PESANGGRAHAN BOROBUDUR : Tempat Singgah Para Petualang dan Menginap Para Pelancong (akhir)
“Pesanggrahan ini dijaga oleh seorang Belanda penyendiri yang terlihat lesu dan berbicara pelan, baginya hari selalu sore.. Hidup berjalan dalam ketenangan, keheningan tiada akhir dan rutinitas yang sama di Borobudur.”
Kutipan diatas adalah hasil tulisan tangan dari Elisa Ruhamah Scidmore dalam bukunya The Garden of the East. Eliza sendiri adalah seorang pengelana perempuan berkebangsaan Amerika yang pernah mengunjungi Jawa pada 1897, atau satu tahun setelah Raja Rama V Chulalongkorn dari Siam mampir ke Pesanggrahan Borobudur.
Berdasarkan catatan perjalanannya, Pesanggrahan Borobudur sudah memiliki berbagai macam akomodasi yang cukup untuk bisa beristirahat dan menenangkan diri di area Borobudur. Tarif bagi para pelancong yang mampir kesana adalah 6 florin per hari. Walaupun tergolong terjangkau, kebanyakan tamu yang singgah di pesanggrahan tidak banyak yang menginap dan hanya mampir untuk menyantap rijsttafel yang ada disana. Berdasarkan penuturan Dr. Breitenstein dalam catatan perjalanannya yang berjudul Einundzwanzig Jahre in Indien II Teil yang terbit tahun 1900, makanan rijsttafel yang lazim disajikan di Pesanggrahan Borobudur adalah nasi, buah-buahan, ayam dengan berbagai macam jenis olahan masakan.
Nampaknya, pada awal abad ke-20, Pesanggrahan Borobudur mengalami renovasi yang cukup signifikan. Berdasarkan foto Dr. I Groeneman yang berwisata ke Candi Borobudur pada tahun 1901, atap pesanggrahan yang dulu masih berupa ijuk atau alang - alang sudah berganti menjadi genting tanah liat. Voorgalerij yang dulunya masih semi terbuka sudah tertutup dikesemua sisinya dan hanya menyisakan pintu depan saja. Arca yang mengapit pintu masuk pesanggrahan pun sudah berganti dengan sepasang arca Budha yang nampaknya ikut dicat putih. Bangunan tambahan pun ikut nampak dibagian kiri pesanggrahan utama.
Pujian atas pengelolaan baru dari hasil renovasi Pesanggrahan Borobudur juga sempat dimuat dalam surat kabar De Locomotief : Semarangasch Handels-en advertentie-blad yang terbit pada 23 Juni 1902. Disebutkan dalam surat kabar tersebut bahwa pasca perubahan menejemen peningkatan kebersihan dan akomodasi dirasa cukup memuaskan, sehingga tidak ada alasan untuk tidak menginap dan menikmati mistisisme senja dan fajar dari puncak Borobudur. Bahkan, dalam catatan perjalanan yang berjudul Monumental Java yang terbit pada 1912, sang penulis, Scheltema, menyebutkan bahwa ada sebuah ruangan di Pesanggrahan Borobudur yang digunakan untuk ruang penyimpanan patung-patung Borobudur yang terlepas.
Berkat organisasi pariwisata Vereeniging Toeristenverkeer (VTV) yang gencar mempromosikan Borobudur, maka jumlah wisatawan yang berkunjung ke Candi Borobudur tiap tahun kian meningkat. Pada tahun 1909 menurut surat kabar De Preanger Bode, perusahan kereta api swasta N.I.S pernah berencana berkerjasama dengan VTV untuk membuat tiket kombinasi Jogja - Muntilan yang diteruskan dengan makan siang di Pesanggrahan Borobudur. Selain itu, VTV juga akan menyiapkan kamar mandi yang layak bagi pengunjung di Pesanggrahan Borobudur dan mendesak segera terhubungnya jaringan telepon kesana.
Merespon hal tersebut, berdasarkan surat kabar Het Niews van den dag voor Nederlandsch - Indie yang terbit pada 23 November 1914, nampaknya pesanggrahan tersebut sudah mulai semakin berbenah dan berubah menjadi sebuah hotel dengan nama “Hotel Baraboedoer”. Dalam iklan tersebut, Hotel Baraboedoer memiliki nomer telepon 28 dan alamat telegram : Barabudur Hotel. Hotel ini dipimpin oleh Tuan D.B. Kool yang menawarkan kesejukan udara khas pedesaan, makanan yang lezat, kamar tidur dengan sirukalisi udara yang baik dan meja - meja yang bersih.
Sebagai fasilitas akomodasi tambahan, pihak manajemen Hotel Barabudur juga menyediakan mobil yang siap kapan saja digunakan dari dan ke hotel dari stasiun Muntilan. Dalam iklan tersebut juga disebutkan bahwa para pengunjung tidak perlu khawatir akan kehabisan bahan bakar karena bensin, oli, dan karbit selalu tersedia.
