritis Jokteng Kulon = perempatan arah Jalan Bantul Jokteng Lor = dekat terminal Ngabean Jokteng Lor Wetan = baru aja direnovasi jadi pasti bukan yg di foto Sumber : kratonjogja
Menurut anda ini Jokteng mana ?
Jokteng Wetan = pertigaan arah Jalan Parang Tritis
Jokteng Kulon = perempatan arah Jalan Bantul
Jokteng Lor = dekat terminal Ngabean
Jokteng Lor Wetan = baru aja direnovasi jadi pasti bukan yg di foto
Sumber : kratonjogja
Kabinat Pemerintahan Indonesia 1947
Susunan Kabinet pada tahun 1947 yang pada saat itu diumumkan oleh Sekretariat Negara. Setelah diumumkan pada pukul 14.15 WIB, malamnya pukul 20.00 WIB para menteri baru tersebut dilantik oleh Presiden Soekarno di kediamannya. Menariknya, pada kabinet tersebut hanya ada satu orang wanita yang menjabat sebagai Menteri. Beliau adalah S.K. Trimurti yang menjabat sebagai Menteri Perburuhan.
Sumber: Minggu Merdeka, 6 Juli 1947 Halaman 3 Kolom 4. Koleksi Layanan Surat Kabar Langka Terjilid Perpustakaan Nasional RI (SKALA Team)
#Kabinet
Gusti Kanjeng Ratu Emas
GUSTI KANGDJENG RATU EMAS
Permaisuri Sri Susuhunan Pakubuwana VI
Raden Ayu Kusiah kelak bergelar GKR Emas adalah Permaisuri Sri Susuhunan Pakubuwana VI, dan Beliau adalah Ibunda Sri Susuhunan Pakubuwana IX. Setelah sang putra naik tahta, beliau bergelar GKR Ageng.
Pada masa pemerintahan Sri Susuhunan PB VI, kerajaan Surakarta sedang menghadapi masa suram karena campur tangan pemerintah Belanda. Para Bangsawan diadu domba dan rakyat mengalami hidup sengsara, Wilayah kerajaan semakin sempit, banyak daerah yang direbut dan dikuasai Belanda.Selain itu dikeluarkan pula peraturan tata tertib yang sangat merendahkan Sinuhun Pakubuwana VI. Beliau dipaksa menandatangani perjanjian yang berisi penyerahan beberapa daerah kepada Belanda. Beliau menolak dan membuat pihak Belanda jengkel. Karena tekanan semakin berat tanggal 6 Juni 1830 Sinuhun Pakubuwana VI meninggalkan Kraton dan pergi ke makam Imogiri untuk nyekar leluhur beliau. Tapi pihak Belanda menuduhnya sedang menyiapkan pemberontakan. Susuhunan Pakubuwana VI ditangkap Belanda ketika sedang berada di Pantai Laut Selatan.
Susuhunan VI diasingkan oleh Pemerintah Belanda ke Ambon pada hari Selasa Pon 16 Besar 1747 Jawa atau 8 Juni 1830 M.
Kabar yang dibawa abdi dalem Sunan PB VI yang pulang ke Kraton bahwa Sinuhun PB VI ditangkap menggegerkan seisi Kraton Surakarta. Kemudian Salah seorang abdi dalem menghadap Patih Sosrodiningrat II menyerahkan surat dari Sunan PB VI kepada Patih Sosrodiningrat II, isi surat tersebut ditujukan untuk ke tiga garwa Permaisuri dan para garwa ampilnya.
Seperti diketahui Sri Susuhunan PB VI mempunyai 3 Garwa Permaisuri :
1.GKR Kedaton dipulangkan ke Ndalem Ngabean.
2.GKR Emas ditinggal di Kraton
3.GKR Anom ikut menyusul ke Ambon.
Setelah membaca pesan dari Sunan PB VI, Patih Sosrodiningrat II bergegas melaksanakan perintah Sunan PB VI, salah satunya segera menyelamatkan GKR Emas keluar dari Kraton Dan dibawa ke Ndalem Kepatihan. Hal itu dilakukan untuk mengatisipasi jika terjadi hal hal yang tidak diinginkan yang akan dilakukan kaki tangan GKR Anom.Karena saat itu GKR Emas sedang mengandung putra Sunan Pakubuwana VI.
Menurut kisah GKR Anom, salah satu permaisuri Sunan PB VI pernah berkata kepada Sunan PB VI, bahwa tidak boleh ada garwa permaisuri yang hamil mendahului dirinya. Dan apabila ada yang mendahului dirinya maka akan dipaksa untuk mengugurkannya.
GKR Emas akhirnya bertempat tinggal di sebuah rumah lingkungan Kepatihan.kelak rumah tersebut dinamakan Ndalem Kemasan.
