SEJARAH PERKERETAAPIAN DI MAGELANG & TEMANGGUNG
Kawasan Magelang merupakan dataran yang berbukit-bukit. Udara sejuk selalu terasa saat pagi memancarkan sinar matahari di pagi yang tenang. Kemudian Terdengar bunyi sayup-sayup yang kian keras. Tuuuut….tuuuut…. Sambil berlari, sembari mendekati suara itu dan mengejarnya. Asap mengepul tinggi di sela-sela daun dan pohon. Orang-orang tersenyum di atas gerbong dengan berbagai alasan mengapa mereka menggunakan sarana transportasi yang dinamakan kereta api.
Itulah yang mungkin diceritakan oleh orangtua, bahkan kakek-nenek kita yang mempunyai sepenggal kisah dengan indahnya perkeretaapian yang pernah ada di Magelang. Mungkin anak muda jaman sekarang hanya bisa menikmati indahnya sepenggal cerita manis di pagi hari yang menjadi kenangan saja, karena tidak pernah merasakannya bahkan melihatnya. Ini menjadikan harapan tersendiri bagi yang tidak merasakan masa yang indah itu.
Berawal dari nilai historis ilmu, rasa kangen, misteri, dan keingintahunan inilah komunitas Kota Toea Magelang pada hari Minggu, 22 Januari 2012 turut mengajak anda semua dalam agenda kegiatan yang bertemakan Kereta Api, DJELADJAH DJALOER SPOOR dengan rute Magelang-Setjang-Temanggoeng-Parakan. Dan yang lebih diutamakan dengan tujuan acara ini adalah bagaimana kita bisa lebih menghargai sejarah dan melestarikan cagar budaya yang mencakup fisik dan non fisik. Karena mengingat bahwa apabila tidak adanya perkembangan bergulirnya sejarah, kita tidak akan tahu tolok ukur untuk masa depan.
By: Ryan “Corleone” Adhyatma
SEJARAH PERKERETAAPIAN DI KOTA MAGELANG DAN SEKITARNYA
Sejarah perkeretaapian di Magelang di mulai dengan pembangunan dan beroperasinya jalur KA Jogja-Magelang pada tanggal 1 Juli 1898. Jalur ini dioperasikan oleh NISM (Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij) yang merupakan salah satu perusahaan KA swasta Belanda yang tergabung dalam VS (Veerenigde Spoorwegbedrigs). Jalur ini menghubungkan Jogja-Sleman-Tempel-Muntilan-Blabak dan Magelang. Sedangkan stasiun yang ada antara jalur dari Magelang sampai perbatasan dengan Jogjakarta adalah Stasiun Magelang Kota, Magelang Pasar, Banyurejo, Mertoyudan, Japonan, Blondo, Blabak, Pabelan, Muntilan, Dangeyan, Tegalsari, Semen.
Stasiun Tempel
Pict by: Tropenmuseum
Stasiun Magelang Kota
Stasiun Magelang Kota
Pict by: Tropenmuseum
Stasiun Magelang Kota merupakan stasiun utama pada waktu itu. Jalur rel KA antara Stasiun Magelang Pasar dan Stasiun Magelang Kota berjajar dan berdampingan dengan Grooteweg Noord/Djalan Raja Pontjol/Jl. A Yani sekarang sampai ke Grooteweg Zuid/Chinnese Kamperment Straat/Jl. Pemuda sekarang. Jalur sepanjang kurang lebih 2 km tersebut melewati pusat kota yaitu Aloon-aloon dan kawasan Pecinan. Karena itu di timur Aloon-aloon didirikanlah stopplaats, yaitu semacam halte tempat menaik turunkan penumpang tapi bukan stasiun. Selain itu fungsi dari stopplaats ini juga berfungsi untuk mengangkut kiriman paket/surat dari post kantoor/kantor pos Magelang.
Stasiun Aloon-Aloon (stopplaats), Magelang
Pict by: KITLV
Di awal beroperasinya jalur KA Jogja-Magelang dioperasikanlah berbagai jenis loko kereta api, satu diantaranya adalah C24 buatan Werkspoor yang beroperasi sejak tahun 1909. Nah Loko uap jenis ini bahan bakarnya dari kayu jati yang berguna untuk mendidihkan air yang ada di ketel uapnya sebagai sumber tenaga. Maka jenis loko ini sering disebut oleh masyarakat dengan “sepur kluthuk” atau ”sepur trutug” karena itu pada cerobong loko tersebut keluar uap yang keluar berwarna hitam pekat. Apabila loko uap ini berjalan maka keluarlah suara “nguk….nguuk….nguuuk…”.
