Bunga Bangkai setinggi 335 cm, tahun 1915.
📸 KIT LV
.... berani menjalani kehidupan, adalah sebuah konsekuensi untuk ikut membangun sebuah peradaban yang lebih bertanggung jawab ...
Buk Sêlèn, Juritan Kidul, dulu & kini
Oleh : Cahyono Edo Santosa
'Buk Sêlèn' demikian orang Magelang menyebutnya. 'Buk' dari kata 'boog' yang bermakna bangunan pelengkap yang dibangun di kedua sisi ujung jembatan yang berfungsi sebagai pengaman bagi kendaraan atau orang yang melewati jembatan. Sedangkan 'sêlèn' dalam bahasa Jawa berarti 'berbeda', karena memang ukuran 'buk' di lokasi ini berbeda ukurannya antara kanan kirinya. Nah, ngalor sithik, ada pasar Ngasem yang buat saya pribadi menyimpan berjuta kenangan. Termasuk buru-buru pulang waktu diajak Mak saya belanja, gara-gara takut dengan pengamen 'wadam'. 😆
📷 : Arsip Kota (1982), Streetview (2022)
Oleh : Didik Supramono
Nganti lali rupa'ku ki koyo opo, 40 thn yang lampau...
SMP A.Yani Pancaarga Magelang di Kejurnas Drumband di Jakarta 1982
(Duduk dari kiri No 4)
Oleh : Sigit Leksmono Widiarto
Dirgahayu 65th Akmil, 20 tahun tinggal di Asmil Mujen / Panca arga.
Mujen home sweet home ..... banyak cerita di sini... dari balita hingga dewasa bareng teman - teman sebaya hingga senior - senior mujen / panca arga. Sampai sekarang aja ada yg masih ingat nama panggilan ku waktu kecil. Suatu hari pas lagi berdiri di jalan... ada ex panca arga... memanggil.... ko prangko... lah lak tenan... sing manggil teman kakak saya ( mas argo) ... paraban prangko hanya teman2 panca arga yg tau, di panggil prangko sebab anaknya bu sur panca arga, ibu ku idolanya Lulu Lestary waktu kecil. Waktu lulu kecil suka ke tempat ibu kalau lagi bekerja... seperti yang diceritakan kakaknya lulu, mas sangkan.. lulu bercita - cita ingin seperti bu sur.
Potret seorang perempuan dan laki-laki di Batavia, masing-masing memainkan gambang kromong dan rebab sekitar tahun 1870.
📸 Woodbury & Page, Leiden.
Pasti tak asing lagi dengan nama DE KOCK.
Apakah ada yang pernah melihat monumen ini?
Oleh : Eva Mentari Christoph
Mirip seperti monumen peringatan atas kematian istri Raffles yang terletak di dalam area Kebun Raya Bogor, monumen semacam itu juga didirikan di halaman rumah residen Kedu sebagai monumen peringatan atas kematian istri de Kock, yaitu Wilmine Louise Gertruide von Bilfinger yang meninggal di Magelang tanggal 28 Desember 1828. Makamnya sendiri terletak di oude begraafplaats.
Pejabat Belanda, mungkin Mr. Kornmann, dan seorang kepala desa di jalan antara Painan dan Padang.
Tahun 1910. Author/creator : Mew Fong.
Potret tiga orang wanita Melayu di Batavia, kemungkinan bekerja sebagai pelayan sekitar tahun 1870.
📸 Woodbury & Page, Leiden.
Potret suasana jalan Malioboro, Yogyakarta, pada tahun 1910.
-----
Sumber Foto 📸 : KITLV Leiden
Oleh : @potret.sejarahindonesia
Potret suasana jalan dengan pejalan kaki, di latar belakang Huize Dorothea, Bandung, Jawa Barat, sekitar tahun 1937.
-----
Sumber Foto 📸 : Nederlands Fotomuseum
Oleh : Potret Sejarah Indonesia
Potret keluarga G.M.G. Douwes Dekker di depan sebuah rumah di Bataviascheweg, Buitenzorg, sekitar tahun 1937-1942
-----
Sumber Foto 📸 : O.Hisgen & Co
Oleh : Potret Sejarah Indonesia
Potret seorang wanita Eropa berkebaya bersama seekor anjingnya, kemungkinan di Jawa Barat, sekitar tahun 1919.