Di Ndalem Kemasan inilah kelak putra Sunan PB VI lahir dan diberi nama Gusti Raden Mas Duksina.
Meski semua kebutuhan sudah dipenuhi oleh Patih Sosrodiningrat, GKR Emas hidup prihatin merawat dan membesarkan putranya sendirian , beliau sering membuat kain batik, kemudian dijual. Hal tersebut dilaksanakan. Hingga suatu saat sang putra, GRM Duksina dinobatkan sebagai Raja Kraton Surakarta. GKR Emas kembali tinggal di Kraton Surakarta
Silsilah GKR Emas :
Alur silsilah GKR Emas dari sisi Ayahanda:
Sri Susuhunan PB III Raja Kraton Surakarta menikah dengan GKR Kencana ( Kangdjeng Ratu Beruk ) berputra KGP Adipati Mangkubumi I.
KGP Adipati Mangkubumi menikah dengan R Tasikwulan menurunkan GKR Emas Permaisuri PB VI.
Alur silsilah GKR Emas dari sisi Ibunda :
Sultan Hadiwijaya Pajang menikah dengan putri Sultan Trenggono raja Demak menurunkan :
P Benawa berputra P Kaputran.
P.Kaputran berputra P Danupoyo,
P Danupoyo berputra Ki Singaprana di Walen
Ki Singaprana berputra Kyai Ageng Singaprana,
Kyai Ageng Singaprana berputra Ki Singawangsa,
Ki Singawangsa menurunkan R Tasikwulan.
R Tasik Wulan menikah dengan KGPAdp Mangkubumi menurunkan GKR Emas
Foto 1. GKR Emas/ GKR Ageng
Foto 2. Makam Ibunda GKR Emas, RAy Tasikwulan
27 October 2023
Ini nih cikal bakal RS Bethesda, Jogja. Poliklinik di Bintaran. Hanya ada keterangan di pinggir jalan besar, tapi dimana tepatnya ya?
Ini nih cikal bakal RS Bethesda, Jogja.
Poliklinik di Bintaran. Hanya ada keterangan di pinggir jalan besar, tapi dimana tepatnya ya?
Oleh : Eva Mentari Christoup
Jembatan tertutup atap diatas Kali Cimanuk, Sumedang. Ca. 1880 Koninklijk Instituut voor taal-, land- en volkenkunde (KITLV 3410)
Jembatan tertutup atap diatas Kali Cimanuk, Sumedang. Ca. 1880
Koninklijk Instituut voor taal-, land- en volkenkunde (KITLV 3410)
Ki Buyut Musahar
KI BUYUT MUSAHAR
Ki Buyut Musahar, lebih dikenal dengan sebutan Ki Juru Sawah, beliau bertempat tinggal di tanah pesisir wetan Pati dekat Gebadot.
Dalam catatan sejarah, beliau adalah seorang kepercayaan Prabhu Brawijaya V yang mendapat perintah untuk merawat putra Prabhu Brawijaya V . Ki Buyut Musahar akhirnya merawat si bayi tersebut dan memberi nama " Bondhan Kajawan "
Ketika Bondhan Kajawan berusia sewindu, oleh Ki Buyut Musahar diserahkan kepada Raden Kidang Tilangkas atau Ki Ageng Tarub II. Raden Bondhan Kajawan adalah leluhur Trah Mataram.
Ki Buyut Musahar memiliki putra bernama Imam Sumantri.
Oleh bapaknya, Imam Sumantri di serahkan kepada Sunan Kalijaga untuk berguru.
Imam Sumantri memiliki 3 putra :
1. Perempuan, menikah dengan Kyai Wonosalam terakhir.
2. Perempuan, menikah dengan Ki Ageng Tingkir. Nyai Ageng Tingkir inilah yang merawat Mas Karebet putra Ki Ageng Kebo Kenongo. Kelak Mas Karebet menjadi Raja Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya
3.Kyai Gambuh , Lurah Ganjur yang bergelar Kyai Godo Mustaka. Ki Godo Mustaka adalah perantara pertemuan Joko Tingkir dengan Sultan Trenggono Raja Demak III. Hingga kelak Joko Tingkir menjadi menantu Sultan Trenggono dan menjadi Raja Pajang.
