AKU KEMBALI KE RUMAHKU SETELAH 76 TAHUN BERLALU
Oleh : Bagus Priyana
Kawan-kawan KOTA TOEA MAGELANG masih ingat denganku?
Iya aku Ivone Heintz, yang saat ini berada di Magelang. Aku kini tinggal di Roterdam, warga negara Belanda yang lahir di Magelang 83 tahun yang lalu. Cerita tentang hidupku sudah ku ceritakan di minggu lalu di grup ini. Semoga apa yang aku ceritakan bisa menjadi cerita menarik dari sebuah romantika kehidupanku ini.
Rabu siang ini (24/1) aku bersama Franky Heintz (adik tiriku), Robert Prayogo (keponakan, anak dari adik perempuanku, tinggal di Losmenan) dan di temani oleh Bagus berupaya mencari rumah yang dulu pernah menjadi tempat tinggalku di Botton 3 (Botton Nambangan). Dulu di rumah ini aku di asuh oleh omaku (nenek) yang bernama Catrien Heintz saat aku berumur 6 bulan hingga 7 tahun sampai tahun 1942, saat Jepang masuk ke Magelang.
Deretan rumah berjajar di sepanjang jalan, tidak mampu menggugah ingatanku meski ada 1 atau 2 rumah masih terlihat keasliannya.
Bagus memberi informasi jika dulu di kampung ini banyak orang Indo yang tinggal di sini. Sehingga adakalanya ada orang keturunan Indo yang berkunjung di kampung ini.
Ah, rupanya daya memoriku kurang begitu baik untuk mengingat masa kecilku dulu. Benar-benar mampet.
Harapanku, sebelum aku kembali ke Belanda 31 Januari mendatang, aku sudah bisa menemukan rumahku dulu.
Bagus mengajakku ke rumah Oma Mary di bilangan pojok Botton Nambangan. Oma Mary berusia 86 tahun, ayahnya seorang tentara KNIL bermarga Hinihulu. Yang mana Hinihulu ini berasal dari Flores, tetapi Oma Mary sendiri lahir di Magelang.
Saya senang bisa bertemu dengan Oma Mary, apalagi daya ingatnya juga masih baik meski ada beberapa hal yang lupa. Wajar saja karena usianya sudah lanjut
Dengan dibantu oleh keponakannya yang bernama Rita, proses komunikasi berjalan. Aku bercerita tentang hidupku yang dulu pernah tinggal di Botton Nambangan di tahun 1935 hingga 1942.
Iya aku Ivone Heintz, yang saat ini berada di Magelang. Aku kini tinggal di Roterdam, warga negara Belanda yang lahir di Magelang 83 tahun yang lalu. Cerita tentang hidupku sudah ku ceritakan di minggu lalu di grup ini. Semoga apa yang aku ceritakan bisa menjadi cerita menarik dari sebuah romantika kehidupanku ini.
Rabu siang ini (24/1) aku bersama Franky Heintz (adik tiriku), Robert Prayogo (keponakan, anak dari adik perempuanku, tinggal di Losmenan) dan di temani oleh Bagus berupaya mencari rumah yang dulu pernah menjadi tempat tinggalku di Botton 3 (Botton Nambangan). Dulu di rumah ini aku di asuh oleh omaku (nenek) yang bernama Catrien Heintz saat aku berumur 6 bulan hingga 7 tahun sampai tahun 1942, saat Jepang masuk ke Magelang.
Aku dengan Franky yang menemaniku mencari rumahku di Kampung Botton Nambangan, Kota Magelang
Aku tiba di depan SMPN 1, rupanya Bagus sudah menungguku di depan gang Botton Nambangan yang kini bernama Jl. Merpati.
Suasana mendung menggelayuti langit Magelang. Terus terang hatiku merasa tidak karuan, jantungku pun terasa lebih kencang berdebar. Bagaimana tidak, saat ini aku akan mencari rumahku dulu, yang pernah ku tinggali 76 tahun yang lalu.