Stasiun Pasar Magelang
Stasiun Pasar, Magelang
Pict by: KITLV
Stasiun Magelang Pasar mempunyai andil besar terhadap tumbuhnya Pasar Rejowinangun dan terminal. Sebagai wilayah yang dikelilingi oleh pegunungan dan banyak menghasilkan produk pertanian (padi, ketela, sayuran) dan perkebunan (tembakau, kopi, rempah-rempah, dll). Peran stasiun ini sangat vital sebagai pengangkut hasil bumi tersebut. Ketika para calon penumpang yang notabene para pedagang menunggu kereta datang, maka para pedagang yang membawa hasil bumi tersebut juga melakukan transaksi jual beli. Hal ini di lakukan supaya hasil bumi yang dibawa tersebut tidak rusak dan busuk. Nah dengan dijual lebih dulu maka hasil bumi tersebut dapat segera menjadi uang.
Stasiun Pasar, Magelang
Pict by: KITLV
Stasiun Kereta Api VS Terminal Bus
Sedangkan tumbuhnya terminal terjadi karena pada waktu itu para pengguna kereta api yang akan naik/turun kereta api membutuhkan sarana transportasi menuju tempatnya masing-masing. Ditambah lagi para pembawa hasil bumi juga membawa angkutan untuk mengangkut produknya. Jadilah agar lebih menguntungkan para pemilik otobus juga mengangkut penumpang tersebut. Maka di sebelah barat dari stasiun Magelang Pasar (sekarang menjadi shoping center) tumbuh berkembang menjadi terminal. Terminal ini pada jaman Bung Karno di beri nama terminal Ampera dan beroperasi sampai tahun 1977 sebelum pindah ke Terminal Tidar di bawah bukit Tidar dekat kampung mbarakan. Di tahun 1960 an berbagi jenis oplet beroperasi mengangkut penumpang di terminal Ampera.
Terminal bis saat itu [sekarang Shoping Center]
pict by: KITLV
Jalur Kereta Api Magelang-Secang-Temanggung-Parakan
Pada tahun-tahun berikutnya sesudah di bangunnya jalur kereta api antara Samarang dan Tanggung di Grobogan, maka berturut-turut di bangunlah pula jalur-jalur KA yang baru di berbagai kota di tanah Jawa. Termasuk pembangunan jalur kereta api yang menghubungkan Magelang dengan kota-kota sekitarnya. Misalnya jalur Magelang-Secang yang beroperasi pada tanggal 15 Mei 1903, jalur Secang-Temanggung beroperasi 3 Januari 1907, jalur Secang-Ambarawa beroperasi 1 Februari 1905 dan jalur Temanggung-Parakan beroperasi 1 Juli 1907.
Proses pembangunan jalur KA antara Ambarawa-Secang, Magelang-Secang dan Secang-Temanggung-Parakan, tentunya tidak bisa melupakan jasa seorang aannemer/pemborong bernamaHo Tjong An. Ho Tjong An terlahir di Tungkwan, Canton Cina pada tahun 1841.
Berikut ini kami kutip dari majalah SINPO terbitan tahun 1919 yang menceritakan tentang sosok Ho Tjong An tersebut:
“Begitoe pakerdjahan itu selese, toean Ho soeda borong poela pakerdjahan memboeka djalanan kreta api antara Willem I-Setjang, Magelang-Setjang dan Setjang-Parakan. Grondverzet antara Setjang-Parakan ada 143.000 M3”.
“Grondverzet jang ia mesti bikin antara Ambarawa-Setjang, toean Ho Tjong An trima boeat harga f 390.000,- kerna boekan sedikit djoerang jang mesti di potong agar tida kliwat menandjak. Koeli jang di pake setiap harinja tida koerang dari 3000 orang.
Kamoedian pakerdjahan ini ia samboeng boeat boeka tanah jang hoeboengkan antara Magelang-Setjang dan Setjang – Parakan, jang ia borong boet harga f 350.000,-.