Kyai Godo Mustaka menurunkan putra :
1. Kyai Suronoto ing Demak
2. Kyai Gedong Pajang sedo ing lincak
Kyai Gedong Pajang sedo ing lincak menurunkan :
1. Ki Gedong II ing Mataram
2. Ki Ronggo Tohjiwo
3. Ki Jogoboyo
4. Perempuan, menikah dengan Adipati Kalinyamat.
Ki Gedong II ing Mataram peputra:
1. Perempuan menikah dengan Adipati Sujonopuro
2. Haryo Surotani , seda ing kali Bengawan
Haryo Surotani menikah dengan putri Ki Ageng Nitik Suro Adiprojo menurunkan :
1. Perempuan menikah dengan Ki Djedjer, putra Pangeran Djuru Wiroprobo
2. Perempuan menikah dengan Ki Tumenggung Surotani, putra Panembahan Djurumayem.
Pernikahan Putri Haryo Surotani dengan Ki Djedjer menurunkan :
1. Bagus Sangat / Ki Singo menjadi Pepatih Sultan Agung
2. Niken Roro Sengkan, menikah dengan Sultan Agung dengan gelar Kangdjeng Ratu Kilen
3. Perempuan menikah dengan Pangeran Panjang Mas, putra Panembahan Djuru Mayem.
Ki Singo menikah dengan putri Tumenggung Singoranu, kelak menggantikan kedudukan sang mertua menjadi Pepatih dengan gelar Adipati Singoranu.
Adipati Singoranu menurunkan :
1. Perempuan,menikah dengan Ki Tumenggung Sujonopuro, putra dari Adipati Sujonopuro.
2. Perempuan.menikah dengan Kyai Wonokriyo putra Adipati Pragolo Pati II
Mohon maaf bila mana ada salah, tulisan bahasa, informasi yang kurang, berkenan.
Monggo yang tau,silahkan di tambahkan informasi nya 👇👇
#jjd
#kibuyutmusahar
#trahmataram
#jateng_gayeng
#palingujung
©️ Jejak Sejarah Mataram
Wisatawan lokal Tempo Doeloe di Candi Borobudur. Apa nggak ribet ya naiknya ke candi? 😀
Wisatawan lokal Tempo Doeloe di Candi Borobudur. Apa nggak ribet ya naiknya ke candi?
Oleh : Amat Sukandar
Potret Omar, penerjemah bahasa Arab dari Paloppo di Sulawesi Selatan Pencipta fotografer: Letkol Theodoor van Ardenne Tanggal pembuatan 1905-1908 Tempat penciptaan Palopo, Indonesia Jenis objek foto Koleksi Difoto atas nama ilmu pengetahuan; orang-orang eksotik antara tahun 1860 dan 1920 Portret van Omar, de tolk Arabisch uit Paloppo op Zuid-Celebes Creator fotograaf: Ltkol Theodoor van Ardenne Date of creation 1905-1908 Place of creation Palopo, Indonesië Object type photographs Collection Photographed on behalf of science; exotic people between 1860 and 1920
Potret Omar, penerjemah bahasa Arab dari Paloppo di Sulawesi Selatan
Pencipta
fotografer: Letkol Theodoor van Ardenne
Tanggal pembuatan
1905-1908
Tempat penciptaan
Palopo, Indonesia
Jenis objek
foto
Koleksi
Difoto atas nama ilmu pengetahuan; orang-orang eksotik antara tahun 1860 dan 1920
Portret van Omar, de tolk Arabisch uit Paloppo op Zuid-Celebes
Creator
fotograaf: Ltkol Theodoor van Ardenne
Date of creation
1905-1908
Place of creation
Palopo, Indonesië
Object type
photographs
Collection
Photographed on behalf of science; exotic people between 1860 and 1920
Potret Dalang wayang kulit menggunakan helm dalam pertunjukan wayang yang tidak disebutkan tempat kejadiannya. Ki dalang Sarjito yang berasal dari Pundong Bantul rupanya kelupaan tidak membawa blangkon. Daripada pentas wayang gagal hanya karena blangkon maka dicarilah helm sebagai gantinya. Dan pentas pun jadi dilaksanakan, kendati banyak mengundang tawa bagi para pemirsanya. Koleksi Layanan Surat Kabar Langka Perpustakaan Nasional RI Sumber : Kedaulatan Rakyat, 13 Januari 1991 halaman 2 kolom 4-6 (SKALA Team) #Dalang #wayangkulit #helm
Potret Dalang wayang kulit menggunakan helm dalam pertunjukan wayang yang tidak disebutkan tempat kejadiannya. Ki dalang Sarjito yang berasal dari Pundong Bantul rupanya kelupaan tidak membawa blangkon. Daripada pentas wayang gagal hanya karena blangkon maka dicarilah helm sebagai gantinya. Dan pentas pun jadi dilaksanakan, kendati banyak mengundang tawa bagi para pemirsanya.