Aku menelusuri gang kecil yang lebarnya cuma selebar mobil saja. Aku tidak begitu ingat lagi dengan kondisi gang kecil ini.
Aku tiba di depan SMPN 1, rupanya Bagus sudah menungguku di depan gang Botton Nambangan yang kini bernama Jl. Merpati.
Suasana mendung menggelayuti langit Magelang. Terus terang hatiku merasa tidak karuan, jantungku pun terasa lebih kencang berdebar. Bagaimana tidak, saat ini aku akan mencari rumahku dulu, yang pernah ku tinggali 76 tahun yang lalu.
Aku menelusuri gang kecil yang lebarnya cuma selebar mobil saja. Aku tidak begitu ingat lagi dengan kondisi gang kecil ini.
Deretan rumah berjajar di sepanjang jalan, tidak mampu menggugah ingatanku meski ada 1 atau 2 rumah masih terlihat keasliannya.
Bagus memberi informasi jika dulu di kampung ini banyak orang Indo yang tinggal di sini. Sehingga adakalanya ada orang keturunan Indo yang berkunjung di kampung ini.
Ah, rupanya daya memoriku kurang begitu baik untuk mengingat masa kecilku dulu. Benar-benar mampet.
Harapanku, sebelum aku kembali ke Belanda 31 Januari mendatang, aku sudah bisa menemukan rumahku dulu.
Aku berada di simpang jalan Kampung Botton Nambangan
PENCARIAN DI KAMPUNG BOTTON
Untuk mencari rumahku yang dulu rupanya memang tidak mudah. Bukan hanya karena kondisi dulu dengan kini sudah berubah banyak, akan tetapi juga daya ingatku juga sudah menurun.
Untuk mencari rumahku yang dulu rupanya memang tidak mudah. Bukan hanya karena kondisi dulu dengan kini sudah berubah banyak, akan tetapi juga daya ingatku juga sudah menurun.
Bagus mengajakku ke rumah Oma Mary di bilangan pojok Botton Nambangan. Oma Mary berusia 86 tahun, ayahnya seorang tentara KNIL bermarga Hinihulu. Yang mana Hinihulu ini berasal dari Flores, tetapi Oma Mary sendiri lahir di Magelang.
Saya senang bisa bertemu dengan Oma Mary, apalagi daya ingatnya juga masih baik meski ada beberapa hal yang lupa. Wajar saja karena usianya sudah lanjut
Dengan dibantu oleh keponakannya yang bernama Rita, proses komunikasi berjalan. Aku bercerita tentang hidupku yang dulu pernah tinggal di Botton Nambangan di tahun 1935 hingga 1942.
Menemui Oma Martha [tengah] yang didampingi oleh Rita [anak Oma Marry, kanan]
Ku coba menanyakan, apakah Oma Mary ingat dengan omaku yang bernama Cristhine Heintz.
Mary mengatakan padaku jika di Botton Nambangan ini lebih banyak orang dari daerah Flores dan Timor yang dulu tinggal. Jika orang Ambon lebih banyak tinggal di Wates, sedangkan orang Menado di Ngentak.
Aku mengatakan tentang silsilah keluarga ku padanya bahwa papaku berdarah orang Eropa dan mamaku asli berdarah Jawa dan dulu tinggal di Glagah, Banjarnegoro.
Mary mengatakan sekali lagi jika tetangga nya lebih banyak orang yang berasal dari Indonesia Timur khususnya Flores dan Timor. Ku sampaikan ke Mary bahwa rumahku dulu dekat tangga yang bawahnya terdapat sebuah sungai kecil.
Haduh… Rupanya informasi dari Mary belum sepenuhnya memuaskan ku.
Mary mencoba menenangkanku agar aku berkunjung ke Oma Martha di Botton Tengah. Katanya, Oma Martha berusia sepantaran dia dan sejak lahir tinggal di Botton. Barangkali Oma Martha bisa membantu proses pencarian rumahku, begitu kata Oma Mary.
