Lhadalah, lha kok ternyata ada anak kecil yang benar-benar menganggu kekhusyukan salat saya sekaligus bikin jantung saya syir-syiran.
Ia berlarian di depan barisan shaf salat saya. Tentu saja saya mak tratap. Saya takut kaca mata saya terinjak.
Lha gimana, ini sudah kali ketiga saya ganti kaca mata, dan tiap kali
ganti, koceknya lumayan terasa. Kaca mata saya ini harganya nggak
mahal-mahal amat sih, tapi juga nggak murah-murah amat. 1,3 juta. Kalau
sampai terinjak, ya tekor juga.
Salat saya benar-benar kacau. Kepikiran terus sama kaca mata.
Untung saja, sepanjang rakaat pertama, si anak kecil tersebut berlarian ke arah shaf yang menjauhi saya.
Tapi dasar nasib. Pas rakaat kedua, sesaat setelah saya bangkit dari rukuk, si anak ternyata berlari ke arah depan saya. Posisi kaki si anak tersebut saya perkiraan bakal menginjak kaca mata saya.
Dalam jarak yang sangat tipis, tangan dan mulut saya reflek.
“Awas!” teriak saya sembari memajukan tangan menghalau si anak.
Saya lemas. Batal sudah salat jumat saya.
Maka, mau tak mau, saya harus mengganti salat jumat saya dengan salat Duhur.
Saya sedih. Bukan karena saya harus mengganti salat saya, melainkan karena iman saya ternyata masih murah, sampai-sampai saya tidak bisa menjaga kekhusyukan salat hanya karena kaca mata.
Saya jadi ingat kisah khalifah Umar bin Khattab RA. Beliau pernah tertinggal salat asar berjamaah karena sibuk dengan kebun kurmanya. Beliau sungguh menyesal atas hal itu. Sebagai penebusan, Beliau pun lantas menyedekahkan kebun kurma miliknya.
Malam ini, saya mengamati kaca mata saya lekat-lekat.
Dalam hati, terpikir pertanyaan “Haruskah saya meniru khalifah Umar? Haruskah saya menyedekahkan kaca mata ini?”
Lima detik kemudian, dari dalam hati pula, tersirat jawaban, “Ojo, Gus. 1,3 juta, je!”
Saya makin yakin. Iman saya memang murah meriah.
Salat saya benar-benar kacau. Kepikiran terus sama kaca mata.
Untung saja, sepanjang rakaat pertama, si anak kecil tersebut berlarian ke arah shaf yang menjauhi saya.
Tapi dasar nasib. Pas rakaat kedua, sesaat setelah saya bangkit dari rukuk, si anak ternyata berlari ke arah depan saya. Posisi kaki si anak tersebut saya perkiraan bakal menginjak kaca mata saya.
Dalam jarak yang sangat tipis, tangan dan mulut saya reflek.
“Awas!” teriak saya sembari memajukan tangan menghalau si anak.
Saya lemas. Batal sudah salat jumat saya.
Maka, mau tak mau, saya harus mengganti salat jumat saya dengan salat Duhur.
Saya sedih. Bukan karena saya harus mengganti salat saya, melainkan karena iman saya ternyata masih murah, sampai-sampai saya tidak bisa menjaga kekhusyukan salat hanya karena kaca mata.
Saya jadi ingat kisah khalifah Umar bin Khattab RA. Beliau pernah tertinggal salat asar berjamaah karena sibuk dengan kebun kurmanya. Beliau sungguh menyesal atas hal itu. Sebagai penebusan, Beliau pun lantas menyedekahkan kebun kurma miliknya.
Malam ini, saya mengamati kaca mata saya lekat-lekat.
Dalam hati, terpikir pertanyaan “Haruskah saya meniru khalifah Umar? Haruskah saya menyedekahkan kaca mata ini?”
Lima detik kemudian, dari dalam hati pula, tersirat jawaban, “Ojo, Gus. 1,3 juta, je!”
Saya makin yakin. Iman saya memang murah meriah.
No comments:
Post a Comment