Koleksi Layanan Surat Kabar Langka Perpustakaan Nasional RI
Sumber : Kedaulatan Rakyat, 13 Januari 1991 halaman 2 kolom 4-6 (SKALA Team)
#Dalang #wayangkulit #helm
26 October 2023
Kediaman Ratu Luwu di Paloppo Pencipta fotografer: Albert Grubauer Tanggal pembuatan sekitar tahun 1911 Tempat penciptaan Palopo, Indonesia Jenis objek foto Koleksi Difoto atas nama ilmu pengetahuan; orang-orang eksotik antara tahun 1860 dan 1920
Kediaman Ratu Luwu di Paloppo
Pencipta
fotografer: Albert Grubauer
Tanggal pembuatan
sekitar tahun 1911
Tempat penciptaan
Palopo, Indonesia
Jenis objek
foto
Koleksi
Difoto atas nama ilmu pengetahuan; orang-orang eksotik antara tahun 1860 dan 1920
Sejarah Magelang - 𝐃𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐟𝐨𝐭𝐨 𝐢𝐧𝐢 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐠𝐚𝐦𝐛𝐚𝐫𝐤𝐚𝐧 𝐬𝐮𝐚𝐬𝐚𝐧𝐚 𝐝𝐮𝐥𝐮 𝐰𝐚𝐤𝐭𝐮 𝐥𝐢𝐬𝐭𝐫𝐢𝐤 𝐦𝐚𝐬𝐢𝐡 𝐛𝐲𝐚𝐫 𝐩𝐞𝐭 𝐝𝐚𝐧 𝐏𝐋𝐍 𝐦𝐚𝐬𝐢𝐡 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐠𝐮𝐧𝐚𝐤𝐚𝐧 𝟏𝟏𝟎 𝐊𝐕 (𝐬𝐞𝐤𝐚𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐬𝐝𝐡 𝟐𝟐𝟎 𝐊𝐕). 𝐃𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐧𝐚𝐦𝐩𝐢𝐥𝐤𝐚𝐧 𝐬𝐚𝐭𝐮 𝐟𝐨𝐭𝐨 𝐢𝐧𝐢 𝐬𝐚𝐣𝐚 𝐬𝐮𝐝𝐚𝐡 𝐛𝐢𝐬𝐚 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐮𝐚𝐭 𝐫𝐢𝐛𝐮𝐚𝐧 𝐜𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐰𝐚𝐫𝐠𝐚 𝐌𝐚𝐠𝐞𝐥𝐚𝐧𝐠 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐩𝐞𝐫𝐧𝐚𝐡 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐚𝐥𝐚𝐦𝐢𝐧𝐲𝐚. 𝐃𝐢 𝐭𝐚𝐡𝐮𝐧 𝟕𝟎-𝐚𝐧 𝐛𝐚𝐧𝐲𝐚𝐤 𝐜𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐦𝐲𝐬𝐭𝐞𝐫𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐡𝐨𝐫𝐨𝐫 𝐭𝐭𝐠 𝐦𝐚𝐫𝐤𝐚𝐬 𝐑𝐏𝐊𝐀𝐃 𝐝𝐚𝐧 𝐤𝐚𝐦𝐩𝐮𝐧𝐠𝟐 𝐬𝐞𝐤𝐢𝐭𝐚𝐫𝐧𝐲𝐚. 