Ku coba menanyakan, apakah Oma Mary ingat dengan omaku yang bernama Cristhine Heintz.
Mary mengatakan padaku jika di Botton Nambangan ini lebih banyak orang dari daerah Flores dan Timor yang dulu tinggal. Jika orang Ambon lebih banyak tinggal di Wates, sedangkan orang Menado di Ngentak.
Aku mengatakan tentang silsilah keluarga ku padanya bahwa papaku berdarah orang Eropa dan mamaku asli berdarah Jawa dan dulu tinggal di Glagah, Banjarnegoro.
Mary mengatakan sekali lagi jika tetangga nya lebih banyak orang yang berasal dari Indonesia Timur khususnya Flores dan Timor. Ku sampaikan ke Mary bahwa rumahku dulu dekat tangga yang bawahnya terdapat sebuah sungai kecil.
Haduh… Rupanya informasi dari Mary belum sepenuhnya memuaskan ku.
Mary mencoba menenangkanku agar aku berkunjung ke Oma Martha di Botton Tengah. Katanya, Oma Martha berusia sepantaran dia dan sejak lahir tinggal di Botton. Barangkali Oma Martha bisa membantu proses pencarian rumahku, begitu kata Oma Mary.
BERTEMU OMA MARTHA
Rumah Oma Martha tidak begitu jauh dari rumah Tante Mary, kira-kira berjalan 10 menit. Selama perjalanan, aku berusaha membuka memoriku tentang kampungku yang pernah ku tinggalkan 76 tahun yang lalu.
Di pojok dekat sungai kecil masih ku lihat 2 rumah lama, di sebelah dan depannya sudah bangunan baru. Yang aku ingat ada susunan tangga menurun menuju sungai (Kali Bening) di bawah. Tapi sayangnya tangga itu sudah hilang berganti dengan jalan beraspal.
Rumah Oma Martha tidak begitu jauh dari rumah Tante Mary, kira-kira berjalan 10 menit. Selama perjalanan, aku berusaha membuka memoriku tentang kampungku yang pernah ku tinggalkan 76 tahun yang lalu.
Di pojok dekat sungai kecil masih ku lihat 2 rumah lama, di sebelah dan depannya sudah bangunan baru. Yang aku ingat ada susunan tangga menurun menuju sungai (Kali Bening) di bawah. Tapi sayangnya tangga itu sudah hilang berganti dengan jalan beraspal.
Berfoto bersama dengan Oma Martha [tengah] dan adikku Franky [kanan]
Rumah Oma Martha berada tepat di selatan Ambonsche School (kini SMPN 4), melewati sebuah gang sempit sekali. Jika berjalan berpapasan, salah seorang harus ada yang mengalah.
Rumah Oma Martha sangat asri, deretan bunga dan tanaman hias menyapa di halaman depan. Bangunannya pun juga terkesan nyaman meski berada di gang sempit.
Oma Martha bermarga/fam Sengkei, asli dari Manado tetapi lahir di Magelang tahun 1929. Suaminya bermarga Gozal. Rambut Oma Martha tampak memutih pendek, sama putihnya dengan rambutku.
Di rumah yang di tinggalinya kini merupakan rumah dari masa kecilnya hingga beranjak senja kini.
Saat bertemu dengannya, kami berbicara dengan bahasa Belanda. Wow, Oma Martha masih fasih berbicara dengan bahasa Wolanda. Rupanya Oma Martha ini dulu sekolah di Ambonsche School dari usia 6 tahun hingga 13 tahun (1935-1942) yang mana di sekolah ini memakai bahasa pengantar untuk pelajaran sekolah adalah Bahasa Belanda. Ambonsche School ini kini menjadi SMPN 4 yang terletak cuma beberapa puluh meter ke arah utara dari rumahnya.
Sungguh senang rasanya hatiku berkenalan dengannya. Di usianya yang sudah 89 tahun tampak bugar dengan memori yang masih terjaga dengan baik.