(“Satoe aannemer kreta api Tionghoa”, majalah Sinpo tahun 1919)
Dalam tulisan tersebut di tuliskan bahwa pengerjaan jalur KA antara Ambarawa-Secang menghabiskan beaya sebesar f 390.000,- (Guilders Belanda). Dan jalur antara Magelang-Secang dan Secang-Parakan menghabiskan beaya sebesar f 350.000,- (Guilders Belanda). Jumlah yang sangat besar diwaktu itu.
Jalur KA antara stasiun Magelang Kota-Secang sejauh kira-kira 9 km yang melewati rute relatif datar dan sedikit tanjakan serta jalan memutar di wilayah Sempu Secang. Di wilayah Payaman ada stasiun kecil dan jalur rel nya berada lebih tinggi dari jalan raya yang ada di bagian baratnya.
Rute Rel Kereta Api Magelang – Temanggoeng
Rute Rel Kereta Api Magelang – Temanggoeng
Seperti tampak pada dua gambar diatas, dimana mulai dari Payaman sampai ke Temanggung, jalur rel yang biasanya dan seharusnya memiliki trek lurus, ternyata tampak berkelak kelok. Ternyata ada hal menarik dibalik ini semua.
Menurut majalah SINPO terbitan tahun 1919, bahwa setelah aktifnya jalur Semarang – Kedungjati Ambarawa dan stasiun Willem I, pada saat itu NIS (Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij) merekrut salah seorang Tiong Hoa bernama Ho Tjong An yang dipercaya menjadi kontraktor pembangunan rel kereta api Ambarawa – Secang – Magelang, dan Ambarawa – Secang – Parakan.
Sebagai seorang insinyur yang tentunya sudah mempunyai pemikiran modern waktu itu, insinyur yang lahir di Tungkwan, Canton pada tahun 1841 tersebut tetap menggaji kuli lokal, serta menghargai kepercayaan lokal dimana pada waktu itu, masyarakat pribumi masih banyak yang percaya terhadap batu batu, atau pohon pohon, makam makam, dan kawasan kawasan yang dikeramatkan. Maka dari itu, sengaja membelokkan beberapa jalur kereta ini karena jika tidak dilaksanakan, kuli tidak akan mau untuk mengerjakan. Belokan belokan ini terjadi di Payaman – Secang, dan daerah perbatasan Magelang – Temanggung di barat Secang sampai di Kota Temanggung.
Stasiun Secang
Eks Stasiun secang
Di stasiun Secang merupakan stasiun paling strategis di seputar Magelang dan Temanggung. Hal ini karena posisinya yang berada di 3 jalur, yaitu antara Magelang, Temanggung/Parakan dan Ambarawa/Willem I. Karena begitu strategis nya maka Stasiun Secang lebih luas dan memiliki jalur perlintasan lebih banyak Apalagi jenis loko yang melayani jurusan ke Ambarawa juga beda di karenakan memakai rel bergerigi untuk melewati tanjakan di wilayah pegunungan.
Stasiun Kranggan
Antara Stasiun Secang menuju Temanggung melewati stasiun kecil yaitu Stasiun Kranggan. Stasiun Kranggan juga berfungsi mengangkut hasil bumi masyarakat sekitar. Di stasiun ini juga pernah menjadi saksi tergulingnya gerbong kereta yang terlepas dari lokonya. Peristiwa ini membawa korban yang sangat banyak.
Lokomotiv melintasi sungai progo Temanggung pada tahun 1910.
Pict by: KITLV
Di barat Stasiun Kranggan terbentang jembatan KA yang melintang diatas di Kali Progo. Pada sisi barat nya pondasi kaki jembatan dan rel berada lebih tinggi dari tanah sekitar. Menembus kawasan Banyusari. Stasiun Temanggung sendiri memiliki nilai arsitektur yang tinggi. Dengan gaya bangunan yang khas kolonial.