𝐒𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐬𝐚𝐭𝐮𝐧𝐲𝐚 𝐜𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐬𝐮𝐚𝐫𝐚 𝐭𝐞𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐛𝐞𝐥𝐚𝐧𝐝𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐫𝐢𝐧𝐠𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐤𝐮𝐝𝐚 𝐬𝐞𝐭𝐢𝐚𝐩 𝐦𝐚𝐥𝐚𝐦. 𝐃𝐮𝐥𝐮 𝐝𝐞𝐩𝐚𝐧 𝐫𝐮𝐦𝐚𝐡 𝐝𝐢𝐧𝐚𝐬 𝐩𝐞𝐫𝐰𝐢𝐫𝐚 𝐑𝐏𝐊𝐀𝐃 𝐆𝐫𝐨𝐮𝐩 𝐈𝐈 𝐊𝐨𝐩𝐚𝐬𝐚𝐧𝐝𝐚 𝐦𝐞𝐫𝐮𝐩𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐤𝐮𝐛𝐮𝐫𝐚𝐧 𝐩𝐫𝐚𝐣𝐮𝐫𝐢𝐭𝐧𝐲𝐚 𝐏. 𝐃𝐢𝐩𝐨𝐧𝐞𝐠𝐨𝐫𝐨 (𝐬𝐤𝐫 𝐬𝐝𝐡 𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐊𝐞𝐥𝐮𝐫𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐏𝐨𝐭𝐫𝐨𝐛𝐚𝐧𝐠𝐬𝐚𝐧) 𝐝𝐚𝐧 𝐝𝐢 𝐬𝐞𝐛𝐞𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐣𝐚𝐥𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐡𝐥𝐚𝐰𝐚𝐧 𝐩𝐞𝐫𝐬𝐢𝐬 𝐝𝐢 𝐃𝐞𝐩𝐚𝐧 𝐏𝐢𝐧𝐭𝐮 𝐔𝐭𝐚𝐦𝐚 𝐌𝐚𝐫𝐤𝐚𝐬 𝐑𝐏𝐊𝐀𝐃 𝐚𝐝𝐚 𝐫𝐮𝐦𝐚𝐡 𝐛𝐞𝐬𝐚𝐫 𝐤𝐮𝐧𝐨 𝐝𝐢𝐡𝐮𝐧𝐢 𝐖𝐍𝐀 (𝐀𝐦𝐞𝐫𝐢𝐤𝐚) 𝐧𝐚𝐦𝐚𝐧𝐲𝐚 𝐌𝐫. 𝐒𝐭𝐞𝐩𝐡𝐞𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐚𝐧𝐚𝐤𝐧𝐲𝐚 𝐛𝐞𝐫𝐧𝐚𝐦𝐚 𝐃𝐞𝐧𝐧𝐲, 𝐦𝐞𝐫𝐞𝐤𝐚 𝐩𝐮𝐧𝐲𝐚 𝐚𝐧𝐣𝐢𝐧𝐠 𝐩𝐮𝐭𝐢𝐡 𝐛𝐞𝐬𝐚𝐫. 𝐒𝐚𝐲𝐚 𝐛𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐟𝐚𝐡𝐚𝐦 𝐰𝐚𝐤𝐭𝐮 𝐢𝐭𝐮, 𝐤𝐞𝐧𝐚𝐩𝐚 𝐚𝐝𝐚 𝐎𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐀𝐦𝐞𝐫𝐢𝐤𝐚 𝐭𝐢𝐧𝐠𝐠𝐚𝐥 𝐩𝐞𝐫𝐬𝐢𝐬 𝐝𝐢 𝐝𝐞𝐩𝐚𝐧 𝐌𝐚𝐫𝐤𝐚𝐬 𝐑𝐏𝐊𝐀𝐃. 𝐒𝐞𝐭𝐞𝐥𝐚𝐡 𝐥𝐢𝐡𝐚𝐭 𝐟𝐢𝐥𝐦 𝐉𝐚𝐦𝐞𝐬 𝐁𝐨𝐧𝐝𝐬 (𝐑𝐨𝐠𝐞𝐫 𝐌𝐨𝐨𝐫𝐞), 𝐉𝐮𝐝𝐮𝐥𝐧𝐲𝐚 𝐌𝐨𝐨𝐧𝐫𝐚𝐤𝐞𝐫 𝐝𝐢 𝐊𝐫𝐞𝐬𝐧𝐚 𝐓𝐞𝐚𝐭𝐞𝐫 𝐭𝐡𝐧.𝟏𝟗𝟖𝟎𝐚𝐧 𝐛𝐚𝐫𝐮 𝐧𝐠𝐞𝐡 𝐚𝐩𝐚𝐤𝐚𝐡 𝐦𝐮𝐧𝐠𝐤𝐢𝐧 𝐌𝐫. 𝐒𝐭𝐞𝐩𝐡𝐞𝐧 𝐢𝐭𝐮 𝐚𝐠𝐞𝐧 𝐂𝐈𝐀? 𝐁𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐭𝐞𝐫𝐣𝐚𝐰𝐚𝐛 𝐬𝐚𝐦𝐩𝐚𝐢 𝐬𝐞𝐤𝐚𝐫𝐚𝐧𝐠. 𝐌𝐚𝐠𝐞𝐥𝐚𝐧𝐠 𝐬𝐞𝐥𝐚𝐥𝐮 𝐢𝐧𝐝𝐚𝐡 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐝𝐢𝐤𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐚𝐧 𝐝𝐢𝐤𝐮𝐩𝐚𝐬, 𝐲𝐠 𝐩𝐚𝐬𝐭𝐢 𝐍𝐠𝐚𝐧𝐠𝐞𝐧𝐢!