Saya ceritakan kisah hidupku dimana di masa kecilku dulu tinggal di Botton 3 (Botton Nambangan). Dimana rumahku dulu ini bertetangga dengan Porteer, Boshard, Huwaij dan Groen.
Nah Groen inilah yang memiliki rumah yang ku tinggali dulu.
Rumah Oma Martha berada tepat di selatan Ambonsche School (kini SMPN 4), melewati sebuah gang sempit sekali. Jika berjalan berpapasan, salah seorang harus ada yang mengalah.
Rumah Oma Martha sangat asri, deretan bunga dan tanaman hias menyapa di halaman depan. Bangunannya pun juga terkesan nyaman meski berada di gang sempit.
Oma Martha bermarga/fam Sengkei, asli dari Manado tetapi lahir di Magelang tahun 1929. Suaminya bermarga Gozal. Rambut Oma Martha tampak memutih pendek, sama putihnya dengan rambutku.
Di rumah yang di tinggalinya kini merupakan rumah dari masa kecilnya hingga beranjak senja kini.
Saat bertemu dengannya, kami berbicara dengan bahasa Belanda. Wow, Oma Martha masih fasih berbicara dengan bahasa Wolanda. Rupanya Oma Martha ini dulu sekolah di Ambonsche School dari usia 6 tahun hingga 13 tahun (1935-1942) yang mana di sekolah ini memakai bahasa pengantar untuk pelajaran sekolah adalah Bahasa Belanda. Ambonsche School ini kini menjadi SMPN 4 yang terletak cuma beberapa puluh meter ke arah utara dari rumahnya.
Sungguh senang rasanya hatiku berkenalan dengannya. Di usianya yang sudah 89 tahun tampak bugar dengan memori yang masih terjaga dengan baik.
Saya ceritakan kisah hidupku dimana di masa kecilku dulu tinggal di Botton 3 (Botton Nambangan). Dimana rumahku dulu ini bertetangga dengan Porteer, Boshard, Huwaij dan Groen.
Nah Groen inilah yang memiliki rumah yang ku tinggali dulu.
Oma Martha mencoba mencerna apa yang aku ceritakan dan mencoba mengingat-ingat beberapa nama yang aku sampaikan tadi. Oma Martha membenarkan jika gang sebelah barat rumahnya dulu banyak tinggal warga Indo. Dan nama-nama tetanggaku dulu juga masih di ingat dengan baik oleh Oma Martha.
Aku takjub dan sungguh beruntung bisa bertemu dengannya. Ah sungguh suatu hal yang tidak pernah ku duga jika masih ada yang memberiku sebuah harapan dan pencerahan untuk mencari jejak rumahku dulu.
Rasanya tidak sabar lagi aku ingin menuju ke rumah di masa kecilku dulu. Ingin segera menumpahkan kerinduanku. Tapi apa daya karena hujan di siang itu dan pembicaraan yang begitu hangat membuatku harus sedikit kompromi.
Sebelum pamitan, aku sempatkan untuk berfoto bersama di depan rumah dengan Oma Martha (tengah) & Franky Heints (kanan). Terima kasih banyak aku sampaikan kepada Oma Martha yang sudah membantuku. Semoga di lain waktu kita masih bisa bertemu lagi.
Aku takjub dan sungguh beruntung bisa bertemu dengannya. Ah sungguh suatu hal yang tidak pernah ku duga jika masih ada yang memberiku sebuah harapan dan pencerahan untuk mencari jejak rumahku dulu.
Rasanya tidak sabar lagi aku ingin menuju ke rumah di masa kecilku dulu. Ingin segera menumpahkan kerinduanku. Tapi apa daya karena hujan di siang itu dan pembicaraan yang begitu hangat membuatku harus sedikit kompromi.