Eks. Stasiun Temanggung
Pict by: Nugroho WU, 2006
Stasiun Kedu
Eks Stasiun Kedu
Pict by: Nugroho WU, 2006
Di jalur KA antara Stasiun Temanggung dan Parakan terdapat Stasiun Kedu yang berada di sisi jalan raya. Saat ini kondisinya masih baik. Di wilayah Dusun Watukarung Desa Campursari Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung, terdapat jalur KA yang melintang di atas jalan raya, mirip dengan Plengkung yang ada di Kota Magelang. Antara jalur KA ini dari Stasiun Kedu sampai dengan Parakan rutenya di buat memutar. Hal ini dikarenakan jalan yang sedikit menanjak dan adanya kepercayaan mengenai kucing condromowo dan asu belang menyungyang. Di mana jika melanggar kepercayaan ini maka akan terjadi bahaya terhadap keselamatan perjalanan kereta api di wilayah ini. Karena itu Ho Tjong An sangat menghormati kepercayaan warga setempat ini sehingga dengan terpaksa membuat rute yang memutar dan lebih jauh.
Jalur Temanggung-Parakan.
Pict by: KITLV
Stasiun Parakan
Di Stasiun Parakan gaya arsitektur bangunan pun sangat istimewa. Bisa dikatakan persis dengan Stasiun Temanggung. Stasiun Parakan merupakan stasiun awal dan akhir bagi kereta api yang melayani jalur ini, sehingga di Stasiun Parakan ini ada alat pemutar loko. Stasiun Parakan berperan penting dalam pengangkutan tembakau dan hasil bumi yang lain.
Eks. Stasiun Parakan
Pict by: Nugroho WU, 2006
Masa Berakhirnya Kejayaan Perkeretaapian
Di jaman orde baru pembangunan sedemikian pesatnya.berbagai jenis pabrik didirikan, termasuk pabrik otomotif. Dibuatlah berbagai produk kendaraan, baik kendaraan pribadi ataupun untuk sarana angkutan umu, termasuk oplet dan bus. Pembenahan intrastuktur jalan raya dilakukan dengan cara pelebaran dan penghalusan dengan aspal. Demikian juga dengan jalan-jalan raya yang menghubungkan Magelang dengan kota-kota sekitar seperti Jogjakarta, Temanggung, Parakan, Ambarawa.
Dengan hal tersebut maka terjadilah pergeseran minat masyarakat menggunakan transportasi kereta api. Kalau dengan naik kereta maka hanya bisa pada jam-jam tertentu dan waktu itupun kecepatan kereta masih terbatas. Dengan hadirnya oplet dan bis maka pilihan masyarakat untuk menuju kota tujuan lebih beragam. Dipastikan bahwa jam keberangkatan oplet maupun bus tersebut lebih variatif dan di sesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
Hal ini diperparah lagi dengan terjangan banjir lahar dingin pada bulan Desember 1976 yang menghantam jembatan Krasak diperbatasan antara Jawa Tengah dan DIY. Sebagai catatan pada tahun 1947 jembatan Krasak juga pernah rusak karena sabotase pejuang. Tahun 1960 dan 1967 juga pernah rusak terkena banjir lahar dingin. Maka ambrol nya jembatan Krasak di tahun 1976 tersebut benar-benar melumpuhkan jalur KA Magelang-Jogja.
Tetapi meski demikian Borobudur ekspres yang melayani sejak tahun 1973 tetap mengantar penumpang dari Magelang sampai Muntilan hingga tahun 1978. Demikian juga dengan kereta Taruna ekspres yang khusus mengangkut Taruna Akmil ke Jogja otomatis terhenti dengan ambrolnya jembatan krasak ini. Taruna Ekspres sendiri diresmikan oleh Gurbernur Akmil Sarwo Edhi Wibowo pada tahun 1973 untuk melayani para Taruna Akmil yang berlibur ke Jogja.
Dengan kendala-kendala diatas maka berdampak juga terhadap aktivitas Kereta Api di sekitar Magelang. Pelan tapi pasti beberapa jalur Perkeretaapian di tutup. Jalur KA/spoorweg antara Parakan-Secang ditutup pada tahun 1973. Jalur Magelang-Ambarawa ditutup pada tahun 1967.
Demikian sedikit cerita tentang Perkeretaapian di Magelang dan sekitarnya. Masih banyak sejuta cerita di balik sang Raja Besi ini yang di alami oleh ratusan ribu orang yang pernah menyaksikan kehebatan di masa jayanya. Yang selalu akan menjadi kenangan khusus sepanjang hidup manusia.”……Ayo, naik kereta api tut…tut…tut, siapa hendak turut ke Bandung Surabaya…..”
Sumber :
https://kotatoeamagelang.wordpress.com/2013/01/30/sejarah-perkeretaapian-di-magelang-temanggung/
No comments:
Post a Comment