Dalam iklan Hotel Barabudur yang terus terbit di surat kabar Het Niews van den dag voor Nederlandsch Indie antara tahun 1915 - 1917, perubahan layanan mulai diterapkan seperti mulai dicantumkannya jadwal keberangkatan kereta api dari Bandung - Jogja - Muntilan - Hotel. Mobil - mobil hotel juga selalu stand by di Stasiun Jogja dan Kutoardjo. Tuan Kool masih bekerja di hotel tersebut namun jabatanya tertulis “ex. Chief-Kok.” disana.
Beberapa pelancong yang sempat menginap di Hotel Barabudur menuliskan pengalaman meraka dalam buku catatan yang terbit antara tahun 1914 - 1915. Arthur S. Walcott, dalam bukunya Java and her neighbours menyebutkan bahwa penginapan ini cukup lumayan nyaman. Terlebih lagi juga menyediakan makanan yang lumayan enak. Hanya saja banyak nyamuk yang berkeliaran dan menjadi kekurangan hotel ini. Donald Maclaine Campbell dalam catatan perjalanannya yang berjudul Java:Past & Present terbit pada 1915 juga menyebutkan penginapan ini bagi pengunjung atau turis lumayan nyaman dan bersih.
Memasuki tahun 1920an, jumlah turis atau wisatawan yang berkunjung ke Borobudur pun kian meningkat pesat. Daya tampung hotel yang terbatas sempat menimbulkan kritikan pedas bagi pengelola. Kritikan tersebut dimuat dalam surat kabar Bataviaasch Niewsblad pada 24 Juni 1921 yang menyebutkan bahwa pada hari - hari libur seperti hari Minggu, jumlah pengunjung candi bisa sangat banyak yang kebanyakan datang dari Solo, Jogja dan Magelang. Fasilitas toilet dan air yang terbatas membuat para pengunjung menjadi kurang nyaman berwisata dan menghabiskan waktunya di Hotel. Pada tahun tersebut, manajer Hotel Barabudur hanya menerima tunjangan sebesar 40 gulden yang mana biaya pengelolaan air mencapai 50 gulden, melebihi gajinya.
Foto - foto yang ada pada tahun 1920 - 1930an menunjukkan bangunan Hotel Baraboedoer semakin bertambah. Beberapa bangunan dibangun disebelah kanan dan kiri serta depan bangunan hotel yang lama.
Penulis belum menemukan data yang pasti kapan bangunan hotel lama ini hilang. Kemungkinan lokasi Hotel Baraboedoer ini sekarang berada di Kantor Balai Arkeologi Borobudur Magelang.
- Chandra Gusta Wisnuwardana -
“Pesanggrahan ini dijaga oleh seorang Belanda penyendiri yang terlihat lesu dan berbicara pelan, baginya hari selalu sore.. Hidup berjalan dalam ketenangan, keheningan tiada akhir dan rutinitas yang sama di Borobudur.”
Kutipan diatas adalah hasil tulisan tangan dari Elisa Ruhamah Scidmore dalam bukunya The Garden of the East. Eliza sendiri adalah seorang pengelana perempuan berkebangsaan Amerika yang pernah mengunjungi Jawa pada 1897, atau satu tahun setelah Raja Rama V Chulalongkorn dari Siam mampir ke Pesanggrahan Borobudur.
Berdasarkan catatan perjalanannya, Pesanggrahan Borobudur sudah memiliki berbagai macam akomodasi yang cukup untuk bisa beristirahat dan menenangkan diri di area Borobudur. Tarif bagi para pelancong yang mampir kesana adalah 6 florin per hari. Walaupun tergolong terjangkau, kebanyakan tamu yang singgah di pesanggrahan tidak banyak yang menginap dan hanya mampir untuk menyantap rijsttafel yang ada disana. Berdasarkan penuturan Dr. Breitenstein dalam catatan perjalanannya yang berjudul Einundzwanzig Jahre in Indien II Teil yang terbit tahun 1900, makanan rijsttafel yang lazim disajikan di Pesanggrahan Borobudur adalah nasi, buah-buahan, ayam dengan berbagai macam jenis olahan masakan.
Nampaknya, pada awal abad ke-20, Pesanggrahan Borobudur mengalami renovasi yang cukup signifikan. Berdasarkan foto Dr. I Groeneman yang berwisata ke Candi Borobudur pada tahun 1901, atap pesanggrahan yang dulu masih berupa ijuk atau alang - alang sudah berganti menjadi genting tanah liat. Voorgalerij yang dulunya masih semi terbuka sudah tertutup dikesemua sisinya dan hanya menyisakan pintu depan saja. Arca yang mengapit pintu masuk pesanggrahan pun sudah berganti dengan sepasang arca Budha yang nampaknya ikut dicat putih. Bangunan tambahan pun ikut nampak dibagian kiri pesanggrahan utama.