Sebelum pamitan, aku sempatkan untuk berfoto bersama di depan rumah dengan Oma Martha (tengah) & Franky Heints (kanan). Terima kasih banyak aku sampaikan kepada Oma Martha yang sudah membantuku. Semoga di lain waktu kita masih bisa bertemu lagi.
SETELAH 76 TAHUN BERLALU
Aku bergegas menuju ke arah yang di tunjukkan oleh Oma Martha, rasanya tidak sabar lagi aku “kembali” ke rumahku dulu. Franky, Robert & Bagus berjalan di belakangku, seolah ingin ku tinggalkan mereka. Kenapa mereka berjalan begitu lambat?
Sebuah gang kecil beraspal membujur dari timur ke barat, lebar gang sekitar 1,5 meter dengan agak menurun ke barat. Ada selokan di tiap sisinya. Ada beberapa rumah di sini tapi sayangnya sudah kehilangan keasliannya. Gang kecil ini tembus ke Botton Gang Waluyo.
Karena saking semangatnya, aku malah berjalan sedikit kebablasan melewati rumahku. Untung saja Bagus segera mengingatkanku jika kita sudah sampai di rumah yang di cari.
Duh. Terasa makin keras debaran jantungku. Aku menatap nanar sebuah rumah di kanan gang kecil ini.
Aku bergegas menuju ke arah yang di tunjukkan oleh Oma Martha, rasanya tidak sabar lagi aku “kembali” ke rumahku dulu. Franky, Robert & Bagus berjalan di belakangku, seolah ingin ku tinggalkan mereka. Kenapa mereka berjalan begitu lambat?
Sebuah gang kecil beraspal membujur dari timur ke barat, lebar gang sekitar 1,5 meter dengan agak menurun ke barat. Ada selokan di tiap sisinya. Ada beberapa rumah di sini tapi sayangnya sudah kehilangan keasliannya. Gang kecil ini tembus ke Botton Gang Waluyo.
Karena saking semangatnya, aku malah berjalan sedikit kebablasan melewati rumahku. Untung saja Bagus segera mengingatkanku jika kita sudah sampai di rumah yang di cari.
Duh. Terasa makin keras debaran jantungku. Aku menatap nanar sebuah rumah di kanan gang kecil ini.
Rumah masa kecilku dulu
Sebuah rumah bergaya tradisional dengan dinding tembok menghadap ke selatan. Rumah tertutup karena pemiliknya tidak ada di rumah. Dengan pagar tembok dengan pintu besi tertutup.
Aku tertegun cukup lama, aku berusaha untuk menggali lebih dalam kepingan memoriku di masa kecilku dulu.
Rumah ini sudah jauh berubah dari saat ku tempati dulu. Tentu saja, 76 tahun bukanlah waktu yang pendek untuk sebuah cerita kehidupan.
Sebuah payung yang melindungi tubuh tuaku dari guyuran gerimis, seolah menjadi saksi buatku hari ini.
Aku masih ingat, rumahku dulu cuma berdinding bambu atau gedek saja. Pun dengan pagar depan juga dari bambu.
Di halaman sisi kanan tertanam pohon Jeruk Bali. Di sisi kiri tertanam pohon Jeruk Nipis, daun mangkokan dan pandan.
Aku masih ingat betul itu.
Di depan rumah ada selokan di kiri kanan gang. Air selalu mengalir setiap waktu. Aku suka sekali bermain-main di selokan itu.
Di samping rumah ada gang kecil menuju ke utara yang tembus hingga rumah tetangga.
Ah, sebenarnya aku tak mampu menahan emosiku. Rasanya aku ingin menangis haru bahagia. Di rumah ini, sebuah kisah suka duka terpatri di masa kecilku dulu (1935-1942). Masa kecil yang takkan pernah aku lupakan.
Gerimis sore itu seperti tahu tentang perasaanku.
Di rumah ini, omaku mengasuhku. Sedangkan mama papaku tinggal di Glagah. Omaku begitu sayang padaku.