𝐃𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐟𝐨𝐭𝐨 𝐢𝐧𝐢 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐠𝐚𝐦𝐛𝐚𝐫𝐤𝐚𝐧 𝐬𝐮𝐚𝐬𝐚𝐧𝐚 𝐝𝐮𝐥𝐮 𝐰𝐚𝐤𝐭𝐮 𝐥𝐢𝐬𝐭𝐫𝐢𝐤 𝐦𝐚𝐬𝐢𝐡 𝐛𝐲𝐚𝐫 𝐩𝐞𝐭 𝐝𝐚𝐧 𝐏𝐋𝐍 𝐦𝐚𝐬𝐢𝐡 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐠𝐮𝐧𝐚𝐤𝐚𝐧 𝟏𝟏𝟎 𝐊𝐕 (𝐬𝐞𝐤𝐚𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐬𝐝𝐡 𝟐𝟐𝟎 𝐊𝐕). 𝐃𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐧𝐚𝐦𝐩𝐢𝐥𝐤𝐚𝐧 𝐬𝐚𝐭𝐮 𝐟𝐨𝐭𝐨 𝐢𝐧𝐢 𝐬𝐚𝐣𝐚 𝐬𝐮𝐝𝐚𝐡 𝐛𝐢𝐬𝐚 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐮𝐚𝐭 𝐫𝐢𝐛𝐮𝐚𝐧 𝐜𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐰𝐚𝐫𝐠𝐚 𝐌𝐚𝐠𝐞𝐥𝐚𝐧𝐠 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐩𝐞𝐫𝐧𝐚𝐡 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐚𝐥𝐚𝐦𝐢𝐧𝐲𝐚. 𝐃𝐢 𝐭𝐚𝐡𝐮𝐧 𝟕𝟎-𝐚𝐧 𝐛𝐚𝐧𝐲𝐚𝐤 𝐜𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐦𝐲𝐬𝐭𝐞𝐫𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐡𝐨𝐫𝐨𝐫 𝐭𝐭𝐠 𝐦𝐚𝐫𝐤𝐚𝐬 𝐑𝐏𝐊𝐀𝐃 𝐝𝐚𝐧 𝐤𝐚𝐦𝐩𝐮𝐧𝐠𝟐 𝐬𝐞𝐤𝐢𝐭𝐚𝐫𝐧𝐲𝐚. 𝐒𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐬𝐚𝐭𝐮𝐧𝐲𝐚 𝐜𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐬𝐮𝐚𝐫𝐚 𝐭𝐞𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐛𝐞𝐥𝐚𝐧𝐝𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐫𝐢𝐧𝐠𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐤𝐮𝐝𝐚 𝐬𝐞𝐭𝐢𝐚𝐩 𝐦𝐚𝐥𝐚𝐦. 𝐃𝐮𝐥𝐮 𝐝𝐞𝐩𝐚𝐧 𝐫𝐮𝐦𝐚𝐡 𝐝𝐢𝐧𝐚𝐬 𝐩𝐞𝐫𝐰𝐢𝐫𝐚 𝐑𝐏𝐊𝐀𝐃 𝐆𝐫𝐨𝐮𝐩 𝐈𝐈 𝐊𝐨𝐩𝐚𝐬𝐚𝐧𝐝𝐚 𝐦𝐞𝐫𝐮𝐩𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐤𝐮𝐛𝐮𝐫𝐚𝐧 𝐩𝐫𝐚𝐣𝐮𝐫𝐢𝐭𝐧𝐲𝐚 𝐏. 𝐃𝐢𝐩𝐨𝐧𝐞𝐠𝐨𝐫𝐨 (𝐬𝐤𝐫 𝐬𝐝𝐡 𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐊𝐞𝐥𝐮𝐫𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐏𝐨𝐭𝐫𝐨𝐛𝐚𝐧𝐠𝐬𝐚𝐧) 𝐝𝐚𝐧 𝐝𝐢 𝐬𝐞𝐛𝐞𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐣𝐚𝐥𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐡𝐥𝐚𝐰𝐚𝐧 𝐩𝐞𝐫𝐬𝐢𝐬 𝐝𝐢 𝐃𝐞𝐩𝐚𝐧 𝐏𝐢𝐧𝐭𝐮 𝐔𝐭𝐚𝐦𝐚 𝐌𝐚𝐫𝐤𝐚𝐬 𝐑𝐏𝐊𝐀𝐃 𝐚𝐝𝐚 𝐫𝐮𝐦𝐚𝐡 𝐛𝐞𝐬𝐚𝐫 𝐤𝐮𝐧𝐨 𝐝𝐢𝐡𝐮𝐧𝐢 𝐖𝐍𝐀 (𝐀𝐦𝐞𝐫𝐢𝐤𝐚) 𝐧𝐚𝐦𝐚𝐧𝐲𝐚 𝐌𝐫. 𝐒𝐭𝐞𝐩𝐡𝐞𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐚𝐧𝐚𝐤𝐧𝐲𝐚 𝐛𝐞𝐫𝐧𝐚𝐦𝐚 𝐃𝐞𝐧𝐧𝐲, 𝐦𝐞𝐫𝐞𝐤𝐚 𝐩𝐮𝐧𝐲𝐚 𝐚𝐧𝐣𝐢𝐧𝐠 𝐩𝐮𝐭𝐢𝐡 𝐛𝐞𝐬𝐚𝐫. 𝐒𝐚𝐲𝐚 𝐛𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐟𝐚𝐡𝐚𝐦 𝐰𝐚𝐤𝐭𝐮 𝐢𝐭𝐮, 𝐤𝐞𝐧𝐚𝐩𝐚 𝐚𝐝𝐚 𝐎𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐀𝐦𝐞𝐫𝐢𝐤𝐚 𝐭𝐢𝐧𝐠𝐠𝐚𝐥 𝐩𝐞𝐫𝐬𝐢𝐬 𝐝𝐢 𝐝𝐞𝐩𝐚𝐧 𝐌𝐚𝐫𝐤𝐚𝐬 𝐑𝐏𝐊𝐀𝐃. 𝐒𝐞𝐭𝐞𝐥𝐚𝐡 𝐥𝐢𝐡𝐚𝐭 𝐟𝐢𝐥𝐦 𝐉𝐚𝐦𝐞𝐬 𝐁𝐨𝐧𝐝𝐬 (𝐑𝐨𝐠𝐞𝐫 𝐌𝐨𝐨𝐫𝐞), 𝐉𝐮𝐝𝐮𝐥𝐧𝐲𝐚 𝐌𝐨𝐨𝐧𝐫𝐚𝐤𝐞𝐫 𝐝𝐢 𝐊𝐫𝐞𝐬𝐧𝐚 𝐓𝐞𝐚𝐭𝐞𝐫 𝐭𝐡𝐧.𝟏𝟗𝟖𝟎𝐚𝐧 𝐛𝐚𝐫𝐮 𝐧𝐠𝐞𝐡 𝐚𝐩𝐚𝐤𝐚𝐡 𝐦𝐮𝐧𝐠𝐤𝐢𝐧 𝐌𝐫. 𝐒𝐭𝐞𝐩𝐡𝐞𝐧 𝐢𝐭𝐮 𝐚𝐠𝐞𝐧 𝐂𝐈𝐀? 𝐁𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐭𝐞𝐫𝐣𝐚𝐰𝐚𝐛 𝐬𝐚𝐦𝐩𝐚𝐢 𝐬𝐞𝐤𝐚𝐫𝐚𝐧𝐠. 𝐌𝐚𝐠𝐞𝐥𝐚𝐧𝐠 𝐬𝐞𝐥𝐚𝐥𝐮 𝐢𝐧𝐝𝐚𝐡 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐝𝐢𝐤𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐚𝐧 𝐝𝐢𝐤𝐮𝐩𝐚𝐬, 𝐲𝐠 𝐩𝐚𝐬𝐭𝐢 𝐍𝐠𝐚𝐧𝐠𝐞𝐧𝐢!