Pujian atas pengelolaan baru dari hasil renovasi Pesanggrahan Borobudur juga sempat dimuat dalam surat kabar De Locomotief : Semarangasch Handels-en advertentie-blad yang terbit pada 23 Juni 1902. Disebutkan dalam surat kabar tersebut bahwa pasca perubahan menejemen peningkatan kebersihan dan akomodasi dirasa cukup memuaskan, sehingga tidak ada alasan untuk tidak menginap dan menikmati mistisisme senja dan fajar dari puncak Borobudur. Bahkan, dalam catatan perjalanan yang berjudul Monumental Java yang terbit pada 1912, sang penulis, Scheltema, menyebutkan bahwa ada sebuah ruangan di Pesanggrahan Borobudur yang digunakan untuk ruang penyimpanan patung-patung Borobudur yang terlepas.
Berkat organisasi pariwisata Vereeniging Toeristenverkeer (VTV) yang gencar mempromosikan Borobudur, maka jumlah wisatawan yang berkunjung ke Candi Borobudur tiap tahun kian meningkat. Pada tahun 1909 menurut surat kabar De Preanger Bode, perusahan kereta api swasta N.I.S pernah berencana berkerjasama dengan VTV untuk membuat tiket kombinasi Jogja - Muntilan yang diteruskan dengan makan siang di Pesanggrahan Borobudur. Selain itu, VTV juga akan menyiapkan kamar mandi yang layak bagi pengunjung di Pesanggrahan Borobudur dan mendesak segera terhubungnya jaringan telepon kesana.
Merespon hal tersebut, berdasarkan surat kabar Het Niews van den dag voor Nederlandsch - Indie yang terbit pada 23 November 1914, nampaknya pesanggrahan tersebut sudah mulai semakin berbenah dan berubah menjadi sebuah hotel dengan nama “Hotel Baraboedoer”. Dalam iklan tersebut, Hotel Baraboedoer memiliki nomer telepon 28 dan alamat telegram : Barabudur Hotel. Hotel ini dipimpin oleh Tuan D.B. Kool yang menawarkan kesejukan udara khas pedesaan, makanan yang lezat, kamar tidur dengan sirukalisi udara yang baik dan meja - meja yang bersih.
Sebagai fasilitas akomodasi tambahan, pihak manajemen Hotel Barabudur juga menyediakan mobil yang siap kapan saja digunakan dari dan ke hotel dari stasiun Muntilan. Dalam iklan tersebut juga disebutkan bahwa para pengunjung tidak perlu khawatir akan kehabisan bahan bakar karena bensin, oli, dan karbit selalu tersedia.
Dalam iklan Hotel Barabudur yang terus terbit di surat kabar Het Niews van den dag voor Nederlandsch Indie antara tahun 1915 - 1917, perubahan layanan mulai diterapkan seperti mulai dicantumkannya jadwal keberangkatan kereta api dari Bandung - Jogja - Muntilan - Hotel. Mobil - mobil hotel juga selalu stand by di Stasiun Jogja dan Kutoardjo. Tuan Kool masih bekerja di hotel tersebut namun jabatanya tertulis “ex. Chief-Kok.” disana.
Beberapa pelancong yang sempat menginap di Hotel Barabudur menuliskan pengalaman meraka dalam buku catatan yang terbit antara tahun 1914 - 1915. Arthur S. Walcott, dalam bukunya Java and her neighbours menyebutkan bahwa penginapan ini cukup lumayan nyaman. Terlebih lagi juga menyediakan makanan yang lumayan enak. Hanya saja banyak nyamuk yang berkeliaran dan menjadi kekurangan hotel ini. Donald Maclaine Campbell dalam catatan perjalanannya yang berjudul Java:Past & Present terbit pada 1915 juga menyebutkan penginapan ini bagi pengunjung atau turis lumayan nyaman dan bersih.
Memasuki tahun 1920an, jumlah turis atau wisatawan yang berkunjung ke Borobudur pun kian meningkat pesat. Daya tampung hotel yang terbatas sempat menimbulkan kritikan pedas bagi pengelola. Kritikan tersebut dimuat dalam surat kabar Bataviaasch Niewsblad pada 24 Juni 1921 yang menyebutkan bahwa pada hari - hari libur seperti hari Minggu, jumlah pengunjung candi bisa sangat banyak yang kebanyakan datang dari Solo, Jogja dan Magelang. Fasilitas toilet dan air yang terbatas membuat para pengunjung menjadi kurang nyaman berwisata dan menghabiskan waktunya di Hotel. Pada tahun tersebut, manajer Hotel Barabudur hanya menerima tunjangan sebesar 40 gulden yang mana biaya pengelolaan air mencapai 50 gulden, melebihi gajinya.
Foto - foto yang ada pada tahun 1920 - 1930an menunjukkan bangunan Hotel Baraboedoer semakin bertambah. Beberapa bangunan dibangun disebelah kanan dan kiri serta depan bangunan hotel yang lama.
Penulis belum menemukan data yang pasti kapan bangunan hotel lama ini hilang. Kemungkinan lokasi Hotel Baraboedoer ini sekarang berada di Kantor Balai Arkeologi Borobudur Magelang.
- Chandra Gusta Wisnuwardana -
No comments:
Post a Comment