Terima kasih Tuhan, Engkau mengabulkan doaku. Walaupun baru terkabul setelah 76 tahun. Engkau mengabulkan permintaanku walaupun di saat aku sudah beranjak senja.
Dan gerimis sore inipun masih mengiringi perjalananku.
Sebuah rumah bergaya tradisional dengan dinding tembok menghadap ke selatan. Rumah tertutup karena pemiliknya tidak ada di rumah. Dengan pagar tembok dengan pintu besi tertutup.
Aku tertegun cukup lama, aku berusaha untuk menggali lebih dalam kepingan memoriku di masa kecilku dulu.
Rumah ini sudah jauh berubah dari saat ku tempati dulu. Tentu saja, 76 tahun bukanlah waktu yang pendek untuk sebuah cerita kehidupan.
Sebuah payung yang melindungi tubuh tuaku dari guyuran gerimis, seolah menjadi saksi buatku hari ini.
Aku masih ingat, rumahku dulu cuma berdinding bambu atau gedek saja. Pun dengan pagar depan juga dari bambu.
Di halaman sisi kanan tertanam pohon Jeruk Bali. Di sisi kiri tertanam pohon Jeruk Nipis, daun mangkokan dan pandan.
Aku masih ingat betul itu.
Di depan rumah ada selokan di kiri kanan gang. Air selalu mengalir setiap waktu. Aku suka sekali bermain-main di selokan itu.
Di samping rumah ada gang kecil menuju ke utara yang tembus hingga rumah tetangga.
Ah, sebenarnya aku tak mampu menahan emosiku. Rasanya aku ingin menangis haru bahagia. Di rumah ini, sebuah kisah suka duka terpatri di masa kecilku dulu (1935-1942). Masa kecil yang takkan pernah aku lupakan.
Gerimis sore itu seperti tahu tentang perasaanku.
Di rumah ini, omaku mengasuhku. Sedangkan mama papaku tinggal di Glagah. Omaku begitu sayang padaku.
Terima kasih Tuhan, Engkau mengabulkan doaku. Walaupun baru terkabul setelah 76 tahun. Engkau mengabulkan permintaanku walaupun di saat aku sudah beranjak senja.
Dan gerimis sore inipun masih mengiringi perjalananku.
Rumah masa kecilku dulu
RUMAHKU.
Rumah yang ku tinggali ini sebenarnya bukan milik omaku, omaku menyewa dari seorang wanita bernama Groen. Tapi tidak menyewa 1 rumah karena di rumah ini juga ada 2 keluarga yang tinggal yaitu keluarga Leifheit dan Wals. Mereka juga menyewa kamar lain di rumah ini. Jadi dalam 1 rumah ada 3 keluarga yang tinggal.
Rumah yang ku tinggali ini sebenarnya bukan milik omaku, omaku menyewa dari seorang wanita bernama Groen. Tapi tidak menyewa 1 rumah karena di rumah ini juga ada 2 keluarga yang tinggal yaitu keluarga Leifheit dan Wals. Mereka juga menyewa kamar lain di rumah ini. Jadi dalam 1 rumah ada 3 keluarga yang tinggal.
Bersama Franky di depan rumahku dulu
Ah sungguh ramainya rumah ini, terlebih masing-masing keluarga juga memiliki anak kecil sepantaran denganku. Aku biasa bermain dengan mereka.
Sedangkan Mevrouv/Nyonya Groen tinggal tidak jauh di rumah ini, hanya beberapa puluh meter di barat rumah yang kami sewa ini.
Groen ini seorang wanita Belanda yang sungguh unik karena selalu memakai kebaya berwarna putih dan bersarung untuk bagian bawahnya. Lebih terlihat anggun lagi karena Groen memakai sanggul.
Keseharian Groen ini menjual bubur dan gorengan di depan rumahnya. Pelanggannya tentu saja tetangga di sekitar rumahnya.
Groen memiliki anak perempuan yang bernama Lien, entah siapa nama lengkapnya. Tapi kami biasanya memanggil dengan nama Lien.