-----
Sumber Foto 📸 : KITLV Leiden
Oleh : Potret Sejarah Indonesia
Dulu : Kerkhoff/Kuburan Kristen Magelang (1983)
Kini : Jl. Ikhlas (2022)
Oleh : Cahyono Edo Santosa
📷 : Arsip Kota (1983), Streetview (2022)
kiri foto th 2022 kanan th 2015 jl. tentara pelajar kota magelang
Oleh : Adhi Prasetya
Sumber: GoogleMaps strertviev
Potret seorang jaksa di Bandung menunggang kuda sebelum tahun 1863. Gambar ini dapat ditemukan dalam buku berjudul "Journey to and over Java with the Overland-Maildienst der Messageries Imperiales" karys F. Lebret dan J.H. Lebret hlm. 280 dan 281.
📸 Woodbury & Page, Leiden.
Oleh : Eva Mentari Christoph
Ketemu juga lokasi pemakaman Pastur Verbraak. Dimakamkan di nieuwe Begraafplaats aan den grooten weg naar Djokjakarta, 1e Afdeeling Vak III. Alias Kerkhof bukit Tidar Magelang bukan di Muntilan
Gereja Kristus Penebus, Magelang (1985)
Gereja Kristus Penebus dirintis pada tahun 1973, digembalai oleh bapak Pdt. Dr. Timothy Roy Kartiko, MA beserta sang istri ibu Pdt. Lea Sinta Tedjowati, MA. Gereja ini dapat dijumpai di Jln. Sunan Kalijaga 5-7, Kota Magelang.
Menurut Pdt. Timothy Roy, bangunan gereja ini diarsiteki oleh Bpk. Ir. Andy Hidayat (pemilik foto) dengan desain menyerupai kapal Toraja yang mengejawantah filosofi bahtera nabi Nuh yang menyelamatkan jiwa-jiwa dari hukuman Tuhan di akhir jaman.
📷 : Ir. Andi Hidayat
ASAL USUL NAMA DAWET AYU
Bagi para pecinta kuliner, khususnya kuliner jalanan, pasti tidak asing dg nama Banjarnegara. Ya, Banjarnegara menjadi lebih dikenal di luar sana, salah satunya akibat kuliner minuman legendaris asal Banjarnegara, Dawet Ayu. Dimana Yg pada tahun 2020, berhasil memenangkan 2 Anugerah Pesona Indonesia kategori Minuman Tradisional Terpopuler dan Terfavorit.
Dawet ayu sendiri merupakan minuman tradisional enak, menyegarkan, yg bulirannya terbuat dari tepung beras yg diberi pewarna hijau alami dari perasan pandan. Kemudian, dalam satu gelas itu umumnya bercampur dg santan, gula merah cair, serta tambahan es batu, agar lebih menyegarkan.
Sekilas memang nampak seperti Cendol, yg berasal dari Jawa Barat. Namun, jika lebih diperhatikan, ada beberapa perbedaan diantara keduanya.
Dawet ayu umumnya memiliki buliran yg terbuat dari tepung beras. Sedangkan cendol, umumnya terbuat dari tepung hungkwe atau tepung kacang hijau.
Lantas, Mengapa Ada embel-embel kata Ayu dibelakangnya?
Ayu merupakan kata dalam Bahasa Jawa yg berarti cantik. Namun, ada beberapa cerita sejarah mengenai penamaan dawet ayu pada minuman khas Banjarnegara itu.
Dikutip dari cagarbudayambanjar.id, awalnya tidak ada istilah dawet ayu, yg ada hanyalah dawet. Saat itu, umumnya kaum adamlah yg berprofesi sebagai penjual dawet. Hal ini karena cara menjual dawet saat itu, dg cara dipikul, yg tentunya akan sulit jika dilakukan oleh kaum hawa.
Adalah Bapak Munarjo, penjual dawet Banjarnegara yg berhasil mengubah dunia perdawetan Banjarnegara. Saat itu, ia mengubah cara menjual dawet yg biasa dipikul menjadi mangkal. Pada awalnya, ia mangkal di depan losmen setia Jalan Veteran Banjarnegara, dg ditemani istrinya yg bernama Marfuah.
Pelawak Peyang Penjol asal Banyumas yg kala itu mampir di warung dawet Bapak Munarjo, berujar: "Pantes Sing dodol ayu, ya dijenengi bae Dawet Ayu."
