Oleh : Danu Sang Bintang
"Ini perintah walikota!" Bentak petugas itu kepada saya.
"Suruh sini walikotanya!" Kata saya tak kalah sengit. Kami beradu muka sangat dekat sekali. Sementara seorang pedagang ketakutan di belakang saya. Saya balikkan badan, dan berkata, "Pak, sampeyan masuk halaman masjid saja." Saat petugas hendak mencegah, dan tetap bersikukuh membawa gerobak pedagang masuk truk, kembali saya beradu mulut. "Halaman masjid milik takmir dan warga Kauman. Pemkot tak berhak ikut campur!" Seru saya.
Atas ijin kyai Miftah, ketua takmir, halaman masjid Jami' dan gang2 sempit kauman dijadikan tempat mereka berdagang hari itu. Hari itu adalah Minggu pahing, hari spesial umat muslim menyelenggarakan rutinan pengajian Pahingan. Mestinya, ribuan jemaah dari berbagai penjuru hadir di sini, dan puluhan pedagang menggelar dagangannya dengan riang gembira. Namun hari itu suasana sangat mencekam. Ratusan aparat yg terdiri dari TNI, polisi, satpol PP, linmas, bahkan hingga intel siap melaksanakan perintah walikota untuk merelokasi pasar Tiban Pahingan. Bbrp pedagang yg datang terlalu pagi sdh kadung diangkut truk dibawa ke CFD RINDAM. kami menyelamatkan sisanya.
Pasar Pahingan dianggap melanggar aturan kawasan hijau alun2 dan perwal terkait aktivitas di kawasan itu tanpa ijin walikota. Padahal selama sekian rezim, pasar ini tak pernah diusik. Usianya yg lebih dari 60 tahun pun mestinya sdh layak disebut sebagai intangible heritage. Bagi kami, kehadirannya yg hanya 35 hari sekali itu tak sebanding dng kuliner tuin van java dan angkringan yg sama2 melanggar kawasan hijau setiap hari yg justru difasilitasi pemkot. Apalagi pedagang mainan di tengah lapangan yg saat itu pun kami tak yakin melakukan ijin sebelum berdagang. Karena saat pemkot diminta dokumen2 perijinan para pedagang kuliner, angkringan, dan mainan itu tidak bisa menunjukkannya. Ini bentuk ketidakadilan dan kami anggap ada maksud2 tersembunyi.
Mungkin karena ndablegnya kami, akhirnya pemerintah menyerah dan meminta audiensi dng kami. Dicapailah kesepakatan tertentu terkait pasar Pahingan itu. Pasar boleh berdagang tetapi tidak di kawasan alun2, melainkan di jalan raya depan masjid, yg akan ditutup setengah hari. Tidak adil sebenarnya, tapi lebih baik drpd tidak sama sekali. Apalagi pedagang akan dijanjikan payung atau tenda untuk berteduh. Kami sepakat. Namun, urusan peneduh itu ternyata hingga hari ini hanya janji kosong belaka.
Dan maksud tersembunyi itu ternyata semakin mewujud. Bangunan air mancur menari hadir di seberang masjid, tepat di mana para pedagang berjualan sebelumnya, merusak lansekap alun2. Kegilaan merubah fungsi alun2 dari lansekap sebagai taman di rejim itu memang sungguh terlalu.
Saat itu, kami memang dihadapkan pada realita2 di mana mau tak mau kami harus penuh kecurigaan dng langkah2 pemkot. Termasuk ontran2 perebutan tampuk takmir yg disinyalir dilakukan kelompok radikal, aktivitas di masjid yg diam2 oleh mereka, dan lain sebagainya. Kami hanya ingin mempertahankan masjid ini sebagaimana adanya. Melestarikan bangunannya yg sdh ratusan tahun, aktivitas sosio kulturalnya, religinya, dan hal2 yg terkait padanya. Pengajian dan pasar Pahingan adalah ikonnya. Maka, dng segenap upaya pantas kami perjuangkan.
12 orang kami berjuang melawan oligarki kekuasaan yg saat itu sedang jaya2nya. Tidak ada yg berani melawan selain kami. Bahkan DPRD pun secara lembaga yg mestinya menjadi penyambung lidah rakyat diam seribu bahasa. Pun banyak teman kami yg akhirnya memilih tiarap karena diancam ekonomi dan statusnya. Namun gelombang dukungan juga mengalir deras. Pers baik lokal maupun nasional hampir setiap saat menghubungi kami dan mewartakan. Jemaah gereja dan klenteng di sekeliling alun2 ikut mensupport dng bergabung dlm gerakan2 kami. Masyarakat ikut bergerak membagikan ulang postingan2 kami. Dan masih banyak lagi peran lainnya.
Tidak ada perjuangan yg instan. Hampir setahun penuh kami berjuang. Banyak hal yg kami korbankan. Kami dijauhi teman, dikotakkan dari pekerjaan yg berhubungan dengan pemkot. Bahkan rumah om Bagus Priyana sempat juga kena molotov. Hingga saat berangkat di hari itu, saya ijin sama istri untuk didoakan yg terbaik. Jika ada apa2 mohon diikhlaskan karena kami akan menghadapi segala kemungkinan. Bisa bentrok fisik, diciduk, atau dikriminalkan. Atau mati. Entah.
Kemarin petang, seperti kebiasaan kami 'mengeti' perjuangan itu, setiap akhir pekan hari Pahing di bulan ramadan, kami berkumpul. Berbuka puasa bersama, dan kangen2an. Kali ini tak bisa banyak yg hadir karena bebarengan dengan paskah. Banyak sedulur kristiani yg mengikuti ibadah sehingga tak bisa bergabung. Tak mengapa. Kami maklum dan justru meminta maaf karena mbareng2i.
Pejuang pahingan ada 12 orang. Pakdhe MBilung Sarawita menyebutkan, kali ini ngepasi paskah. Murid Yesus juga ada 12 orang. Bedanya, di Pahingan tak ada yg mirip Yudas. Ya, kami memang benar2 liat dan percaya satu sama lain. Hubungan kami sudah seperti sekandung. Dan kami sungguh menghormati dan menyayangi orang2 yg berjuang bersama kami dulu sebagai saudara yg layak untuk saling melindungi. Spirit inilah yg layak dikabarkan kepada segenap warga hingga menjadi embrio toleransi. Toleransi inilah yg mestinya dibangun. Sebab saya lebih percaya bahwa Magelang sdh relijiyus sejak dulu meski tanpa gembar gembor, jauh sebelum pemerintah dng gagahnya menggelar program kota relijiyus. Tapi nggak papa juga, mungkin karena nggak punya ide lainnya yg lebih produktif.
#kawandanu #savepahingan #magelang
Muhammad Nafi Kang Adhang Legowo Paulus Agung Pramudyanto Iwan Maci Ady Saputra Katri Andriyanto Pangeran Arupadhatu Andritopo Senjoyo Pakdhe Wotok Jojok Sihab Yoko Sukoyok Glady Aleida Nurlaela Sukri Yoga Kurnianto Yoga Mboiz Reta Puspita Chandra Gusta Wisnuwardana Bambang Sarwo Wiedyas Cahyono Masyoga Cheng Cheng Phoo Bambang Eka Bep Sus Anggoro Christoporus Indrayanto Greg Wijaya Fransisca Nenny Genta Palugada
No comments:
Post a Comment