MAGELANG TEMPO DOELOE:
KISAH STUDIO FOTO & TUKANG POTRET (1)
KISAH STUDIO FOTO & TUKANG POTRET (1)
PENDAHULUAN
Fotografi memang bagaikan sebuah keajaiban yang di buat oleh manusia. Dengan fotografi manusia secara instant dapat mengabadikan dari sesuatu yang di lihatnya. Tidak dapat kita bayangkan jika dunia tanpa adanya fotografi, tentunya kita tidak dapat merekam sesuatu di masa lalu. Perkembangan fotografi saat ini luar biasa sekali. Dari yang semula berupa peralatan sederhana dan membutuhkan waktu yang lama dalam memotret, tapi sekarang dengan era digitalisasi segalanya dapat disesuaikan dengan selera kita.
Fotografi memang bagaikan sebuah keajaiban yang di buat oleh manusia. Dengan fotografi manusia secara instant dapat mengabadikan dari sesuatu yang di lihatnya. Tidak dapat kita bayangkan jika dunia tanpa adanya fotografi, tentunya kita tidak dapat merekam sesuatu di masa lalu. Perkembangan fotografi saat ini luar biasa sekali. Dari yang semula berupa peralatan sederhana dan membutuhkan waktu yang lama dalam memotret, tapi sekarang dengan era digitalisasi segalanya dapat disesuaikan dengan selera kita.
William Henry Fox Talbot pada kisaran tahun 1841 berhasil mematenkan temuannya berupa negative film yang dimana proses pencetakkan foto ini yang pernah kita kenal selama ini.
Lalu bagaimana ya dunia potret memotret ke Indonesia?
Setelah fotografi populer di Eropa, ternyata tidak lama kemudian merambah ke Indonesia. Orang-orang Eropa dengan berbagai macam tujuan membawa serta kamera Daguerrotype ke tanah air. Hal ini terjadi pada tahun 1841an. Pendatang Eropa mendominasi penguasaan alat fotografi ke Indonesia, lalu di ikuti oleh pendatang dari negeri Cina dan Jepang.
Pada jaman kejayaanya tercatat ada 540 studio foto di 75 kota besar dan kecil. Terdapat 315 nama Eropa, 186 nama Cina, 45 nama Jepang dan hanya terdapat 4 nama Indonesia. Yaitu Chepas di Jogja, A. Mohamad di Batavia, Sarto di Semarang dan Najoan di Ambon.
Sampai kini Kassian Chepas di nilai sebagai pemotret pertama Indonesia. Chepas mempunya studio foto di Loji Kecil (sekarang jalan Mayor Suryotomo). Chepas adalah pemotret resmi Kraton Jogjakarta. Selain memotret kerabat Kraton, Chepas juga memotret Candi Borobudur di Magelang.
Data di atas hanya di lakukan thd studio foto atau para pemotret yang menggunakan fotografi sebagai mata pencaharian saja. Menurut catatan Karen Strassler pada tahun 1924 di Bandung telah berdiri perkumpulan penggemar fotografi yang bernama PREANGER AMATEUR FOTOGRAFER VERENIGING. Klub foto ini beranggotakan orang-orang Belanda, Indonesia dan Cina. Ini artinya pada masa itu fotografph tidak hanya sebagai sumber mata pencaharian saja, akan tetapi juga sebagai hobi dan kesenangan.
Di Jogja pada awal tahun 1900-an juga terdapat orang Tionghoa yang memiliki hobi fotografi yang bernama Tan Gwat Bing. Jadi mungkin pada masa lalu dunia fotografi sangat mahal, maka kegiatan fotografi hanya dilakukan oleh kalangan terbatas saja. Entah itu warga Indonesia ataupun orang asing yang tinggal di Indonesia.
Di dalam dunia studio foto dan perdagangan peralatan fotografi pada umumnya orang Cina lebih mendominasi. Hal ini karena berkaitan dengan masalah ekonomi. Bagi mereka fotografi merupakan salah satu sumber lahan untuk mencari nafkah dimana bidang ini belum begitu banyak di geluti orang. Orang Cina yang menggeluti dunia studio foto masih berhubungan dengan kerabat mereka sesama Cina yang tinggal di Singapura.
Bagi mereka, fotografi adalah lapangan pekerjaan, bukan tujuan. Cukup menjadi tukang foto, bukan seniman foto. Alasan lain adalah begitu sederhananya teknologi pembuatan kamera dengan dasar camera obscura. Banyak orang Cina yang merantau ke Indonesia yang berasal dari Canton yang di kenal mempunyai keahlian dalam membuat mebel dari kayu.
(Bersambung)
Sumber ; Bagus Piiyana
No comments:
Post a Comment