Oleh : Wiratmoko Jati
Bahau-Dajak Mahakam dalam perlengkapan militer yang terdiri dari cawat bersulam, persenjataan dan perisai besar 1910
Bahau-Dajak Mahakam dalam perlengkapan militer yang terdiri dari cawat bersulam, persenjataan dan perisai besar 1910
Title: Telaga Ngebel bij Madioen Author/creator: Gilde, C.J. de. Shelfmark: KITLV 105943 Subject (topical): Horses Lakes Non-Motorized Transport Roads Women Subject (geographic): Indonesia Jawa Timur Madiun Note: Presumably by: Gilde, C.J. de (Den Haag). 121 View walking round Ngebel, [...]. Former shelfmark: 610/11330/2.6.44. Language: No linguistic content Country: No place, unknown, or undetermined Published: [Circa 1900] Supaya tidak jadi perdebatan Keresidenan Madiun wilayah administratif di Hindia Belanda Keresidenan Madiun (bahasa Belanda: Residentie Madioen) adalah eks-keresidenan di Jawa yang berdiri pada tahun 1830 hingga 1942. Wilayah eks-Keresidenan Madiun mencakup Kabupaten Madiun, Kota Madiun, Kabupaten Magetan, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Pacitan, dan Kabupaten Ponorogo. Daerah Keresidenan Madiun disebut juga yaitu Mapan Mawi Rogo (Madiun Pacitan Magetan Ngawi Ponorogo) yang merupakan singkatan dari nama wilayah Keresidenan Madiun itu sendiri. Dalam administrasi kendaraan bermotor, wilayah eks-Keresidenan Madiun diberi kode Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) dengan huruf AE. Sejarah Keresidenan Madiun berdiri pada tahun 1830 setelah Madiun ditaklukkan oleh Belanda pada masa Perang Jawa (1825-1830). Wilayah Keresidenan Madiun pada awalnya hanya mencakup Madiun, Magetan, Ngawi, dan Ponorogo. Wilayah Pacitan kemudian digabungkan ke dalam wilayah Keresidenan Madiun pada tahun 1867.[1] Pada tahun 1928, keresidenan ini dimasukkan ke dalam Provinsi Jawa Timur (bahasa Belanda: Oost Java).[2] Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Keresidenan_Madiun Jadi pada tahun 1900 secara administratif, wilayah telaga ini masih di wilayah keresidenan Madiun. Dan setelah tahun 1928 Keresidenan dimasukkannke dalam Provinsi Jawa Timur dan sepenuhnya telaga tersebut di wilayah Ponorogo bukan madiun
Title: Telaga Ngebel bij Madioen
Author/creator: Gilde, C.J. de.