Aku masih ingat dengan nama tetanggaku yang lain, di antaranya Portier, Boshard dan Huwaij.
Ah andaikan anak-anak mereka masih hidup, tentunya akan menyenangkan sekali kami bisa bernostalgia.
Sedangkan Mevrouv/Nyonya Groen tinggal tidak jauh di rumah ini, hanya beberapa puluh meter di barat rumah yang kami sewa ini.
Groen ini seorang wanita Belanda yang sungguh unik karena selalu memakai kebaya berwarna putih dan bersarung untuk bagian bawahnya. Lebih terlihat anggun lagi karena Groen memakai sanggul.
Keseharian Groen ini menjual bubur dan gorengan di depan rumahnya. Pelanggannya tentu saja tetangga di sekitar rumahnya.
Groen memiliki anak perempuan yang bernama Lien, entah siapa nama lengkapnya. Tapi kami biasanya memanggil dengan nama Lien.
Aku masih ingat dengan nama tetanggaku yang lain, di antaranya Portier, Boshard dan Huwaij.
Ah andaikan anak-anak mereka masih hidup, tentunya akan menyenangkan sekali kami bisa bernostalgia.
Gang kecil di sebelah rumahku dulu, jalan kecil ini yang menjadi saksi kenakalanku
AKHIR PERJALANAN
Dari 7 kali perjalanan ku ke Magelang, baru kunjungan di tahun ini yang paling berkesan. Tentu saja kunjungan pertama kali saat bertemu dengan adik-adikku di tahun 1989 di atas semuanya.
Dari 7 kali perjalanan ku ke Magelang, baru kunjungan di tahun ini yang paling berkesan. Tentu saja kunjungan pertama kali saat bertemu dengan adik-adikku di tahun 1989 di atas semuanya.
Gang kecil ini menuju ke rumahku, sedang di sana adalah tempat jualan Tante Groen
Perjalanan yang begitu indah buatku. Terlebih sesudah 76 tahun aku meninggalkan rumah masa kecilku ini. Kenangan yang teramat luar biasa dan takkan pernah bisa ku lupakan.
Tuhan mengabulkan permintaanku untuk bisa berkunjung ke rumah ini.
Harapanku untuk bisa menemukan, akhirnya terwujud sebelum aku pulang ke Belanda akhir Januari ini.
Kepada para pembaca setia di grup KOTA TOEA MAGELANG ini, saya ucapkan banyak terima kasih. Semoga bisa mengambil hikmah dari kisah hidupku ini.
Terima kasih banyak buat Bagus yang sudah membantuku.
Perjalanan yang begitu indah buatku. Terlebih sesudah 76 tahun aku meninggalkan rumah masa kecilku ini. Kenangan yang teramat luar biasa dan takkan pernah bisa ku lupakan.
Tuhan mengabulkan permintaanku untuk bisa berkunjung ke rumah ini.
Harapanku untuk bisa menemukan, akhirnya terwujud sebelum aku pulang ke Belanda akhir Januari ini.
Kepada para pembaca setia di grup KOTA TOEA MAGELANG ini, saya ucapkan banyak terima kasih. Semoga bisa mengambil hikmah dari kisah hidupku ini.
Terima kasih banyak buat Bagus yang sudah membantuku.
Aku di apit oleh Franky [kiri] dan Bagus Priyana [kanan]
Ini foto bersama denganmu sesudah selesai pencarian rumahku di Botton Nambangan.
Good bless you. Semoga kita bisa bertemu lagi dalam suasana yang lebih baik.
(TAMAT)
Ini foto bersama denganmu sesudah selesai pencarian rumahku di Botton Nambangan.
Good bless you. Semoga kita bisa bertemu lagi dalam suasana yang lebih baik.
(TAMAT)
Sumber : https://kotatoeamagelang.wordpress.com/2018/03/29/aku-kembali-ke-rumahku-setelah-76-tahun-berlalu/
No comments:
Post a Comment