Lantas, grup lawak itu membuat lagu berjudul Dawet Ayu tanpa sepengetahuan Bapak Munarjo dan istrinya. Lagu itu, sering dinyanyikan Peyang Penjol di sela-sela lawakannya.
Hingga akhirnya, Warung Dawet Bapak Munarjo dan istrinya itu dikenal dg sebutan Dawet Ayu, yg terkenal hingga se-antero Banyumas Raya. Di kemudian hari, hampir seluruh penjual dawet mengklaim sebagai Dawet Ayu Banjarnegara.
Kini, Hasil kreasi Keluarga Bapak Munarjo itu telah merambah di berbagai wilayah di Nusantara, hingga mempopulerkan daerah nya, Banjarnegara.
Referensi: Dari Berbagai Sumber.
📷: © iqbalkautsar
Potret seorang pria kerdil di Keraton Surakarta sekitar tahun 1870. Sang pemotret menyebutnya Liliputan. Liliputan adalah manusia berukuran tubuh kerdil, konon manusia Liliputan memiliki sifat serakah, cemburu, manipulatif, licik, kejam, egois, dan tidak dapat dipercaya. Manusia Liliputan banyak ditemukan di Pulau Lilliput, yang terletak di Samudera Hindia.
📸 Woodbury & Page, Leiden.
Potret pernikahan Raden Mas Hendraningrat, asisten wedana di Teluknaga, Tangerang dengan Raden Ajoe Sitti Hairani, Ca.1908
-----
Sumber Foto 📸 : Nederlands Fotomuseum
Oleh : Potret Sejarah Indonesia
Potret seorang pengantin wanita dari Priyangan, Jawa Barat, Ca.1906
-----
Sumber Foto 📸 : KITLV Leiden
Oleh : Potret Sejarah Indonesia
Potret seorang pedagang Tionghoa dan pria Jawa saat berdagang bersama di Pulau Jawa sekitar tahun 1870.
📸 Woodbury & Page, Leiden.
Potret seorang Tionghoa yang bekerja sebagai tukang kunci di Batavia sekitar tahun 1870.
📸 Woodbury & Page, Leiden.
Tradisi Nyadran di Kompleks Makam Kyai Tuk Songo yang berada tidak jauh dari aliran Kali Progo, Cacaban, Kota Magelang, secara rutin dilaksanakan pada hari Jum'at Pon pada Bulan Besar. Apabila dalam Bulan Besar tidak ada hari Jum'at Pon , maka Nyadran dilaksanakan pada hari Jum'at Kliwon Tradisi Nyadran (Merti Desa) diselenggarakan di kompleks makam Kyai Tuk Songo di wilayah Kelurahan Cacaban, tepatnya dipinggir sungai progo pada setiap hari Jumat Pon Bulan Dzulhijah dengan membersihkan makam, membaca tahlil, dan terakhir makan bersama dengan masakan khas "Gulai Kambing" yang dimasak masyarakat dan pantang untuk dicicipin. Upacara ini dipercayakan masyarakat sebagai "tameng " dari segala bencana.
Potret sejumlah pria bermain kartu Cina di Jawa Tengah sekitar tahun 1910.
📷 digitalcollections.universiteitleiden
Potret tiga orang wanita Tionghoa yang berprofesi sebagai penari di Jawa Timur sekitar tahun 1910.
📷 digitalcollections.universiteitleiden
Potret dua isteri Raja Buleleng: Jero Trena dan I Jampiring tahun 1865.
📷 digitalcollections.universiteitleiden
Potret studio dua orang wanita Sunda berkebaya, di Jawa Barat [Nederlands-Indië], Ca.1880
-----
Sumber Foto 📸 : KITLV Leiden
Oleh : Potret Sejarah Indonesia
TEMPE KEMUL
Tempe Kemul merupakan kuliner khas daerah Wonosobo dan sekitarnya. Nama Kemul berasal dari Bahasa Jawa, yg berarti Selimut. Sehingga, Tempe Kemul diartikan sebagai Tempe yg diselimuti.
Maksud Selimut dalam hal ini adalah adonan tepung yg dicampur dg daun bawang, dan tambahan lainnya, yg kemudian dibalutkan pada tempe.
Secara bahan, memang hampir sama dg tempe mendoan di daerah Banyumas Raya. Diantara Perbedaan yg mencolok antara keduanya adalah tempe kemul digoreng dg benar-benar matang. Sedangkan tempe mendoan digoreng setengah matang.
Referensi: Dari Berbagai Sumber.
📷: © De Sas