Shelfmark: KITLV 105943
Subject (topical): Horses
Lakes
Non-Motorized Transport
Roads
Women
Subject (geographic): Indonesia
Jawa Timur
Madiun
Note: Presumably by: Gilde, C.J. de (Den Haag).
121 View walking round Ngebel, [...].
Former shelfmark: 610/11330/2.6.44.
Language: No linguistic content
Country: No place, unknown, or undetermined
Published: [Circa 1900]
Supaya tidak jadi perdebatan
Keresidenan Madiun
wilayah administratif di Hindia Belanda
Keresidenan Madiun (bahasa Belanda: Residentie Madioen) adalah eks-keresidenan di Jawa yang berdiri pada tahun 1830 hingga 1942. Wilayah eks-Keresidenan Madiun mencakup Kabupaten Madiun, Kota Madiun, Kabupaten Magetan, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Pacitan, dan Kabupaten Ponorogo. Daerah Keresidenan Madiun disebut juga yaitu Mapan Mawi Rogo (Madiun Pacitan Magetan Ngawi Ponorogo) yang merupakan singkatan dari nama wilayah Keresidenan Madiun itu sendiri.
Dalam administrasi kendaraan bermotor, wilayah eks-Keresidenan Madiun diberi kode Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) dengan huruf AE.
Sejarah
Keresidenan Madiun berdiri pada tahun 1830 setelah Madiun ditaklukkan oleh Belanda pada masa Perang Jawa (1825-1830). Wilayah Keresidenan Madiun pada awalnya hanya mencakup Madiun, Magetan, Ngawi, dan Ponorogo. Wilayah Pacitan kemudian digabungkan ke dalam wilayah Keresidenan Madiun pada tahun 1867.[1] Pada tahun 1928, keresidenan ini dimasukkan ke dalam Provinsi Jawa Timur (bahasa Belanda: Oost Java).[2]
Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Keresidenan_Madiun
Jadi pada tahun 1900 secara administratif, wilayah telaga ini masih di wilayah keresidenan Madiun. Dan setelah tahun 1928 Keresidenan dimasukkannke dalam Provinsi Jawa Timur dan sepenuhnya telaga tersebut di wilayah Ponorogo bukan madiun
Pernikahan pemuda Melayu Malaysia dengan Mojang atau Gadis Priangan Jawa Barat di tahun 1969. Sang mempelai pria asal negara bagian Pahang Malaysia bernama Abdul Latief bin Datuk Huessien yang merupakan adik kandung dari Wakil Perdana Malaysia yang saat itu dijabat oleh Tun Abdul Razak (periode 1957-1970). Sedangkan mempelai wanita bernama Raden Ajeng Djuaenah Wiraatmaja, adalah putri bungsu dari pensiunan Bupati Pandeglang A. Adipati Aria Wiraamadja ( periode 1927-1941). Pesta pernikahan mereka dilangsungkan mulai tanggal 13 Januari 1969 di beberapa tempat berneda, angara lain : di Bandung, Jakarta dan berikutnya Kualalumpur. Sumber: Pikiran Rakyat, 14-01-1969. Koleksi Surat Kabar Langka Salemba-Perpustakaan Nasional RI (SKALA-Team). #pernikahan #Melayu #Sunda #Malaysia
Pernikahan pemuda Melayu Malaysia dengan Mojang atau Gadis Priangan Jawa Barat di tahun 1969. Sang mempelai pria asal negara bagian Pahang Malaysia bernama Abdul Latief bin Datuk Huessien yang merupakan adik kandung dari Wakil Perdana Malaysia yang saat itu dijabat oleh Tun Abdul Razak (periode 1957-1970). Sedangkan mempelai wanita bernama Raden Ajeng Djuaenah Wiraatmaja, adalah putri bungsu dari pensiunan Bupati Pandeglang A. Adipati Aria Wiraamadja ( periode 1927-1941).
Pesta pernikahan mereka dilangsungkan mulai tanggal 13 Januari 1969 di beberapa tempat berneda, angara lain : di Bandung, Jakarta dan berikutnya Kualalumpur.
Sumber: Pikiran Rakyat, 14-01-1969. Koleksi Surat Kabar Langka Salemba-Perpustakaan Nasional RI (SKALA-Team).
#pernikahan #Melayu #Sunda #Malaysia